• Tidak ada hasil yang ditemukan

KH. Hasyim Asy ari KH Hasyim Asy ari tok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KH. Hasyim Asy ari KH Hasyim Asy ari tok"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KH. Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy’ari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama NU Siapa yang tidak kenal KH Hasyim Asy’ari?, Beliau adalah seorang Pahlawan Nasional dan Kyai dari Jawa Timur yang sekaligus pendiri salah satu organisasi Muslim terbesar dalam bingkai Islam berhaluan Ahlussunah Wal Jama’ah di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama.

KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang biasa terkenal dipanggil KH. Hasyim Asy’ari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 M, atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287 H. di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

K.H Hasjim Asy'ari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara1, Ayahnya bernama Kyai Asy’ari, merupakan seorang pemimpin Pondok Pesantren Keras (nama Desa), yang berada di sebelah selatan Jombang, Jawa timur. Sedangkan Ibunya bernama Halimah.

Diantara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan.

Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy'ari memiliki garis keturunan dari Sultan Pajang (Jaka Tingkir) juga mempunyai keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya V (Lembupeteng).

Berikut silsilah berdasarkan K.H. Hasjim Asy'ari berdasarkan garis keturanan ibu; Hasjim Asy'ari putra Halimah putri Layyinah putri Sihah Putra Abdul Jabar putra Ahmad

1

(2)

putra Pangeran Sambo putra Pengeran Benowo putra Joko Tingkir (Mas Karebet) putra Prabu Brawijaya V (Lembupeteng)2

SEJARAH PENDIDIKAN KH. HASYIM ASY’ARI

K.H. Hasjim Asy'ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy'ari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.

Di Makkah, awalnya K.H. Hasjim Asy'ari belajar dibawah bimgingan Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini sangat menarik minat belajar K.H. Hasjim Asy'ari sehingga sekembalinya ke Indonesia pesantren ia sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis.

Ia mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar Sahih Bukhari, dimana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadis dari 23 generasi penerima karya ini. 3. Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

K.H. Hasjim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Katib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Di masa belajar pada Syaikh Ahmad Katib inilah K.H. Hasjim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.

2

(3)

Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di Makkah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang bukan dari Nusantara antara lain Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama terkenal pada masa itu.4

SEJARAH PERJUANGAN KH. HASYIM ASY’ARI

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan & kecerdasan KH Hasyim Asy’ari memang sudah tampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu Ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Pada Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, untuk berkelana memperdalam ilmu dari satu Pondok Pesantren ke Pondok Pesantren lain.

Mula-mula ia menjadi santri di Pondok Pesantren Wonokoyo, Probolinggo, Jawa Timur. Kemudian pindah ke Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Kemudian Pindah lagi ke Pondok Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang diperolehnya, ia melanjutkan di Pondok Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kyai Cholil. Dan juga pernah nyantri di Pesantren Siwalan, Sidoarjo, Jawa Timur.

Di Pondok Pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim Asy’ari merasa benar-benar menemukan sumber ajaran Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas & alim dalam ilmu agama. Cukup lama (lima tahun) Hasyim Asy’ari menyerap ilmu di Pondok Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub tertarik dan kagum kepada pemuda yang cerdas & alim itu.

Pada usia 21 tahun, Hasyim Asy’ari dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air.

4

(4)

Dan pada tahun 1892, setelah istri & anaknya wafat, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap dan menimba ilmu di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.

Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim Asy’ari mengajar di Pondok Pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.

Kyai Hasyim Asy’ari bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani & pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim Asy’ari istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi ke Surabaya berdagang kuda, besi & menjual hasil pertaniannya. Dari bertani & berdagang itulah, Kyai Hasyim Asy’ari menghidupi keluarga & pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim Asy’ari membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870.

Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah cikal bakal Pondok Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim Asy’arimengajar & salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, & tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

(5)

Pada akhir dekade 1920-an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim Asy’ari menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri, Jawa Timur. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim Asy’ari dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Di kisahkan, pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, yaitu antara KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. ‚Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,‛ kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim Asy’ari menjawab, ‚Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, & juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.‛ Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. ‚Keputusan & kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar & diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, & berguru kepada Tuan,‛ katanya. dikarenakan sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim Asy’ari tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, dikarenakan hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan hal tersebut sering terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim Asy’ar ijuga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati & saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid & guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada zamannya. Hampir semua pendiri NU & tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

(6)

Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim Asy’ari kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang, serta berpengaruh luas.

KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) & KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan Pondok Pesantren paling besar & paling penting di Jawa.

Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‚Tradisi Pesantren, mencatat bahwa Pondok Pesantren Tebuireng adalah sumber ulama & pemimpin lembaga-lembaga Pondok Pesantren di seluruh Jawa & Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim Asy’ari. Karena pengaruhnya yang sedemikian kuat, keberadaan Kyai Hasyim Asy’arimenjadi perhatian serius oleh para Penjajah. Baik Belanda maupun Jepang, yang saling berusaha untuk merangkulnya dan mengambil hatinya. Di antaranya, ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, akan tetapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim Asy’arisempat membuat Belanda kelimpungan; Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah Jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, dikarenakan perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim Asy’arijuga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. dikarenakan banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Kyai Hasyim Asy’ari juga pernah di penjara 3 bulan pada l942, tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim Asy’ari dan memenjarakannya. Mungkin, dikarenakan sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya (memuliakan) kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyai Hasyim Asy’ari.

(7)

M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim Asy’ari dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim Asy’ari yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan Pondok Pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan Pondok Pesantren porak-poranda, kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan Belanda tersebut terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik pada tahun 1940-an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara De Facto & De Jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represif & kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera & kerabatnya. Ini dilakukan dikarenakan Kyai Hasyim Asy’ari menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris & membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito & ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim Asy’ari menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah-lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim Asy’ari ditangkap dan ditahan secara berpindahpindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng-pun minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim Asy’ari mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

(8)

Syaikh berpencar. diantaranya Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pondok Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang dikarenakan banyaknya protes dari para Kyai & santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim Asy’ari juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim & Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke Tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim Asy’ari bersama para ulama menyerukan

Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945, tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ro’is ‘Aam (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus Jenderal dalam gerakan Laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim Asy’ari.

(9)

Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari & KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Saat Kyai Hasyim Asy’ari belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Kyai Hasyim Asy’ari. Ide reformasi Abduh itu ialah; Pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh & praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas. Ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan, Keempat, mempertahankan Islam.

Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik & pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab & agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Kyai Hasyim Asy’ari. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.

(10)

kalangan Pondok Pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah & Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. dikarenakan aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim Asy’ari, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma menjadi Nahdlatul Ulama

(NU) yang artinya Kebangkitan Ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa Ormas Islam membentuk badan federasi partai dan Perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebutan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim Asy’ari diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, yaitu Partai Politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan Pendidikan dan Organisasi. Kemudian pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai Organisai Pendidikan, Sosial, dan Keagamaan, diantaranya, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

(11)

sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, dikarenakan dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan Pondok Pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan Pondok Pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim Asy’ari bersama para pengasuh Pondok Pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan Pondok Pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab serta berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, memohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim Asy’ari sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

(12)

As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim Asy’aridi Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim Asy’ari menerima kedatangan As’ad, dan memperdengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ‛Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,‛ ujarnya lirih sambil meneteskan air mata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim Asy’ari masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. Seraya mengatakan: ‛Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan Tasbih ini,‛ ujar Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ‛Kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai‛.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ‛Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,‛ tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim Asy’ari semakin mantap. Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Dan di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan "Hadratus Syeikh" yang berarti maha guru.

(13)

Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim Asy’ari pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim Asy’ari ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh Tanah Jawa & Madura. Kyai Hasyim Asy’ari yang saat itu menjadi ‛kiblat‛ para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim Asy’ari dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

KARYA DAN PEMIKIRANNYA

K.H. Hasjim Asy'ari banyak membuat tulisan dan catatan-catatan. Sekian banyak dari pemikirannya, setidaknya ada empat kitab karangannya yang mendasar dan menggambarkan pemikirannya; kitab-kitab tersebut antara lain:

1. Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, dan Penjelasan tentang Sunnah dan Bid'ah).

2.Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang Terang tentang Kecintaan pada Utusan Tuhan, Muhammad SAW).

(14)

4.Al-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan (Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturrahmi, Tali Persaudaraan dan Tali Persahabatan).5

WAFAT DAN LOKASI MAKAM

Kyai Hasyim Asy’ari tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun; 4 Jumadil Awwal 1292 H. Tepatnya 6 Ramadhan 1366 H., dan dimakamkan di Tebureng, Jombang, Jawa Timur.

Referensi:

1. Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj'ari, hal. 55 atau lihat Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy'ari, LKiS. hal. 17

2. Arifin, Kepemimpinan Kiai, hal. 72; lihat juga Anam, Pertumbuhan, hal. 60. Zamaksari, Tradisi Pesantren. hal. 95

3. Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasjim Asy'ari, LKiS. hal. 18

4. Misrawi, Zuhairi. Hadratussaikh Hasyim Asy'ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Kompas Media Nusantara, 2010, Hal. 17

5. http://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/05/28/biografi-kh-hasyim-asyari-pendiri-nu-tebuireng-jombang/

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ketika variabel sikap pada informasi dijadikan setelah dikontrol (dibuat konstan) nilai koefisien korelasi intensitas

Pulau Buru dan khususnya Kabupaten Buru memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam yang sekiranya sangat besar, mulai dari kandungan emas hingga potensi panas bumi,

Berdasarkan uraian di atas telah dilaksanakan penelitian melalui suatu percobaan yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan tepung kulit kopi

Karena memiliki tubuh yang sehat merupakan salah satu dambaan setiap orang, karena kekayaan tidak akan dapat kita nikmati apabila tubuh tidak sehat, sehingga

(8) Tolok ukur dan pembobotan indikator penilaian mandiri atas Kinerja PTSP Pemda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7)

Pemikiran para cendekiawan Muslim, khususnya yang hidup di wilayah Andalusia (Spanyol) seperti Ibnu Thufail (Abu Bacer), Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Khaldun dan

Pandangan hidup Ambika mencerminkan mentalitasnya sebagai perempuan. Pandangan tersebut merupakan representasi pandangan hidup yang paternalistis dan feodal ² bahwa

‘ tuan ’ atau ‘ puan ’, kata ganti nama ‘ saya ’, ‘ awak ’, ‘ aku ’ dan ‘ kau ’, sebagai kata sapaan menunjukkan terdapat perbezaan umur antara orang yang