• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

I-1

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Pengelolaan sungai di Indonesia pada umumnya masih menggunakan pendekatan parsial dan multi-disipliner dan belum menerapkan konsep ekohidraulik yang pendekatannya komprehensif/integratif dan inter-disipliner. Konsep pengelolaan sungai ekohidraulik menekankan pentingnya mengelola aliran sungai secara terintegrasi sehingga bisa memelihara sumber daya abiotik dan biotik atau kehidupan biota air (Bovee dkk., 1998; Petts dan Maddock, 1996). Konsep tersebut diadopsi dari integrated river basin management yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1980an (Statzner dkk., 1988; Petts dan Maddock, 1996), di Eropa sejak tahun 1970 (Larsen ,1996 dalam Petts dan Callow, 1996; Jalon dan Gortazar, 2006), serta di Asia (Nakamura, 1995; Nakamura, 1998). Di Indonesia lebih dikenal konsep one river, one plan, one

integrated management. Lemahnya integrasi pengelolaan sungai serta fragmentasi

koordinasi antar lembaga (Khudori, 2009) dapat mengancam kelestarian ekosistem sungai. Ancaman kepunahan ikan sidat yang terjadi di Kali Progo Provinsi DIY (Budihardjo, 2010), kematian ribuan ikan secara mendadak di Kali Surabaya (Ecoton, 15 November 2013), di Krueng Teunom (National Geographic Indonesia, 5 Agustus 2014), dan di Sungai Pangkajene (Kompas, 9 November 2014) merupakan contoh dampak pengelolaan sungai yang masih parsial.

Ketidak komprehensifan pengelolaan sungai tercermin juga pada regulasi pengelolaan sungai. Peraturan perundangan pada tingkat kebijakan dan peraturan teknis kadang tidak gayut dengan upaya konservasi sungai. Meskipun Undang Undang (UU) No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air menekankan pentingnya mempertahankan multifungsi air termasuk fungsi ekologis, namun Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2011 tentang Sungai sebagai peraturan pelaksananya belum menempatkan fungsi ekologis sungai sejajar dengan fungsi-fungsi sungai yang lain. Penggunaan tolok ukur parameter kualitas air untuk peruntukan air baku air minum, pertanian dan lainnya (PP No. 8/2001 tentang Pengelolaan

(2)

I-2 Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air) patut dipertanyakan jika target pengelolaan sungai adalah konservasi sungai.

Pendekatan parsial dalam pengelolaan sungai juga tampak dari para insinyur dan praktisi pengelola sungai yang ditengarai belum memahami hakikat sungai berdasar konsep integritas suatu badan air (Karl, 1991). Aspek keanekaragaman hayati dan kajian dampak lingkungan hanya menjadi obyek perhatian akademis. Perumus kebijakan, pengelola, pemantau sungai dan ahli sungai (limnologist) menggunakan bahasa dan pendekatan yang berbeda dan jarang saling bertemu. Hal ini menyebabkan terabaikannya realita kebutuhan kriteria konservasi kualitas air dalam pengelolaan sungai yang ekologis dan berkelanjutan (Parpaprove dkk., 2006). Sebagai contoh, penetapan kelas status mutu air berbasis multi parameter (fisik, kimia, bakteriologis) pada pengendalian pencemaran air sungai (off–stream control) dalam ilmu sanitary engineering

(Salvato, 1992; Thomann dkk., 1987; Peavy dkk., 1986; Metcalf dan Eddy, 1979;

Mara, 1976) tidak sejalan dengan penetapan mutu air berdasar respon biologi atau biotilik (biomonitoring) yang banyak digunakan pada pengelolaan kualitas air di sungai (in-stream control). Indeks kualitas air (IKA) pada sanitary engineering menggunakan target best use atau specific usage air sungai, sementara target kualitas air pada pengelolaan sungai ekohidraulik mempunyai target konservasi air sungai untuk menjamin kelestarian dan keanekaragaman hayati yang umumnya dipelajari dalam bidang Limnologi.

Pengelolaan sungai secara ekohidraulik membutuhkan pendekatan yang komprehensif termasuk di dalam menetapkan variabel lingkungan yang dipantau dan menetapkan IKA komprehensif sehingga kondisi kesehatan perairan sungai dapat dimonitor secara baku. Oleh karena itu, penetapan status mutu air sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 37/2003 seharusnya tidak berhenti pada memperoleh variabel lingkungan multi parameter kualitas air.

Menurut Johnson dkk. (1993), Cairns dan Pratt (1993), Metcalf dan Smith (1996), Ellenberg dkk. (1991), gagasan IKA berbasis multi parameter kualitas air yang dianalisa secara ex-situ di laboratorium sebenarnya mengadopsi indeks kualitas air dalam biotilik in-situ untuk mengevaluasi perubahan lingkungan.

(3)

I-3 Penggunaan respon biologi juga dilakukan dalam toksikologi dengan menggunakan uji hayati (bioassay) secara ex-situ terhadap suatu bahan kimia spesifik maupun buangan limbah dengan berbagai bahan kimia sejak tahun 1940-an (Henderson, 1957; Doudorroff dkk., 1951; Henderson, 1957; Sprague, 1973). Salah satu bentuk uji toksisitas air adalah metode AOD (Aquatic Organisms

Environmental Diagnostic) yang diteliti oleh Teiji Kariya dkk. (1987) di Jepang

dengan melakukan bioassay terhadap air sungai yang mengandung cemaran berbagai bahan kimia.

Praktisi pengelola sungai mengalami kesulitan menggabungkan hasil biotilik dan pemantauan multi parameter kualitas air untuk penetapan kebijakan pengelolaan sungai dengan target yang realistik (Roosenberg dan Resh, 1989). Hasil biotilik tidak mudah diinterpretasikan terutama dalam menentukan penyebab perubahan lingkungan yang beragam. Selain itu, para ahli biologi masih sulit menyatukan pendapat tentang metode biotilik representatif untuk mengevaluasi kualitas lingkungan. Sebagai contoh biotilik metode ex-situ dianggap tidak mencerminkan kondisi nyata in-situ di sungai (Metcalf dan Smith, 1996).

Banyak metode IKA berbasis multi parameter kualitas air dengan target pemanfaatan umum atau multifungsi air sungai, yang dikembangkan para ahli di Amerika, Eropa, maupun Asia (Brown dkk., 1970; Nemerov dan Sumitomo, 1970; USEPA, 2011; Kannel dkk., 2007; Sisodia dan Moundiotya, 2006). Para peneliti dan praktisi sungai di Indonesia pada umumnya hanya sebagai pengguna metode-metode tersebut, seperti antara lain yang dilakukan oleh Hendrawan (2005), Soesilo dan Febriana (2011) dan Matahelemual (2007). Setiap metode IKA dikembangkan dengan pendekatan yang berbeda karena tujuannya berbeda sehingga memberikan kesimpulan status mutu air yang berbeda pula. Berdasarkan kajian pustaka, metode yang dianggap paling sesuai untuk diaplikasikan di sungai tropis di Indonesia masih belum teridentifikasi. Metode IKA banyak yang dikembangkan berdasar pertimbangan pakar (expert judgment) sehingga sulit diadaptasi untuk tempat dan kondisi yang berbeda. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan ada keinginan untuk meminimalkan subyektifitas (Liu dkk., 2003; Zhou dkk., 2006; Iscen dkk., 2008; Zhang dkk., 2009; Saraswati dkk.,

(4)

I-4 2010) dalam penetapan parameter kualitas air yang dianggap penting dalam metode IKA.

Pengembangan metode penetapan kesehatan perairan sungai dalam disertasi ini dimaksudkan untuk menjembatani dikotomi antara metode-metode indeks kualitas air tersebut di atas sehingga diperoleh indeks kualitas air sungai yang komprehensif bagi pengelolaan sungai ekohidraulik. Melalui IKA yang komprehensif diharapkan pengendalian pencemaran air di sumber polusi

(off-stream control) maupun pengelolaan kualitas air di sungai bagi kesehatan biota air

(in-stream control) dapat dilakukan secara lebih baik. IKA komprehensif yang dikembangkan diharapkan merupakan metode penetapan mutu air secara ex-situ yang dapat mencerminkan kondisi in-situ. Metode IKA yang baik harus mudah dikuantifikasi untuk perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan sungai yang ekologis dan berkesinambungan (Parparove dkk., 2006). IKA komprehensif hendaknya dapat dihubungkan dengan strategi pengelolaan sungai ekohidraulik, sebagaimana yang dibutuhkan dalam simulasi pengelolaan sungai seperti dalam modul PHABSIM (Physical Habitat Simulation) (Bovee dkk., 1998) dan model PHABSIM yang diaplikasikan di sungai Gadjah Wong (Saraswati dkk., 2008; Saraswati dan Nizam, 2009). Selain itu, diperlukan IKA yang mudah dipahami oleh masyarakat (Kep. Men. LH. No. 114/2003 tentang Program Pengelolaan Air atau Program Pemulihan Pencemaran Air serta Kep. Men. LH. No. 115/2003 tentang Pedoman Status Mutu Air di Indonesia). Oleh karena IKA komprehensif menggambarkan kesehatan perairan sungai yang komprehensif pula, maka parameter yang digunakan cenderung banyak dan sulit diperoleh. Metode IKA komprehensif yang didasarkan pada parameter yang mudah diperoleh sangat diharapkan (Roosenberg dan Resh, 1993) sehingga dapat diaplikasikan pada pemantauan dan kajian lingkungan dalam wilayah spasial yang luas dan jangka panjang (Cao dkk., 1999).

Penelitian disertasi ini merupakan bagian dari usaha menegakkan kembali konsep integritas dalam pengelolaan sungai dan mempromosikan pengelolaan sungai berwawasan lingkungan (environmentally oriented river management) yang mema-dukan aspek ekohidraulika dalam pembangunan yang beretika vitalisme (Nugroho, 1986 dalam Sunjoto, 2009; Keraaf, 2010). Secara garis besar,

(5)

I-5 alur kerangka pemikiran dan maksud penelitian ini disarikan dalam skema Gambar 1.1. berikut.

Keterangan :

IKA = Indeks Kualitas Air, PHABSIM = Physical Habitat Simulation, KA = Kualitas Air, OIP = Overall Index Pollution, TMDL = Total Maximum Daily Load, WQ = Water Quality

Gambar 1.1. Alur kerangka pemikiran penelitian dan maksud penelitian disertasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan indeks kualitas air ex-situ berbasis multi parameter kualitas air dan indeks kualitas air ex-situ berbasis respons biologis dengan uji toksisitas AOD (Aquatic Organisms Environmental

Diagnostic). Kedua metode penetapan kesehatan perairan dinamakan IKAs

(Indeks Kualitas Air sungai) dan AODs (Aquatic Organisms Environmental Diagnostic sungai). Metode penetapan kesehatan perairan sungai tersebut dikembangkan berdasarkan referensi karakteristik sungai-sungai tropis di Indonesia yang mempunyai iklim dengan suhu dan kelembaban udara yang tinggi, dengan keragaman intensitas curah hujan di musim hujan dan kemarau yang berbeda, dan siklus hidrologi serta keanekaragaman kondisi hidrogeografi, hidrogeologi, hidrogeokemikal, dan ekoregional yang khas.

(6)

I-6

1.2.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian adalah mengembangkan metode indeks tunggal penetapan kesehatan perairan sungai di Indonesia, yang umumnya tercemar limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Tujuan penelitian secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

1. Mengembangkan dan memformulasikan metode IKAs berbasis multi parameter kualitas air di sungai Gadjah Wong.

2. Mengembangkan teknik standarisasi data kualitas air untuk metode IKAs. 3. Meneliti dan mengembangkan penggunaan indeks tunggal toksisitas air

AODs yang aplikatif di Indonesia dengan memodifikasi dan mengadaptasi uji toksisitas AOD yang telah dikembangkan di negara lain. Mensintesa dan memformulasikan indeks tunggal kualitas air AODs serta menyusun protokol prosedur uji toksisitas AODs.

4. Mengkaji hubungan variabel toksisitas AODs dengan multiparameter kualitas air.

5. Membandingkan dan mencari hubungan kesesuaian pengukuran kesehatan perairan sungai dengan metode ex-situ (IKAs dan AODs) dengan metode

in-situ biotilik makrobenthos.

6. Membandingkan metode IKAs dan AODs dengan metode indeks kualitas air yang sudah ada.

Tujuan-tujuan tersebut dicapai melalui kajian data sekunder dari Program Kali Bersih (PROKASIH) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama 16 tahun (April 1997 – Desember 2011) dan data primer di sungai Gadjah Wong DIY.

1.3.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini antara lain adalah: Segi ilmiah:

1. Mempertajam kajian status kualitas air menjadi status kesehatan perairan sungai dan menemukan metode untuk menetapkannya.

2. Dengan adanya metode penetapan status kesehatan perairan sungai yang tepat, maka pemantauan program pengelolaan sungai terintegrasi dapat

(7)

I-7 dilakukan dengan lebih baik dan dapat dikuantifikasikan dampaknya terhadap biota perairan.

Segi kepentingan masyarakat dan negara:

1. Memberikan pilihan kepada pengelola sungai dan pemangku kepentingan terkait tentang cara pemantauan kualitas air, penetapan status mutu air dan status kesehatan perairan sungai khas kondisi Indonesia.

2. Adanya indikator status kualitas air yang komprehensif yang dapat dipantau dengan baik dan praktis sehingga perencanaan, alokasi sumber daya, penegakan baku mutu konservasi air untuk pengelolaan kualitas air sungai, pengendalian pencemaran sungai, pengendalian kualitas habitat sungai, perbaikan lingkungan sungai dapat dilakukan dengan lebih mudah, efektif dan efisien untuk kepentingan manusia dan kelestarian lingkungan.

3. Diharapkan metode penetapan status kesehatan perairan sungai yang dikembangkan ini dapat diketahui, dimanfaatkan dan disosialisasikan lebih lanjut bagi pengelola sungai, atau pemangku kepentingan terkait di Indonesia.

1.4.

KEASLIAN dan KEDALAMAN

Banyak metode penetapan status mutu air menggunakan indeks kualitas air (IKA) berbasis multi parameter yang telah dikembangkan seperti indeks Horton (Abbasi, 2001), indeks NSFI (Wills dan Irvine, 1996), indeks Brown (Brown dan McClelland, 1970), indeks Dinius (Ott, 1978), WQImin, WQIm, WQIDO (Kannel dkk., 2007), WQIA (Dwivedi dkk., 2007), OIP India (Sargaonkar dan Deshpande, 2003), INWQS-DOE (Al Mamun dan Idris, 2010), Pollution Index (Nemerow dan Sumitomo, 1970), dan Storet (USEPA, 2011). Metode-metode tersebut umumnya dikembangkan di negara dengan 4 musim. Indonesia yang beriklim tropis dan memiliki kondisi lingkungan (biotik dan abiotik) yang berbeda belum memiliki metode penetapan status kesehatan perairan sungai. Metode IKAs yang dikembangkan dalam disertasi ini bersifat

(8)

I-8 spesifik, untuk sungai di daerah tropis di Indonesia yang berbeda dengan metode yang telah berkembang tersebut.

Metode uji toksisitas AODs yang dikembangkan dalam penelitian ini mengadopsi dan mengadaptasi metode AOD yang pertama kali dikembangkan oleh Kariya dkk. (1987) di Jepang. Metode AOD tersebut harus diadaptasi dengan kondisi iklim di Indonesia, jenis biota untuk bioassay, serta karakter dan tingkat pencemaran perairan yang ada. Dalam penelitian ini AODs dikembangkan dengan mengubah prosedur pembuatan sampel air uji, suhu pemaparan bioassay, serta jenis hewan uji lokal sungai tropis di Indonesia yang sesuai. AODs dikembangkan secara obyektif dan diuji dengan meotode in-situ biotilik dan metode ex-situ IKAs yang dikembangkan.

Gambar

Gambar 1.1. Alur kerangka pemikiran penelitian dan maksud penelitian disertasi.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan observasi di kelas, mahasiswa praktikan dapat. a) Mengetahui situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. b) Mengetahui kesiapan dan kemampuan siswa dalam

Dua hal yang dipelajari penulis dengan pendekatan kemosistematika dalam peng- amatan adalah: (1) ketetapan karakter pada kelompok besar tetumbuhan yang memiliki arti dalam

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

Perbandingan distribusi severitas antara yang menggunakan KDE dengan yang menggunakan suatu model distribusi tertentu dilakukan untuk melihat secara visual, manakah dari

61 Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa dilema yang Jepang alami pada saat pengambilan keputusan untuk berkomitmen pada Protokol Kyoto adalah karena

2011 sangat memberi peluang optimalisasi diplomasi Indonesia dalam berperan memecahkan berbagai masalah yang ada baik di dalam negeri maupun di dalam kawasan