• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA A. Ekslpoitasi Seksual Komersial Anak - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA A. Ekslpoitasi Seksual Komersial Anak - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA

A. Ekslpoitasi Seksual Komersial Anak

Anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Anak adalah generasi penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang. Anak harus dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya, oleh karena itu segala bentuk perlakuan yang menggangu dan merusak hak-hak anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan termasuk eksploitasi untuk tujuan seksual komersial.61

1. Pengertian Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak anak dan mencakup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Agenda Aksi Stokholm mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai:62

61

Lampiran I Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tanggal 30 Desember 2002

62

(2)

“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern”

Penting untuk memasukkan transaksi-transaksi yang bersifat jasa dan kebaikan ke dalam definisi eksploitasi seksual komersial anak karena ada kecenderungan untuk memandang transaksi-transaksi seperti itu sebagai pemberian izin dari pihak anak. Jika terjadi eksploitasi seksual untuk mendapatkan perlindungan, tempat tinggal, akses untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi di sekolah atau naik kelas maka anak tersebut tidak memberikan “izin” atas transaksi tersebut melainkan korban manipulasi dan penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab yang dilakukan oleh orang lain yang seharusnya melindungi anak tersebut.63

End Children Prostitution, Child Pornography, and the Trafficking of

Children for Sexual Purposes International (ECPAT Internasional) memberikan

definisi bahwa eksploitasi seksual komersial anak adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan pemberian imbalan kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Sederhananya, anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial. Ini adalah perwujudan dari kerja paksa dan perbudakan modern terhadap

(3)

anak. Hal ini karena tidak jarang anak-anak yang dipaksa mengalami kekerasan fisik dan trauma. 64

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan realisasi dari dari Konvensi Hak Anak tidak ada menyebutkan secara tegas mengenai definisi eksploitasi seksual komersial anak. Namun, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memasukkan eskploitasi seksual komersial anak ke dalam bentuk perlindungan khusus yang diberikan kepada anak.65

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak yaitu penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut.66

Dilihat dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam eksploitasi seksual komersial anak, seorang anak bukan hanya dijadikan sebuah objek seksual melainkan juga dijadikan sebagai objek komersial untuk memperoleh imbalan maupun keuntungan.

Secara umum masyarakat masih mencampuradukkan antara eksploitasi seksual komersial anak dengan kekerasan seksual terhadap anak. Pada dasarnya,

64

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia, (Medan: Restu Printing Indonesia, 2008), hal. 6

65

Lihat pada Pasal 1 angka 15 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

66

(4)

ekploitasi seksual komersial anak dan kekerasan seksual anak merupakan istilah yang memiliki perbedaan yang sangat mendasar meskipun memiliki keterkaitan antara satu sama lain.

Definisi eksploitasi seksual komersial anak sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap hak anak dan mencakup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Sedangkan, kekerasan seksual terhadap anak dapat didefinisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan anak yang lebih tua atau anak yang lebih nalar atau orang dewasa seperti orang asing, tetangga, atau sanak keluarga dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan, atau tekanan.67

Perbedaan mendasar antara eksploitasi seksual komersial anak dan kekerasan seksual terhadap anak adalah adanya faktor remunerasi. Hak tersebut karena di dalam kekerasan seksual terhadap anak tidak ada keuntungan komersial bahkan kebaikan walaupun eksploitasi seksual juga merupakan sebuah kekerasan. Melalui eksploitasi seksual komersial anak, seorang anak digunakan untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang, atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap anak tersebut.68

67

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Loc.Cit

(5)

2. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Terdapat tiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak yaitu pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual. Pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual merupakan tiga fenomena yang saling berkaitan satu sama lain.

Pelacuran anak dan perdagangan anak sangat erat kaitannya. Anak-anak bisa berakhir dengan dilacurkan karena proses trafficking jika mereka di angkut di dalam atau melintasi batas negara untuk tujuan eksploitasi seksual. Pelacuran anak juga bisa menjadi tujuan sebuah proses trafficking. Anak-anak yang dieksploitasi dalam pelacuran juga bisa dimanfaatkan dalam pembuatan bahan-bahan pornografi atau semakin dieksploitasi dengan dimanfaatkan dalam pertujukan-pertunjukan pornografi.69

a. Pelacuran anak

Pelacuran atau yang sering disebut juga dengan prostitusi atau persundalan secara umum adalah praktek hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama dalam praktek pelacuran adalah pembayaran, promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional.70

Ada banyak hukum azasi manusia internasional yang melarang pelacuran anak. Konvensi Hak Anak meminta negara-negara peserta untuk melindungi

anak-69Ibid. hal. 58 70

(6)

anak dari eksploitasi dalam pelacuran.71

Pasal 34 Konvensi Hak Anak menyebutkan:

Tetapi tidak memberikan sebuah definisi tentang pelacuran anak.

“Negara-Negara Peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan ini, Negara-Negara Peserta khususnya akan mengambil langkah-langkah yang layak, bilateral dan multilateral untuk mencegah:

a. Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang tidak sah;

b. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual lain yang tidak sah;

c. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukkan-pertunjukkan dan bahan-bahan yang bersifat pornografis.72

Pelacuran anak adalah tindakan menawarkan pelayanan seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi uang atau bentuk imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun. Para aktivis hak-hak anak pada dasarnya menghindari penggunaan istilah pelacur anak (child prostitutes) karena cenderung berkonotasi negatif. Istilah yang digunakan adalah anak-anak yang dilacurkan (prostituted child) yang menyiratkan kesadaran bahwa kehadiran anak-anak di dalam pelacuran adalah sebagai korban mengingat anak belum mampu untuk mengambil keputusan memilih pekerja seks sebagai profesi.73

71

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Op. Cit, hal 15 72

Pasal 34 Konvensi Hak Anak, Lihat dalam Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Ibid, hal 59

73

Aldnonymous, Pelacuran Anak,

(7)

Ketika istilah pelacur anak atau pekerja seks anak dipergunakan, kesannya adalah bahwa seorang anak seolah-olah telah memilih pelacuran sebagai sebuah pekerjaan atau profesi. Garis pemikiran ini menutupi kenyataan bahwa orang-orang dewasalah yang sebenarnya menciptakan permintaan atas anak-anak sebagai objek seks dan mereka siap untuk menyalahgunakan kekuasaan dan keinginan mereka untuk mengambil keuntungan.74

Pelacuran anak merupakan salah satu bentuk dari eksploitasi seksual komersial anak. Anak-anak dijadikan objek seks untuk pemuas nafsu orang dewasa. Masuknya anak-anak dalam dunia pelacuran bukan merupakan pilihan anak, karena anak tidak dalam kapasitas yang kuat untuk bisa memberikan persetujuan (consent) untuk menjadikan dirinya sebagai pelacur, tetapi lebih karena adanya tekanan sosial, ekonomi maupun mental dari orang-orang dewasa.75

Berkaitan dengan konteks pelacuran anak, aktifitas seksual harus dipahami secara luas untuk memasukkan setiap aktifitas seksual dengan anak yang melibatkan bentuk upah apa saja, baik uang ataupun tidak. Hubungan seksual harus mencakup hubungan yang hanya berupa sentuhan dan tanpa memandang jenis kelamin dari Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial dimana seorang anak disediakan untuk tujuan-tujuan seksual. Anak-anak tersebut mungkin dikendalikan oleh seorang perantara yang mengatur dan mengawasi transaksi tersebut atau oleh seorang pelaku eksploitasi yang bernegosiasi dengan anak tersebut.

74

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Op. Cit, hal. 57 75

(8)

pihak-pihak yang terlibat. Anak-anak tersebut juga dilibatkan dalam pelacuran ketika mereka melakukan hubungan seks dengan imbalan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal atau keamanan atau bantuan untuk mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah atau uang saku ekstra untuk membeli barang-barang konsumtif. Pelacuran anak terkadang bukanlah sebuah aktifitas yang terorganisir. Akan tetapi, terkadang aktifitas ini menjadi aktifitas yang terorganisir baik dalam skala kecil melalui germo perorangan atau dalam skala besar melalui jaringan kriminal.76

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa kadang-kadang anak yang terlibat dalam pelacuran dengan imbalan kebutuhan-kebutuhan dasar atau kebaikan. Oleh karena itu, remunerasi atau bentuk upah lain harus memasukkan bentuk hadiah apapun, baik yang dijanjikan atau diberikan kepada anak tersebut atau pihak ke tiga. Upah tersebut bisa memasukkan makanan, tempat tinggal, obat-obatan, minuman, barang-barang konsumen dan sebagainya. Pemasukan bentuk-bentuk remunerasi tidak langsung seperti itu sangat penting karena sebenarnya banyak anak yang terlibat dalam pelacuran karena mereka tidak memiliki rumah, lari dari rumah atau mengalami masalah-masalah kekerasan. Anak-anak menjadi subjek eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka seperti makanan, tempat tinggal, atau keanggotaan dalam sebuah kelompok orang.77

76Ibid. hal. 56 77

(9)

Anak-anak perempuan yang dilacurkan sesungguhnya adalah kelompok anak rawan (Children in need of special protections) yang teralienasi, menjadi korban eksploitasi berbagai pihak, menderita, terampas hak-haknya secara sepihak karena tidak berdaya, baik sebagai perempuan, sebagai anak, maupun sebagai bagian dari masyarakat marginal yang kerap kali mengalami kesulitan keuangan.78

Hubungan sebab akibat berlaku di dalam dunia pelacuran anak. Berdasarkan survey, ada beberapa sebab yang melatarbelakangi masuknya seorang anak yang masih belia ke dalam dunia pelacuran. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain adalah anak dijadikan bisnis para mucikari, kondisi psikologi, sosial, kultural, dan ekonomi keluarga.

Menjadi pemuas syahwat para lelaki, bagi anak perempuan bukanlah merupakan suatu pilihan, apalagi sesuatu yang menyenangkan, tetapi harus dipahami sebagai sebuah keterpaksaan dan akibat dari akumulasi ketidakberdayaan dalam berbagai aspek kehidupan.

79

b. Pornografi anak

Pornografi terhadap anak merupakan penggambaran, penyebarluasan atau promosi kekerasan atau perlakuan seks terhadap anak termasuk di dalamnya gambar, video, film, computer, atau bahan cetakan lain. Penampilan atau penayangan kepada

membuat anak-anak terlalu sulit untuk keluar dari situasi mereka. Lihat dalam Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Op. Cit, hal.61

78

Bagong Suyanto, Op. Cit, hal. 89 79

(10)

publik adegan seks atau dengan organ seks anak-anak untuk maksud memberikan kepada para penontonnya juga termasuk pornografi anak.80

Pemanfaatan anak-anak sebagai objek kegiatan pornografi masih belum begitu banyak menjadi perhatian publik, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran data secara kuantitatif besaran angkanya. Namun yang jelas, secara kualitatif intensitas penggunaan anak-anak sebagai objek sudah jelas terlihat dari situs-situs porno internet.

Pornografi anak, termasuk imajiner kekerasan seksual terhadap anak, merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak-hak anak. Pornografi anak termasuk kekerasan seksual maupun eksploitasi seksual komersial anak dan terkait dengan pelacuran anak dan perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual. Pemanfaatan anak yang paling jelas adalah untuk menimbulkan nafsu seks dan kepuasan seks. Akan tetapi, pornografi anak juga dipergunakan untuk membenarkan bahwa tingkah laku dan keyakinan pelaku kekerasan terhadap anak adalah sebagai suatu hal yang normal, menimbulkan rasa percaya diantara orang-orang yang tertarik dengan kekerasan terhadap anak, mendapatkan jalan masuk ke dalam klub-klub pribadi dan untuk memperoleh sebuah keuntungan. Pada tingkat masyarakat, pornografi anak-anak yang melibatkan foto asli anak-anak atau foto tiruan anak-anak terus menumbuhkan sebuah permintaan yang melibatkan kekerasan seksual dan eksploitasi seksual terhadap anak.81

80

Ibid. hal. 125 81

(11)

Pornografi anak mengeksploitasi anak-anak dengan berbagai cara antara lain:82

1. Pertama, anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk terlibat dalam tindakan seksual untuk pembuatan bahan-bahan pornografi atau mungkin gambar-gambar tersebut dibuat dalam proses pengeksploitasian seorang anak secara seksual tanpa sepengetahuan anak tersebut. Gambar-gambar ini kemudian disebarkan, dijual, atau diperdagangkan;

2. Kedua, permintaan akan gambar anak-anak tersebut menjadi perangsang untuk membuat bahan-bahan porno tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang “mengkonsumsi” dan/atau memiliki gambar anak-anak tersebut terus mengeksploitasi anak-anak ini.

3. Ketiga, bahan-bahan pornografi sering dipergunakan oleh para pelaku kekerasan terhadap anak untuk mengurangi rintangan anak dan untuk memberikan kesan bahwa seks antara orang dewasa dengan anak-anak adalah sesuatu yang normal, bisa diterima. ini adalah bagian dari proses grooming yaitu membesarkan atau menyiapkan.

4. Keempat, para pembuat pornografi pada umumnya menggunakan “produk-produk” mereka untuk memaksa, mengintimidasi, atau memeras anak-anak yang dipergunakan dalam membuat bahan-bahan seperti itu.

Saat ini di Indonesia, pornografi anak semakin marak dan semakin mengkhawatirkan. Kemajuan sistem informasi dan teknologi yang sangat pesat selain

(12)

memberi manfaat yang cukup besar, ternyata juga memiliki dampak negatif yang sangat besar pula.

Bukan rahasia umum lagi bahwa pornografi anak sering dibuat dan disebarkan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi serta internet. Teknologi-teknologi baru dan pertumbuhan internet menciptakan lebih banyak kesempatan bagi pelaku eksploitasi anak dan pengguna pornografi anak, memfasilitasi perkembangan serta memperluas jangkauan jaringan penyebaran pornografi anak. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi juga menfasilitasi terjadinya kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak yang terorganisir yang dilakukan oleh jaringan para pembeli komersial, wisatawan seks, pedofil, dan pelaku trafficking serta berbagai bentuk pelacuran anak dan remaja. Anak-anak yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan mereka sehari-hari juga beresiko terhadap eksploitasi seksual.

Teknologi informasi dan komunikasi serta internet dipergunakan oleh para pelaku eksploitasi anak untuk mendapatkan akses terhadap pornografi anak dan anak-anak secara langsung. Pornografi anak-anak menggunakan network sharing file,

newsgroup, system peer2peer (pertemanan kelompok sebaya) dan

(13)

online lain untuk memikat dan menyiapkan anak-anak dengan maksud untuk menyalahgunakan dan mengeksploitasi mereka.83

c. Perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual

Menurut Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, supplementing to the United Nations Convention

Againts Transnational Organized Crime selanjutnya disebut dengan Protokol

Trafficking pada Pasal 3 mendefinisikan trafficking (perdagangan) manusia adalah sebagai berikut:84

a. Trafficking (perdagangan) manusia adalah rekruitmen, transportasi, transfer,

penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, pemerdayaan, penyalahgunaan kekuasaan atau ketergantungan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau imbalan lain dalam memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kendali atas orang lainnya, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidak-tidaknya akan meliputi eksploitasi dalam bentuk pemelacuran orang lain atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual

83

Ibid. hal. 71 84

(14)

lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh.

b. Rekruitmen, transportasi, transfer, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi akan dianggap sebagai “trafficking (perdagangan) manusia, bahkan apabila hal tersebut tidak melibatkan cara-cara sebagaimana dipaparkan dalam subparagraph (a) dalam pasal ini.

c. Anak berarti setiap orang yang umurnya belum mencapai delapan belas tahun. Dilihat dari ketentuan pasal di atas, sudah bisa dikategorikan sebagai

trafficking (perdagangan) anak untuk tujuan seksual apabila terdapat unsur-unsur: 1. Rekruitmen, transportasi, transfer, penampungan atau penerimaan atas seseorang

yang umurnya belum mencapai tujuh belas tahun; dan

2. Untuk tujuan eksploitasi dengan menjerumuskan ke dalam prostitusi atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.

Walaupun tidak selalu terkandung unsur-unsur ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan dan pemerdayaan.

Menurut protokol trafficking tersebut, ciri-ciri utama dari definisi internasional adalah seperti yang tertera di bawah ini:85

1. Protokol trafficking tersebut secara jelas menyebutkan sejumlah aktifitas dalam rantai trafficking yang harus dikriminalkan menurut hukum nasional dimana tujuan terakhirnya adalah eksploitasi.

85

(15)

Hal yang termasuk aktifitas-aktifitas ini yaitu perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan orang dewasa atau anak-anak. Dalam Protokol Trafficking aktifitas-aktifitas di atas dapat ditafsirkan sebagai berikut:

a. Perekrutan ditafsirkan terkait dengan pencarian dan pengerahan fisik satu anak atau lebih dengan tujuan utama trafficking untuk eksploitasi.

b. Pengangkutan ditafsirkan terkait dengan cara-cara dimana anak-anak dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain.

c. Pemindahan ditafsirkan mengacu pada proses pemindahan anak-anak dari satu tempat ke tempat yang lain. Pemindahan tersebut tidak harus menggunakan alat transportasi.

d. Penampungan ditafsirkan terkait dengan proses penyembunyian anak-anak yang menjadi korban trafficking (biasanya dalam jangka waktu yang pendek) oleh seseorang atau orang-orang sampai dibuat kesepakatan untuk pemindahan atau pengangkutan para korban tersebut oleh orang lain.

e. Penerimaan ditafsirkan mengacu pada tindakan dimana seseorang menjadi pemilik dari seorang anak yang diperdagangkan.

2. Definisi dalam Protokol Traffiking yang menggambarkan proses yang mengarah pada eksploitasi sangat penting (walaupun eksploitasi akhir yang direncanakan tersebut tidak terjadi).

(16)

tersebut memungkinkan fleksibilitas dalam melakukan maksud tersebut. Bahkan jika tidak ada eksploitasi aktual yang dapat ditetapkan, maka semua orang yang berada dalam rantai trafficking tersebut akan masuk dalam aksesoris kejahatan mereka.

Penting agar definisi eksploitasi tersebut setidaknya memasukkan eksploitasi seksual. Ketika anak-anak diperdagangkan, mereka bisa menjadi korban berbagai bentuk eksploitasi, termasuk perburuhan anak, jeratan hutang, pekerjaan rumah tangga, mengemis, keterlibatan dalam aktifitas-aktifitas terlarang (seperti perdagangan dan obat-obatan), adopsi illegal, perkawinan dan perdagangan organ-organ tubuh. Bentuk-bentuk eksploitasi tersebut cenderung mencerminkan perubahan-perubahan dalam permintaan dan kesempatan. Oleh sebab itu, undang-undang harus mempertimbangkan berbagai bentuk eksploitasi yang berbeda-beda yang dialami oleh para korban tersebut, termasuk eksploitasi seksual.

3. Protokol Trafficking tersebut mempertimbangkan anak-anak sebagai korban

trafficking pada saat mereka mulai direkrut, diangkut, dipindahkan, ditampung atau diterima untuk tujuan eksploitasi.

Hal tersebut meskipun untuk kasus seseorang yang telah dewasa definisi

trafficking internasional tersebut membutuhkan penggunaan kebohongan atau

(17)

4. Protokol Trafficking tersebut walaupun tidak secara ekspresif membuat poin ini jelas, tetapi harus dipahami bahwa baik trafficking internasional maupun

trafficking internal masuk dalam ruang lingkup perjanjian ini.

Protokol trafficking tersebut telah ditafsirkan hanya berlaku untuk kejahatan transnasional dan dilakukan oleh sebuah jaringan kriminal internasional. Dampak terbesar langsung dari penafsiran yang sempit ini adalah bahwa trafficking internal tidak selalu dianggap masuk dalam ruang lingkup tersebut.

5. Definisi yang ada dalam Protokol Traffiking tersebut mengklarifikasi perbedaan antara trafficking dan penyelundupan migrant karena penyelundupan migrant tersebut diatur dalam sebuah protokol terpisah untuk konvensi tersebut.

(18)

3. Kondisi Eksploitasi Seksual Komersial Anak

a. Kondisi eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia

Masalah eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia sudah menjadi isu yang mendapat perhatian pemerintah Indonesia melalui Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak, namun sayangnya penanggulangan eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia masih belum terarah dan terkordinasi dengan baik, Indonesia sebagai satu negara yang sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak Tahun 1990 berkewajiban melindungi anak dari eksploitasi seksual komersial anak..86

Menurut Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, daerah-daerah di Indonesia sangat potensial untuk terjadinya eksploitasi seksual komersial anak. Bentuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang strategis, memperbesar kemungkinan anak-anak menjadi korban eksploitasi seksual komersial anak. Daerah-daerah berikut ini adalah daerah-daerah yang rawan, bukan saja berpotensi sebagai daerah asal anak-anak yang dieksploitasi untuk tujuan seksual komersial, tetapi juga daerah transit dan daerah tujuan antara lain:87

1) Indramayu

Indramayu, tidak hanya menjadi kota dimana banyak terjadi praktek eksploitasi seksual komersial anak, namun juga termasuk kota pemasok atau daerah asal dimana anak-anak korban eksploitasi seksual komersial anak berasal. Di daerah ini, masyarakat lokal menyebut pelacuran sebagai “luruh duit”. Artinya, mencari uang

86

Wawancara dengan Azmiati Zuliah, Kordinator PUSPA-PKPA (Pusat Pengaduan Anak-Pusat Kajian dan Perlindungan Anak), pada senin, 22 Juni 2014

87

(19)

dengan jalan menjadi “telembuk” atau pelacur. Kata “luruh duit” ini juga dipakai untuk pekerjaan lain yang terkait dengan “telembuk” seperti tenaga kerja wanita (TKW) plus pelacur, dan pelayan warung atau cafe. Sebab kedua pekerjaan ini hanyalah langkah awal menjadi telembuk.

Konsep local “luruh duit” ini telah menyebabkan anak-anak terlibat ke dalam 3 jenis eksploitasi seksual komersial anak, yaitu pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan pelacuran, dan pornografi anak. Anak-anak yang menjadi korban pornografi anak ini biasanya bekerja sebagai pekerja seks komersial juga. Bahkan ada indikasi terjadinya pernikahan anak (early marriage). Kebanyakan anak-anak di daerah ini dinikahkan di usia dini untuk melepaskan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Malah sebagian setelah menikah, anak diceraikan agar bisa luruh duit. 2) Manado

Manado, sebagai daerah tujuan wisata sangat berpotensi untuk terjadinya eksploitasi seksual komersial anak. Pelacuran anak adalah bentuk eksploitasi seksual komersial anak yang paling banyak dialami anak-anak di manado. 88% anak responden penelitian adalah korban pelacuran dan 12% adalah korban perdagangan anak untuk tujuan pelacuran. Anak-anak korban eksploitasi seksual komersial anak di kota Manado ini terbiasa menggunakan nama samaran. Umumnya nama mereka akan berbeda di tiap tempat hiburan. Walaupun begitu, lokasi tempat transaksi adalah daerah seputar Jalan Boulevard.

(20)

supir taksi dan ojek yang biasa mangkal di tempat hiburan malam dan hotel ini mengetahui tempat tinggal para pekerja seks komersial anak. Kerahasiaan nama pekerja seks komersial ini terjamin oleh pemilik hotel. Kebiasaan anak-anak korban eksploitasi seksual komersial anak di kota Manado ini adalah penampilan yang lebih berani dibanding dengan pekerja seks komersial dewasa. Para pekerja seks komersial anak ini menggunakan kode-kode sebagai bahasa khusus, misalnya tindikan anting pada telinga kiri yang lebih dari dua tindikan, gelang pada kaki kiri, atau cincin pada jari telunjuk dan ibu jari. Para pelanggan pengguna jasa pekerja seks komersial anak sebanyak 37% melakukan transaksi seks ditempat hiburan atau pub, dan berlanjut di hotel kota Manado, 4 % di luar kota Manado, dan 7% di penginapan.

3) Medan

(21)

untuk pelacur anak di kota Medan, di kalangan “onces” pun memberikan istilah sendiri kepada pelanggannya dengan istilah “tubang”.88

Hal yang paling mengejutkan adalah temuan banyaknya anak-anak sekolah yang telah terjerumus dalam eksploitasi seksual komersial anak dan terlibat transaksi seks dengan para pelanggan. Dari 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam 41 di antaranya berstatus pelajar dan 5 di antaranya berstatus siswi SMP dan 26 berstatus pelajar SMA/SMK (3 tercatat telah putus pada saat menempuh jenjang pendidikan SMA).89

4) Semarang

Semarang juga tidak luput dari praktek eksploitasi seksual komersial anak. Eksploitasi seksual komersial anak di kota Semarang maupun anak-anak dari luar kota yang menjadi korban di Semarang. Bentuk eksploitasi seksual komersial anak yang sangat menonjol di kota Semarang adalah prostitusi anak. Ada sebutan khusus untuk anak-anak korban prostitusi ini, seperti halnya dengan beberapa daerah lain di Yogyakarta disebut “rendan” atau “kere dandan”, di Indramayu “luruh duit” atau “telembuk”, di kota Semarang disebut dengan “ciblek”. Metafora dari sejenis burung kecil yang lincah dan senang berkicau. “Ciblek” juga menjadi kependekan dari “cilik-cilik betah melek” (kecil-kecil suka begadang). Kemudian, muncul kepanjangan lain yaitu “cilik-cilik isa digemblak” (kecil-kecil bisa menjadi simpanan).

88

Dhina Prekasha Yodeha, Pelacuran di Sejumlah Kota di Indonesia, dalam Ibid, hal. 14 89

(22)

Bentuk eksploitasi seksual komersial anak lain terjadi di Semarang adalah pornografi anak, walaupun masih dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam. Bentuk pornografi anak yang paling banyak dijumpai adalah warnet-warnet yang menyediakan folder-folder pornografi di folder-folder komputer tanpa perlu mengakses internet. Kasus yang pernah ditemui adalah rekaman film porno oleh seorang anak melalui handphone telah diedarkan oleh pacarnya sendiri. Seorang anak jalanan perempuan mengaku bersama temannya (15 tahun) difoto telanjang oleh orang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka difoto dan diberi imbalan Rp. 200.000.

Bentuk eksploitasi seksual komersial lain yang terjadi di Semarang adalah perdagangan anak untuk tujuan seksual. Kasus ini sudah lama terjadi. Kasus pertama ditemukan di Yayasan Setara saat meneliti tentang anak jalanan perempuan di Semarang pada tahun 1999. Seorang anak jalanan perempuan diperdagangkan ke wilayah Batam. Pada tahun berikutnya, Yayasan Setara menemukan 10 anak jalanan perempuan menjadi korban perdagangan anak untuk tujuan seksual. Pada tahun 2003, Yayasan setara mencatat ada 14 anak jalanan perempuan yang diperdagangkan. 5) Solo

(23)

6) Surabaya

Surabaya tercatat sebagai kota dengan kasus eksploitasi seksual komersial anak yang cukup tinggi. Eksploitasi seksual komersial anak di Surabaya terbilang besar. Salah satu lokalisasi yang sudah santer terdengar, dikenal secara nasional adalah lokalisasi Dolly.90

Jenis eksploitasi seksual komersial anak yang ditemukan terjadi di Surabaya adalah prostitusi anak, trafficking untuk tujuan pelacuran, dan pornografi anak. Anak-anak korban trafficking sebagian besar berasal dari daerah-daerah sekitar Surabaya. Mereka adalah anak-anak kampung yang dieksploitasi, diangkut dari desa dengan iming-iming pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Anak-anak ini adalah korban penipuan. Ada yang berasal dari Bojonegoro, Jember, Jombang, Malang, Probolinggo, Situbondo, Jombang, bahkan ada yang berasal dari Nusa Tenggara Barat.

Anak-anak korban eksploitasi seksual komersial anak, terutama prostitusi anak dan trafficking untuk tujuan seksual sebagian besar berada di lokalisasi ini.

Anak-anak korban prostitusi sebagian besar adalah anak-anak asli Surabaya. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar yang terlibat prostitusi karena ajakan teman sekolah atau teman bergaulnya. Walaupun ada juga yang berasal dari luar daerah Surabaya. Sebagian pula karena masyarakat mereka terbiasa dengan pekerjaan

90

(24)

sebagai pekerja seks komersial. Seperti penuturan responden yang mengaku menjadi pelacur karena ibu dan kakaknya juga telah menjadi pelacur. Sedangkan, pornografi anak yang terjadi di Surabaya ini lebih kepada pornografi di warung internet dan pornografi rekaman di ponsel.

b. Kondisi dan data kasus eksploitasi seksual komersial anak di Sumatera Utara Kondisi eksploitasi seksual komersial anak di Sumatera Utara lebih mengarah kepada bentuk trafficking anak untuk tujuan eksploitasi seksual dan pelacuran anak. Di Sumatera Utara, penjualan anak yang beberapa kali ditemukan diketahui bahwa pelakunya adalah pacar anak tersebut. Modus kejahatan yang biasa terjadi yaitu pelaku berpacaran dengan korban. Lantas, pacar korban menyerahkan korban tersebut kepada orang lain untuk mendapat imbalan. Biasanya kasus eksploitasi seksual komersial anak ditangani berdasarkan hasil rujukan dari kepolisian, keluarga korban yang melapor dan ada pula kasus tersebut muncul karena telah diangkat oleh media.

(25)

komersial anak. Anak dijual oleh orang tuanya dalam hal ini adalah bapak korban. Untuk sekali melakukan pelacuran, pelaku memperoleh uang sebanyak Rp. 20.000.91

Menurut Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak modus baru yang dipakai dalam bisnis seks di kalangan anak remaja di Medan yang sebagaian besar berstatus pelajar, yaitu pulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah tetapi dibawa ke hotel. Untuk menyakinkan orang tua maka teman-temannya ikut meminta izin dengan dalih belajar bersama atau jalan-jalan sehingga orang tua mereka tidak curiga. Modus operandi yang digunakan untuk menjebak anak-anak masuk ke dalam dunia pelacuran di kota medan umumnya diajak oleh teman lebih dahulu masuk ke dunia tersebut dan memperkenalkan dengan tamu. Selanjutnya anak tersebut sendiri yang mencari tamu dengan cara ke diskotik atau langsung menghubungi tamu tersebut.92

Sumatera Utara telah memiliki Perda tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu Perda No. 6 Tahun 2004. Hal tersebut dikarenakan di Sumatera Utara tidak lagi semata-mata memiliki posisi sebagai transit perdagangan anak untuk selanjutnya diperdagangkan ke luar negeri seperti Malaysia maupun ke daerah-daerah lain di dalam negeri seperti Batam, Tanjung Balai Karimun, Jakarta,

91

Wawancara dengan Mitra Lubis, Staf Divisi Perempuan dan Anak Yayasan Pusaka Indonesia di Kantor Yayasan Pusaka Indonesia, pada Senin, 16 Juni 2014

92

(26)

dan daerah lain, akan tetapi lebih jauh telah menjadi daerah penyuplai maupun daerah tujuan akhir dari perdagangan anak.93

Pada kasus perdagangan (trafficking) yang terjadi pada tahun 2010 di Sumatera Utara sudah termasuk kategori terorganisir. Pada kasus tersebut, sebanyak 4 orang anak perempuan yang menjadi korban dikirim dari Pulau Jawa. Korban ditumpangkan pada sebuah bus antar provinsi. Di dalam bus ini ke empat korban tidak boleh turun selama di perjalanan kecuali ke toilet dan mereka ditempatkan duduk di samping supir. Setelah tiba di kota Medan, di terminal bus telah ada pihak yang menjeput mereka. Korban langsung di bawa ke lokalisasi di Bandar Baru. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa modus kejahatannya telah terorganisir.94

Pada tahun 2012 kasus eksploitasi seksual komersial anak yang terjadi di Sumatera Utara menurut laporan dari Yayasan Pusaka Indonesia, kasus perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual berjumlah 3 kasus. Sedangkan pada tahun 2013 terdapat 1 kasus perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual.95

Kasus eksploitasi seksual komersial anak yang terjadi di Sumatera Utara yang ditangani oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak pada tahun 2010 berjumlah 4 kasus. Pada tahun 2011 meningkat menjadi 13 kasus. Pada tahun 2012 terdapat 4 kasus eksploitasi seksual komersial anak. Pada tahun 2013 terdapat 39 kasus eksploitasi seksual komersial anak dan pada tahun 2014 terdapat 20 kasus eksploitasi

93

Wawancara dengan Azmiati Zuliah, Kordinator PUSPA-PKPA (Pusat Pengaduan Anak-Pusat Kajian dan Perlindungan Anak), di Kantor PKPA Medan pada senin, 22 Juni 2014

94

Wawancara dengan Marjoko, Kordinator Divisi Pengembangan Komunitas Yayasan Pusaka Indonesia, di Kantor Yayasan Pusaka Indonesia pada Senin, 16 Juni 2014

(27)

seksual komersial anak yang terjadi di Sumatera Utara. Beberapa kasus eksploitasi seksual komersial anak telah divonis di pengadilan. Untuk tahun 2013 terdapat 2 kasus yang divonis, dimana pada kasus pertama pelaku divonis 3,5 tahun dan kasus kedua pelaku dikembalikan kepada keluarga karena pelaku masih anak.96

Data yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa dari berbagai jenis kasus pengaduan yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Sumatera Utara terdapat kasus eksploitasi seksual komersial anak.

Tabel 1

Daftar Kasus Pengaduan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-201497

NO TAHUN JENIS KASUS KORBAN JUMLAH

LAKI-LAKI PEREMPUAN

1. 2010 Trafficking 1 2 3

Dugaan Trafficking 1 1 2

2. 2011 Trafficking - 2 2

Dugaan Trafficking - 1 1

Eksploitasi Seksual (Pelacuran Anak)

- 1 1

3. 2012 Trafficking 1 6 7

Eksploitasi Seksual - 1 1

96

Berdasarkan data kasus eksploitasi seksual komersial anak yang terjadi di Sumatera Utara yang diperoleh dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)

97

(28)

Komersial Anak

4. 2013 Trafficking - 3 3

Eksploitasi Anak - 1 1

5. -Juni 2014

Trafficking - 3 3

Total 24

Sumber: Daftar Kasus Eksploitasi Seksual Komersial Anak Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2014

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Sumatera Utara jumlah pengaduan yang diterima dari tahun 2010 sampai dengan Juni 2014 berjumlah 24 kasus pengaduan. Dari jumlah pengaduan kasus eksloitasi seksual komersial anak, maka korban yang paling banyak adalah anak perempuan dengan jumlah 21 kasus sedangkan korban anak laki-laki berjumlah 3 kasus. Kasus eksploitasi seksual komersial anak yang paling banyak terjadi di Sumatera Utara adalah kasus trafficking

dan prostitusi. Sedangkan, untuk kasus pornografi anak tidak ada pengaduan ke Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Sumatera Utara.98

c. Faktor yang menyebabkan peningkatan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di Sumatera Utara

Menurut Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, ada 3 faktor penyebab para pelajar yang dikenal sebagai anak rumahan oleh orang tuanya terjebak dalam eksploitasi seksual komersial anak. Faktor pertama yang menjadi pemicu adalah gaya pacaran yang tidak sehat, yakni gaya berpacaran di luar

98

(29)

batas sehingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Faktor kedua adalah konsumerisme yaitu ingin ikut gaya hidup mewah, akan tetapi kemampuan ekonomi tidak memadai seperti ingin memiliki gadget baru atau memiliki baju baru dan lain sebagainya. Faktor yang ketiga adalah pengaruh teman bergaul.99

Pada dasarnya, faktor ekonomi dapat dikatakan sebagai faktor pendorong terbesar bagi anak untuk masuk ke dalam eksploitasi seksual komersial anak. Akan tetapi, untuk kasus eksploitasi seksual komersial anak yang ada di sumatera utara faktor ekonomi hanyalah salah satu dari faktor yang menyebabkan ekploitasi seksual komersial anak meningkat dari tahun ke tahun. Faktor terbesar yang menyebabkan anak terlibat eksploitasi seksual komersial anak di Sumatera Utara adalah faktor sosial. Terkadang, seorang anak dapat dikatakan baik, namun lingkungan sosial dapat mempengaruhinya. Dengan adanya peluang dari lingkungan sosial yang mempengaruhi anak tersebut misalnya teman sekolah mengajak anak tersebut dan membujuk anak untuk memiliki barang-barang mewah dan bagus, apabila anak tersebut mulai berfikir bagaimana cara mendapatkannya, maka anak tersebut sudah dapat dikatakan terpengaruh.100

Menurut Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, yang menyebabkan eksploitasi seksual komersial anak meningkat dari tahun ke tahun antara lain:101

99

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Op. Cit, Hal 26

100

Wawancara dengan Kordinator Divisi Pengembangan Komunitas Yayasan Pusaka Indonesia Marjoko, Loc. Cit.

101

(30)

1) Semakin meningkatnya keinginan pasar terhadap anak yang menganggap bahwa anak masih terbebas dari penyakit seksual dan anggapan awet muda bila menggunakan anak dalam komoditi seks;

2) Minimnya pemahaman masyarakat bahwa melakukan seks di usia dini sangat membahayakan kesehatan reproduksi anak.

3) Sulitnya mendapatkan pekerjaan dan membutuhkan uang;

4) Hubungan seks bebas anak yang sudah tidak perawan lagi sehingga anak-anak terus menikmati pekerjaan menjajakan seks sebagai pilihan dalam memenuhi kehidupannya;

5) Maraknya lokalisasi-lokalisasi prostitusi di Indonesia seperti cafe, atau lokasi hiburan lainnya;

6) Lemahnya pengawasan dari aparat penegak hukum.

B. Undang-Undang yang Mengatur Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia

1. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pada Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kejahatan eksploitasi seksual komersial anak termasuk ke dalam bentuk Perlindungan Khusus sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 59 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yaitu:

(31)

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang menyebutkan:

Pasal 66:

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(32)

perawatan dan rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 68 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yaitu:

Pasal 68:

Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pada Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana terhadap pelaku yang melakukan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak antara lain Pasal 78, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 88 yang berbunyi yaitu:

Pasal 78:

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 81:

(33)

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 83:

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 88

(34)

2. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, bentuk kejahatan eksploitasi seksual komersial anak berupa perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual diatur dalam pasal 2 yaitu:

Pasal 2:

(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(35)

Selain Pasal 2 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terdapat ketentuan pidana lain di Undang-undang tersebut yaitu Pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang No. 21 Tahun 2007. Di dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, terdapat penambahan ancaman pidana sebanyak 1/3 (sepertiga) apabila korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 yang berbunyi:

Pasal 7:

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

3. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

(36)

sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10”.

Pada Pasal 4 disebutkan:

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual;

c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau

f. pornografi anak.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau

d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

(37)

muatan pornografi. Dan Pasal 10 disebutkan bahwa setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan eksploitasi seksual komersial anak khususnya mengenai bentuk kejahatan pornografi anak, diatur pada Pasal 29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 yaitu:

Pasal 29:

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pada Undang-undang No. 44 Tahun 2008 terdapat ketentuan Pidana lainnya yang diatur pada Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36. Di dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2008 terdapat ancaman penambahan 1/3 (sepertiga) hukuman bagi tindak pidana pornografi yang objeknya adalah anak yang diatur pada Pasal 37.

Pasal 37:

(38)

C. Peraturan Perundang-undangan Lain yang Berkaitan dengan Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kejahatan eksploitasi seksual komersial anak diatur di dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Namun, selain ketiga undang-undang tersebut di atas, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia yaitu Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182.

Terkait dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia terdapat Peraturan Pemerintah yang berhubungan dengan bentuk kejahatan eksploitasi seksual komersial anak yaitu perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual. Peraturan Pemerintah tersebut adalah PP No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

(39)

Tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak, terdapat materi yang berkaitan dengan anak yaitu Negara mengambil langkah-langkah legislatif untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan. Dalam hal ini kekerasan dapat berupa kekerasan fisik atau kekerasan mental, penelantaran, perlakuan salah, eksploitasi ekonomi maupun eksploitasi seksual.102

Pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak juga terdapat dalam beberapa Peraturan Daerah yang terdapat di Indonesia yaitu Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat No. 7 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Terutama Perempuan dan Anak, Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 4 Tahun 2006 tentang Pencegahan Trafficking.

Selain Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak terdapat Keputusan Presiden lain yang berkaitan dengan pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak yaitu Keputusan Presiden No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafficking Perempuan dan Anak.

102

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Apabila suatu produk dapat menciptakan Brand Image yang baik dimata konsumennya dan juga disertai dengan bauran pemasaran yang mendukung maka konsumen akan tertarik

Tujuan dari kegiatan Pengabdian kepada masyarakat ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada para ibu tentang pemberian makanan pada bayi dan anak guna mencegah

Dengan garapan drama tari, seorang penari diberi kebebasan untuk melakukan teknik gerak kreatif yang disebut wiled, namun biasanya pada penari kelompok, wiled yang ada

Bila Anda mencoba memanggil skrip di atas, Anda akan menjumpai kesalahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan contoh sebelumnya... Serdiwansyah Nur Aisyah 5

Setidaknya ada tiga tujuan dalam penelitian ini, yang pertama u ntuk memahami dan melakukan analisis bagaimana metode penanaman nilai-nilai agama Islam dalam

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan bahwa dengan menerapkan model contextual teaching and learning dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa serta

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa geala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benolan di pinggang (yang merupakan tanda

Seperti dijelaskan bahwa suatu organisasi memiliki struktur yang menjadi satu kesatuan antara satu bagian dengan bagian lainnya karena ini merupakan suatu sistem,