• Tidak ada hasil yang ditemukan

M.B. Ageng Prasetya. Sales Depo ITC Permata Hijau. Tema : Pendidikan Nasional. Judul : Maju Mundur Sistem Pendidikan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "M.B. Ageng Prasetya. Sales Depo ITC Permata Hijau. Tema : Pendidikan Nasional. Judul : Maju Mundur Sistem Pendidikan Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

M.B. Ageng Prasetya 

Sales Depo ITC Permata Hijau

Tema : Pendidikan Nasional

Judul : Maju Mundur Sistem Pendidikan Indonesia  

Matahari baru saja tenggelam, ketika Dudung tampak sibuk merapikan dan mulai memilih buku pelajarannya. Di dalam salah satu ruang rumah kontrakan berukuran 3 x 6 meter, Dudung pun duduk bersila di depan sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu payet bekas. Ia mulai

mengerjakan contoh soal-soal Ujian Nasional.

Dengan standar kelulusan nilai 5,5 bukanlah suatu hal yang mudah bagi siswa sekolah

menengah atas ini untuk mendapatkannya. Dalam dua kali try out yang di adakan di sekolah, Dudung belum mendapatkan hasil yang memuaskan; terutama untuk matematika. Nilainya masih di bawah standar kelulusan.

Siap mengadu nasib, hanya itulah yang terbesit dalam pikiran Dudung. Cita-cita memang ingin terus melanjutkan bangku kuliah, tapi bagaimana mungkin bagi anak ‘buruh kasar’ ini dapat meraih impiannya. Sementara untuk mendapat predikat ‘Lulus’ saja ia mesti berjuang menaklukan Ujian Nasional.

Tekad Dudung sudah bulat, harus lulus. Meskipun setelah lulus, belum tentu ia bisa kuliah. Tetapi paling tidak ia bisa membantu pekerjaan ayahnya, sebagai kuli panggul di pelabuhan.

(2)

Ilustrasi di atas hanyalah satu dari sekian banyak fenomena yang terjadi menjelang Ujian Nasional tingkat SMA medio Maret lalu. Belum lagi fenomena yang berbau keagamaan seperti ‘Doa Bersama’, hingga ritual mistis seperti ‘Ziarah Kubur’ dan ‘Tabur Beras’.

Ujian Nasional sebagai pemegang kuasa stempel ‘LULUS’ ini menjadi momok yang menakutkan bagi siswa. Tapi bagi pemerintah, Ujian Nasional seakan menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan di Bidang Pendidikan.

Indikatornya, apabila angka kelulusan cukup tinggi, maka dianggap berhasilnya Sistem Pendidikan di Indonesia. Padahal ada banyak hal yang dapat diukur, apakah Sistem Pendidikan di Indonesia itu berhasil atau tidak.

Dalam tulisan ini, penulis tidak akan berasumsi apalagi memvonis keberhasilan atau kegagalan sistem pendidikan. Tapi kita akan coba menelaah seperti apakah sistem pendidikan yang sekiranya tepat dan layak untuk diterapkan di Indonesia.

Strategi Pembelajaran di Sekolah

Kata ‘Strategi Pembelajaran di Sekolah’ merupakan sinonim dari istilah ‘Kurikulum’. Saya

sengaja mengganti kata ‘Kurikulum’ karena istilah tersebut terasa ‘berat’ di telinga. Kalau sudah ‘berat’ kita mendengar, maka makna kata itu pun ‘semakin terasa berat’ untuk dijalankan. Maka

(3)

saya sengaja memilih istilah ‘Strategi Pembelajaran di Sekolah’ supaya terdengar lebih bersahaja, dan yang pasti lebih ‘ringan’ terdengar di telinga.

Dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, setidaknya sudah ada beberapa kali

pergantian ‘strategi pembelajaran’. Diawali pada tahun 1947 dengan Rentjana Pelajaran 1947 dimana tujuan pendidikan pada saat itu menekankan pada pembentukan karakter rakyat Indonesia untuk menyadari bahwa kedudukan bangsa Indonesia berdaulat dan sejajar dengan negara lain.

Kemudian pada tahun 1952, pendidikan lebih mengarah pada pelajaran yang disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari. Strategi ini dinamakan Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Setelah itu dikenal

Program Pancawardhana

pada tahun 1964, yakni: pengembangan moral, kecerdasan, emosional/ artistik, ketrampilan, dan jasmani.

Seiring dengan berubahnya rezim pada masa itu, maka Program Pancawardhana pun diganti pada tahun 1968 dengan pendidikan yang mengarah pada pembinaan jiwa pancasila,

pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kemudian pada tahun 1975 dikenal istilah PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)

yang muatannya lebih mengarah kepada tercapainya tujuan yang dapat diukur dalam bentuk tingkah laku siswa.

‘Strategi pembelajaran’ tahun 1975 ini sangat sulit diwujudkan, karena guru memiliki beban berat karena harus menyusun materi pelajaran secara detail, dibantu dengan alat peraga dan dokumen pendukung pelajaran. Sementara pendapatan atau gaji guru pada saat itu tidaklah memadai. ‘Strategi’ ini hanya bisa dilakukan oleh seorang profesional seperti dosen; maka lahirlah ‘strategi’ CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) pada tahun 1984.

Dalam pembelajaran ini, siswa terlibat aktif baik secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan gurunya. Program pendidikan yang tidak kaku menjadi prinsip CBSA dengan adanya interaksi yang hangat antara siswa dengan guru dan kegairahan belajar.

(4)

memperhatikan kualitas dari isi pembelajaran, maka ‘strategi pembelajaran’ yang telah berlangsung 1 dekade ini pun diganti dengan nama Kurikulum

1994 .

Kurikulum 1994, saya istilahkan dengan ‘Kurikulum Satu Pintu’. Yakni materi pelajaran yang sama bagi semua siswa se-Indonesia, dengan kurang memperhatikan keberbedaan setiap daerah, lingkungan, dan masyarakat. Kemudian direvisi dengan nama

Suplemen Kurikulum 1994

, dimana daerah dapat menambah materi pembelajaran dengan menyesuaikan wilayah masing-masing.

 Pada tahun 2002, lahir ‘strategi pembelajaran’ yang dinamakan KBK (Kurikulum Berbasis

Kompetensi) ; yakni

pengembangan kemampuan untuk melakukan kompetensi dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan program ini diharapkan siswa mampu mengetahui, menyikapi, dan melakukan materi pembelajaran secara bertahap dan berkelanjutan hingga berkompeten.

Muatan KBK pun direvisi pada tahun 2004 dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan), dimana konsep yang

ditawarkan masih sama;  yaitu mengacu pada basis kompetensi. Yang membedakannya adalah pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, memiliki kebebasan dan kewenangan penuh dalam menyusun program pendidikan, tetapi tetap mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan.

Dan jika kita konsisten dan taat pada ‘strategi’ KTSP, maka idealnya Ujian Nasional sudah lama di’kubur’, karena yang tahu persis kompetensi siswa adalah gurunya. Namun dalam Undang-Undang Sisdiknas, yang berhak memberikan penilaian terhadap siswa adalah

pemerintah melalui Ujian Nasional yang dikendalikan dari pusat dengan standarisasi kelulusan.

Mestinya Ujian Nasional bukanlah sebagai penentu kelulusan, melainkan sebagai media

pemetaan mutu pendidikan, sehingga bisa terlihat sekolah mana yang bermutu dan yang belum dari hasil Ujian Nasional. Jika yang sudah bermutu terus diberi motivasi untuk meningkatkan mutunya, sementara yang belum harus terus diperhatikan dan diberikan bantuan akan kemudahan sarana dan prasarana pendidikan agar bisa menjadi sekolah bermutu.

(5)

Selain ‘strategi pembelajaran’ di atas, ada sebuah ‘stratregi’ yang pernah dijalankan di

Indonesia, jauh sebelum Indonesia Merdeka; dan ‘strategi’ ini hanya bisa dirasakan secara lokal di kota Yogyakarta. Di tangan dingin Ki Hajar Dewantara, pada 3 Juli 1922 lahirlah Perguruan Nasional Taman Siswa dengan ajarannya yang terkenal:

Ing Ngarso Sung Tulodo - di depan memberi teladan, Ing Madyo Mangun Karso – di tengah membangun karya,

Tut Wuri Handayani

– di belakang memberi dorongan. Itulah ‘strategi pembelajaran’ yang diterapkan Ki Hajar, yang kemudian tanggal kelahirannya 2 Mei 1889 ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri diberi gelar Pahlawan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Dulu sewaktu saya duduk di bangku sekolah dasar di Barunawati, saya masih ingat di tembok kelas ditempeli tulisan ajaran Ki Hajar Dewantara ini. Mungkin tujuannya supaya sebagai penyemangat siswa dan guru akan ‘makna’ pendidikan. Entahlah, apakah saat ini masih banyak siswa yang ingat akan ajaran ini, atau sudah lupa?

Melihat Mundur untuk Melangkah Maju

Jika kita menelaah paparan di atas, maka ada beberapa ‘strategi pembelajaran di sekolah’ yang pantas diterapkan di Indonesia. ‘Strategi’ CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) tahun 1984 sebenarnya sudah mengadopsi dari Taman Siswa. Dimana pembelajaran sudah dilakukan 2 arah, para siswa diberi kesempatan secara aktif berdialog dengan guru. Dan bukan 1 arah

(6)

dimana guru memberi materi pembelajaran yang harus diterima secara mentah-mentah oleh siswa. 

Selain itu, ‘Strategi’ KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sangatlah baik, dimana sekolah diberikan wewenang menambah materi pembelajaran bagi siswanya, dengan melihat tolak ukur kemampuan siswa di wilayah tersebut, bahkan sekolah bisa memberikan materi yang mengadopsi dari pembelajaran negara lain.

Bila melangkah mundur dengan menerapkan ‘strategi’ Taman Siswa dan CBSA, kemudian menggabungkannya dengan

KTSP

, saya yakin ‘strategi pembelajaran’ Indonesia akan memiliki ‘strategi pembelajaran’ yang dapat melangkah lebih maju dimana ‘strategi’ akan mengacu kepada kompetensi masa depan dan bebas berkreasi.

Tetapi jika kita ingin memajukan suatu sistem (khususnya Sistem Pendidikan) tidak hanya ‘strategi pembelajaran’ saja yang kita harus kita ‘koreksi’ tetapi juga elemen pendukung lainnya, yakni: siswa (peserta didik), guru (pendidik), sekolah (penyelenggara pendidikan, orang tua / wali siswa (pendukung), dan pemerintah (penentu kebijakan).

Kita bisa ibaratkan Sistem Pendidikan seperti sebuah gelas kosong, agar gelas itu penuh

haruslah diisi dengan air yang bersih/ jernih. Air itu berupa elemen-elemen pendukung tadi. Jika salah satu dari elemen tadi tidak terisi ke dalam gelas, maka gelas tersebut tidak akan penuh.

Namun bisa juga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, semua elemen masuk ke dalam gelas, dan gelas pun terisi penuh. Tetapi karena ada salah satu elemen itu adalah air kotor, maka gelas yang penuh itu akan berwarna keruh; tidak jernih. Mampukah semua elemen pendukung pendidikan ini menjadi air yang jernih?

Peserta didik/ siswa harus mendapat dukungan dari orang tua/ wali siswa dimana siswa harus mendapat hak pendidikannya. Agar orang tua mampu menyekolahkan anaknya, maka

pemerintah harus memberikan sarana pendidikan yang terjangkau bagi semua orang. Selain itu kebijakan pemerintah harus mendukung semua elemen lain; misalnya pendapatan/ gaji guru yang layak, APBN Pendidikan yang terarah, dan strategi pembelajaran yang kompeten.

(7)

Jika menyimak APBN tahun 2010 ini, anggaran di Bidang Pendidikan naik sangat signifikan, yakni 20% dari APBN. Coba jika dibandingkan tahun 2004 sebesar 6,6% dan tahun 2008

sebesar 17,4%. Seharusnya dengan anggaran sebesar ini Program Wajib Belajar 9 tahun dapat terealisasi dengan baik.

Khusus untuk pendidik/ guru selain berhak mendapat penghasilan yang layak, beliau juga wajib itu ikut berperan serta secara aktif memajukan peserta didik, yakni harus jauh menatap ke depan. Guru harus mampu mengadopsi teknologi pembelajaran secara benar dan mengikuti perkembangan zaman.

Tidak bisa dipungkiri peran elemen guru ini sedemikian besar, karena dialah yang menjadi senapan untuk memuntahkan peluru-peluru pengetahuan. Jika masa depan suatu bangsa tergantung bagaimana bangsa itu menerapkan pendidikan, maka guru berperan sebagai garda terdepan yang didukung oleh elemen lainnya.

Muncul pertanyaan baru, bagaimana guru dapat menjalankan perannya secara aktif, jika guru juga dikejar untuk mengumpulkan poin demi poin hingga mencapai 850 poin dengan

mengumpulkan dokumen portfolio agar dapat mengikuti

uji sertifikasi, untuk kemudian mendapat gelar sebagai guru yang profesional?

Ironisnya lagi, khusus bagi guru negeri di wilayah Jakarta, mulai 19 April lalu demi mendapat TKD (Tunjangan Kinerja Daerah), guru wajib melakukan absensi dan masuk sekolah pukul 06.30 dan pulang pukul 13.45 wib. Dengan absensi menggunakan sidik jari, guru tidak boleh terlambat 1 detik saja untuk sampai di sekolah. Jika terjadi, maka akan mendapat pemotongan tunjangan. Yang jelas, guru harus mampu membagi waktu demi mengejar karir keguruan, waktu untuk mendapatkan tunjangan, dan waktu untuk proses belajar mengajar.

Entah mengapa saya merasa pendidikan di Indonesia seakan hanya terdiri dari susunan angka-angka. Mulai dari ‘strategi pembelajaran’ alias kurikulum yang berubah tahun demi tahun, prosestase APBN untuk pendidikan, pengumpulan poin dan absensi guru, hingga

standarisasi nilai kelulusan siswa dalam Ujian Nasional. Terlebih lagi, ada susunan angka yang cukup mengejutkan saya, dimana dalam laporan UNESCO bahwa Pendidikan Indonesia

menempati peringkat ke 62 diantara 130 negara di dunia. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh jika dibanding negara lain

(8)

Menelaah paparan di atas, mungkinkah kita layak menyebut pendidikan kita ‘jalan di tempat’ ali as

maju satu langkah ke depan, kemudian mundur lagi satu langkah

ke belakang? Tentunya, saya berharap tidak. 

Dengan mengutip perkataan Presiden pertama Afrika Selatan, Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling dahsyat yang dapat kita gunakan untuk mengubah dunia.”

Maka kita harus mau instropeksi melihat sejarah mundur

ke belakang, bercita-cita dan berorientasi ke masa depan, agar Pendidikan Indonesia bisa melangkah

maju

menghadapi tantangan perubahan zaman dan siap bersaing sebagai negara yang berdaulat dan sejajar dengan negara lain. Mudah-mudahan Pendidikan Indonesia bisa terus

maju

, dan tak akan mundur-mundur .

Semoga.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu kami meminta kepada saudara untuk menunjukan dokumen penawaran asli yang sah dan masih berlaku ( beserta copynya ), sebagaimana yang terlampir dalam

Application of Fuzzy C- Means algorithm in determining the majors in high school students in 81 samples tested in this study show that the Fuzzy C-Means algorithm has a higher

Spektrofotometer Serapan Atom Merk Shimadzu Tipe AA-7000..

tertentu berdasarkan akumulasi perubahan berdasarkan hubungan beban, geser dan momen, tanpa membentuk persamaan diagram geser atau momen secara eksplisit

Pengukuran timbulan sampah di TPS dilakukan dengan Mapping TPS yaitu mengukur volume sampah pada masing-masing gerobak yang masuk ke TPS, area pelayanan

Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian adalah bagaimana sistem pengetahuan masyarakat nelayan terhadap kesehatan ibu dan anak di Nagari Pasar Lama Muara Air

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui faktor ekonomi makro yang mempengaruhi konsumsi masyarakat Jawa Timur, (2) menganalisis kecenderungan mengkonsumsi

Disimpulkan dari penelitian bahwa tidak ada hubungan antara luas lesi foto toraks dengan kepositifan BTA pada pasien TB paru kategori 1 di Medan.. Penelitian ini