• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, hlm. 2 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, hlm. 2 2"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

AKIBAT HUKUM TIDAK DILAKSANAKAN KETENTUAN MENGENAI FORMULIR PENJELASAN MEDIASI OLEH HAKIM PEMERIKSA PERKARA SESUAI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI

PENGADILAN

Oleh: Wajihatut Dzikriyah, S.H.

I. PENDAHULUAN

Secara etimologi Mediasi berasal dari Bahasa Latin yaitu mediare yang berarti berada di tengah, artinya seorang Mediator harus bersikap netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan suatu masalah.1 Sedangkan menurut Retnowulan Sutantio dalam Maskur Hidayat2, mediasi adalah pemberian jasa baik dalam bentuk saran untuk menyelesaikan sengketa para pihak oleh seorang ahli atau beberapa ahli yang diangkat oleh para pihak sebagai Mediator. Mediasi menurut Khotibul Umam3 adalah proses negoisasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator ini tidak berwenang memutus sengketa tetapi hanya sebagai perantara untuk membantu para pihak agar menyelsaikan persoalan yang dihadapi.

Pengertian Mediasi secara yuridis berdasarkan Perma No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disebut Perma Mediasi 2016) adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Mediasi pada pokoknya adalah penyelesaian sengketa atau masalah dengan dibantu oleh Mediator agar dicapai suatu kesepakatan tertentu. Sebenarnya penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan Para Pihak pada posisi yang sama, dan menghasilkan suatu kesepakatan dimana tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan (win-win solution)4.

Pada mulanya ide mediasi terintegrasi di Pengadilan muncul saat kuantitas dan kualitas sengketa yang terjadi pada masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu, sedangkan pengadilan yang bertugas untuk mengadili sengketa memiliki kemampuan yang terbatas. Jalan keluar untuk mengatasi keadaan tersebut adalah dengan mengembangkan konsep Mediasi agar terintegrasi dalam proses peradilan sehingga Mediasi menjadi suatu

1 Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional,

Kencana, Jakarta, hlm. 2

2 Maskur Hidayan, 2016, Strategi dan Taktik Mediasi berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan (Edisi Pertama), Kencana, Jakarta, hlm. 53

3 Khotibul Umam, 2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 10 4 Syahrizal Abbas, Op.Cit., hlm. 24

(2)

kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi5. Menurut Runtung Sitepu dalam Naskah Akademik6, ada dua alasan mengapa mediasi digunakan sebagai penyelesaian yaitu:

1. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat konsensus sehingga cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang netral mempunyai basis sosial yang kuat;

2. Melihat pengalaman di Amerika sebagai negara yang masyarakatnya dikenal cenderung litigation minded, ternyata Mediasi memiliki perkembangan pesat dimana jaringan umum mediasi menangani sekitar 250.000 kasus pertahun.

Menurut Penulis, proses Mediasi mendukung ketentuan Pasal 4 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Prosedur Mediasi sendiri telah mengalami berbagai perkembangan sejak masa HIR hingga saat ini, Perma Mediasi 2016 merupakan aturan terakhir yang mengatur mengenai Mediasi dan belum terdapat peraturan baru yang menyempurnakan. Salah satu pasal dalam Perma Mediasi 2016, yaitu Pasal 17 ayat (8) menentukan mengenai penyerahan Formulir Penjelasan Mediasi kepada Para Pihak, dan lebih lanjut Pasal 17 ayat (9) menentukan bahwa formulir tersebut kemudian ditandatangani oleh Para Pihak dan/atau Kuasa Hukum segera setelah memperoleh penjelasan Mediasi dari Hakim, formulir tersebut merupakan satu kesatuan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan berkas perkara. Namun tidak ditentukan lebih lanjut hal apa yang akan menjadi akibat hukum atau konsekuensi jika ketentuan tersebut tidak dilaksanakan. Atas dasar tersebut kemudian Penulis merasa perlu untuk mengangkat Paper dengan judul, “Akibat Hukum tidak Dilaksanakan Ketentuan Mengenai Formulir Penjelasan Mediasi oleh Hakim Pemeriksa Perkara Sesuai Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”.

II.PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang diatas, maka selanjutnya Penulis merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana aturan hukum mengenai pembuatan Formulir Penjelasan Mediasi di Pengadilan?

2.Bagaimana akibat hukum apabila tidak dibuat suatu Formulir Penjelasan Mediasi?

5 Naskah Akademis Mediasi Purlitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil

Mahkamah Agung RI Tahun 2017.

(3)

III. PEMBAHASAN

A.Aturan Hukum tentang Formulir Penjelasan Mediasi

Lembaga damai diatur dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa jika pada hari yang ditentukan para pihak hadir maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan mendamaikan para pihak tersebut. Lebih lanjut Pasal 131 ayat (1) HIR menentukan bahwa dalam hal Para Pihak hadir tetapi tidak tercapai perdamaian (hal ini harus disebutkan dalam Berita Acara Persidangan), maka surat yang diajukan Para Pihak harus dibacakan. Kemudian ketentuan Padal 130 HIR dan 154 Rbg tersebut dirasa belum cukup untuk mengatur tata cara proses mendamaikan yang pasti, tertib, dan lancar sehingga masih membutuhkan landasan formil lain yang komperhensif sebagai pedoman tata tertib bagi Para Hakim di Pengadilan Tingkat Pertama untuk mendamaikan Para Pihak yang berperkara.7

Mahkamah Agung kemudian menerbitkan SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (selanjutnya disebut SEMA Mediasi 2002), penyusunan SEMA Mediasi 2002 ini bertitik tolak pada hasil Rakernas Mahkamah Agung di Yogyakarta pada tanggal 24 sampai dengan 27 September 20018. SEMA Mediasi 2002 belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan secara memaksa tetapi masih bersifat sukarela sehingga dinilai tidak mampu mendorong Para Pihak untuk secara intensif memaksakan penyelesaian perkara melalui perdamaian.9 Atas dasar itu, SEMA Mediasi 2002 kemudian disempurnakan oleh Mahkamah Agung dengan menerbitkan Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disebut Perma Mediasi 2003), dengan terbitnya Perma Mediasi 2003 maka SEMA Mediasi 2002 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Perma Mediasi 2003 mulai mengenal proses mediasi dengan proses integrasi mediasi di Pengadilan. Dalam Perma Mediasi 2003 ditemukan beberapa permasalahan yang timbul, sehingga dinilai perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan10.

Atas dasar hal tersebut diatas kemudian disusunlah Perma No.1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disebut Perma Mediasi 2008), dalam Perma

7 Konsideran menimbang Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan.

8 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian

dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 295

9 Konsideran menimbang Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan.

10 Konsideran menimbang Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

(4)

Mediasi 2008 ini disebutkan mengenai kewajiban Hakim untuk menjelaskan prosedur mediasi kepada Para Pihak, lebih rigid lagi dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) dimuat bahwa tidak dilaksanakannya prosedur Mediasi sesuai Perma Mediasi 2008 berarti melanggar ketentuan Pasal 130 HIR dana tau 154 Rbg sehingga berakibat putusan batal demi hukum.

Kemudian pada Tahun 2016 melalui Perma Mediasi 2016 dibuatlah suatu aturan baru mengenai prosedur Mediasi, hal ini karena Perma Mediasi 2008 dinilai belum optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna dan mampu meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan. Perma Mediasi 2016 tidak lagi mengatur ketentuan sebagaimana Pasal 2 ayat (3) Perma Mediasi 2008, yang secara rigid menyatakan bahwa Mediasi dapat batal demi hukum apabila tidak dilakukan sesuai Perma. Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (4) Perma Mediasi 2016 memberikan celah agar tidak serta merta putusan yang tidak dilalui dengan Mediasi berakibat batal demi hukum. Perma Mediasi 2016 ini menjelaskan prosedur yang lebih rinci, salah satunya mengenai perlunya dibuat suatu formulir penjelasan mediasi yang ditandatangani Para Pihak untuk kemudian menjadi satu kesatuan dalam berkas, selain itu hal ini juga wajib dituangkan dalam Berita Acara Sidang11.

Dalam Pasal 17 ayat (1) Perma Mediasi 2016 ditentukan bahwa pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh Para Pihak, Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak untuk menempuh Mediasi, lebih lanjut Pasal 17 ayat (6) menentukan bahwa Hakim Pemeriksa Perkara wajib menjelaskan Prosedur Mediasi kepada Para Pihak, penjelasan tersebut berdasarkan Pasal 17 ayat (7) meliputi penjelasan mengenai hal-hal berikut:

1. Pengertian dan manfaat Mediasi;

2. Kewajiban Para Pihak untuk menghadiri langsung pertemuan Mediasi berikut akibat hukum atas perilaku tidak beritikad baik dalam proses Mediasi;

3. Biaya yang mungkin timbul akibat penggunaan Mediator non-hakim dan bukan Pegawai Pengadilan;

4. Pilihan menindaklanjuti Kesepakatan Perdamaian melalui Akta Perdamaian atau pencabutan gugatan;

5. Kewajiban Para Pihak untuk menandatangani formulir penjelasan Mediasi.

Terkait dengan poin ke-5, ayat selanjutnya yaitu Pasal 17 ayat (8) menentukan bahwa Hakim Pemeriksa Perkara selanjutnya menyerahkan formulir penjelasan Mediasi kepada Para Pihak yang memuat pernyataan bahwa Para Pihak:

(5)

1. Memperoleh penjelasan prosedur Mediasi secara lengkap dari Hakim Pemeriksa Perkara;

2. Memahami dengan baik prosedur Mediasi; 3. Bersedia menempuh Mediasi dengan itikad baik.

Formulir tersebut kemudian ditandatangani oleh Para Pihak atau Kuasa Hukum setelah menerima penjelasan sebagaimana dimaksud diatas, dan formulir ini menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berkas perkara, dan selanjutnya keterangan mengenai penjelasan Mediasi ini dimuat dalam Berita Acara Sidang. Hal ini termuat dalam Pasal 17 ayat (9) dan ayat (10).

Dalam Pasal 12 Perma Mediasi 2016 menentukan bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan Mediasi di Pengadilan maka Mahkamah Agung menetapkan tata kelola yang ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Selanjutnya Ketua Mahkamah Agung menerbitkan suatu instrumen hukum berupa Surat Keputusan untuk mendukung pelaksanaan Perma Mediasi 2016, yaitu SK KMA No. 108/KMA/SK/VI/2016 tentang Tata Kelola Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disebut SK KMA), Lampiran I SK KMA memuat Instrumen Hukum (Template atau Formulir) penunjang tertib administrasi proses maupun hasil mediasi, dalam lampiran ini termuat mengenai bagaimana format Formulir Penjelasan Mediasi harus dibuat. Lebih lanjut Lampiran II SK KMA memuat tentang Administrasi Mediasi di Pengadilan, Pasal 3 lampiran ini ditentukan bahwa Wakil Ketua Pengadilan, Hakim Pengawas Mediasi, Hakim Mediator dan Hakim pada Pengadilan wajib memastikan ketaatan pelaksanaan mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

B.Akibat Hukum Tidak Dibuatnya Formulir Penjelasan Mediasi

M. Yahya Harahap12 membagi pendekatan untuk memahami Mediasi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu pendekatan secara ekstrem dan pendekatan secara moderat. Berdasarkan pendekatan secara ekstrem, disebutkan bahwa Hakim yang mengabaikan pemeriksaan jawab-menjawab dianggap melanggar tata tertib beracara sehingga proses pemeriksaan dikualisifikasikan undue process, akibatnya proses dianggap tidak sah dan pemeriksaan harus dinyatakan batal demi hukum13. Lebih lanjut disebutkan jika bertitik tolak pada strict law maka pemeriksaan yang sama sekali tidak memberi ruang tahap perdamaian atau lalai mencantumkan tahap tersebut dalam berita acara, maka proses pemeriksaan yang dilakukan

12 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 293 13Ibid.

(6)

dapat disebut tidak memenuhi syarat fomril. Akibatnya pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum.14

Keharusan membuka ruang tahap proses perdamaian tersebut bukan bersifat regulative atau fakultatif, melainkan bersifat imperatif sehingga Pasal 130 ayat (1) HIR dinilai sangat prinsipil15. Tetapi perlu diingat meskipun dibenarkan tahap proses mendamaikan bersifat imperatif, namun undang-undang sendiri tidak mengatur ancaman apapun atas pelanggarnya. Sehingga berdasarkan penedekatan moderat, tidak dicantumkannya upaya mediasi dinilai masih dalam batas dan dapat dimaafkan/tolerir16.

Mengacu pada kedua jenis pendekatan tersebut, Perma Mediasi 2008 dapat dikatakan menggunakan pendekatan ekstrem karena di dalamnya terdapat ketentua bahwa tidak dilaksanakannya prosedur Mediasi sesuai Perma berakibat pada pelanggaran Pasal 130 HIR sehingga dianggap batal demi hukum. Sedangkan Perma Mediasi 2016 menurut Penulis menggunakan pendekatan moderat mengingat walaupun dalam Pasal 3 ayat (1) Perma Mediasi 2016 menentukan kewajiban mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi (imperatif), tetapi dalam hal tidak diperintahkan menempuh Mediasi sehingga Para Pihak tidak menempuh Mediasi, dan kemudian perkara tersebut diajukan upaya hukum maka Pengadilan tingkat Banding atau MA dengan putusan sela memerintahkan Pengadilan Tingkat pertama untuk melakukan Mediasi (artinya tidak ada ancaman batal demi hukum dan masih bisa dimaafkan/toleransi dengan putusan sela).

Atas dasar hal tersebut diatas, Penulis berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan dalam Perma Mediasi 2016 tidak berlaku imperatif seperti berakibat pada putusan batal demi hukum, terlebih lagi menyangkut ketentuan pembuatan Formulir Penjelasan Mediasi yang hanya bersifat administratif. Longgarnya ketentuan ini membuat penerapannya di pengadilan seringkali terabaikan dan tidak berjalan strict sesuai dengan ketentuan Perma Mediasi 2016. Perma tidak mengatur akibat hukum mengenai tidak dibuatnya Formulir Penjeleasan Mediasi ini, tetapi Penulis berpendapat bahwa tidak dibuatnya Formulir Penjelasan Mediasi ini memiliki konsekuensi atau akibat yang Penulis uraikan menjadi dua yaitu Konsekuensi berdasarkan Perma Mediasi 2016 dan Konsekuensi berdasarkan Kode Etik Hakim.

Hubungannya dengan Perma Mediasi 2016, Formulir Penjelasan Mediasi ini memiliki urgensi yang sangat signifikan. Dalam hal proses Mediasi tidak tercapai maka Para Pihak melanjutkan persidangan, sehingga dalam hal ini terdapat Putusan win-lose, ada Pihak yang

14Ibid. 15Ibid.

(7)

dikalahkan dan dimenangkan. Untuk itu akan sangat riskan apabila salah satu pihak mengajukan Upaya Hukum dan menyatakan bahwa Mediasi tidak pernah dijelaskan oleh Hakim Pemeriksa Perkara sehingga tidak pernah dilakukan proses Mediasi, hal ini kaitannya dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Perma Mediasi 2016. Dalam situasi seperti ini, menurut Penulis Formulir Penjelasan Mediasi memiliki fungsi yang signifikan terkait penerapan Perma Mediasi 2016, yaitu:

1. Sebagai bukti apabila salah satu pihak yang berperkara tidak mengakui atau menyangkal adanya Penjelasan Mediasi dan pelaksanaan Mediasi

2. Sebagai bukti bahwa Hakim menjalankan prosedur Mediasi sesuai dengan peraturan yang berlaku, hal ini terkait dengan fungsi pengawasan

3. Sebagai tertib administrasi Mediasi sesuai yang diamanatkan oleh SK KMA

Sedangkan hubungannya dengan Kode Etik Hakim sesuai Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (selanjutnya disebut SKB Kode Etik Hakim), tidak dibuatnya Formulir Penjelasan Mediasi ini melanggar beberapa ketentuan dalam SKB Kode Etik Hakim, yaitu:

1. Melanggar prinsip Berdisiplin Tinggi dimana dalam poin 8.1 berisi mengenai kewajiban seorang Hakim untuk mengetahui serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara sehingga dapat menerapkan hukum secara benar dan memenuhi rasa keadilan. 2. Melanggar prinsip Berikap Profesional dimana dalam poin 10.2 berisi mengenai

kewajiban seorang Hakim untuk melaksanakan tanggungjawab administratif dan bekerja sama dengan Para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan

Mengingat urgensinya sehingga terdapat beberapa konsekuensi seperti yang dijabarkan diatas, Penulis menawarkan beberapa cara untuk mengatasi agar Perma Mediasi 2016 terutama terkait dengan pembuatan Formulir Penjelasan Mediasi dapat dilaksanakan dengan baik sesuai prosedur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:

1. Perlu dicantumkan suatu konsekuensi atau akibat hukum dalam hal tidak dibuat Formulir Penjelasan Mediasi, akibat hukum yang dimaksud dapat ditambahkan dalam ketentuan dalam Pasal 17 Perma Mediasi 2016 dengan bunyi, “dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (9), maka proses Mediasi dianggap tidak dilakukan dan dapat berakibat dilanggarnya ketentuan Pasal 3 ayat (3) Perma ini”. Sehingga dengan akibat hukum seperti yang disebutkan,

(8)

Majelis Hakim Pemeriksa Perkara dan Panitera Pengganti serta pihak terkait lain dapat lebih berhati-hati dalam menjalankan prosedur yang ditentukan.

2. Perlu dilakukan penyesuaian dalam SK Dirjen Badilum No. 1939/DJU/SK/HM.02.3/10/2018 tentang Pedoman Pemberkasan Arsip Perkara yang Telah Diminutasi pada Pengadilan Tingkat Pertama. Dalam lampiran SK tersebut ditentukan mengenai susunan berkas checklist perkara yang telah diminutasi, kaitannya dengan Mediasi dalam susunan berkas tersebut terdapat pada poin 10 yaitu “Penetapan Penunjukan Hakim Mediator dan Hasil Mediasi”. Berkas yang terdapat dalam checklist tidak sepenuhnya mengakomodir ketentuan SK KMA terutama terkait dengan Formulir Penjelasan Mediasi, padahal dalam Perma Mediasi 2016 disebutkan bahwa Formulir Penjelasan Mediasi merupakan satu kesatuan dengan berkas yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga menurut Penulis, dalam checklist SK Dirjen Badilum perlu dilakukan penyesuaian, dari yang sebelumnya hanya memuat “Penetapan Penunjukan Hakim Mediator dan Hasil Mediasi” menjadi “Berkas Mediasi dan Formulir Penunjang”.

3. Perlu peran serta Panitera Muda Perdata dan Panitera Pengganti dalam menyiapkan formulir, Penulis berpendapat bahwa perlu dibuat suatu aturan jelas mengenai pembagian tugas pembuatan formulir-formulir penunjang dokumen Mediasi. penulis memberi gambaran sebagai berikut:

a. Panitera Muda Perdata bertugas menyiapkan formulir-formulir penunjang dokumen Mediasi, termasuk Formulir Penjelasan Mediasi, Formulir Pernyataan Para Pihak, Formulir Jadwal Mediasi, dan formulir penunjang lainnya. Formulir-formulir tersebut diletakkan dalam map perkara sejak saat pendaftaran Gugatan. b. Panitera Pengganti bertugas untuk menyampaikan formulir-formulir tersebut

dalam proses persidangan sesuai dengan peruntukannya dan menyimpan ke dalam berkas sampai dengan proses penyusunan berkas untuk minutasi. Untuk menjamin hal ini, perlu dilakukan pembaharuan dalam SIPP yang mengakomodir tertib administrasi, misalnya dengan menambahkan tugas Panitera Pengganti untuk menginput tanggal ditandatanganinya formulir-formulir pendukung tersebut.

(9)

C. PENUTUPAN A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang Penulis jabarkan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkembangan Mediasi bermula dari Pasal 130 HIR/154 Rbg, kemudian karena dianggap kurang mengakomodir upaya Mediasi maka Mahkamah Agung menerbitakn SEMA No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Petama Menerapkan Lembaga Damai. Karena dirasa upaya mediasi kurang terintegrasi dengan pengadilan dalam SEMA tersebut, selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perma ini mulai mengenal integrasi Mediasi di Pengadilan, namun kemudian disempurnakan dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, untuk mengoptimalkan upaya Mediasi di pengadilan Mahkamah Agung kembali menyempurnakan aturan Mediasi dalam Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosesdur Mediasi di Pengadilan. Dalam Perma yang terakhir inilah diatur mengenai kewajiban Hakim untuk menyampaikan penjelasan Mediasi dan dituangkan dalam Formulir Penjelasan Mediasi, hal ini tertuang dalam Pasal 17 ayat (6) sampai dengan Pasal 17 ayat (10) Perma No.1 Tahun 2016. Untuk mendukung pemberlakuan Perma ini, Mahkamah Agung menetapkan tata kelola melalui SK KMA No. 108/KMA/SK/VI/2016 tentang Tata Kelola Mediasi di Pengadilan.

2. Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tidak mengatur akibat hukum yang ditimbulkan dalam hal tidak dibuat Formulir Penjelasan Mediasi, namun akibat secara umum yang dapat ditimbulkan jika Formulir Mediasi ini tidak dibuat adalah berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Perma No.1 Tahun 2016, dalam hal Pihak yang melakukan upaya hukum tidak mengakui penjelasan Mediasi yang dilakukan oleh Hakim sehingga tidak pernah dilakukan Mediasi maka Majelis Hakim tidak memiliki bukti otentik untuk membantahnya. Akibat selanjutnya berkaitan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam SKB Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB /IV/2009, Hakim dapat dianggap melanggar prinsip Berdisiplin Tinggi (poin 8.1) dan Bersikap Profesional (poin 10.2).

(10)

B.Saran

Mahkamah Agung perlu mencantumkan suatu konsekuensi atau akibat hukum dalam hal tidak dibuat Formulir Penjelasan Mediasi, selain itu perlu juga dilakukan penyesuaian dalam SK Dirjen Badilum No. 1939/DJU/SK/HM.02.3/10/2018 tentang Pedoman Pemberkasan Arsip Perkara agar memuat pula checklist mengenai segala berkas Mediasi terutama terkait dengan Formulir penunjang Mediasi. selanjutnya, Mahkamah Agung perlu membagi peran Panitera Muda Perdata dengan Panitera Pengganti dalam aturan yang lebih jelas terkait dengan tugasnya untuk mendukung tertib admistrasi Mediasi, dan mengintegrasikannya ke dalam SIPP.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal, 2009, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta.

Hidayat, Maskur, 2016, Strategi dan Taktik Mediasi berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Edisi Pertama), Kencana, Jakarta.

Umam, Khotibul, 2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Harahap, M. Yahya, 2007 Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Herzein Inlandsch Reglement (HIR) (S. 1941-44)

Naskah Akademis Mediasi Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI Tahun 2017

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosesdur Mediasi di Pengadilan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 108/KMA/SK/VI/2016 tentang Tata Kelola

Mediasi di Pengadilan

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 108/KMA/SK/VI/2016 tentang Tata Kelola Mediasi di Pengadilan

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Referensi

Dokumen terkait

model pembelajaran Creative Problem Solving lebih tinggi dari pada kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam berkomunikasi mahasiswa yang dibelajarkan dengan

Periodisitas yang muncul menunjukkan bahwa perubahan dalam kecepatan angin Matahari dan indeks Dst selama aktivitas Matahari minimum lebih dominan disebabkan oleh

Diferensiasi (manajer operasi diminta untuk menciptakan barang dan jasa yang satu lebih baik atau paling tidak berbeda dengan yang lain).. Kepemimpinan Biaya (harga lebih

Bety Puspitasari.. La tar belakang ... Tujuan Tugas Akhu... Manfaaat T ugas Akhir ... I Tinjauan Ten tang Ikan Hasil Tangkapan .... Tipe·tipe Kapal Penangkap Ikan ..

Menyatakan bahwa karya ilmiah pada Projek Akhir Arsitektur periode Semester Gasal, 2015/2016 Program Studi Arsitektur, Fakultas Arsitektur dan Desain,

Pengujian yang dilakukan adalah pengujian terhadap daftar fungsi aplikasi yang telah dijabarkan pada Bab III dan terhadap tujuan dibuatnya aplikasi ini, yakni melakukan

For the conclusion, concentration of manufacturing in Java region was given effect on regional inequality among regency during the study which was revealed by inequality

Secara keseluruhan aktivitas pembelajaran matematika melalui pendekatan metaphorical thinking menunjukkan hasil yang positif baik dilihat dari sikap siswa