BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara geografis Indonesia merupakan kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,
lempeng Samudra Hindia dan lempeng Samudra Pasifik atau terletak pada jalur
subduksi yang merupakan zona kegempaan yang sangat aktif, dan akibat dari jalur
tersebut muncul jalur gunung api aktif (ring of fire). Kondisi tersebut berpotensi sekaligus rawan bencana letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, puting
beliung, banjir dan tanah longsor. Data menunjukan Indonesia merupakan salah
satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10
kali kegempaan di Amerika Serikat.
Selain itu wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua
musim yaitu panas dan hujan dengan ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah
angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim digabungkan dengan kondisi topografi
permukaan dan batuan yang relatif beragam mampu menghasilkan kondisi tanah
yang subur. Namun di sisi lain, berpotensi menimbulkan akibat buruk, seperti
bencana. Seiring dengan perekembangan zaman, kerusakan lingkungan hidup
cenderung parah dan memicu meningkatnya intesitas ancaman.
Ancaman-ancaman itu mendesak pemerintah untuk meningkatkan sistem
penanggulangan yang sebelumnya bersifat sektoral menjadi sistem yang berlaku
umum, mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non-pemerintah.
Undang-Undang No.24/ 2007. Pendapat tersebut sejalan dengan Syamsul dalam buku
Sudibyakto (2012:1) bahwa pilar utama dalam penanggungan bencana alam
adalah pengembangan kapasitas aparat pemerintah, masyarakat, dunia usaha,
sektor swasta dan masyarakat akademisi dalam mewujudkan masyarakat yang
tangguh bencana.
Perubahan pandangan terhadap bencana ini diikuti dengan perubahan
sistem penanggulangan bencana yang dianut oleh pemerintah selama ini.
Penanggulangan bencana juga dibagi ke dalam tindakan, tanggung jawab dan
wewenang bagi pemerintah pusat dan daerah melalui kegiatan pembangunan,
keamanan masyarakat, dan keamanan bantuan bagi penanggulangan bencana.
Dengan kata lain jika sebelumnya upaya penanggulangan bencana di Indonesia
bersifat tanggap darurat, maka melalui perundangan ini, mencakup semua fase
dari kesiapsiagaan, tenggap darurat hingga pemulihan pasca bencana.
Undang-undang tersebut juga memberikan kepastian hukum akan sistem
penanggulangan bencana di Indonesia sehingga semua pihak memahami peran
dan fungsi serta memiliki kepastian untuk mengambil tindakan terkait dengan PB
untuk semua tahapan bencana. Perubahan lainnya adalah makin terintegrasinya
penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan. Pendekatan lama tidak
menjadikan bencana sebagai bagian dari perencanaan pembangunan. Sementara
pendekatan baru telah mengintegrasikan bencana sebagai bagian dari
pembangunan melalui pembentukan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko
Bencana (RAN PRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang
kemudian dijabarkan lagi di tingkat daerah dalam bentuk Rencana Aksi Daerah
mekanisme kelembagaan dan pendanaan yang lebih terintegrasi. Sejak tahun
2001, Pemerintah Indonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan
bencana seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No.3 Tahun 2001 tentang
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(yang kemudian diubah menjadi Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2001).
Rangkaian bencana yang dialami Indonesia sejak tahun 2004 telah
mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. 83 tahun
2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB).
Melalui UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diamanatkan
untuk pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB)
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Kedua badan ini
menggantikan Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) dan Satuan Pelaksana
(Satlak) di daerah.
Perubahan juga terjadi dalam mekanisme anggaran. Sebelumnya ketika
menggunakan mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran
masing-masing departemen/satuan kerja pemerintah. Apabila dalam pelaksanaan terdapat
kekurangan dana, pemerintah melalui ketua Bakornas Penanggulangan Bencana
dapat melakukan alih anggaran dan mobilisasi dana. Mekanisme tersebut ternyata
tidak dapat mengintegrasikan peranan masyarakat dan lembaga donor. Dengan
adanya perubahan sistem, khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi
dana untuk penanggulangan bencana, sejak itu di tahap mitigasi hingga
rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB
Perubahan lainnya adalah pada peran masyarakat. Jika sebelumnya
masyarakat selalu diletakkan sebagai korban dengan partisipasi yang yang
terbatas, dalam penanggulangan bencana, terutama pada tahap mitigasi, maka
melalui undang-undang ini peran serta partisipasi masyarakat lebih diberi ruang.
Keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana merupakan hak dan
sekaligus kewajiban seperti diatur dalam Pasal 26 dan 27 ayat (1) UU No.
24/2007 yang merumuskan hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan
bencana.
Untuk lebih jelasnya perbandingan sistem lama dan sistem baru dapat di
lihat secara lebih detail pada tabel1.1 berikut:
Tabel 1.1
Perbandingan Sistem Lama Dan Sistem Baru Dalam Penanggulangan Bencana
Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non pemerintah UU Nomor 24 tahun 2007.
Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi
BNPB, BPBD Propinsi, BPBD Kab/ Kota
Melibatkan masyarakat secara aktif
Tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten
7. • Rencana Aksi Daerah Pengu rangan Resiko Bencana (RAD PRB)
Analisa resiko (menggabungkan antara
kerentanan dan kapasitas)
National Platform (akan) dan
Provincial platform (akan)
Tergantung pada tingkatan bencana
Mengacu pada pedoman yang dibuat BNPB dan BPBD
Aspek bencana sudah diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang
Sumber: Kharisma, dkk. 2012
Penjelasan di atas sudah cukup menjelaskan bahwa Undang-Undang
No.24/ 2007 merupakan suatu kebijakan yang memiliki konsep penanggulangan
bencana yang amat baik namun sebaik apapun suatu kebijakan disusun akan
menjadi percuma ketika implementasinya tidak dilakukan sesuai dengan dengan
kebijakan yang dibuat. Implementasi kebijakan Undang-undang ini dapat
dikatakan kurang baik, hal ini didukung oleh sebuah laporan hasil Roundtable Discussion dengan tema “Manajemen Penanganan Bencana di Jawa Tengah” yang telah dilaksanakan pada tanggal 15 September 2011 oleh Dewan Riset Jawa
a. Pencegahan (prevention)
Permasalahannya, kesadaran masyarakat secara umum masih rendah, kesadarannya masyarakat di daerah terdampak belum kuat, dan hidup damai di daerah bencana baru terjadi di daerah yang pernah didampingi (pilot project) yang belum melembaga di tengah masyarakat
b. Mitigasi (mitigation)
Mitigasi struktural pada daerah rawan bencana masih diperlukan peningkatan, mitigasi non-struktural pada daerah terdampak masih sedikit yang tercover dan masih belum memerhatikan kepentingan perempuan.
c. Kesiapan (preparedness)
Permasalahan yang diperoleh adalah belum mainstreaming gender. d. Peringatan Dini (early warning)
Menjangkau masyarakat (accesible) , namun masyarakat belum tanggap, tegas tidak membingungkan (coherent) namun beberapa info simpang siur, bersifat resmi (official), tidak respipun tidak bisa dicegah karena faktor budaya, dan lambat direspon oleh kelompok rentan (perempuan, anak dan lansia).
e. Tanggap Darurat (response)
Respon masyarakat yang tidak terkena dampak bagus, koordinasi antar stakeholder masih lemah dan Mainstreaming gender masih lemah.
f. Bantuan Darurat (relief)
Penyediaan pangan, sandang, tempat tinggal sementara kesehatan cukup baik, untuk sanitasi dan air bersih masih kurang, partisipasi warga baik, namun beberapa temuan menunjukan tingkat empati masih kurang, koordinasi stakeholder kurang kuat, partisipasi warga yang bukan korban sangat baik dan belum responsif gender.
g. Pemulihan (recovery)
Proses recovery butuh waktu lama, recovery sosial dan kelembagaan lebih lambat, recovery penguatan kapasitas masyarakat lambat dan belum responsif gender dan koordinasi lemah.
h. Rehabilitasi (rehabilitation)
Prosesnya lama, rehabilitasi ekonomi lambat untuk wilayah tertentu, namun pada wilayah dengan etos kerja masyarakat yang baik bisa cepat, rehabilitasi sosial cepat dilakukan, partisipasi masyarakat bagus namun belum responsif gender.
i. Rekonstruksi (reconstruction)
Partisipasi masyarakat baik, lambat dilakukan, perencanaan belum banyak melibatkan masyarakat, pengembangan masyarakat butuh waktu lama, dan belum responsif gender.
BNPB yang merupakan badan yang memiliki fungsi koordinasi dalam
penanggulangan bencana di seluruh Indonesia. Untuk memudahkan pekerjaan
tersebut, maka BNPB telah mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Nasional
Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang menginstruksikan kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk menginstruksikan adanya pembuatan BPBD di
setiap kabupaten/kota yang ada di Daerah. Namun, belum semua kabupaten/kota
di Sumatera Utara yang telah memiliki BPBD, salah satunya Deli Serdang. Oleh
karena itu Deli Serdang tetap menggunakan PP Nomor 83 Tahun 2005 yaitu
memilih Bakesbang sebagai badan yang mengkoordinir penanggulangan bencana.
Bakesbang mengkoordinir dinas-dinas yang ada di Deli Serdang untuk
menanggulangi bencana.
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mengatur penanggulangan bencana
apapun yang ada di Indonesia dan salah satu bencana yang diatur dalam kebijakan
tersebut ialah bencana puting beliung. Bencana puting beliung merupakan
fenomena atmosferik yang dalam istilah ilmiah disebut thunderstorm yang menerjang beberapa wilayah di Indonesia. Bencana ini telah menimbulkan korban
dan kerugian yang cukup besar, untuk itu bencana ini perlu diketahui dan
disosialisasikan kepada masyarakat, apa dan bagaimana proses kejadiaannya,
kapan terjadi dan upaya mengurangi dampak akibat badai itu.
Berdasarkan informasi dari BNPB menunjukan fenomena bencana puting
beliung semakin menjadi-jadi di Indonesia. Dari 13 jenis bencana di Indonesia,
bencana puting beliung adalah jenis bencana yang paling ekstrem peningkatan
kejadiannya. Berdasarkan GEMA BNPB Februari 2013 terjadi bencana puting
beliung sebanyak 35 kejadian dan tidak hanya jumlah kejadian yang meningkat
namun korban materil dan korban jiwa juga meningkat. Hal itu dapat dilihat
Tabel 1.2
Jumlah bencana di Indonesia dan dampaknya bulan Februari 2013
Sumber: Gema BNPB Februari 2013
Dampak yang ditimbulkan bencana puting beliung di Indonesia lebih besar
dari pada dampak yang seharusnya ditimbulkan menurut Skala Fujita. Kecepatan
pusaran puting beliung di Indonesia umumnya di bawah 115 kilometer per jam
dari sisi skala, berada pada skala F0 atau terendah dari total enam skala. Namun
berdasarkan dampak yang ditimbulkan bisa pada skala F1 (di antara 115-179
kilometer per jam). Intensitas puting beliung yang tinggi berikut dampaknya yang
kian ganas diperkirakan terkait dengan pemanasan global. Efek gas rumah kaca
membuat atmosfer menyimpan banyak energi karena tak leluasa terpantul ke luar
angkasa. Energi itu diubah dalam beberapa wujud, seperti panas yang diikuti
intensitas angin kencang dan hujan kian lebat. Kondisi pemanasan global yang
semakin parah ditambah dengan penebangan hutan ilegal yang sedang maraknya
di Indonesia membuat semakin seringnya terjadi bencana puting beliung dan
membuat puting beliung semakin sulit dideteksi.
Untuk mengantisipasi puting beliung, BNPB dan BMKG menjajaki
peringatan dini dapat dihasilkan. Meskipun cukup sulit memprediksinya karena
sifat puting beliung sangat lokal dan sesaat. Berbeda dengan iklon tropis yang
relatif mudah dideteksi dari satelit. Umur siklon tropis yang berkisar 10 hari dan
luasnya regional mudah dikenali. Sedangkan puting beliuang hanya 5-10 menit
dan sangat lokal sehingga sulit dideteksi kapan dan dimana bencana ini akan
terjadi dan menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diminimalisir. Jaringan radar
cuaca milik BMKG yang terdapat di sebagian besar bandara akan digunakan
untuk mengidentifikan potensi puting beliung. Namun sayangnya belum ada
teknologi peringatan dini sehingga masyarakat dihimbau untuk melakukan
langkah-langkah antisipasi dan kewaspadaannya.
Menurut catatan di UGM sejak awal tahun 2004 di pulau Jawa telah
berulang kali muncul badai tropis yaitu di Prambanan, Cilacap, Semaang, Kendal,
Garut bahkan di kampus UGM. Indikasi awal terjadinya badai dapat diketahui
melalui satelit cuaca (GOES) yang dapat di-download melalui internet setiap saat. Namun sayang sekali media internet untuk kajian mitigasi bencana lingkungan
belum optimal (dalam Sudibyakto 2012: 40).
Bencana puting beliung juga terjadi pada daerah-daerah di Sumatera Utara
seperti Medan, Serdang Bedagai, Deli Serdang dan kondisi terparah ditemukan
pada Deli Serdang. Berdasarkan laporan korban bencana dan fisik bangunan
TAGANA tahun 2012 telah terjadi 19 kejadian yang telah menimpa 776 KK dan
mengakibatkan 4 orang meninggal dunia.
Bahkan pada hari Sabtu, 06 Oktober 2012 ini terjadi bencana puting
beliung di Dusun 6 dan 7 di desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli
rumah rusak berat (diakses secara online melalui
bencana yang sedang terjadi pada daerah tersebut sehingga muncul pemberitaan
bahwa tiga hari pasca peristiwa bencana angin puting beliung melanda 2
kecamatan, Kutalimbaru dan Sunggal, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara,
puluhan korban masih terabaikan, alias belum menerima bantuan dalam materil
dari pemerintah setempat. Perbaikan 54 rumah warga yang rusak akibat diterpa
angin puting beliung memang sudah mulai dilakukan secara gotong royong
dengan menggunakan swadaya masyarakat (dikutip melalui
Melalui penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terjadi beberapa masalah
dalam proses penanggulan bencana baik dari pra-bencana, saat tanggap bencana
bahkan pada pasca-bencana. Maka penulis mengambil judul tentang
“Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung pada Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang”.
1.2 Fokus Penelitian
Untuk memudahkan penulis di dalam melakukan penelitian maka penulis
menetapkan fokus penelitian. Pembatasan dalam penelitian kualitatif lebih
didasarkan pada tingkat kepentingan masalah yang akan dipecahkan, selain juga
faktor keterbatasan tenaga, dana dan waktu. Suatu masalah dikatakan penting
apabila masalah tersebut harus dipecahkan melalui penelitian sehingga tidak
yang dilakukan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana baik dalam tahap
prabencana, tanggap darurat dan pascabencana pada daerah bencana puting
beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang?”
1.4Tujuan Penelitian:
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pelaksanaan penanggulangan bencana putting beliung di Desa Sei Mencirim,
Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara subyektif, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah,
sistematis dan metodologi suatu karya ilmiah guna memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai penanggulangan bencana.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
sangat berharga pada pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan
Departemen Ilmu Administrasi Negara.
1.6 Kerangka Teori
Menurut Kerlinger dalam Singarimbun (1995: 37) teori adalah serangkaian
asumsi, konsep, definisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep dan kerangka
teori disusun sebagai landasan berpikir untuk menunjukan perspektif yang
digunakan dalam memandang fenomena sosial yang menjadi obyek penelitian.
Kerangka teori dalam Arikunto (2002: 92) adalah bagian dari penelitian, tempat
peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
variabel atau pokok, sub-variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian.
Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan
masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan
sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori ini diharapkan
memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami
masalah yang diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.6.1 Implementasi Kebijakan 1.6.1.1Pengertian Kebijakan
Menurut Thomas R. Dye, kebijakan adalah suatu pilihan pemerintah untuk
menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat”. Lasswel dan Kaplan
melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk mencapai “tujuan”. Kebijakan itu
tertuang dalam “program” yang diarahkan kepada pencapaian “tujuan”, “nilai”,
serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan
tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat (Solly Lubis, 2007: 6 dan 9).
James E. Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan
yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Dalam pandangan
David Easton, ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula
pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap
kebijakan mengandung seperangkat nilai (Subarsono, 2005: 2-3).
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa penanggulangan bencana
adalah suatu kebijakan publik yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi
dampak negatif bencana baik secara material dan non material yang kemudian
diaplikasikan dalam bentuk program-program seperti program Desa Tanggap
Bencana.
1.6.1.2Pengertian Implementasi Kebijakan
Secara Etimologis, implementasi dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to
(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab,
2008:64). Sedangkan, Patton dan Sawicky (dalam Tangkilisan, 2003:9)
menunjukan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang
diarahkan untuk merealisasikan program, dimana posisi ini eksekutif mengatur
cara untuk mengorganisir dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.
adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk
undang-undang, namun bisa pula berbentuk perintah atau petunjuk eksekutif atau
keputusan badan peradilan). “Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulatesthe objective(s) to be pursued and in a variety of ways, structures the implementation process” (yang berarti: idealnya TUS tersebut mengidentifikasikan masalah yg dihadapi, menyebut secara tegas tujuan yg
hendak dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan/ mengatur proses
implementasinya). Secara lebih konkrit Mazmanian & Sabatier menyatakan
bahwa fokus perhatian dalam implementasi yaitu memahami apa yg senyatanya
terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku.
Implementasi merupakan salah satu tahapan dalam siklus kebijakan publik.
Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan di antara pembentukan sebuah
kebijakan – seperti halnya pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif,
pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau
keluarnya standar peraturan - dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat
yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya (Tangkilisan, 2003:3).
Implementasi kebijakan yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya
mencapai hasil.
Implementasi kebijakan merupakan tahap terpenting dari siklus kebijakan.
Tanpa implementasi kebijakan tak akan bisa mewujudkan hasilnya. Namun,
implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit.
Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual maupun
organisasional. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas
terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun strateginya. Dalam proses
ini sering terdapat mekanisme insentif dan sanksi agat implementasi suatu
kebijakan dapat berjalan dengan baik (Subarsono, 2005:12).
Sementara itu Hogwood dan Gunn yang dikutif oleh Wahab (1990:61-62)
dalam bukunya yang berjudul “Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara” telah membagi pengertian kegagalan
kebijakan dalam dua kategori, yaitu:
1. Non implementation (tidak terimplementasikan), mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka sudah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kemampuannya, sehingga betapa gigihnya usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup ditangulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dipenuhi.
2. Unsuccesful implementation dimana implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.
Secara langsung maupun tidak langsung, kegagalan/ keberhasilan
impelementasi mempengaruhi proses implementasi lainnya karena kebijakan
merupakan siklus yang tak dapat dipisahkan. Hal itu dapat dilihat dari gambar 1.1
Gambar 1.1 Siklus kebijakan publik
Sumber: Said. 2002
1.6.1.3Pendekatan Implementasi Kebijakan
Dalam memperlancar proses implementasi kebijakan, harus dilakukan
pendekatan. Pendekatan ini dilakukan para implementor kepada beberapa hal
yang terkait dalam implementasi kebijakan. Terdapat empat pendekatan yang
dapat dilakukan yaitu pendekatan struktural, pendekatan prosedural, pendekatan
kejiwaan dan pendekatan politik.
Pendekatan struktural adalah pendekatan yang melihat peran institusi atau
organisasi sebagai sesuatu yang menentukan sehingga perlu dilakukan bersama
dengan proses penataan institusi. Pendekatan prosedural atau manajerial yang
melihat bahwa langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan ialah hal yang Penyusunan
Agenda
Formulasi dan Legitimasi
Impelementasi Kebijakan
Kebijakan Baru Evaluasi Implementasi,
Kinerja dan Dampak
Kinerja dan Dampak Kebijakan Tindakan Kebijakan
Kebijakan
terpenting dan biasa dikenal dalam konsep PPBS (Planning, Progrraming, Budgeting and Supervision) atau PERT (Progrraming, Evaluation and Review Technique). Pendekatan kejiwaan berhubungan penerimaan atau penolakan masyarakat atas suatu kebijakan. Penerimaan masyarakat tidak sekedar ditentukan
oleh isi atau substansi kebijakan tetapi juga oleh pendekatan dalam
menyampaikan dan cara melaksanakannya. Pendekatan politik melihat
pelaksanaan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari politik baik pengertian umum
sebagai pencerminan dari persaingan antar kekuatan politik sebagai kekuatan dan
pengaruh dalam organisasi atau antar instansi, yang dapat disebut politik dalam
birokrasi (Said, 2002: 202-206).
1.6.1.4Model-model Implementasi Kebijakan
Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha
untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Dalam implementasi ada
beberapa faktor atau variabel yang memengaruhinya. Banyak kesulitan yang akan
ditemui jika fenomena sosial harus dijelaskan dengan konsep yang abstrak. Oleh
karena itu, model diperlukan untuk menyampaikan fenomena yang rumit dan
kompleks, dengan tujuan menyamakan persepsi terhadap suatu fenomena
(Indiahono, 2009: 19). Berikut model-model implementasi kebijakan yang biasa
digunakan dalam pelaksanaan suatu kebijakan:
a. Model Gogin
Untuk mengimplementasi kebijakan model Gogin dapat
mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal
pada keseluruhan implementasi yakni bentuk dan isi kebijakan, kemampuan
Bentuk dan isi kebijakan berbicara mengenai kemampuan suatu
kebijakan membuat struktur dalam proses implementasi. Hal itu berarti
kebijakan tersebut dengan jelas menjelaskan setiap struktur bagan
impelementor yang menjalankan sehingga tidak terdapat kebingungan dalam
menentukan orang yang paling tepat dalam memutuskan suatu keputusan bila
diperlukan dalam mengimplementasi kebijakan tersebut.
Kebijakan dapat diimpelentasi dengan baik jika implementor mampu
mengorganisasi segala sumber daya berupa dana maupun intensif lainnya
yang dapat mendukung implementasi secara efektif. Selain itu pengaruh
lingkungan dari masyarakat berupa karakteristik, motivasi, kecendrungan
hubungan antara warga masyarakat termasuk pola komunikasinya juga
mempengaruhi dalam proses implementasi.
b. Model Grindle
Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan
kegiatan dan hasil-hasilnya. Keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua
variabel besar yakni isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Variabel isi
kebijakan mencakup bobot kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat
perubahan, letak pengambilan keputusan, impelementor dan sumber daya.
Sedangkan, variabel dalam lingkungan kebijakan adalah kekuasaan,
kepentingan dan strategi karakteristik lembaga, kepatuhan dan daya tanggap
kelompok sasaran (Subarsono, 2005: 93).
Variabel isi kebijakan berisi tentang sejauh mana
kepentingan-kepentingan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran atau target groups
sudah termuat di dalamnya atau kebijakan tersebut hanya berisi kepentingan
menurut persepsi pemerintah sehingga tidak dapat menjawab kebutuhan
masyarakat.
Tipe-tipe manfaat yang diterima target groups melalui kebijakan tersebut memang sesuai kebutuhan kelompok itu. Derajat perubahan
mengenai sejauhmana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan
kebijakan itu diimplementasikan atau justru tidak menunjukan perubahan
apapun terhadap masyarakat. Bahkan perubahan yang timbul ke arah yang
negatif/ berlawan dengan yang diharapkan pemerintah.
Letak pengambilan keputusan juga mempengaruhi dalam
implementasi kebijakan. Kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik jika
pengambilan keputusan dilakukan oleh bagian yang tepat. Suatu kebijakan
juga menyebutkan implementornya secara rinci sehingga dalam
pertanggungjawabannya pun dapat dilakukan dengan benar. Hal yang
terakhir, kebijakan tersebut didukung oleh sumber daya yang mendukung.
Selanjutnya adalah pengaruh lingkungan yang mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan terdiri dari seberapa kekuasaan, kepentingan dan
strategi yang dimiliki aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Jika
implementor yang menjalankan memiliki kekuasaan yang cukup besar, secara
langsung memberi kemudahan yang lebih dalam menjalankan kebijakan
tersebut.
Namun implementasinya juga dipengaruhi karakteristik lembaga
yang sedang berkuasa tersebut mendukung atau justru menghambat kebijakan
tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Sekalipun kebijakan telah didukung oleh implementor yang berkuasa
dan rezim yang mendukung apabila masyarakat yang menjadikan kelompok
sasaran memiliki tingkat kepatuhan dan daya tanggap yang rendah terhadap
kebijakan. Hal itu juga dapat menghambat proses implementasi kebijakan.
c. Model Donal S. Van Meter dan Carl E. Van Horn
Menurut Meter dan Horn ada lima variabel yang mempengaruhi
kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya,
komunikasi/hubungan antar organisasi karakteristik agen pelaksana, kondisi
sosial dan ekonomi serta disposisi implementor (Subarsono, 2005: 99-100).
Suatu kebijakan harus memiliki standar dan kebijakan yang jelas dan
terukur sehingga dapat direalisasi. Apabila standar dan sasaran kebijakan
kabur, maka akan terjadi multi-interpretasi dan mudah menimbulkan konflik
di antara para agen implementasi.
Implementasi kebijakan perlu dukungan baik sumber daya manusia
(human resources) yaitu staf yang memiliki pengetahuan yang sesuai dan mapan maupun non-manusia (non-human resources) seperti uang atau alat-alat yang mendukung. Dalam banyak program, implementasi sebuah program
perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan
koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu kebijakan.
Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi,
norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya
ekonomi yang mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan. Hal ini mencakup sejauhmana kelompok
kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat
opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.
Variabel yang terakhir ialah disposisi implementor. Disposisi
implementor mencakup tiga hal penting yakni respon implementor terhadap
kebijakan yang akan memengaruhi kemamuannya untuk melaksanakan
kebijakan, kognisi yakni pemahaman terhadap kebijakan, dan intensitas
disposisi implementor yakni prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
d. Model George Edward III
Adapun empat variabel yang memengaruhi implementasi kebijakan adalah
(Tangkilisan, 2003: 12-14):
1. Komunikasi
Wilbur schramm (dalam Nugroho, 2004:14) yang memulai gagasan
bahwa communication berasal dari kata communis yang berasal dari kata dasar common. Artinya, tatkala berkomunikasi, maka yang hendak dicapai adalah mencari “persamaan” dengan yang lain. Komunikasi memerlukan
komunikator (penyampai pesan) dan komunikan (penerima pesan). Cooley
(dalam Nugroho, 2004:13) menggambarkan komunikasi sebagai
mekanisme eksistensial manusia untuk berhubungan dengan manusia lain
Dalam implementasi kebijakan, komunikasi adalah persyaratan
pertama untuk berjalannya suatu kebijakan dengan baik. Keputusan
kebijakan dan peraturan implementasi mesti disampaikan kepada
personalia yang tepat sebelum bisa diikuti.
Komunikasi mengenai ukuran implementasi harus diterima dengan
jelas. Jika tidak, para implementor akan kacau dengan apa yang harus
dilakukan dan mereka akan memiliki diskresi (kewenangan) untuk
mendorong tinjauannya dalam implementasi kebijakan yang mungkin akan
jauh dari pandangan si pembuat kebijakan. Selain komunikasi antara
pembuat kebijakan dan implementor, komunikasi yang baik juga
diperlukan antara implementor dan masyarakat karena komunikasi yang
kurang baik menyebabkan penolakan masyarakat terhadap kebijakan yang
akan dijalankan.
Setiap implementor harus memahami apa yang dilakukan juklak
(petunjuk pelaksanaan) dan konsisten pada juklak tersebut, sering
ditemukan hambatan dalam penyampaian informasi pada hierarkhi
organisasi yang berlapis-lapis, semakin baik komunikasi akan semakin
baik implementasi, implementor juga diharapkan mengurangi distorsi
informasi dan menjaga transparansi peraturan.
2. Sumber daya
Sumber daya adalah segala sesuatu yang dipakai untuk
mewujudkan suatu kegiatan. Sumber daya dapat berupa sumber daya alam
dan sumber daya manusia. Dalam hal implementasi kebijakan, sumber
mendukung lainnya. Sumber daya bisa menjadi faktor kritis di dalam
mengimplementasikan kebijakan publik.
Sumber daya manusia bisa meliputi jumlah staff yang cukup dan
latar belakang pendidikan dengan ketrampilan yang tepat untuk melakukan
tugas serta informasinya dan otoritasnya. Dana yang dimaksud adalah
besaran anggaran yang dapat digunakan dalam implementasi kebijakan
menurut kemampuan pemerintah yang menjalankannya. Sedangkan
fasilitas adalah alat-alat yang mendukung dan memudahkan implementor
untuk menjalankan kebijakan.
3. Disposisi
Disposisi merupakan keadaan dimana implementor tidak mau
melakukan sesuai arahan yang dibuat oleh pembuat kebijakan. Disposisi
menghalangi implementasi suatu kebijakan jika implementor benar-benar
melakukan sesuatu yang jauh dari harapan semula. Dan menjadi hal yang
sulit bagi pejabat puncak untuk mengganti implementor yang ada dan
untuk mengantisipasi hal itu dilakukan pemberian insentif atau sanksi
kepada implementor. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara
efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang harus
dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini, melainkan
juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.
4. Struktur birokrasi
Para implementor kebijakan mungkin tahu apa yang harus
dikerjakan dan memiliki keinginan dan sumber daya yang cukup untuk
implementasi oleh struktur organisasi dimana mereka melayani. Dua
karakteristik utama dari birokrasi ini adalah prosedur pengoperasian
standar (SOP) dan fragmentasi.
Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian
kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis,
administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan
sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP adalah
menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit
kerja instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.
Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga
eksternal, karena SOP selain dapat digunakan untuk mengukur kinerja
organisasi publik, juga dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi
publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dengan demikian SOP
merupakan pedoman atau acuan untuk menilai pelaksanaan kinerja instansi
pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan
prosedural sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang
bersangkutan. Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab untuk
sebuah bidang kebijakan di antara unit-unit organisasional.
Dari antara model-model di atas, penulis menggunakan model
implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III karena dibandingkan
dengan model implementasi yang lainnya, model George Edward III tidak hanya
dan masyarakat sehingga dinilai paling tepat untuk menganalisis pelaksanaan
penanggulangan bencana yang memerlukan kerja sama yang baik antara sesama
pelaksana kebijakan juga kerja sama kepada masyarakat dalam melaksanakan
kebijakan ini.
1.6.2 Bencana
1.6.2.1 Pengertian Bencana
Bencana (dalam UU No.24 tahun 2007) adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun
faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis. Jenis-jenis bencana di Indonesia dapat disimpulkan secara implisit
melalui UU No. 24/2007, yaitu:
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa kegagalan
teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan
teror.
istilah yang digunakan dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007 ialah bencana
angin topan bukan angin puting beliung karena angin topan adalah bencana yang
memiliki kecepatan dan dampak lebih besar dari pada angin puting beliung.
1.6.2.2 Puting Beliung
Angin adalah udara yang bergerak atau gerakan massa indara yang
arahnya horizontal. Angin bergerak dari daerah bertekanan masksimum ke daerah
bertekanan minimum (Rima, Ratna dan Eko Sujatmiko, 2012: 12). Angin
memiliki berbagai macam nama seperti angin tornado, angin siklon, angin topan,
puting beliung, dan lain sebagainya. Jenis-jenis angin tersebut sesungguhnya sama
namun letak perbedaannya hanya pada kecepatannya dan tempat dimana ia terjadi
juga mempengaruhi nama panggilan angin tersebut. Angin siklon adalah angin
yang gerakannya berputar menuju pusat. Terjadinya angin siklon disebabkan
adanya depresi (daerah barometris minimum) dikelilingi oleh daerah barometris
maksimum. Angin siklon pada belahan bumi utara (di sebelah utara khatulistiwa)
berlawanan dengan jarum jam, sebaliknya di belahan bumi selatan (di sebelah
selatan khatulistiwa) berpusar searah jarum jam.
Angin topan adalah siklon tropis yang berkecepatan sangat tinggi. Topan
disebut juga angin ribut atau badai (Ratna dan Eko, 2012: 12 dan 55). Pengertian
angin topan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu
pusaran
sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik utara dan selatan, kecuali di
daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan khatulistiwa. Angin tornado adalah
putaran yang kencang dari suatu kolom udara yang terbentuk dari awan
(funnel cloud) dan kerap disertai dengan badai angin dan hujan, petir atau batu es
yang memiliki kecepatan lebih dari 480 km/jam, rata-rata 175 km/jam atau lebih
(di sekitar pusat dapat mencapai 100-200 meter/jam), dengan ketinggian ± 75 m,
diameter umumnya berkisar antara puluhan hingga ratusan meter, pada belahan
bumi utara sebagian besar tornado berpusar berlawanan dengan jarum jam,
sebaliknya di belahan bumi selatan berpusar searah jarum jam dan hanya terjadi
dalam beberapa menit saja. Di Indonesia, angin tornado lebih dikenal sebagai
angin puting beliung ada juga yang menyebutkannya sebagai angin Leysus di daerah Jawa, di daeraAngin Bohorok dan masih ada sebutan
lainnya (diakses dalam.
Angin puting beliung termasuk dalam satu cuaca ekstrim yang merupakan
akibat dari pemanasan global. Angin puting beliung pada umumnya terjadi selama
masa pergantian musim kemarau dan musim hujan. Puting beliung dengan
kecepatan yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada atap rumah,
kegemparan, medan listrik dan pohon tumbang (National Disaster Management
Plan 2010-2014).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian tentang
berbagai jenis angin. Pada kata “angin”, disebutkan bahwa angin topan sama
dengan angin puting beliung. Namun pada entri topan disebutkan bahwa topan
sama dengan angin ribut/ badai. Sedangkan, angin ribut didefinisikan sebagai
gerakan udara yang kecepatannya antara 32 dan 37 knot (mil per jam). Namun
pada kata badai, dipaparkan bahwa badai adalah angin kencang yang menyertai
cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan antara 64 dan 72 knot
Puting adalah bagian pangkal pisau yang runcing dan dibenamkan ke
dalam tangkai hulu, sedangkan beliung adalah perkakas tukang kayu, yang
rupanya seperti kapak dengan mata melintang (tidak searah dengan tangkainya).
Puting beliung adalah bagian pangkal beliung yang runcing yang dibenamkan ke
dalam tangkainya (diakses dalam. Oleh
karena itu, angin topan sering dipanggil dengan sebutan angin puting beliung
karena bentuk angin tersebut yang seperti puting beliung.
Puting beliung (diakses dalam
yang berlangsung 5-10 menit akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam
area skala sangat lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus
(Cb). Gejala Awal Puting Beliung adalah:
1. Udara terasa panas dan gerah (sumuk).
2. Di langit tampak ada pertumbuhan awan Cumulus (awan putih
bergerombol yang berlapis-lapis).
3. Di antara awan tersebut ada satu jenis awan mempunyai batas tepinya
sangat jelas bewarna abu-abu menjulang tinggi yang secara visual seperti
bunga kol.
4. Awan tiba-tiba berubah warna dari berwarna putih menjadi berwarna
hitam pekat (awan Cumulonimbus).
5. Ranting pohon dan daun bergoyang cepat karena tertiup angin disertai
angin kencang sudah menjelang.
6. Durasi fase pembentukan awan, hingga fase awan punah berlangsung
selama periode ini.
Dampak dan besarnya badai tornado dapat dikategorikan berdasarkan
Skala Fujita (F-Skala) atau Skala Fujita-Pearson. Skala ini adalah skala untuk
menggambarkan intensitas tingkatan tornado, terutama didasarkan
pada kerusakan yang ditimbulkan tornado pada manusia, bangunan
dan vegetasi. Skala ini diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Tetsuya Fujita dari
Universitas Chicago. Berikut adalah skala angin puting beliung berdasarkan
Skala Fujita:
1. F5, Kecepatan angin 419–512 km/jam
Kerusakan yang luar biasa dapat ditimbulkan oleh tornado jenis ini.
Bangunan-bangunan yang memiliki struktur beton baja bertulang (seperti
rumah, gedung dll) tercerabut hingga pondasinya. Tingkat kerusakan yang
ditimbulkan jalur tornado tersebut bisa mencapai 1100 m bahkan lebih dari
itu, dengan laju mencapai 100 km lebih. Namun demikian persentasi
kemunculan tornado ini termasuk jarang.
2. F4, Kecepatan angin 333–418 km/jam
Dampak yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan dampak tornado F5.
Beberapa tornado yang mencapai kecepatan angin lebih dari
300-480 km/jam memiliki lebar lebih dari satu mil (1.6 km) dan dapat bertahan
di permukaan dengan lebih dari 100 km. Frekuensi kemunculannya 1,1%.
3. F3, Kecepatan angin 254–332 km/jam
Kerusakan parah yang diciptakan tornado jenis ini, adalah atap
pencakar langit bengkok. Frekuensi kemunculannya terbilang sering,
mencapai 4,9%.
4. F2, Kecepatan angin 181–253 km/jam
Kerusakan yang signifikan dengan bingkai atap rumah robek dengan
jendela pecah dan hancur, mobil terlempar, dan pohon besar tumbang.
Persentasi 19,4% kemunculannya, menjadi ancaman tersendiri di
daerah-daerah yang rawan tornado.
5. F1, Kecepatan angin 117–180 km/jam
Dampak kerusakannya terbilang sedang dengan intensitas kemunculannya
35,6%. Diawali dengan kecepatan angin yang bergemuruh, atap-atap
rumah berterbangan dan mobil-mobil bergeser terdorong.
6. F0, Kecepatan angin 64–116 km/jam
Beberapa hal yang sering terjadi adalah kerusakan pada
cerobong-cerobong asap rumah dengan cabang-cabang pohon patah. Papan-papan
reklame yang rusak. Tipikal tornado jenis ini sering kali masyarakat
Indonesia menyebutnya dengan angin puting beliung. Frekuensinya sangat
sering (38,9%) dewasa ini, dengan menimpa hampir sebagian wilayah di
Gambar 1.2
Wilayah Rawan Bencana Angin Puting Beliung
Sumber: National Disaster Plan 2010-2014
Gambar 1.2 menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensial terjadinya
angin puting beliung baik pada wilayah sumatera bagian utara dan wilayah di
Indonesia Timur. Puting beliung yang terjadi di Sumatera bagian utara berasal
dari India
1.6.3 Penanggulangan Bencana
Penyelenggaraan manajemen penanggulangan bencana (dalam UU No.24
tahun 2007) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat dan rehabilitasi. Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri
atas 3 (tiga) tahap meliputi: pra-bencana, saat tanggap darurat dan pasca-bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca-bencana meliputi
Gambar 1.3
Paradigma Siklus bencana PARADIGMA SIKLUS BENCANA
Rencana Kontingensi Kajian darurat
Peringatan dini Rencana operasional
Bantuan darurat
Perencanaan kesiapan Pemulihan
Mitigasi Rehabilitasi
Rencana manajemen Rekonstruksi
Pencegahan
Pembangunan kembali
Sumber: Pujiono dalam Dwiyanto. 2003
Gambar 1.3 menjelaskan bahwa penganggulangan bencana mencakup
tahapan persiapan bencana (prabencana), penanganan saat terjadi bencana
(tanggap darurat) dan pascabencana. persiapan bencana (prabencana) dilakukan
untuk menghadapi kemungkinan timbulnya bahaya dari bencana yaitu pencegahan
dan mitigasi (mitigasi dan rencana manajemen pencegahan). Kegiatan yang
dilakukan adalah pengadaan perangkat keras (misalnya alat berat, alat angkut
pengungsian, alat pengusung dan tanda peringatan bahaya) dan segala kegiatan
yang bertukuan memperkecil kerugian yang timbul akibat peristiwa bencana. Pada
tahap ini sering kali pemerintah lengah dalam melakukannya padahal seandainya
pemerintah melaksanakan tahapan ini dengan baik akan dapat menekan angka
kerugian material dan non material yang diderita
Penanganan saat terjadi bencana atau tanggap darurat dalah semua
kegiatan yang dilakukan ketika bencana melanda, yang tujuannya adalah
Kesiapsiagaan
Pengkajian, Koordinasi, Manaj.
Informasi, Mobilisasi sumber, Keterkaitan Nas dan
Int
Tanggap Darurat
Pencegahan dan Mitigasi
menyelamatkan korban manusia (jiwa-raga) dan harta-benda meliputi evakuasi
korban ke tempat penampungan sementara, pendataan korban dan distribusi
bantuan. Pada masa tanggap darurat dilakukan kajian darurat, rencana operasional
dan bantuan darurat.
Pasca-darurat yang terdiri dari pemulihan, rehabilitasi (perbaikan dan
perfungsian kembali kondisi sosial dan kondisi fisik pada masyarakat) dan
rekonstruksi. Kegiatan yang tujuannya memulihkan kembali kemampuan
masyarakat yang terkena bencana hingga kondisi fisik dan non-fisik masyarakat
dapat kembali pulih seperti sebelum terjadi bencana bahkan menuju kondisi yang
lebih baik dari sebelumnya.
Gambar 1.4
Model Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Fungsi Koordinasi
Sumber: Pujiono dalam Dwiyanto. 2003
Gambar 1.4 merupakan model penyelenggaraan penanggulangan bencana
yang menjelaskan setiap tahapan penanggulangan bencana tidak dapat dipisahkan
secara nyata (ketat dan kaku) tetapi di antara tahapan tersebut saling berhubung Tidak ada bencana
Perencenaan penanggulangan bencana Pengurangan risiko bencana Pencegahan
Persyaratan analisis risiko bencana Penegakan rencana tata ruang Pendidikan dan pelatihan
2.Penetapan status bencana 3.SAR
4.Pemenuhan kebutuhan dasar
5.Perlindungan kelompok
rentan
6.Pemulihan sarana kunci Kesiapsiagaan
dan bergantung. Upaya penanggulangan bencana juga merupakan tanggung jawab
bersama bahkan tiap fungsi-fungsi pemerintahan dapat berganti sesuai dengan
peran yang harus dimainkan: yakni fungsi koordinasi pada saat tahap
kesiapsiagaan, tahap tidak ada bencana dan tahap pemulihan; menjadi fungsi
komando saat darurat. Kegiatan-kegiatan yang bisa digunakan selama tidak ada
bencana tetapi bisa mengurangi risiko jika sewaktu-waktu bencana terjadi antara
lain: penyusunan peraturan tata ruang, prasyarat bangunan dan aturan
penyelamatan korban, pelatihan kepada masyarakat untuk memahami bencana dan
cara perlindungannya, pembuatan jalan evakuasi dan tempat pengungsian dan
lain-lain.
1.6.4 Sistem Perundangan (Legislasi) Manajemen Bencana
UU No.24/2007 merupakan peraturan tertinggi yang memberikan
kepastian hukum sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Undang-undang
No. 24 tahun 2007 terdiri dari 8 bab dan 12 pasal. Aturan main tentang
pelaksanaan sistem penanggulangan bencana semakin jelas dengan
dikeluarkannya empat aturan turunan UU No. 24/2007 dalam bentuk Peraturan
Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP), yaitu:
a. Peraturan Presiden No. 08/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
b. Peraturan Pemerintah No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
c. Peraturan Pemerintah No. 22/2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan
Bantuan Bencana
Untuk mendukung peraturan tingkat nasional tersebut, di tingkat daerah
diterbitkan peraturan daerah mengenai Penanggulangan Bencana di Daerah dan
Pembentukan BPBD. Selain itu di tingkat daerah pengaturan mengenai
penanggulangan bencana muncul dalam bentuk Peraturan Gubernur, Bupati atau
Walikota.
1.6.4.1Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Menurut Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2005, Pemerintah bekerja sama
dengan Bakornas (Badan Koordinasi Nasional), Satkorlak (Satuan Koordinasi
Pelaksana) dan Satlak (Satuan Pelaksana) dalam menanggulangi setiap bencana
yang terjadi di Indonesia. Namun dengan adanya Undang-Undang No. 24 Tahun
2007, penanggulangan bencana di Indonesia dilakukan oleh BNPB (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD). BPBD (diakses melalui
badan koordinasi yang dipakai BNPB untuk memudahkan melakukan
penanggulangan bencana di daerah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Provinsi Sumatera Utara mempunyai tugas pokok membantu dan memberikan
dukungan teknis administrasi dan operasional di bidang kesiapsiagaan, tanggap
darurat, dan pasca bencana. Adapun fungsi dari Badan Penanggulangan Bencana
Daerah Provinsi Sumatera Utara adalah :
1. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan
efisien
2. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
3. Pemantauan dan mengevaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana
daerah
4. Pelaksanaan pelayanan administrasi internal dan eksternal
Saat ini BPBD telah ada pada hampir semua kabupaten/kota di Sumatera
Utara kecuali di kabupaten Deli Serdang, Karo dan Padang Sidempuan. Namun
sampai saat ini belum terdapat BPBD di Deli Serdang sehingga proses
penanggulangan bencana dilakukan melalui Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol-Linmas) yang akan mengkoordinir
dinas-dinas yang terkait seperti Dinas Sosial.
1.6.4.2Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol-Linmas)
Berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2011 sebagai perubahan atas
Permendagri Nomor 44 Tahun 2009 yang intinya mengamanahkan kepada
pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama program dengan ormas dan
lembaga nirlaba lainnya dalam bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri.
Tugas badan ini adalah untuk optimalisasi pembentukan karakter (nation
building), penguatan cinta tanah air, revitalisasi nilai-nilai patriotism dan
nasionalisme, memperkokoh jati diri dan daya saing bangsa.
Adapun yang menjadi visi dari badan ini adalah “Terwujudnya Persatuan
dan Kesatuan Bangsa, Politik serta Perlindungan Masyarakat Provinsi Sumatera
Utara yang demokratis, dinamis dan tentram melalui penguatan institusi dan
peningkatan koordinasi”. Dimana misi yang diangkat adalah:
1. Meningkatkan wawasan kebangsaan masyarakat Sumatera Utara untuk
2. Mendorong peningkatan situasi dan kondisi aman, tentram, dan tertib
dalam kehidupan masyarakat di Sumatera Utara;
3. Mendorong peningkatan peran supra dan infrastruktur politik dalam
pembangunan demokrasi;
4. Meningkatkan kemampuan Aparatur Pemerintah, satuan linmas dan
masyarakat dalam Penanganan ketentraman berbasis masyarakat.
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik memiliki 4 bidang yaitu bidang
ideology dan kewaspadaan bangsa, bidang pembinaan kewaspadaan nasional,
bidang pembinaan politik dalam negeri dan bidang perlindungan masyarakat.
Untuk menjalankan fungsi koordinir penanggulangan bencana dikerjakan oleh
bidang perlindungan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari gambar berikut
ini:
Gambar 1.5
Struktur Organisasi Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat
1.7 Definisi Konsep
Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk
menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok atau individu
yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti
diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan suatu
istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan dengan yang lainnya
(Singarimbun, 1995:33).
Untuk dapat menemukan batasan yang lebih jelas maka dapat
menyerdehanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka
peneliti mengemukakan konsep antara lain:
1. Implementasi kebijakan adalah proses untuk melaksanakan kebijakan yang
membutuhkan koordinasi sumber daya yang terlibat dan masyarakat
supaya mencapai hasil yang diharapkan.
2. Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
termasuk kegiatan prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.
3. Bencana puting beliung adalah bencana alam berupa angin yang berputar
dengan kecepatan lebih dari 60-90 km/jam yang berlangsung 5-10 menit
akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam area skala sangat
lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus (Cb).
Puting beliung dikategorikan sebagai angin topan dalam Undang-undang
No. 24 Tahun 2007 dikarenakan angin topan dan angin puting beliung
memiliki definisi yang sama namun angin topan memiliki kecepatan dan
4. Implementasi penanggulangan bencana puting beliung adalah pelaksanaan
kebijakan yang menyangkut penanggulangan masyarakat baik pada masa
prabencana, saat tanggap darurat dan pascadarurat yang dilakukan BPBD
Sumatera Utara bekerja sama dengan Dinas Sosial Deli Serdang. Model
implementasi yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah model
implementasi George Edward III yang memiliki empat indikator yaitu
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
1.8 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi
konsep dan sistematikan penulisan.
Bab II Metode Penelitian
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan
penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
Bab III Deskripsi Lokasi Penelitian
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian
dimana penelitian dilakukan.
Bab IV Penyajian Data
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan
Bab V Analisis Data
Bab ini berisikan tentang hasil analisa data yang diperoleh dari
hasil penelitian memberikan interpretasi atas permasalahan yang
diteliti.
Bab VI Penutup
Dalam bab ini berisikan kesimpulan penelitian dan saran atas hasil