• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung diDesa Sei Mencirim, Kabupaten Kutalimbaru, Kecamatan Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung diDesa Sei Mencirim, Kabupaten Kutalimbaru, Kecamatan Deli Serdang"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara geografis Indonesia merupakan kepulauan yang terletak pada

pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,

lempeng Samudra Hindia dan lempeng Samudra Pasifik atau terletak pada jalur

subduksi yang merupakan zona kegempaan yang sangat aktif, dan akibat dari jalur

tersebut muncul jalur gunung api aktif (ring of fire). Kondisi tersebut berpotensi sekaligus rawan bencana letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, puting

beliung, banjir dan tanah longsor. Data menunjukan Indonesia merupakan salah

satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10

kali kegempaan di Amerika Serikat.

Selain itu wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua

musim yaitu panas dan hujan dengan ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah

angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim digabungkan dengan kondisi topografi

permukaan dan batuan yang relatif beragam mampu menghasilkan kondisi tanah

yang subur. Namun di sisi lain, berpotensi menimbulkan akibat buruk, seperti

bencana. Seiring dengan perekembangan zaman, kerusakan lingkungan hidup

cenderung parah dan memicu meningkatnya intesitas ancaman.

Ancaman-ancaman itu mendesak pemerintah untuk meningkatkan sistem

penanggulangan yang sebelumnya bersifat sektoral menjadi sistem yang berlaku

umum, mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non-pemerintah.

(2)

Undang-Undang No.24/ 2007. Pendapat tersebut sejalan dengan Syamsul dalam buku

Sudibyakto (2012:1) bahwa pilar utama dalam penanggungan bencana alam

adalah pengembangan kapasitas aparat pemerintah, masyarakat, dunia usaha,

sektor swasta dan masyarakat akademisi dalam mewujudkan masyarakat yang

tangguh bencana.

Perubahan pandangan terhadap bencana ini diikuti dengan perubahan

sistem penanggulangan bencana yang dianut oleh pemerintah selama ini.

Penanggulangan bencana juga dibagi ke dalam tindakan, tanggung jawab dan

wewenang bagi pemerintah pusat dan daerah melalui kegiatan pembangunan,

keamanan masyarakat, dan keamanan bantuan bagi penanggulangan bencana.

Dengan kata lain jika sebelumnya upaya penanggulangan bencana di Indonesia

bersifat tanggap darurat, maka melalui perundangan ini, mencakup semua fase

dari kesiapsiagaan, tenggap darurat hingga pemulihan pasca bencana.

Undang-undang tersebut juga memberikan kepastian hukum akan sistem

penanggulangan bencana di Indonesia sehingga semua pihak memahami peran

dan fungsi serta memiliki kepastian untuk mengambil tindakan terkait dengan PB

untuk semua tahapan bencana. Perubahan lainnya adalah makin terintegrasinya

penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan. Pendekatan lama tidak

menjadikan bencana sebagai bagian dari perencanaan pembangunan. Sementara

pendekatan baru telah mengintegrasikan bencana sebagai bagian dari

pembangunan melalui pembentukan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko

Bencana (RAN PRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang

kemudian dijabarkan lagi di tingkat daerah dalam bentuk Rencana Aksi Daerah

(3)

mekanisme kelembagaan dan pendanaan yang lebih terintegrasi. Sejak tahun

2001, Pemerintah Indonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan

bencana seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No.3 Tahun 2001 tentang

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

(yang kemudian diubah menjadi Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2001).

Rangkaian bencana yang dialami Indonesia sejak tahun 2004 telah

mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. 83 tahun

2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB).

Melalui UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diamanatkan

untuk pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB)

dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Kedua badan ini

menggantikan Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) dan Satuan Pelaksana

(Satlak) di daerah.

Perubahan juga terjadi dalam mekanisme anggaran. Sebelumnya ketika

menggunakan mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran

masing-masing departemen/satuan kerja pemerintah. Apabila dalam pelaksanaan terdapat

kekurangan dana, pemerintah melalui ketua Bakornas Penanggulangan Bencana

dapat melakukan alih anggaran dan mobilisasi dana. Mekanisme tersebut ternyata

tidak dapat mengintegrasikan peranan masyarakat dan lembaga donor. Dengan

adanya perubahan sistem, khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi

dana untuk penanggulangan bencana, sejak itu di tahap mitigasi hingga

rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB

(4)

Perubahan lainnya adalah pada peran masyarakat. Jika sebelumnya

masyarakat selalu diletakkan sebagai korban dengan partisipasi yang yang

terbatas, dalam penanggulangan bencana, terutama pada tahap mitigasi, maka

melalui undang-undang ini peran serta partisipasi masyarakat lebih diberi ruang.

Keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana merupakan hak dan

sekaligus kewajiban seperti diatur dalam Pasal 26 dan 27 ayat (1) UU No.

24/2007 yang merumuskan hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan

bencana.

Untuk lebih jelasnya perbandingan sistem lama dan sistem baru dapat di

lihat secara lebih detail pada tabel1.1 berikut:

Tabel 1.1

Perbandingan Sistem Lama Dan Sistem Baru Dalam Penanggulangan Bencana

Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non pemerintah UU Nomor 24 tahun 2007.

Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi

BNPB, BPBD Propinsi, BPBD Kab/ Kota

Melibatkan masyarakat secara aktif

Tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten

(5)

7. • Rencana Aksi Daerah Pengu rangan Resiko Bencana (RAD PRB)

Analisa resiko (menggabungkan antara

kerentanan dan kapasitas)

National Platform (akan) dan

Provincial platform (akan)

Tergantung pada tingkatan bencana

Mengacu pada pedoman yang dibuat BNPB dan BPBD

Aspek bencana sudah diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang

Sumber: Kharisma, dkk. 2012

Penjelasan di atas sudah cukup menjelaskan bahwa Undang-Undang

No.24/ 2007 merupakan suatu kebijakan yang memiliki konsep penanggulangan

bencana yang amat baik namun sebaik apapun suatu kebijakan disusun akan

menjadi percuma ketika implementasinya tidak dilakukan sesuai dengan dengan

kebijakan yang dibuat. Implementasi kebijakan Undang-undang ini dapat

dikatakan kurang baik, hal ini didukung oleh sebuah laporan hasil Roundtable Discussion dengan tema “Manajemen Penanganan Bencana di Jawa Tengah” yang telah dilaksanakan pada tanggal 15 September 2011 oleh Dewan Riset Jawa

(6)

a. Pencegahan (prevention)

Permasalahannya, kesadaran masyarakat secara umum masih rendah, kesadarannya masyarakat di daerah terdampak belum kuat, dan hidup damai di daerah bencana baru terjadi di daerah yang pernah didampingi (pilot project) yang belum melembaga di tengah masyarakat

b. Mitigasi (mitigation)

Mitigasi struktural pada daerah rawan bencana masih diperlukan peningkatan, mitigasi non-struktural pada daerah terdampak masih sedikit yang tercover dan masih belum memerhatikan kepentingan perempuan.

c. Kesiapan (preparedness)

Permasalahan yang diperoleh adalah belum mainstreaming gender. d. Peringatan Dini (early warning)

Menjangkau masyarakat (accesible) , namun masyarakat belum tanggap, tegas tidak membingungkan (coherent) namun beberapa info simpang siur, bersifat resmi (official), tidak respipun tidak bisa dicegah karena faktor budaya, dan lambat direspon oleh kelompok rentan (perempuan, anak dan lansia).

e. Tanggap Darurat (response)

Respon masyarakat yang tidak terkena dampak bagus, koordinasi antar stakeholder masih lemah dan Mainstreaming gender masih lemah.

f. Bantuan Darurat (relief)

Penyediaan pangan, sandang, tempat tinggal sementara kesehatan cukup baik, untuk sanitasi dan air bersih masih kurang, partisipasi warga baik, namun beberapa temuan menunjukan tingkat empati masih kurang, koordinasi stakeholder kurang kuat, partisipasi warga yang bukan korban sangat baik dan belum responsif gender.

g. Pemulihan (recovery)

Proses recovery butuh waktu lama, recovery sosial dan kelembagaan lebih lambat, recovery penguatan kapasitas masyarakat lambat dan belum responsif gender dan koordinasi lemah.

h. Rehabilitasi (rehabilitation)

Prosesnya lama, rehabilitasi ekonomi lambat untuk wilayah tertentu, namun pada wilayah dengan etos kerja masyarakat yang baik bisa cepat, rehabilitasi sosial cepat dilakukan, partisipasi masyarakat bagus namun belum responsif gender.

i. Rekonstruksi (reconstruction)

Partisipasi masyarakat baik, lambat dilakukan, perencanaan belum banyak melibatkan masyarakat, pengembangan masyarakat butuh waktu lama, dan belum responsif gender.

BNPB yang merupakan badan yang memiliki fungsi koordinasi dalam

penanggulangan bencana di seluruh Indonesia. Untuk memudahkan pekerjaan

tersebut, maka BNPB telah mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Nasional

(7)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang menginstruksikan kepada

pemerintah kabupaten/kota untuk menginstruksikan adanya pembuatan BPBD di

setiap kabupaten/kota yang ada di Daerah. Namun, belum semua kabupaten/kota

di Sumatera Utara yang telah memiliki BPBD, salah satunya Deli Serdang. Oleh

karena itu Deli Serdang tetap menggunakan PP Nomor 83 Tahun 2005 yaitu

memilih Bakesbang sebagai badan yang mengkoordinir penanggulangan bencana.

Bakesbang mengkoordinir dinas-dinas yang ada di Deli Serdang untuk

menanggulangi bencana.

Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mengatur penanggulangan bencana

apapun yang ada di Indonesia dan salah satu bencana yang diatur dalam kebijakan

tersebut ialah bencana puting beliung. Bencana puting beliung merupakan

fenomena atmosferik yang dalam istilah ilmiah disebut thunderstorm yang menerjang beberapa wilayah di Indonesia. Bencana ini telah menimbulkan korban

dan kerugian yang cukup besar, untuk itu bencana ini perlu diketahui dan

disosialisasikan kepada masyarakat, apa dan bagaimana proses kejadiaannya,

kapan terjadi dan upaya mengurangi dampak akibat badai itu.

Berdasarkan informasi dari BNPB menunjukan fenomena bencana puting

beliung semakin menjadi-jadi di Indonesia. Dari 13 jenis bencana di Indonesia,

bencana puting beliung adalah jenis bencana yang paling ekstrem peningkatan

kejadiannya. Berdasarkan GEMA BNPB Februari 2013 terjadi bencana puting

beliung sebanyak 35 kejadian dan tidak hanya jumlah kejadian yang meningkat

namun korban materil dan korban jiwa juga meningkat. Hal itu dapat dilihat

(8)

Tabel 1.2

Jumlah bencana di Indonesia dan dampaknya bulan Februari 2013

Sumber: Gema BNPB Februari 2013

Dampak yang ditimbulkan bencana puting beliung di Indonesia lebih besar

dari pada dampak yang seharusnya ditimbulkan menurut Skala Fujita. Kecepatan

pusaran puting beliung di Indonesia umumnya di bawah 115 kilometer per jam

dari sisi skala, berada pada skala F0 atau terendah dari total enam skala. Namun

berdasarkan dampak yang ditimbulkan bisa pada skala F1 (di antara 115-179

kilometer per jam). Intensitas puting beliung yang tinggi berikut dampaknya yang

kian ganas diperkirakan terkait dengan pemanasan global. Efek gas rumah kaca

membuat atmosfer menyimpan banyak energi karena tak leluasa terpantul ke luar

angkasa. Energi itu diubah dalam beberapa wujud, seperti panas yang diikuti

intensitas angin kencang dan hujan kian lebat. Kondisi pemanasan global yang

semakin parah ditambah dengan penebangan hutan ilegal yang sedang maraknya

di Indonesia membuat semakin seringnya terjadi bencana puting beliung dan

membuat puting beliung semakin sulit dideteksi.

Untuk mengantisipasi puting beliung, BNPB dan BMKG menjajaki

(9)

peringatan dini dapat dihasilkan. Meskipun cukup sulit memprediksinya karena

sifat puting beliung sangat lokal dan sesaat. Berbeda dengan iklon tropis yang

relatif mudah dideteksi dari satelit. Umur siklon tropis yang berkisar 10 hari dan

luasnya regional mudah dikenali. Sedangkan puting beliuang hanya 5-10 menit

dan sangat lokal sehingga sulit dideteksi kapan dan dimana bencana ini akan

terjadi dan menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diminimalisir. Jaringan radar

cuaca milik BMKG yang terdapat di sebagian besar bandara akan digunakan

untuk mengidentifikan potensi puting beliung. Namun sayangnya belum ada

teknologi peringatan dini sehingga masyarakat dihimbau untuk melakukan

langkah-langkah antisipasi dan kewaspadaannya.

Menurut catatan di UGM sejak awal tahun 2004 di pulau Jawa telah

berulang kali muncul badai tropis yaitu di Prambanan, Cilacap, Semaang, Kendal,

Garut bahkan di kampus UGM. Indikasi awal terjadinya badai dapat diketahui

melalui satelit cuaca (GOES) yang dapat di-download melalui internet setiap saat. Namun sayang sekali media internet untuk kajian mitigasi bencana lingkungan

belum optimal (dalam Sudibyakto 2012: 40).

Bencana puting beliung juga terjadi pada daerah-daerah di Sumatera Utara

seperti Medan, Serdang Bedagai, Deli Serdang dan kondisi terparah ditemukan

pada Deli Serdang. Berdasarkan laporan korban bencana dan fisik bangunan

TAGANA tahun 2012 telah terjadi 19 kejadian yang telah menimpa 776 KK dan

mengakibatkan 4 orang meninggal dunia.

Bahkan pada hari Sabtu, 06 Oktober 2012 ini terjadi bencana puting

beliung di Dusun 6 dan 7 di desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli

(10)

rumah rusak berat (diakses secara online melalui

bencana yang sedang terjadi pada daerah tersebut sehingga muncul pemberitaan

bahwa tiga hari pasca peristiwa bencana angin puting beliung melanda 2

kecamatan, Kutalimbaru dan Sunggal, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara,

puluhan korban masih terabaikan, alias belum menerima bantuan dalam materil

dari pemerintah setempat. Perbaikan 54 rumah warga yang rusak akibat diterpa

angin puting beliung memang sudah mulai dilakukan secara gotong royong

dengan menggunakan swadaya masyarakat (dikutip melalui

Melalui penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terjadi beberapa masalah

dalam proses penanggulan bencana baik dari pra-bencana, saat tanggap bencana

bahkan pada pasca-bencana. Maka penulis mengambil judul tentang

Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung pada Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang”.

1.2 Fokus Penelitian

Untuk memudahkan penulis di dalam melakukan penelitian maka penulis

menetapkan fokus penelitian. Pembatasan dalam penelitian kualitatif lebih

didasarkan pada tingkat kepentingan masalah yang akan dipecahkan, selain juga

faktor keterbatasan tenaga, dana dan waktu. Suatu masalah dikatakan penting

apabila masalah tersebut harus dipecahkan melalui penelitian sehingga tidak

(11)

yang dilakukan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana baik dalam tahap

prabencana, tanggap darurat dan pascabencana pada daerah bencana puting

beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka

yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang?”

1.4Tujuan Penelitian:

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pelaksanaan penanggulangan bencana putting beliung di Desa Sei Mencirim,

Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Secara subyektif, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah,

sistematis dan metodologi suatu karya ilmiah guna memperkaya khazanah

ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai penanggulangan bencana.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang

sangat berharga pada pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam

(12)

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan

Departemen Ilmu Administrasi Negara.

1.6 Kerangka Teori

Menurut Kerlinger dalam Singarimbun (1995: 37) teori adalah serangkaian

asumsi, konsep, definisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial

secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep dan kerangka

teori disusun sebagai landasan berpikir untuk menunjukan perspektif yang

digunakan dalam memandang fenomena sosial yang menjadi obyek penelitian.

Kerangka teori dalam Arikunto (2002: 92) adalah bagian dari penelitian, tempat

peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan

variabel atau pokok, sub-variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian.

Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan

masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan

sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori ini diharapkan

memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami

masalah yang diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.6.1 Implementasi Kebijakan 1.6.1.1Pengertian Kebijakan

Menurut Thomas R. Dye, kebijakan adalah suatu pilihan pemerintah untuk

menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat”. Lasswel dan Kaplan

melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk mencapai “tujuan”. Kebijakan itu

tertuang dalam “program” yang diarahkan kepada pencapaian “tujuan”, “nilai”,

(13)

serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan

tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat (Solly Lubis, 2007: 6 dan 9).

James E. Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan

yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Dalam pandangan

David Easton, ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula

pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap

kebijakan mengandung seperangkat nilai (Subarsono, 2005: 2-3).

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa penanggulangan bencana

adalah suatu kebijakan publik yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi

dampak negatif bencana baik secara material dan non material yang kemudian

diaplikasikan dalam bentuk program-program seperti program Desa Tanggap

Bencana.

1.6.1.2Pengertian Implementasi Kebijakan

Secara Etimologis, implementasi dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to

(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab,

2008:64). Sedangkan, Patton dan Sawicky (dalam Tangkilisan, 2003:9)

menunjukan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang

diarahkan untuk merealisasikan program, dimana posisi ini eksekutif mengatur

cara untuk mengorganisir dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

(14)

adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk

undang-undang, namun bisa pula berbentuk perintah atau petunjuk eksekutif atau

keputusan badan peradilan). “Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulatesthe objective(s) to be pursued and in a variety of ways, structures the implementation process” (yang berarti: idealnya TUS tersebut mengidentifikasikan masalah yg dihadapi, menyebut secara tegas tujuan yg

hendak dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan/ mengatur proses

implementasinya). Secara lebih konkrit Mazmanian & Sabatier menyatakan

bahwa fokus perhatian dalam implementasi yaitu memahami apa yg senyatanya

terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku.

Implementasi merupakan salah satu tahapan dalam siklus kebijakan publik.

Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan di antara pembentukan sebuah

kebijakan – seperti halnya pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif,

pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau

keluarnya standar peraturan - dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat

yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya (Tangkilisan, 2003:3).

Implementasi kebijakan yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya

mencapai hasil.

Implementasi kebijakan merupakan tahap terpenting dari siklus kebijakan.

Tanpa implementasi kebijakan tak akan bisa mewujudkan hasilnya. Namun,

implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit.

Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual maupun

organisasional. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas

(15)

terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun strateginya. Dalam proses

ini sering terdapat mekanisme insentif dan sanksi agat implementasi suatu

kebijakan dapat berjalan dengan baik (Subarsono, 2005:12).

Sementara itu Hogwood dan Gunn yang dikutif oleh Wahab (1990:61-62)

dalam bukunya yang berjudul “Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan Negara” telah membagi pengertian kegagalan

kebijakan dalam dua kategori, yaitu:

1. Non implementation (tidak terimplementasikan), mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka sudah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kemampuannya, sehingga betapa gigihnya usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup ditangulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dipenuhi.

2. Unsuccesful implementation dimana implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

Secara langsung maupun tidak langsung, kegagalan/ keberhasilan

impelementasi mempengaruhi proses implementasi lainnya karena kebijakan

merupakan siklus yang tak dapat dipisahkan. Hal itu dapat dilihat dari gambar 1.1

(16)

Gambar 1.1 Siklus kebijakan publik

Sumber: Said. 2002

1.6.1.3Pendekatan Implementasi Kebijakan

Dalam memperlancar proses implementasi kebijakan, harus dilakukan

pendekatan. Pendekatan ini dilakukan para implementor kepada beberapa hal

yang terkait dalam implementasi kebijakan. Terdapat empat pendekatan yang

dapat dilakukan yaitu pendekatan struktural, pendekatan prosedural, pendekatan

kejiwaan dan pendekatan politik.

Pendekatan struktural adalah pendekatan yang melihat peran institusi atau

organisasi sebagai sesuatu yang menentukan sehingga perlu dilakukan bersama

dengan proses penataan institusi. Pendekatan prosedural atau manajerial yang

melihat bahwa langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan ialah hal yang Penyusunan

Agenda

Formulasi dan Legitimasi

Impelementasi Kebijakan

Kebijakan Baru Evaluasi Implementasi,

Kinerja dan Dampak

Kinerja dan Dampak Kebijakan Tindakan Kebijakan

Kebijakan

(17)

terpenting dan biasa dikenal dalam konsep PPBS (Planning, Progrraming, Budgeting and Supervision) atau PERT (Progrraming, Evaluation and Review Technique). Pendekatan kejiwaan berhubungan penerimaan atau penolakan masyarakat atas suatu kebijakan. Penerimaan masyarakat tidak sekedar ditentukan

oleh isi atau substansi kebijakan tetapi juga oleh pendekatan dalam

menyampaikan dan cara melaksanakannya. Pendekatan politik melihat

pelaksanaan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari politik baik pengertian umum

sebagai pencerminan dari persaingan antar kekuatan politik sebagai kekuatan dan

pengaruh dalam organisasi atau antar instansi, yang dapat disebut politik dalam

birokrasi (Said, 2002: 202-206).

1.6.1.4Model-model Implementasi Kebijakan

Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha

untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Dalam implementasi ada

beberapa faktor atau variabel yang memengaruhinya. Banyak kesulitan yang akan

ditemui jika fenomena sosial harus dijelaskan dengan konsep yang abstrak. Oleh

karena itu, model diperlukan untuk menyampaikan fenomena yang rumit dan

kompleks, dengan tujuan menyamakan persepsi terhadap suatu fenomena

(Indiahono, 2009: 19). Berikut model-model implementasi kebijakan yang biasa

digunakan dalam pelaksanaan suatu kebijakan:

a. Model Gogin

Untuk mengimplementasi kebijakan model Gogin dapat

mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal

pada keseluruhan implementasi yakni bentuk dan isi kebijakan, kemampuan

(18)

Bentuk dan isi kebijakan berbicara mengenai kemampuan suatu

kebijakan membuat struktur dalam proses implementasi. Hal itu berarti

kebijakan tersebut dengan jelas menjelaskan setiap struktur bagan

impelementor yang menjalankan sehingga tidak terdapat kebingungan dalam

menentukan orang yang paling tepat dalam memutuskan suatu keputusan bila

diperlukan dalam mengimplementasi kebijakan tersebut.

Kebijakan dapat diimpelentasi dengan baik jika implementor mampu

mengorganisasi segala sumber daya berupa dana maupun intensif lainnya

yang dapat mendukung implementasi secara efektif. Selain itu pengaruh

lingkungan dari masyarakat berupa karakteristik, motivasi, kecendrungan

hubungan antara warga masyarakat termasuk pola komunikasinya juga

mempengaruhi dalam proses implementasi.

b. Model Grindle

Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan

kegiatan dan hasil-hasilnya. Keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua

variabel besar yakni isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Variabel isi

kebijakan mencakup bobot kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat

perubahan, letak pengambilan keputusan, impelementor dan sumber daya.

Sedangkan, variabel dalam lingkungan kebijakan adalah kekuasaan,

kepentingan dan strategi karakteristik lembaga, kepatuhan dan daya tanggap

kelompok sasaran (Subarsono, 2005: 93).

Variabel isi kebijakan berisi tentang sejauh mana

kepentingan-kepentingan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran atau target groups

(19)

sudah termuat di dalamnya atau kebijakan tersebut hanya berisi kepentingan

menurut persepsi pemerintah sehingga tidak dapat menjawab kebutuhan

masyarakat.

Tipe-tipe manfaat yang diterima target groups melalui kebijakan tersebut memang sesuai kebutuhan kelompok itu. Derajat perubahan

mengenai sejauhmana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan

kebijakan itu diimplementasikan atau justru tidak menunjukan perubahan

apapun terhadap masyarakat. Bahkan perubahan yang timbul ke arah yang

negatif/ berlawan dengan yang diharapkan pemerintah.

Letak pengambilan keputusan juga mempengaruhi dalam

implementasi kebijakan. Kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik jika

pengambilan keputusan dilakukan oleh bagian yang tepat. Suatu kebijakan

juga menyebutkan implementornya secara rinci sehingga dalam

pertanggungjawabannya pun dapat dilakukan dengan benar. Hal yang

terakhir, kebijakan tersebut didukung oleh sumber daya yang mendukung.

Selanjutnya adalah pengaruh lingkungan yang mempengaruhi

pelaksanaan kebijakan terdiri dari seberapa kekuasaan, kepentingan dan

strategi yang dimiliki aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Jika

implementor yang menjalankan memiliki kekuasaan yang cukup besar, secara

langsung memberi kemudahan yang lebih dalam menjalankan kebijakan

tersebut.

Namun implementasinya juga dipengaruhi karakteristik lembaga

(20)

yang sedang berkuasa tersebut mendukung atau justru menghambat kebijakan

tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Sekalipun kebijakan telah didukung oleh implementor yang berkuasa

dan rezim yang mendukung apabila masyarakat yang menjadikan kelompok

sasaran memiliki tingkat kepatuhan dan daya tanggap yang rendah terhadap

kebijakan. Hal itu juga dapat menghambat proses implementasi kebijakan.

c. Model Donal S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Menurut Meter dan Horn ada lima variabel yang mempengaruhi

kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya,

komunikasi/hubungan antar organisasi karakteristik agen pelaksana, kondisi

sosial dan ekonomi serta disposisi implementor (Subarsono, 2005: 99-100).

Suatu kebijakan harus memiliki standar dan kebijakan yang jelas dan

terukur sehingga dapat direalisasi. Apabila standar dan sasaran kebijakan

kabur, maka akan terjadi multi-interpretasi dan mudah menimbulkan konflik

di antara para agen implementasi.

Implementasi kebijakan perlu dukungan baik sumber daya manusia

(human resources) yaitu staf yang memiliki pengetahuan yang sesuai dan mapan maupun non-manusia (non-human resources) seperti uang atau alat-alat yang mendukung. Dalam banyak program, implementasi sebuah program

perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan

koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu kebijakan.

Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi,

norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya

(21)

ekonomi yang mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan. Hal ini mencakup sejauhmana kelompok

kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;

karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat

opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik mendukung

implementasi kebijakan.

Variabel yang terakhir ialah disposisi implementor. Disposisi

implementor mencakup tiga hal penting yakni respon implementor terhadap

kebijakan yang akan memengaruhi kemamuannya untuk melaksanakan

kebijakan, kognisi yakni pemahaman terhadap kebijakan, dan intensitas

disposisi implementor yakni prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

d. Model George Edward III

Adapun empat variabel yang memengaruhi implementasi kebijakan adalah

(Tangkilisan, 2003: 12-14):

1. Komunikasi

Wilbur schramm (dalam Nugroho, 2004:14) yang memulai gagasan

bahwa communication berasal dari kata communis yang berasal dari kata dasar common. Artinya, tatkala berkomunikasi, maka yang hendak dicapai adalah mencari “persamaan” dengan yang lain. Komunikasi memerlukan

komunikator (penyampai pesan) dan komunikan (penerima pesan). Cooley

(dalam Nugroho, 2004:13) menggambarkan komunikasi sebagai

mekanisme eksistensial manusia untuk berhubungan dengan manusia lain

(22)

Dalam implementasi kebijakan, komunikasi adalah persyaratan

pertama untuk berjalannya suatu kebijakan dengan baik. Keputusan

kebijakan dan peraturan implementasi mesti disampaikan kepada

personalia yang tepat sebelum bisa diikuti.

Komunikasi mengenai ukuran implementasi harus diterima dengan

jelas. Jika tidak, para implementor akan kacau dengan apa yang harus

dilakukan dan mereka akan memiliki diskresi (kewenangan) untuk

mendorong tinjauannya dalam implementasi kebijakan yang mungkin akan

jauh dari pandangan si pembuat kebijakan. Selain komunikasi antara

pembuat kebijakan dan implementor, komunikasi yang baik juga

diperlukan antara implementor dan masyarakat karena komunikasi yang

kurang baik menyebabkan penolakan masyarakat terhadap kebijakan yang

akan dijalankan.

Setiap implementor harus memahami apa yang dilakukan juklak

(petunjuk pelaksanaan) dan konsisten pada juklak tersebut, sering

ditemukan hambatan dalam penyampaian informasi pada hierarkhi

organisasi yang berlapis-lapis, semakin baik komunikasi akan semakin

baik implementasi, implementor juga diharapkan mengurangi distorsi

informasi dan menjaga transparansi peraturan.

2. Sumber daya

Sumber daya adalah segala sesuatu yang dipakai untuk

mewujudkan suatu kegiatan. Sumber daya dapat berupa sumber daya alam

dan sumber daya manusia. Dalam hal implementasi kebijakan, sumber

(23)

mendukung lainnya. Sumber daya bisa menjadi faktor kritis di dalam

mengimplementasikan kebijakan publik.

Sumber daya manusia bisa meliputi jumlah staff yang cukup dan

latar belakang pendidikan dengan ketrampilan yang tepat untuk melakukan

tugas serta informasinya dan otoritasnya. Dana yang dimaksud adalah

besaran anggaran yang dapat digunakan dalam implementasi kebijakan

menurut kemampuan pemerintah yang menjalankannya. Sedangkan

fasilitas adalah alat-alat yang mendukung dan memudahkan implementor

untuk menjalankan kebijakan.

3. Disposisi

Disposisi merupakan keadaan dimana implementor tidak mau

melakukan sesuai arahan yang dibuat oleh pembuat kebijakan. Disposisi

menghalangi implementasi suatu kebijakan jika implementor benar-benar

melakukan sesuatu yang jauh dari harapan semula. Dan menjadi hal yang

sulit bagi pejabat puncak untuk mengganti implementor yang ada dan

untuk mengantisipasi hal itu dilakukan pemberian insentif atau sanksi

kepada implementor. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara

efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang harus

dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini, melainkan

juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.

4. Struktur birokrasi

Para implementor kebijakan mungkin tahu apa yang harus

dikerjakan dan memiliki keinginan dan sumber daya yang cukup untuk

(24)

implementasi oleh struktur organisasi dimana mereka melayani. Dua

karakteristik utama dari birokrasi ini adalah prosedur pengoperasian

standar (SOP) dan fragmentasi.

Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk

melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian

kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis,

administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan

sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP adalah

menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit

kerja instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.

Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga

eksternal, karena SOP selain dapat digunakan untuk mengukur kinerja

organisasi publik, juga dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi

publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan

akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dengan demikian SOP

merupakan pedoman atau acuan untuk menilai pelaksanaan kinerja instansi

pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan

prosedural sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang

bersangkutan. Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab untuk

sebuah bidang kebijakan di antara unit-unit organisasional.

Dari antara model-model di atas, penulis menggunakan model

implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III karena dibandingkan

dengan model implementasi yang lainnya, model George Edward III tidak hanya

(25)

dan masyarakat sehingga dinilai paling tepat untuk menganalisis pelaksanaan

penanggulangan bencana yang memerlukan kerja sama yang baik antara sesama

pelaksana kebijakan juga kerja sama kepada masyarakat dalam melaksanakan

kebijakan ini.

1.6.2 Bencana

1.6.2.1 Pengertian Bencana

Bencana (dalam UU No.24 tahun 2007) adalah peristiwa atau rangkaian

peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun

faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak

psikologis. Jenis-jenis bencana di Indonesia dapat disimpulkan secara implisit

melalui UU No. 24/2007, yaitu:

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa

gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,

dan tanah longsor.

2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa kegagalan

teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan

teror.

(26)

istilah yang digunakan dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007 ialah bencana

angin topan bukan angin puting beliung karena angin topan adalah bencana yang

memiliki kecepatan dan dampak lebih besar dari pada angin puting beliung.

1.6.2.2 Puting Beliung

Angin adalah udara yang bergerak atau gerakan massa indara yang

arahnya horizontal. Angin bergerak dari daerah bertekanan masksimum ke daerah

bertekanan minimum (Rima, Ratna dan Eko Sujatmiko, 2012: 12). Angin

memiliki berbagai macam nama seperti angin tornado, angin siklon, angin topan,

puting beliung, dan lain sebagainya. Jenis-jenis angin tersebut sesungguhnya sama

namun letak perbedaannya hanya pada kecepatannya dan tempat dimana ia terjadi

juga mempengaruhi nama panggilan angin tersebut. Angin siklon adalah angin

yang gerakannya berputar menuju pusat. Terjadinya angin siklon disebabkan

adanya depresi (daerah barometris minimum) dikelilingi oleh daerah barometris

maksimum. Angin siklon pada belahan bumi utara (di sebelah utara khatulistiwa)

berlawanan dengan jarum jam, sebaliknya di belahan bumi selatan (di sebelah

selatan khatulistiwa) berpusar searah jarum jam.

Angin topan adalah siklon tropis yang berkecepatan sangat tinggi. Topan

disebut juga angin ribut atau badai (Ratna dan Eko, 2012: 12 dan 55). Pengertian

angin topan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu

pusaran

sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik utara dan selatan, kecuali di

daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan khatulistiwa. Angin tornado adalah

putaran yang kencang dari suatu kolom udara yang terbentuk dari awan

(27)

(funnel cloud) dan kerap disertai dengan badai angin dan hujan, petir atau batu es

yang memiliki kecepatan lebih dari 480 km/jam, rata-rata 175 km/jam atau lebih

(di sekitar pusat dapat mencapai 100-200 meter/jam), dengan ketinggian ± 75 m,

diameter umumnya berkisar antara puluhan hingga ratusan meter, pada belahan

bumi utara sebagian besar tornado berpusar berlawanan dengan jarum jam,

sebaliknya di belahan bumi selatan berpusar searah jarum jam dan hanya terjadi

dalam beberapa menit saja. Di Indonesia, angin tornado lebih dikenal sebagai

angin puting beliung ada juga yang menyebutkannya sebagai angin Leysus di daerah Jawa, di daeraAngin Bohorok dan masih ada sebutan

lainnya (diakses dalam.

Angin puting beliung termasuk dalam satu cuaca ekstrim yang merupakan

akibat dari pemanasan global. Angin puting beliung pada umumnya terjadi selama

masa pergantian musim kemarau dan musim hujan. Puting beliung dengan

kecepatan yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada atap rumah,

kegemparan, medan listrik dan pohon tumbang (National Disaster Management

Plan 2010-2014).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian tentang

berbagai jenis angin. Pada kata “angin”, disebutkan bahwa angin topan sama

dengan angin puting beliung. Namun pada entri topan disebutkan bahwa topan

sama dengan angin ribut/ badai. Sedangkan, angin ribut didefinisikan sebagai

gerakan udara yang kecepatannya antara 32 dan 37 knot (mil per jam). Namun

pada kata badai, dipaparkan bahwa badai adalah angin kencang yang menyertai

cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan antara 64 dan 72 knot

(28)

Puting adalah bagian pangkal pisau yang runcing dan dibenamkan ke

dalam tangkai hulu, sedangkan beliung adalah perkakas tukang kayu, yang

rupanya seperti kapak dengan mata melintang (tidak searah dengan tangkainya).

Puting beliung adalah bagian pangkal beliung yang runcing yang dibenamkan ke

dalam tangkainya (diakses dalam. Oleh

karena itu, angin topan sering dipanggil dengan sebutan angin puting beliung

karena bentuk angin tersebut yang seperti puting beliung.

Puting beliung (diakses dalam

yang berlangsung 5-10 menit akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam

area skala sangat lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus

(Cb). Gejala Awal Puting Beliung adalah:

1. Udara terasa panas dan gerah (sumuk).

2. Di langit tampak ada pertumbuhan awan Cumulus (awan putih

bergerombol yang berlapis-lapis).

3. Di antara awan tersebut ada satu jenis awan mempunyai batas tepinya

sangat jelas bewarna abu-abu menjulang tinggi yang secara visual seperti

bunga kol.

4. Awan tiba-tiba berubah warna dari berwarna putih menjadi berwarna

hitam pekat (awan Cumulonimbus).

5. Ranting pohon dan daun bergoyang cepat karena tertiup angin disertai

angin kencang sudah menjelang.

6. Durasi fase pembentukan awan, hingga fase awan punah berlangsung

(29)

selama periode ini.

Dampak dan besarnya badai tornado dapat dikategorikan berdasarkan

Skala Fujita (F-Skala) atau Skala Fujita-Pearson. Skala ini adalah skala untuk

menggambarkan intensitas tingkatan tornado, terutama didasarkan

pada kerusakan yang ditimbulkan tornado pada manusia, bangunan

dan vegetasi. Skala ini diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Tetsuya Fujita dari

Universitas Chicago. Berikut adalah skala angin puting beliung berdasarkan

Skala Fujita:

1. F5, Kecepatan angin 419–512 km/jam

Kerusakan yang luar biasa dapat ditimbulkan oleh tornado jenis ini.

Bangunan-bangunan yang memiliki struktur beton baja bertulang (seperti

rumah, gedung dll) tercerabut hingga pondasinya. Tingkat kerusakan yang

ditimbulkan jalur tornado tersebut bisa mencapai 1100 m bahkan lebih dari

itu, dengan laju mencapai 100 km lebih. Namun demikian persentasi

kemunculan tornado ini termasuk jarang.

2. F4, Kecepatan angin 333–418 km/jam

Dampak yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan dampak tornado F5.

Beberapa tornado yang mencapai kecepatan angin lebih dari

300-480 km/jam memiliki lebar lebih dari satu mil (1.6 km) dan dapat bertahan

di permukaan dengan lebih dari 100 km. Frekuensi kemunculannya 1,1%.

3. F3, Kecepatan angin 254–332 km/jam

Kerusakan parah yang diciptakan tornado jenis ini, adalah atap

(30)

pencakar langit bengkok. Frekuensi kemunculannya terbilang sering,

mencapai 4,9%.

4. F2, Kecepatan angin 181–253 km/jam

Kerusakan yang signifikan dengan bingkai atap rumah robek dengan

jendela pecah dan hancur, mobil terlempar, dan pohon besar tumbang.

Persentasi 19,4% kemunculannya, menjadi ancaman tersendiri di

daerah-daerah yang rawan tornado.

5. F1, Kecepatan angin 117–180 km/jam

Dampak kerusakannya terbilang sedang dengan intensitas kemunculannya

35,6%. Diawali dengan kecepatan angin yang bergemuruh, atap-atap

rumah berterbangan dan mobil-mobil bergeser terdorong.

6. F0, Kecepatan angin 64–116 km/jam

Beberapa hal yang sering terjadi adalah kerusakan pada

cerobong-cerobong asap rumah dengan cabang-cabang pohon patah. Papan-papan

reklame yang rusak. Tipikal tornado jenis ini sering kali masyarakat

Indonesia menyebutnya dengan angin puting beliung. Frekuensinya sangat

sering (38,9%) dewasa ini, dengan menimpa hampir sebagian wilayah di

(31)

Gambar 1.2

Wilayah Rawan Bencana Angin Puting Beliung

Sumber: National Disaster Plan 2010-2014

Gambar 1.2 menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensial terjadinya

angin puting beliung baik pada wilayah sumatera bagian utara dan wilayah di

Indonesia Timur. Puting beliung yang terjadi di Sumatera bagian utara berasal

dari India

1.6.3 Penanggulangan Bencana

Penyelenggaraan manajemen penanggulangan bencana (dalam UU No.24

tahun 2007) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan

pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,

tanggap darurat dan rehabilitasi. Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri

atas 3 (tiga) tahap meliputi: pra-bencana, saat tanggap darurat dan pasca-bencana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca-bencana meliputi

(32)

Gambar 1.3

Paradigma Siklus bencana PARADIGMA SIKLUS BENCANA

Rencana Kontingensi Kajian darurat

Peringatan dini Rencana operasional

Bantuan darurat

Perencanaan kesiapan Pemulihan

Mitigasi Rehabilitasi

Rencana manajemen Rekonstruksi

Pencegahan

Pembangunan kembali

Sumber: Pujiono dalam Dwiyanto. 2003

Gambar 1.3 menjelaskan bahwa penganggulangan bencana mencakup

tahapan persiapan bencana (prabencana), penanganan saat terjadi bencana

(tanggap darurat) dan pascabencana. persiapan bencana (prabencana) dilakukan

untuk menghadapi kemungkinan timbulnya bahaya dari bencana yaitu pencegahan

dan mitigasi (mitigasi dan rencana manajemen pencegahan). Kegiatan yang

dilakukan adalah pengadaan perangkat keras (misalnya alat berat, alat angkut

pengungsian, alat pengusung dan tanda peringatan bahaya) dan segala kegiatan

yang bertukuan memperkecil kerugian yang timbul akibat peristiwa bencana. Pada

tahap ini sering kali pemerintah lengah dalam melakukannya padahal seandainya

pemerintah melaksanakan tahapan ini dengan baik akan dapat menekan angka

kerugian material dan non material yang diderita

Penanganan saat terjadi bencana atau tanggap darurat dalah semua

kegiatan yang dilakukan ketika bencana melanda, yang tujuannya adalah

Kesiapsiagaan

Pengkajian, Koordinasi, Manaj.

Informasi, Mobilisasi sumber, Keterkaitan Nas dan

Int

Tanggap Darurat

Pencegahan dan Mitigasi

(33)

menyelamatkan korban manusia (jiwa-raga) dan harta-benda meliputi evakuasi

korban ke tempat penampungan sementara, pendataan korban dan distribusi

bantuan. Pada masa tanggap darurat dilakukan kajian darurat, rencana operasional

dan bantuan darurat.

Pasca-darurat yang terdiri dari pemulihan, rehabilitasi (perbaikan dan

perfungsian kembali kondisi sosial dan kondisi fisik pada masyarakat) dan

rekonstruksi. Kegiatan yang tujuannya memulihkan kembali kemampuan

masyarakat yang terkena bencana hingga kondisi fisik dan non-fisik masyarakat

dapat kembali pulih seperti sebelum terjadi bencana bahkan menuju kondisi yang

lebih baik dari sebelumnya.

Gambar 1.4

Model Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Fungsi Koordinasi

Sumber: Pujiono dalam Dwiyanto. 2003

Gambar 1.4 merupakan model penyelenggaraan penanggulangan bencana

yang menjelaskan setiap tahapan penanggulangan bencana tidak dapat dipisahkan

secara nyata (ketat dan kaku) tetapi di antara tahapan tersebut saling berhubung Tidak ada bencana

Perencenaan penanggulangan bencana Pengurangan risiko bencana Pencegahan

Persyaratan analisis risiko bencana Penegakan rencana tata ruang Pendidikan dan pelatihan

2.Penetapan status bencana 3.SAR

4.Pemenuhan kebutuhan dasar

5.Perlindungan kelompok

rentan

6.Pemulihan sarana kunci Kesiapsiagaan

(34)

dan bergantung. Upaya penanggulangan bencana juga merupakan tanggung jawab

bersama bahkan tiap fungsi-fungsi pemerintahan dapat berganti sesuai dengan

peran yang harus dimainkan: yakni fungsi koordinasi pada saat tahap

kesiapsiagaan, tahap tidak ada bencana dan tahap pemulihan; menjadi fungsi

komando saat darurat. Kegiatan-kegiatan yang bisa digunakan selama tidak ada

bencana tetapi bisa mengurangi risiko jika sewaktu-waktu bencana terjadi antara

lain: penyusunan peraturan tata ruang, prasyarat bangunan dan aturan

penyelamatan korban, pelatihan kepada masyarakat untuk memahami bencana dan

cara perlindungannya, pembuatan jalan evakuasi dan tempat pengungsian dan

lain-lain.

1.6.4 Sistem Perundangan (Legislasi) Manajemen Bencana

UU No.24/2007 merupakan peraturan tertinggi yang memberikan

kepastian hukum sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Undang-undang

No. 24 tahun 2007 terdiri dari 8 bab dan 12 pasal. Aturan main tentang

pelaksanaan sistem penanggulangan bencana semakin jelas dengan

dikeluarkannya empat aturan turunan UU No. 24/2007 dalam bentuk Peraturan

Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP), yaitu:

a. Peraturan Presiden No. 08/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan

Bencana.

b. Peraturan Pemerintah No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana.

c. Peraturan Pemerintah No. 22/2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan

Bantuan Bencana

(35)

Untuk mendukung peraturan tingkat nasional tersebut, di tingkat daerah

diterbitkan peraturan daerah mengenai Penanggulangan Bencana di Daerah dan

Pembentukan BPBD. Selain itu di tingkat daerah pengaturan mengenai

penanggulangan bencana muncul dalam bentuk Peraturan Gubernur, Bupati atau

Walikota.

1.6.4.1Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Menurut Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2005, Pemerintah bekerja sama

dengan Bakornas (Badan Koordinasi Nasional), Satkorlak (Satuan Koordinasi

Pelaksana) dan Satlak (Satuan Pelaksana) dalam menanggulangi setiap bencana

yang terjadi di Indonesia. Namun dengan adanya Undang-Undang No. 24 Tahun

2007, penanggulangan bencana di Indonesia dilakukan oleh BNPB (Badan

Nasional Penanggulangan Bencana) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD). BPBD (diakses melalui

badan koordinasi yang dipakai BNPB untuk memudahkan melakukan

penanggulangan bencana di daerah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Provinsi Sumatera Utara mempunyai tugas pokok membantu dan memberikan

dukungan teknis administrasi dan operasional di bidang kesiapsiagaan, tanggap

darurat, dan pasca bencana. Adapun fungsi dari Badan Penanggulangan Bencana

Daerah Provinsi Sumatera Utara adalah :

1. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan

penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan

efisien

2. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara

(36)

3. Pemantauan dan mengevaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana

daerah

4. Pelaksanaan pelayanan administrasi internal dan eksternal

Saat ini BPBD telah ada pada hampir semua kabupaten/kota di Sumatera

Utara kecuali di kabupaten Deli Serdang, Karo dan Padang Sidempuan. Namun

sampai saat ini belum terdapat BPBD di Deli Serdang sehingga proses

penanggulangan bencana dilakukan melalui Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan

Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol-Linmas) yang akan mengkoordinir

dinas-dinas yang terkait seperti Dinas Sosial.

1.6.4.2Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol-Linmas)

Berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2011 sebagai perubahan atas

Permendagri Nomor 44 Tahun 2009 yang intinya mengamanahkan kepada

pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama program dengan ormas dan

lembaga nirlaba lainnya dalam bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri.

Tugas badan ini adalah untuk optimalisasi pembentukan karakter (nation

building), penguatan cinta tanah air, revitalisasi nilai-nilai patriotism dan

nasionalisme, memperkokoh jati diri dan daya saing bangsa.

Adapun yang menjadi visi dari badan ini adalah “Terwujudnya Persatuan

dan Kesatuan Bangsa, Politik serta Perlindungan Masyarakat Provinsi Sumatera

Utara yang demokratis, dinamis dan tentram melalui penguatan institusi dan

peningkatan koordinasi”. Dimana misi yang diangkat adalah:

1. Meningkatkan wawasan kebangsaan masyarakat Sumatera Utara untuk

(37)

2. Mendorong peningkatan situasi dan kondisi aman, tentram, dan tertib

dalam kehidupan masyarakat di Sumatera Utara;

3. Mendorong peningkatan peran supra dan infrastruktur politik dalam

pembangunan demokrasi;

4. Meningkatkan kemampuan Aparatur Pemerintah, satuan linmas dan

masyarakat dalam Penanganan ketentraman berbasis masyarakat.

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik memiliki 4 bidang yaitu bidang

ideology dan kewaspadaan bangsa, bidang pembinaan kewaspadaan nasional,

bidang pembinaan politik dalam negeri dan bidang perlindungan masyarakat.

Untuk menjalankan fungsi koordinir penanggulangan bencana dikerjakan oleh

bidang perlindungan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari gambar berikut

ini:

Gambar 1.5

Struktur Organisasi Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat

(38)

1.7 Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk

menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok atau individu

yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti

diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan suatu

istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan dengan yang lainnya

(Singarimbun, 1995:33).

Untuk dapat menemukan batasan yang lebih jelas maka dapat

menyerdehanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka

peneliti mengemukakan konsep antara lain:

1. Implementasi kebijakan adalah proses untuk melaksanakan kebijakan yang

membutuhkan koordinasi sumber daya yang terlibat dan masyarakat

supaya mencapai hasil yang diharapkan.

2. Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,

termasuk kegiatan prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.

3. Bencana puting beliung adalah bencana alam berupa angin yang berputar

dengan kecepatan lebih dari 60-90 km/jam yang berlangsung 5-10 menit

akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam area skala sangat

lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus (Cb).

Puting beliung dikategorikan sebagai angin topan dalam Undang-undang

No. 24 Tahun 2007 dikarenakan angin topan dan angin puting beliung

memiliki definisi yang sama namun angin topan memiliki kecepatan dan

(39)

4. Implementasi penanggulangan bencana puting beliung adalah pelaksanaan

kebijakan yang menyangkut penanggulangan masyarakat baik pada masa

prabencana, saat tanggap darurat dan pascadarurat yang dilakukan BPBD

Sumatera Utara bekerja sama dengan Dinas Sosial Deli Serdang. Model

implementasi yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah model

implementasi George Edward III yang memiliki empat indikator yaitu

komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

1.8 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi

konsep dan sistematikan penulisan.

Bab II Metode Penelitian

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan

penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

Bab III Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian

dimana penelitian dilakukan.

Bab IV Penyajian Data

Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan

(40)

Bab V Analisis Data

Bab ini berisikan tentang hasil analisa data yang diperoleh dari

hasil penelitian memberikan interpretasi atas permasalahan yang

diteliti.

Bab VI Penutup

Dalam bab ini berisikan kesimpulan penelitian dan saran atas hasil

Gambar

Tabel 1.1
Tabel 1.2
Gambar 1.1 Siklus kebijakan publik
Gambar 1.2
+4

Referensi

Dokumen terkait

2 TINJAUAN SPESIFISITAS PENULISAN DIAGNOSIS PADA SURAT ELIGIBILITAS PESERTA (SEP) PASIEN BPJS RAWAT INAP BULAN AGUSTUS DI RUMAH SAKIT PANTI WILASA CITARUM SEMARANG..

Social history; Peranakan; Dutch East Indies; philately; postal history; Tio Tek Hong; Chinese Red Cross; Yang Seng Ie Red Cross; Palang Merah Tiong Hoa.. This article deals with

Analisa teknikal memfokuskan dalam melihat arah pergerakan dengan mempertimbangkan indikator-indikator pasar yang berbeda dengan analisa fundamental, sehingga rekomendasi yang

This research aimed to obtain single value for multipurpose model using NJOP (government’s tax value) which able to be used as an approach value towards market value.. In the

Untuk menganalisis dan mengetahui bagaimana pengaruh Current Ratio, Debt To Assets Ratio, dan Debt To Equity Ratio terhadap kinerja keuangan pada perusahaan property

Olah Tubuh sebagai sumber dan sarana gerak tari yang efektif, merupakan bentuk latihan fisik yang telah lama digunakan untuk menunjang meningkatkan kualitas penari, khususnya

Hasil dari penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan topik tentang kinerja keuangan yang ditinjau dari

Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung yang signifikan gaya kepemimpinan transformasional terhadap komitmen karyawan PT Telkomsel dengan menggunakan kebersamaan