• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

34

BAB II

LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia

1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia

Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan

nusantara, berawal pada tahun 1619. Dalam tahun itu, pasukan

VereenigdeOostInischeCompagnie (VOC) di bawah pimpinan Jan PieterzoonCoen berhasil merebut jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru

yang diberi nama Batavia.90

“ Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar, cukup banyak yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda. Hal ini tidak mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuan-ilmuan besar di berbagai bidang. Dalam bidang pertambangan sebaliknya, ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda menjadi suatu wilayah pertambangan terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah ini, sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan, karena negeri Belanda bukan negara pertambangan. Sebelum memasuki era industry pada dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan.”

Selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda di

Hindia Belanda, SoetaryoSigit seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia,

menyimpulkan bahwa;

91

Pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen”

(Jawatan Pertambangan). Tugas Jawatan ini adalah melakukan eksplorasi

geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia-Belanda.

90

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Jogjakarta : UII Press, 2004), hlm.61.

91

(2)

Hasil penemuannya antara lain; endapan batubara Ombilin Sumatera Barat

(1866), namun baru berhasil ditambang oleh Pemerintah pada tahun 1891.92

Baru pada tahun 1899, pemerintah Hindia Belanda berhasil

mengundangkan IndischeMijnwet (Staatblad 1899-214). IndischeMijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan

pertambangan.93Oleh karena IndischeMijnwethanya mengatur pokok-pokok persoalan saja, sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan

berupa Mijnorodnnantieyang diberlakukan mulai 1 Mei 1907. Mijnordonnantie

mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja (tercantum dalam Pasal

356 sampai dengan Pasal 612). Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907

dicabut dan diperbaharui dengan MijnOrdonannatie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1930. Dalam MijnOrdonnantie 1930, tidka lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselatmatan Kerja Pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam

MijnPolitieReglement (Staatblad 1930 1930 No.341) yang hingga kini masih berlaku.94

Menyerahnya tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada balatentara

Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah

Hindia Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan Jepang IndischeMinjwet 1899

praktis tidak jalan, sebab semua kebijakan mengenai pertambangan termasuk

operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan

dengan situasi perang.95

92

Ibid.,hlm.63.

93

Ibid., hlm.64

94

Ibid.

95

Ibid.,hlm.66-67.

Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi

(3)

pada tanggal 17 Agustus1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik

Indonesia.96

Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, masalah

pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih

dikuasai modal Belanda dan modal asing lainnya merupakan isu politik yang

sangat peka. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Sementara (DPRS), TeukuMr.Moh. Hassan mengambil langkah guna

membenahi pengaturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia.97

Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan “Mosi

TeukuMoh.Hassan dkk” yang memuat beberapa hal yang diantaranya yang

terpenting ialah yang mendesak pemerintah supaya:98

a. Membentuk suatu Komisi Negara Urusan Pertambangan dalam jangka

waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut:

1) Menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara,

tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia.

2) Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang

sesuai dengan keadaan dewasa ini.

3) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah untuk

menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya

dan sumber-sumber minyak di tempat lain.

4) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status

Pertambangan di Indonesia.

96

Ibid., hlm.67.

97

Ibid., hlm.68.

98

(4)

5) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan

pajak dan penetapan harga minyak.

6) Membuat usul-usul lain mengenai pertambangan sebagai sumber

penghasilan Negara.

b. Menunda segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun

memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu

hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan.

Pada tahun 1960 pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai

pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No.37 Prp. Tahun

1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang

Pertambangan 1960. Undang-Undang ini mengakhiri berlakunya IndischeMijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan nasional dan merupakan Undang-undang pertambangan nasional yang pertama.99

Pada tahun 1966 pemerintah menerbitkan Ketetapan MPRS No.

XXII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi,

Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal

yang terkait dengan sector pertambangan, antara lain sebagai berikut:100

a. Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan

diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi rill (Bab II Pasal 8);

b. Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan

untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia

(Bab II, Pasal 10);

99

Ibid., hlm.70.

100

(5)

c. Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera

ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestic (Bab

VIII, Pasal 62).

Berdasarkan ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan

undang-udang tentang Penanaman Modal Asing, kemudian diundangkan menjadi

Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk

menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perekonomian, khususnya mengenai

usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang

pertambangan 1960. Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan ini, Departemen

Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusun Rencana Undang-undang

Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan

tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967.101

Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun

internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang telah mengatur kegiatan pertambangan

mineral dan batu bara di Indonesia selama lebih kurang 42 tahun dianggap sudah

tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan

di bidang pertambangan mineral dan batu bara yang dapat mengelola dan

mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan,

berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin

pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pertimbangan tersebut dijadikan

101

(6)

dasar untuk pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara.

2. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara (UU Minerba) dibentuk untuk menggantikan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang

dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi perkembangan nasional maupun

internasional yang terkait dengan Pertambangan.

Undang-undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:102

a. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai

oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh

Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.

b. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang

berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat

setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan

izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah

dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

c. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,

pengolahan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan

prinsip eskternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan

Pemerintah dan pemerintah daerah.

102

(7)

d. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang

sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

e. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan

mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah

serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

f. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha

pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip

lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Salah satu perubahan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan sistem pengusahaan pertambangan

mineral dan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, maka

sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara

adalah menggunakan kontrak, baik kontrak karya maupun perjanjian karya

pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), sedangkan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009 menggunakan izin. Izin yang diberikan kepada pemohon,

meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), IPR dan IUPK. Izin usaha

pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

Walaupun dalam undang-undang ini telah ditetapkan sistem yang digunakan

dalam pengusahaan pertambangan mineral, yaitu IUP, namun dalam Pasal 169

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetap mengakui keberadaan kontrak karya

yang telah ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini sampai dengan

jangka waktu berakhirnya kontrak karya.103

103

Salim HS, Op.Cit., hlm.3.

(8)

harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Minerba

selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan.104

Selain itu UU Minerba juga mengatur tentang peningkatan nilai tambah

hasil penambangan mineral dan batubara di dalam negeri. Pasal 102 UU Minerba

menyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah

sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan,

pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari

usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan.105

Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di

dalam negeri tidak hanya berlaku bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi

tetapi juga berlaku bagi pemegang kontrak karya.

Selanjutnya

pada Pasal 103 ayat (1) UU Minerba diatur tentang kewajiban bagi Pemegang IUP

dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil

penambangan di dalam negeri. Dengan melihat penjelasan Pasal 103 ayat (1)

dapat diketahui tujuan dari melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri

yaitu untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk,

tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan

penerimaan negara.

106

104

Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 169 huruf b.

105

Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Pasal 102.

106

Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 170.

Namun terdapat perbedaan

waktu dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Bagi pemegang kontrak karya

(9)

UU Minerbadiundangkan .107 Namun bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi

Produksi berlaku mengikat seketika sejak diundangkannya UU Minerba.108

Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan

bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan

nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut

wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap

mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma

yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri

menjadi tidak ada artinya.109

“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.”

Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut

ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya terhadap

perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan sebagai berikut:

110

Berdasarkan keterangan tersebut dapat dimengerti bahwa pelarangan

ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan

nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban

peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor

terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah

107

Ibid.

108

Sony Keraf, Loc.Cit,. hlm.6.

109

YusrilIhzaMahendra, Loc.Cit.,hlm.7.

110

(10)

larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam

negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar

negeri atau diekspor.

Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba,

maka dapat diketahui bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tidak

boleh mengekspor mineral mentah terhitung sejak berlakunya UU Minerba.

Sedangkan bagi pemegang kontrak karya berdasarkan ketentuan Pasal 170 UU

Minerba terhitung 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU Minerba tidak dapat

lagi mengekspor mineral mentah.Bentuk pelarangan ekspor yang diterapkan oleh

peraturan ini adalah kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kegiatan

pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Apabila dikaitkan dengan bentuk

larangan atau hambatan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1

GATT maka bentuk larangan ekspor ini tergolong kepada “other measures”

(kebijakan/peraturan lainnya).111

3. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan PP No.1 Tahun 2014 tentang

Perubahan Kedua PP No.23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara

111

Lihat Pasal XI angka 1 GATT, yang menyatakan : No prohibitions or restrictions

other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export

licencesor other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the

importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or

(11)

Tanggal 1 Februari 2010 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan.Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan dengan tujuan untuk

melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diamanatkan dalam UU Minerba yang

diantaranya adalah mengenai peningkatan nilai tambah hasil penambangan di

dalam negeri melalui pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam Pasal 103

ayat (3) UU Minerba.

Sebelum diterbitkannya UU Minerba, terdapat berbagai jenis izin dalam

melakukan usaha pertambangan, beberapa diantaranya adalah Kuasa

Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan

rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 112 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23

Tahun 2010 surat izin tersebut tetap dinyatakan berlaku namun harus disesuaikan

menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23

Tahun 2010. Surat izin tersebut juga dikenai kewajiban untuk melakukan

pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5

(lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba. Berdasarkan hal tersebut dapat

diketahui bahwa terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kegiatan

pengolahan dan pemurnian antara IUP yang diterbitkan pada saat UU Minerba

berlaku dengan IUP yang terbit dari hasil penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat

izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Dimana IUP yang

terbit pada saat UU Minerba berlaku diwajibkan langsung melakukan kegiatan

pengolahan dan pemurnian dalam kegiatan pertambangannya namun bagi IUP

yang terbit dari hasil penyesuaian diberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun

(12)

mentah, bagi pemegang IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku, tidak

diperkenankan untuk melakukan ekspor mineral mentah tanpa pengolahan

dan/atau pemurnian terlebih dahulu pada saat mereka melakukan kegiatan

pertambangan namun hal tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP hasil

penyesuaian, mereka dilarang melakukan ekspor mineral mentah setelah UU

Minerba berlaku selama 5 (lima) tahun.

Tanggal 21 Februari 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010

diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012. Perubahan tersebut

berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka menunjang pembangunan industri

dalam negeri perlu penataan kembali pemberian izin usaha pertambangan untuk

mineral bukan logam dan batuan, pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban

divestasi saham modal asing serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang

kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang

bermaksud melakukan perpanjangan dalam bentuk izin usaha pertambangan.112

Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014

menegaskan bahwa bagi pemegang kontrak karya yang telah melakukan kegiatan

penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat

melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Jika dicermati lebih

lanjut maka Pasal ini secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi Pada tanggal 1 Januari 2014 pemerintah kembali merubah Peraturan Pemerintah

Nomor 23 Tahun 2010 yang sebelumnya telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun

2014.

112

(13)

pemegang kontrak karya dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri

(ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pemurnian (raw material).Sedangkan Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi113

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit mengatur

tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam

yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di

dalam negeri. Mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian tersebut

diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.

yang telah

melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan

pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.

Sama seperti Pasal 112C angka 3 di atas, Pasal 112C angka 4 secara implisit

memberikan pengertian bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi dilarang

untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang

belum dilakukan pengolahan (raw material).

114

4. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014

tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan

Pemurnian Mineral di Dalam Negeri

Selain itu Pasal 84 ayat 3 juga

melarang penjualan mineral ke luar negeri sebelum terpenuhinya kebutuhan

mineral dalam negeri.Bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini

sama seperti yang diatur dalam UU Minerba yaitu tergolong dalam “other measures” sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT.

113

Pemegang IUP Operasi Produksi yang dimaksud adalah IUP yang berasal dari penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat menjadi IUP, lihat Pasal 112 angka 4 PP Nomor 1 Tahun 2014.

114

(14)

Guna melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 112C angka 5

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Penambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah dua kali diubah terakhir

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, Pemerintah Pada tanggal 1

Januari 2014 mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui

Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri.

Komoditas tambang mineral yang wajib ditingkatkan nilai tambahnya

adalah Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, dan Batuan.115 Terdapat

perbedaan kegiatan peningkatan nilai tambah terhadap masing-masing komoditas

tambang mineral. Peningkatan nilai tambah terhadap mineral logam dilakukan

melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian, sedangkan bagi komoditas tambang

mineral bukan logam dan batuan dilakukan melalui pengolahan.116 Pengolahan

merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang

menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral

atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat mineral logam dan batuan yang

dipoles.117 Sedangkan pemurnian merupakan upaya untuk meningkatkan mutu

mineral logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih

lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari

mineral asal, antara lain berupa logam dan logam paduan.118

Terhadap komoditas tambang mineral (termasuk produk samping / sisa

hasil pemurnian dan/atau pengolahan / mineral ikutan) yang akan dijual keluar

115

Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 2 angka 1.

116

Ibid., Pasal 2 angka 2.

117

Ibid., Pasal 2 angka 3.

118

(15)

negeri oleh pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP

Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian serta IUP Operasi

Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, terlebih dahulu harus

dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian sampai batas minimum pengolahan dan

pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun

2014.119

Pada Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014

pemegang kontrak karya hanya diperbolehkan untuk menjual ke luar negeri

mineral logam hasil kegiatan pemurnian dalam jumlah tertentu setelah memenuhi

batasan minimum pengolahan dan pemurnian, hak ini kemudian diperluas pada Ketentuan tentang batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian

komoditas tambang mineral diatas berkaitan dengan larangan ekspor mineral

mentah, dimana terhadap komoditas tambang mineral (termasuk produk samping /

sisa hasil pemurnian dan/atau pengolahan / mineral ikutan) hanya dapat dijual ke

luar negeri (ekspor) jika komoditas tambang tersebut telah memenuhi batasan

minimum pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen

ESDM Nomor 1 Tahun 2014.

Sebelumnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara

implisit hanya mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya

komoditas mineral logam yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu

sampai batas tertentu di dalam negeri. Sedangkan untuk komoditas tambang

mineral bukan logam dan batuan diatur dalam Pasal 11 Permen ESDM Nomor 1

Tahun 2014.

119

(16)

Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 dimana pemegang kontrak karya juga

diperbolehkan untuk menjual keluar negeri dalam jumlah tertentu hasil

pengolahan mineral logam.120

Jumlah tertentu yang dimaksud sama dengan pembatasan volume.

Pembatasan volume tersebut hanya berlaku bagi produk konsentrat dan

pembatasan tersebut bertujuan untuk mengatur sumber daya alam.

Berlaku juga terhadap Pemegang IUP Operasi

Produksi mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112C angka 4

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, dimana pemegang IUP Operasi

Produksi tidak hanya diperbolehkan menjual ke luar negeri dalam jumlah tertentu

hasil pengolahan tetapi juga hasil pemurnian setelah terpenuhinya batas minimum

pengolahan dan pemurnian.

121

Besaran

jumlah tertentu tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan terhadap kinerja

pengelolaan lingkungan, cadangan (ketersediaan mineral logam untuk pengolahan

dan pemurnian di dalam negeri), kapasitas fasilitas pemurnian, dan kemajuan

pembangunan fasilitas pemurnian.122

Tetapi terdapat komoditas tambang mineral logam yang dilarang untuk

dijual ke luar negeri walaupun telah dilakukan kegiatan pengolahan. Komoditas Berdasarkan ketentuan ini pemerintah

membuka pintu ekspor bagi pemegang kontrak karya dan IUP Operasi Produksi

untuk dapat melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) mineral logam yang

telah melewati batas minimum pengolahan dan pemurnian walau jumlahnya

dibatasi. Walau demikian penjualan ke luar negeri mineral logam tanpa

pengolahan dan/atau pemurnian tetap dilarang.

120

Ibid., Pasal 12 angka 1.

121

IndaMarlina, “Ekspor Produk Pemurnian Bijih Mineral Tidak Dibatasi,” http://industri.bisnis.com/read/20140213/44/203123/ekspor-produk-pemurnian-bijih-mineral-tidak-dibatasi ( 9 Maret 2015)

122

(17)

tambang mineral logam itu terdiri dari nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan

kromium.123

Namun ekspor terhadap mineral logam hasil pengolahan hanya berlaku 3

(tiga) tahun sejak diterbitkannya Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Terhitung

12 Januari 2017 baik pemegang Kontrak Karya maupun pemegang IUP Operasi

Produksi hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri mineral logam hasil

pemurnian yang telah mencapai batas minimum pemurnian.

Untuk dapat melakukan ekspor terhadap komoditas tambang tersebut

harus terlebih dahulu melakukan kegiatan pemurnian sampai dengan batas

minimum pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1

Tahun 2014.

124

Disamping itu baik

pemegang Kontrak Karya maupun IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan

penjualan ke luar negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi Direktur

Jenderal atas nama Menteri. Surat rekomendasi tersebut nantinya akan digunakan

untuk mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri Perdagangan.125

5. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk

Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian

Bentuk

larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini apabila dikaitkan dengan

ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada kuota ekspor (export quota), izin ekspor (export licences), kebijakan/peraturan lainnya (other measure).

Tanggal 1 Januari 2014 guna mendukung kebijakan peningkatan nilai

tambah produk pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian

pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan kebijakan tersebut,

123

Ibid., Pasal 12 angka 4.

124

Ibid., Pasal 12 angka 15.

125

(18)

salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 / M-DAG / PER /

1 / Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil

Pengolahan dan Pemurnian (Permendag Nomor 4 Tahun 2014).Peraturan ini

dikeluarkan dengan tujuan untuk mendukung upaya tertib usaha di bidang

pertambangan, hasil pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta

menciptakan kepastian usaha dan kepastian hukum sehubungan dengan kebijakan

hilirisasi yang dilaksanakan melalui peningkatan nilai tambah produk

pertambangan dengan melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian di

dalam negeri.126

Berbeda dengan peraturan-peraturan terkait pelarangan ekspor mineral

mentah yang telah dibahas di atas. Peraturan-peraturan tersebut melarang ekspor

mineral mentah dengan memberikan pengertian secara implisit dari pasal-pasal

bersangkutan.Permendag Nomor 4 Tahun 2014 secara tegas menyatakan Produk

Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan

dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian dilarang untuk diekspor.127 Produk pertambangan yang dilarang

ekspornya tersebut terdiri dari 17 (tujuh belas) produk pertambangan dalam

bentuk Ore (bijih)/ Raw Material, 10 (sepuluh) produk pertambangan dalam bentuk konsentrat yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan, 165

(seratus enam puluh lima) produk pertambangan dalam bentuk mineral logam dan

bukan logam serta 9 (sembilan) produk pertambangan dalam bentuk batuan yang

belum memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian.128

126

Indonesia (d), Loc.Cit.,Konsideran

127

Ibid., Pasal 2 angka 3.

128

(19)

Permendag Nomor 4 Tahun 2014 tidak hanya mengatur mengenai

pelarangan ekspor mineral mentah tetapi juga pembatasan ekspor terhadap produk

pertambangan yang berasal dari mineral logam yang sudah mencapai batasan

minimum pengolahan dan/atau pemurnian, mineral bukan logam, dan batuan yang

sudah mencapai batasan minimum pengolahan. Produk pertambangan yang

dimaksud tercantum dalam lampiran I dan lampiran II peraturan ini.129

Barang dibatasi ekspornya adalah barang yang dibatasi eksportir, jenis

dan/atau jumlah yang diekspor.130 Artinya pembatasan terhadap barang ekspor

dapat dilakukan dengan tiga indikator yakni: 131

a. Eksportirnya dibatasi;

Artinya hanya eksportir tertentu yang dapat melakukan ekspor terhadap

produk pertambangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Permendag

Nomor 4 Tahun 2014, dalam hal ini yang dapat melakukan hal tersebut adalah

perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan sebagai ET-Produk Pertambangan

Hasil Pengolahan dan Pemurnian dari Menteri.132

b. Jenis barangnya dibatasi; dan/atau

Artinya bahwa untuk jenis-jenis barang tertentu maka ekspornya dibatasi.

Barang-barang tersebut adalah produk pertambangan sebagaimana yang dimaksud

pada Pasal 2 angka 2 Permendag Nomor 4 Tahun 2014 dimana barang tersebut

hanya bisa diekspor apabila telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan

pemurnian.

129

Ibid.,Pasal 2 angka 1 dan 2.

130

Indonesia (j), Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13 / M-DAG / PER / 3 / 2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor, Pasal 1 angka 6.

131

Junaiding, “Objek Ekspor,” http://www.eximlaws.com/2015/02/obek-ekspor.html (diakses 9 Maret 2015)

132

(20)

c. Jumlah barangnya yang dibatasi.

Artinya untuk jenis barang tertentu hanya boleh diekspor dalam jumlah

tertentu saja. Jumlah tertentu ini sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 Permen

ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yaitu produk konsentrat.

Bentuk pelarangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini jika dikaitkan

dengan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada izin ekspor (export licences).

6. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor

Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.

Guna menunjang kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah

sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan-peraturan yang telah dijelaskan

diatas maka pemerintah melalui kementerian keuangan mengeluarkan Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan

Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar (selanjutnya

disebut dengan Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014).

Tarif bea keluar ekspor mineral hasil olahan dan/atau pemurnian ini

diterapkan dalam rangka kebijakan pengendalian penjualan bijih (Raw Material

(21)

tentang besaran bea keluar yang harus dibayarkan oleh eksportir jika melakukan

ekspor mineral hasil olahan dan/atau pemurnian. Jenis bea keluar yang diatur

peraturan ini terbagi atas dua jenis yaitu:

a. Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang tidak membangun fasilitas

smelter atau tidak melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter.

b. Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang membangun fasilitas

smelter atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter.

Untuk yang jenis pertama bea keluar diterapkan secara progresif dimulai

dari 20% s/d 60%. Kenaikan bea keluar tersebut dilakukan secara bertahap per

enam bulan sekali dimulai dari sejak diberlakukannya peraturan ini sampai

dengan tanggal 12 Januari 2017.133

Untuk yang jenis kedua bea keluar diterapkan berdasarkan tingkat

kemajuan pembangunan smelter. Tingkat kemajuan pembangunan tersebut dibagi

menjadi tiga 3 tahap yaitu :134

a. Tahap I : untuk tingkat kemajuan pembangunan sampai dengan 7,5%

termasuk di dalamnya penempatan jaminan kesungguhan135

b. Tahap II : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 7,5% sampai ;

dengan 30%;

c. Tahap III : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 30%

Untuk tahap I dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5 %, tahap II sebesar

5%, dan tahap III sebesar 0% atau dapat dikatakan tidak dikenai bea keluar.

133

Lihat Lampiran I Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014.

134

Indonesia (l), Pasal 4A angka 3

135

(22)

Berbeda dengan tarif bea keluar jenis pertama yang besaran tarif bea keluarnya

dikenakan secara progresif sejalan dengan berlalunya waktu, untuk tarif jenis

kedua ini dikenakan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter dan

tidak dipengaruhi berlalunya waktu. Sebagai contoh, apabila suatu eksportir

tergolong pada Tahap I yang dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5% maka dari

sejak berlakunya peraturan ini sampai dengan tanggal 12 Januari 2017 eksportir

tersebut tetap dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5% apabila dia ingin

mengurangi tarif bea keluarnya sampai dengan 5% maka dia harus meningkatkan

tingkat kemajuan pembangunan smelternya di rentang 7,5% s/d 30%, dan apabila

dia tidak ingin dikenai tarif bea keluar maka dia harus meningkatkan tingkat

kemajuan pembangunan smelternya sampai dengan lebih dari 30%.136Jika

dikaitkan dengan ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk pelarangan

ekspor yang terdapat dalam peraturan ini tergolong dalam pajak ekspor (export taxes) yang berbentuk ad valorem tax. Ad valorem tax adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang yang

diekspor.137

B. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah di Indonesia.

Sebagai contoh jika seorang eksportir mengekspor konsentrat

tembaga dengan kadar ≥ 15% Cu maka dia akan dikenakan tarif bea keluar

sebesar 25%.

1. Pengertian Pelarangan Ekspor Mineral Mentah

Baik dalam UU Minerba maupun peraturan-peraturan pelaksananya tidak

terdapat definisi mengenai pelarangan ekspor mineral mentah. Pelarangan terdiri

136

Lihat Lampiran II Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014.

137

(23)

dari kata dasar “larang” yang ditambahkan imbuhan pe-an. Imbuhan pe-an dapat

diartikan sebagai “perihal”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,

pelarangan diartikan sebagai “perihal melarang”, “ perbuatan melarang,”

sedangkan ekspor adalah “pengiriman barang dagangan ke luar negeri” dan

mentah didefinisikan sebagai “belum diolah”. Pasal 1 angka 2 UU Minerba

mendefinisikan mineral sebagai senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang

memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau

gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

Dengan demikian secara harfiah pelarangan ekspor mineral mentah dapat

diartikan sebagai perintah atau aturan yang melarang suatu perbuatan yakni

pengiriman mineral yang belum diolah ke luar negeri. Dalam konteks kebijakan

peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara melalui kegiatan

pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang diatur dalam Pasal 102 dan 103

UU Minerba serta peraturan-peraturan pelaksananya. Dapat dikemukakan bahwa

yang dimaksud dengan pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan

terhadap ekspor mineral yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu

di dalam negeri sampai dengan batasan minimum pengolahan dan pemurnian.

Guna memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan

bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral

dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan

sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal

mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta

(24)

secara berkelanjutan.138

Untuk mendukung kebijakan peningkatan nilai tambah, pemerintah

dalam regulasinya baik secara implisit maupun eksplisit seperti yang telah

dijelaskan diatas melarang ekspor mineral mentah. Larangan ekspor mineral

mentah merupakan konsekuensi logis dari kebijakan peningkatan nilai tambah

terhadap produk pertambangan, sebab apabila ekspor terhadap mineral mentah

tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan

pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak artinya.

Pemerintah mengeluarkan UU Minerba. Salah satu

kebijakan yang terdapat dalam UU Minerba adalah peningkatan nilai tambah

sumber daya mineral dan/atau batubara melalui kegiatan pengolahan dan

pemurnian di dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 102 dan

103.Kebijakan peningkatan nilai tambah tersebut bertujuan untuk meningkatkan

penerimaan negara, meningkatkan lapangan pekerjaan, mendorong kebijakan

hilirisasi pertambangan, menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan

dan pemurnian di dalam negeri serta menjaga kelestarian sumber daya alam.

139

138

Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Umum.

139

YusrilIhzaMahendra, Loc.Cit., hlm.7.

Jika

pemerintah tidak melarang ekspor mineral mentah maka akan terjadi eksploitasi

terhadap sumber daya alam, yang nantinya akan mengancam kelestarian

lingkungan hidup dan ketersediaan mineral mentah untuk pengolahan dan

pemurnian mineral di dalam negeri.Jika mineral mentah di dalam negeri tidak

tersedia lagi, maka kebijakan peningkatan nilai tambah tidak dapat dilaksanakan.

Untuk mencegah hal tersebut pemerintah dalam peraturan-peraturan pelaksananya

baik secara implisit maupun eksplisit seperti yang telah dijelaskan diatas melarang

(25)

Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut ditegaskan lebih

lanjut oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor

10/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut:

“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.”140

2. Konsep Kedaulatan Negara Atas Bahan Tambang

Dalam kepustakaan ilmu negara asal-usul kekuasaan negara selalu

dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souvereniteit), sebab dikaitkan dengan soal siapa yang berdaulat atau memegang kekuasaan dalam

suatu negara.141 Karena kajian ini tidak akan mempersoalkan siapa yang

memegang kekuasaan dalam negara, sehingga kurang tepat menggunakan

teori-teori kedaulatan negara sebagai sumber kekuasaan negara atas sumber daya alam.

Dasar teoritis sumber kekuasaan negara yang demikian, menurut van vollenhoven

sebagaimana ditulis oleh Notonagoro ialah negara sebagai organisasi tertinggi dari

bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara

berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk membuat peraturan

hukum142

140

Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit., hlm.175.

141

Abrar Saleng, Op.Cit.,hlm.7.

142

(26)

Dalam kepustakaan lain, J.J Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan

negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat yang bersumber dari hasil

perjanjian masyarakat (Contract Social) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi

dan milik setiap individu. Dalam perjanjian masyarakat itu, pada hakikatnya yang

dilepas oleh setiap individu dan diserahkan kepada kesatuannya hanya sebagian

kekuasaan bukan kedaulatannya. Namun kekuasaan negara itu, bukanlah

kekuasaan tanpa batas (postetaslegibus omnibus soluta), sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan

(legesnaturaeetdevinae) serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan legesimperii. Pengertian legesimperii menurut Yudha B. Ardiwisastra ialah undang-undang dasar negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada

siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya.143

Sejalan dengan kedua teori atau konsep diatas, secara teoritik kekuasaan

negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak

bangsa. Negara di sini, dipandang sebagai territorialepubliekerechtsgeenschap van overhead en onderdanen, yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan

untuk mengatur, mengurus, dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh

potensi sumber daya dalam wilayahnya secara intern.144

Sejalan dengan teori tersebut melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang

menyebutkan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

143

Abrar Saleng, Op.Cit.,hlm.8.

144

(27)

UUD 1945 memberikan hak kepada negara untuk menguasai bumi dan dari dan

kekayaan alam yang terkandung di dalam untuk kemakmuran rakyat. Hak tersebut

selanjutnya disebut sebagai hak penguasaan negara.Apabila konsep negara

kesejahteraan145 dan fungsi negara menurut W.Friedmann146 dikaitkan dengan

konsepsi Hak Penguasaan Negara untuk kondisi Indonesia dan keperluan kajian

ini, dapat diterima dengan beberapa kajian kritis sebagai berikut;147

Kedua, Hak Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan

dengan public utilitisdan public services atas dasar pertimbangan; filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan),

strategis (kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoly yang

merugikan perekonomian negara), ekonomi (efisiensi dan efektifitas) dan demi

Pertama, Hak Penguasaan Negara dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi

negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Artinya melepaskan suatu

bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai

dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus. Karena

itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tetap dapat

dikendalikan oleh negara.

145

Menurut BagirManan negara kesejahteraan adalah negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lihat :Ibid., hlm.9.

146

Fungsi Negara menuturW.Friendmann terdiri dari empat fungsi yaitu; (1) fungsi negara sebagai provider (penjamin) kesejahteraan rakyat; (2) fungsi negara sebagai regulator (pengatur); (3) fungsi negara sebagai entrepreneur (pengusaha) atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui state owned corporations (BUMN) dan; (4) fungsi negara sebagai umpire (pengawas, wasit) untuk merumuskan standar-standar yang adil mengenai kinerja sektor ekonomi termasuk perusahaan negara (state corporation). Lihat: Ibid.,hlm.16.

147

(28)

kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Sumber daya alam

yang dimaksud dalam konteks ini adalah sumber daya alam dalam lingkup

pertambangan terkhusus mineral dan batubara.

3. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Penguasaan Negara

Kata-kata dikuasai oleh negara yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945

tidak ditafsirkan secara khusus dalam penjelasannya, sehingga memungkinkan

untuk dilakukan penafsiran akan makna dan cakupan pengertiannya. Untuk

memahami pengertian dikuasai oleh negara, maka terlebih dahulu dilakukan

penafsiran etimologis. Dikuasai oleh negara (kalimat pasif) mempunyai padanan

arti Negara menguasai atau Penguasaan Negara (kalimat aktif). Pengertian kata

“menguasai” ialah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu)”,

sedangkan pengertian kata “penguasaan” berarti; proses, cara, perbuatan

menguasai atau mengusahakan”. Dengan demikian pengertian kata penguasaan

lebih luas dari kata menguasai.148

148

Ibid.,hlm.21.

Dalam kerangka penguasaan negara atas

pertambangan mengandung pengertian; negara memegang kekuasaan untuk

menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya bahan galian yang terdapat

dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Pengertian yang demikian,

sejalan dengan maksud kata-kata dikuasai oleh negara yang tertuju kepada

objek-objek penguasaan yang tersebut dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945,

(29)

oleh hukum (het recht in zijn-veroorlovendegedaante) saja yang dijadikan dasar bagi adanya hak untuk mengatur oleh negara.149

Hak Penguasaan Negara ialah Negara melalui Pemerintah memiliki

kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber

daya alam dalam lingkup mengatur (regelen), mengurus, mengelola (besturen, beheren) dan mengawasi (toezchthouden) pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.150Secara konstitusional Hak Penguasaan Negara berdasar pada Pasal

33 UUD 1945. Menurut JimlyAssidhiqqie, dalam pemahaman konstitusi banyak

kalangan selama ini terdapat kekeliruan terkait dengan konstitusi yang hanya

diartikan sebagai Undang-Undang Dasar. Kesalahan ini salah satu akibat dari

faham kodifikasi yang meyakini dan menghendaki bahwa seluruh peraturan

hukum dibuat dalam bentuk tertulis (written document) yang bertujuan untuk menciptakan kesatuan hukum (unifikasi hukum), kesederhanaan hukum, dan

kepastian hukum (rechzekerheid).151

Konstitusi Indonesia, UUD 1945, tergolong ke dalam jenis konstitusi

sosial. Oleh karena itu, dalam memahami maksud aturan-normatif yang

terkandung di dalam pasal-pasalnya, diperlukan telaah yang lebih mendalam

terhadap isi Pembukaan UUD 1945. Sebab di dalam Pembukaan itulah dimuat

rumusan-rumusan filosofis mengenai dasar dan tujuan negara serta rumusan

asas-asas mengenai negara yang hendak dibangun oleh bangsa Indonesia.152

Pasal 33 UUD 1945 mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian

atau tata susunan perekonomian dan kegiatan-kegiatan perekonomian yang

149

Ibid., hlm.21-22.

150

Ibid., hlm.18.

151

JimlyAsshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.95.

152

(30)

dikehendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian yang

dikehendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian dan

kegiatan perekonomian sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial, maka

pembuat/penyusun UUD 1945 menempatkan Pasal 33 sebagai salah satu Pasal di

dalam Bab XIV di bawah judul Kesejahteraan Sosial.153

Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 33 didasari oleh pokok-pokok pikiran

yang terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945, sehingga Pasal 33

merupakan normatifisasi nilai-nilai yang terkandung dalam alinea ke IV

Pembukaan UUD 1945 antara lain berbunyi:154

Kalimat terakhir alinea ke IV yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia, selanjutnya dikenal sebagai sila ke lima dari Pancasila

yang merupakan landasan legitimasi keberadaan negara.

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”

155

Pada akhir rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 telah membentuk tiga

Panitia yaitu; Panitia Perancang UUD 1945 (diketuai Soekarno), Panitia

Keuangan dan Perekonomian (diketuai Mohammad Hatta) dan Panitia Pembelaan Kemudian untuk

memahami makna dan substansi Hak Penguasaan Negara yang terkandung dalam

Pasal 33, akan dimulai dari sejarah perumusan Pasal 33 itu sendiri.

153

Ibid., hlm.25.

154

Ibid.

155

(31)

Tanah Air (diketuai AbikusnoTjokrosujoso).156Dari hasil rumusan Rapat Panitia

Perancang UUD 1945 tanggal 11 dan 13 Juli 1945, materi yang terkandung dalam

Pasal 33 UUD 1945, termuat dalam Pasal 32 rancangan UUD 1945. Bunyi Pasal

32 rancangan UUD 1945 tersebut secara keseluruhan sama dengan bunyi Pasal 33

UUD 1945 dengan sedikit perbedaan pada ayat (2) rancangan UUD 1945 yang

berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting dalam menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh pemerintah, sedangkan pada ayat (2) Pasal 33 UUD

1945 berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara.157

Meskipun terdapat perbedaan secara yuridis antara negara dan

pemerintah, namun pembicaraan dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus

1945 mengenai perubahan redaksi ayat (2) rancangan UUD 1945 dari dikuasai

oleh pemerintah menjadi dikuasai oleh negara tidak dipersoalkan oleh satu pun

anggota PPKI. Ini membuktikan bahwa panitia perancangan UUD 1945 itu

menyadari kelemahan apabila menggunakan kata pemerintah. Sebab pemerintah

bisa berganti, tetapi negara adalah tetap negara.158

Indonesia merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong menolong dan usaha bersama, yang diselenggarakan berangsur-angsur dengan mengembangkan kooperasi. Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang Selanjutnya dasar-dasar

pemikiran yang juga melandasi Pasal 33 adalah pokok-pokok pikiran tentang

ideologi perekonomian Indonesia merdeka dirumuskan oleh Panitia Keuangan dan

Perekonomian yang diketuai Mohammad Hatta Menghasilkan rumusan sebagai

berikut;

“Orang Indonesia hidup tolong menolong!

156

Ibid.,hlm.27.

157

Ibid.

158

(32)

menggantungkan hidupnya, mestilah dibawah kekuasaan Pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila buruk-baiknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang berkerja di dalamnya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur , dengan berpedoman kepada keselamatan rakyat. Bangunan kooperasi dengan diawasi dan juga disertai dengan kapital oleh Pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahaan besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya ke sana, semakin besar mestinya pesertaan Pemerintah. Dengan sendirinya perusahaan besar-besar itu menyerupai bangunan korporasi publik. Dengan sendirinya perusahaan besar-besar itu menyerupai bangunan korporasi publik. Itu tidak berarti bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi. Perusahaan dan birokrasi adalah dua hal yang sangat bertentangan.

Tanah, sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat Indonesia, haruslah di bawah kekuasaan Negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-orang untuk menindas dan memeras hidup orang lain

Perusahaan tambang yang besar dan serupa dengan itu dijalankan sebagai usaha negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran dan kesehatan rakyat. Tanahnya serta isinya Negara yang punya. Tetapi cara menjalankan eksploitasi itu bisa diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada Pemerintah, menurut peraturan yang ditetapkan.

Ini tentang ideologi perekonomian yang dapat diselenggarakan berangsur-angsur dengan didikan pengetahuan, organisasi, idealisme dan rohani kepada orang banyak.”159

Bertolak dari rumusan tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa

pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya antara lain;160

a. Perekonomian Indonesia berdasarkan pada cita-cita tolong-menolong dan

usaha bersama, dilaksanakan dalam bentuk koperasi.

b. Perusahaan besar mesti dibawah kekuasaan Pemerintah, yang dimaksud

dengan perusahaan besar-besar ialah yang menguasai hidup orang banyak dan

dimana banyak orang menggantungkan hidupnya.

159

Ibid., hlm.28-29.

160

(33)

c. Perusahaan besar berbentuk korporasi diawasi dan penyertaan modal

Pemerintah, Perusahaan yang dimaksud menyerupai korporasi publik.

d. Tanah di bawah kekuasaan negara, dikuasai artinya di punyai, oleh negara,

termasuk isi yang terkandung di dalamnya.

e. Perusahaan tambang dalam bentuk usaha negara dapat diserahkan kepada

badan yang bertanggung jawab kepada pemerintah.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, memberikan petunjuk

mengenai pengertian, makna dan substansi kata-kata (istilah) dikuasai oleh negara

atau Hak Penguasaan Negara yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3). Isi Pasal

tersebut, berimplikasi kepada; Pertama, Negara menguasai bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya. Kedua, bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya (bahan galian) dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.161

Objek Hak Penguasaan Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal

33 UUD 1945 menyangkut dua hal yaitu; (a) terhadap cabang produksi yang

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (ayat 2); (b)

terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (ayat 3).

Cabang produksi yang erat kaitannya dengan kedua hal tersebut di atas antara lain

sektor pertambangan dan energi.162

C. Permasalahan yang timbul akibat diterapkannya kebijakan larangan ekspor mineral mentah

Kebijakan larangan ekspor mineral mentah pada hakikatnya bertujuan

untuk memastikan tersedianya cadangan mineral mentah untuk pengolahan dan

161

Ibid., hlm.31.

162

(34)

pemurnian mineral di dalam negeri. Sehingga kebijakan peningkatan nilai tambah

produk pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam

negeri dapat terlaksana dengan baik yang nantinya diharapkan dapat memberikan

sumbangan terhadap peningkatan perekonomian Indonesia serta meningkatkan

kesejahteraan rakyat.Namun pada kenyataannya kebijakan larangan ekspor

mineral mentah tidak hanya memberikan dampak positif seperti yang diharapkan

tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang dapat mengancam kestabilan

perekonomian dan industri pertambangan di Indonesia. Berikut penjabaran

mengenai dampak negatif tersebut;

Pertama, PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha

yang berbadan hukum Belanda, mengumumkan pengajuan gugatan arbitrase

internasional terhadap Pemerintah terkait dengan larangan ekspor yang telah

mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan

menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi terhadap para karyawan PTNNT,

kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.163

Pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan

ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan

kepada PTNNT oleh Pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) dan

perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda. Dalam gugatan

arbitrase yang diajukan kepada the International Center for the Settlement of

Investment Disputes, PTNNT dan NTPBV menyatakan maksudnya untuk

memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk dapat melakukan

163

(35)

ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat dioperasikan

kembali.164PTNNT merupakan perusahaan tambang tembaga dan emas yang

beroperasi berdasarkan Kontrak Karya Generasi IV yang ditandatangani pada 2

Desember 1986.165

Kedua, Terjadinya Perlambatan ekonomi. Badan Pusat Statistik merilis pertumbuhan ekonomi kuartal I 2014 sebesar 5,21%. Padahal, pertumbuhan

ekonomi kuartal IV 2013 mencapai 5,72%. Angka ini menunjukkan perlambatan

yang bersumber dari sektor pertambangan akibat pemberlakuan Undang-Undang

Mineral dan Batu Bara (minerba).

Gugatan PTNNT ini terkait dengan ketidak sesuaian antara

hukum positif yang berlaku di Indonesia dengan ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Kontrak Karya PTNNT yakni berkaitan dengan ketentuan baru

terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan

dimulai Januari 2017.

Kontrak Karya PTNNT ditandatangani jauh sebelum UU Minerba

dibentuk, sehingga pada saat UU Minerba beserta peraturan-peraturan

pendukungnya dibentuk, terdapat ketidak sesuaian, namun terkait dengan hal

tersebut Pasal 169 UU Minerba telah memerintahkan ketentuan yang tercantum

dalam Pasal Kontrak Karya yang telah ada sebelum UU Minerba diundangkan

harus disesuaikan dengan UU Minerba selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak

UU Minerba diundangkan.

166

164

Ibid.

165

Ibid.

166

Suci SedyaUtami , “Perlambatan Ekonomi akibat Larangan Ekspor Mineral Mentah,” http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/05/05/238469/perlambatan-ekonomi-akibat-larangan-ekspor-mineral-mentah (diakses pada tanggal 10 Maret 2015)

Kepala BPS Suryamin mengungkapkan

larangan untuk ekspor bijih mineral mentah atau ore merupakan penyebab

(36)

pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pada kuartal I 2014, pertumbuhan sektor

pertambangan turun sebesar 0,38% dibandingkan dengan periode yang sama pada

2013.167

Perlambatan ekonomi juga berdampak pada daerah-daerah khususnya

kawasan timur Indonesia, dikarenakan kawasan timur Indonesia merupakan

mayoritas daerah penghasil mineral. Sejumlah daerah itu antara lain adalah papua,

sulawesi, kalimantan, maluku. Dari data Bank Indonesia (BI), Papua tercatat

memiliki pertumbuhan ekonomi pada 2013 di KTI ini mulai dari 6% hingga

tertinggi mencapai 23%. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2014 di

KTI akan berada di level 4,5% -5,0%. Hal ini jauh dari angka pertumbuhan

ekonomi yang berada di level 5,8% -6,2% secara nasional pada 2014.168

Ketiga, Terjadinya pemutusan hubungan kerja massal. Presiden Direktur PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) Kiki Hamidjaja menyatakan, sejak

larangan ekspor mineral mentah diberlakukan, operasi produksi tambang nikel

milik DKFT di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara dan di Morowali, Sulawesi

Tengah dihentikan. Akibatnya, sekitar 2.000 pekerja pekerja DKFT maupun

pekerja dari kontraktor jasa pertambangan DKFT dipecat. 169

Selain DKFT, Direktur PT Harita Prima Abadi Mineral ErrySofyan juga

telah merumahkan 4.500 karyawan. Langkah ini diambil karena penghentian

operasi tambang bauksit milik Harita pasca keluarnya PP No. 1 tahun 2014 yang

melarang ekspor mineral mentah. Sementara, pengoperasian smelter Harita baru

167

Ibid.

168

Ilyas IstianurPraditya, “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Timur Kena Imbas UU Minerba,“ http://m.liputan6.com/bisnis/read/830723/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-timur-kena-imbas-uu-minerba (diakses pada tanggal 10 Maret 2015)

169

(37)

berjalan 2015 nanti.170 Selain Harita Prima Abadi Mineral, menurut Erry yang

juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia

(APB3I), ada sekitar 40.000 karyawan dari 51 perusahaan tambang bauksit yang

menyebar di Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah juga

telah memecat karyawannya. 171

Referensi

Dokumen terkait

Nilai investasi yang seharusnya dapat tercatat tahun ini mencapai Rp 145 triliun, selain itu sektor pertambangan lainya di koridor Sulawesi juga banyak yang dibatalkan tahun

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui alternatif perbandingan pendanaan antara Leasing atau Hutang jangka panjang dalam pendanaan aset

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari variasi kemiringan sudut kemiringan lereng dan lebar pondasi yang paling optimum untuk daya dukung

Masa ini disebut juga masa bahasa telegraf, maksudnya pada usia 1,5 hingga 3 tahun, cara anak berbicara adalah dengan menyingkat-nyingkat kalimat seperti dalam teleg-

Sementara itu, kesepadanan makna dalam penerjemahan akan menentukan berhasil atau tidaknya suatu penerjemahan, karena penerjemahan pada prinsipnya merupakan pengalihan

pola hidup sehat khususnya mengurangi mengkonsumsi makanan yang dapat menimbulkan kolesterol dan diabetes meningkat (lihat Tabel 3). Temuan ini mengindikasikan bahwa

Pohon-pohon tersebut kemudian dicabut dan ditanam ulang menjadi 13 buah kebun dengan ukuran lebih kecil yaitu setiap kebun kecil terdiri dari m baris dan setiap

Primordial germ cells -sirkulasi ayam dapat disimpan dalam nitrogen cair dengan menggunakan metode yang sederhana, tanpa menghilangkan kemampuannya untuk dapat