• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEROLEHAN KEMBALI MATERI-ENERSI DARI SAMPAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEROLEHAN KEMBALI MATERI-ENERSI DARI SAMPAH"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 1

PEROLEHAN KEMBALI MATERI-ENERSI DARI SAMPAH

Prof. Enri Damanhuri

e.damanhuri@bdg.centrin.net.id

Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah - Teknik Lingkungan

Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB

Pendahuluan

Sampai saat ini andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah sampahnya

adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA. Biasanya pengelola kota

cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut, sehingga

muncullah kasus-kasus TPA yang bermasalah. Dapat dipastikan bahwa yang digunakan

di Indonesia adalah bukan landfilling yang baik, karena hampir seluruh TPA di kota-kota

di Indonesia hanya menerapkan apa yang dikenal sebagai open-dumping, yang

sebetulnya tidak layak disebut sebagai sebuah bentuk teknologi penanganan sampah.

Reduce-Reuse–Recycling (3-R) merupakan konsep yang digunakan dalam Draft RUU

sampah yang sedang disiapkan oleh Pemerintah Indonesia. Konsep ini merupakan

pendekatan yang telah lama diperkenalkan di Indonesia dalam upaya mengurangi

sampah mulai dari sumbernya sampai di akhir pemusnahannya. Salah satu langkah

dalam upaya 3-R tersebut adalah recovery sampah untuk didaur-ulang. Upaya recovery

bahan terbuang ini harus dimulai sejak awal sampai ke titik akhir dalam penanganan

sampah. Upaya penggalakan daur-ulang sampah perlu dipertimbangkan dalam

pengelolaan sampah di Indonesia, guna mengurangi jumlah sampah yang harus

diangkut di sebuah TPA. Upaya-upaya ini sebetulnya telah dikenal, khususnya di

kota-kota besar di Indonesia yang melibatkan sektor informal. Secara teoritis banyaknya

sampah yang dapat didaur-ulang dengan cara ini, termasuk yang ada di TPA, paling

banyak adalah 10 %. Namun pemantauan yang ada di Jakarta dan Bandung ternyata

besaran ini tidak sampai mencapai 5 %.

Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah

tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik. Sampah

yang tergolong hayati ini untuk kota-kota besar bisa mencapai 70% (volume) dari total

sampah. Berdasarkan hal itulah di sekitar tahun 1980-an Pusat Penelitian Lingkungan

Hidup (PPLH) ITB memperkenalkan konsep Kawasan Industri Sampah (KIS) dengan

sasaran meminimalkan sampah yang akan diangkut ke TPA, dengan melibatkan

(2)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 2

swadaya masyarakat dalam daur-ulang sampah. Konsep sejenis sudah dikembangkan

di Jakarta yaitu Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang dimulai sekitar

tahun 1991. Pendekatan yang sejenis akhir-akhir ini diperkenalkan di Indonesia oleh

BPPT dengan konsep zero-waste nya. Konsep ini mulai diterapkan di beberapa kota di

Indonesia, dimana aktivitas daur-ulang dan pengomposan didorong untuk dilaksanakan

mulai dari sumbernya.

Tambah ke hilir alur perjalanan sampah, maka akan tambah sulit dan tambah kompleks

penanganan sampah. Sampah yang baru dihasilkan di dapur, akan lebih sederhana

karakaternya, lebih segar dan lebih homogen karena belum bercampur dengan yang

lain, dibandingkan dengan sampah yang telah berada di bak sampah di depan rumah.

Sampah yang diangkut oleh petugas pada gerobak sampah, mempunyai karakter yang

lebih rumit dan lebih bermasalah dibandingkan sampah di bak sampah di rumah.

Sampah di Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang menerima sampah secara

bercampur dari berbagai sumber yang berbeda dari berbagai penjuru, yang dibiarkan

terbuka berharihari, akan mempunyai karakter yang sudah jauh berbeda bila

dibandingkan dengan sampah di rumah. Penanganan sampah di titik ini tidaklah

semudah penanganan sampah di rumah. Keberhasilan cara penanganan sampah di

tingkat rumah, dapat dikatakan sulit diharapkan untuk mempunyai hasil yang sama bila

ditererapkan di tingkat TPS, apalagi di TPA. Oleh karenanya, pemilahan dan

pengolahan sampah di hulu merupakan kunci keberhasilan upaya 3R.

Sampah sebagai Sumber Biomas dan Enersi

Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan,

khususnya sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau

terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Cara inilah yang

sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan dan biogasifikasi.

Di Indonesia, dengan kondisi kelembaban dan temperatur udara yang relatif tinggi,

maka kecepatan mikroorganisme dalam ‘memakan’ sampah yang bersifat hayati ini

akan lebih cepat pula.

Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organik yang mudah

membusuk. Teknik ini sudah dikenal sejak lama khususnya di daerah pedesaan.

Pengomposan merupakan salah satu alternatif yang selalu dianjurkan untuk digunakan

untuk menangani sampah kota. Tetapi permasalahan utamanya adalah belum adanya

sinkronisasi antara pengelola pengomposan dengan program kebersihan yang

(3)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 3

dilakukan Pemerintah Daerah. Kementerian Lingkungan Hidup dengan bantuan Bank

Dunia sejak beberapa tahun yang lalu memperkenalkan subsidi kompos yang

dihasilkan, untuk merangsang pertumbuhan penanganan sampah melalui

pengomposan.

Pengomposan yang sering dilakukan adalah secara aerobik (tersedia oksigen dalam

prosesnya), karena berbagai kelebihan, seperti tidak menimbulkan bau, waktu lebih

cepat, bertemperatur tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur lalat,

akibatnya kompos yang dihasilkan higienis. Pengomposan sampah kota bersasaran

ganda, yaitu memusnahkan sampah kota dan sekaligus memperoleh bahan yang

bermanfaat.

Komposisi sampah kota sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari

waktu ke waktu. Kurang begitu tepat bila mengharap kompos yang dihasilkan dari

pengolahan sampah kota akan mempunyai kualitas sebaik kompos dari sumber yang

lebih homogen, seperti dari limbah pertanian. Berdasarkan hal tersebut, dinilai kurang

tepat bila pengomposan sampah kota diposisikan sebagai penambah penghasilan

pemerintah daerah. Pengomposan sampah kota hendaknya diposisikan sebagai upaya

untuk menangani sampah agar lebih baik dari sekedar hanya dibuang di sebuah open

dumping, dan bila dilakukan di hulu, akan mengurangi biaya transportasi pengelolaan

persampahan. Produk kompos yang dihasilkan memang bermanfaat, namun lebih baik

diposisikan sebagai nilai tambah dalam pengelolaan sampah kota.

Pengomposan secara aerob melibatkan aktivitas mikroba aerobik. Pengomposan aerob

ditandai dengan temperatur tinggi, relatif tidak timbul bau dan lebih cepat dibanding

anaerob. Guna mempercepat proses, dikenal pula pengomposan cepat (accelerated

composting) yang banyak diterapkan di negara industri dalam bentuk mechanized

composting, yaitu dengan cara mempercepat pembuatan kompos setengah matang,

misalnya dengan suplai udara, kelembaban, pengaturan temperatur, dsb. Pengomposan

yang diterapkan di Indonesia dapat dikatakan masih sederhana, seperti dengan cara

diangin-angin (windrow), atau pembalikan tumpukan kompos secara manual. Beberapa

upaya untuk mempengaruhi percepatan biodegradasi, seperti penambahan

miro-organisme/enzym seperti EM (effective microorganisme), termasuk dengan

memasukkan bakteri pengurai bau (seperti Acetobacter) banyak dilakukan. Tetapi pada

dasarnya, alam sudah menyediakan mikrorganisme yang berlimpah pada sampah, dan

(4)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 4

bila proses pengomposan telah berjalan baik, sistem tersebut akan menyediakan secara

terus menerus mikro-organmisme yang dibutuhkan.

Sampah juga merupakan sumber biomas sebagai pakan ternak atau sebagai pakan

cacing. Sayur-sayuran, sisa buah-buahan dan sisa makanan lainnya sangat cocok untuk

makanan cacing. Beberapa jenis cacing yang biasa digunakan adalah seperti halnya

budidaya cacing, seperti dari jenis Lumbricus. Namun cacing sensitif terhadap faktor

lingkungan, seperti pH, kelembaban dan predator lain yang mungkin tumbuh dalam

sampah. Dari upaya ini akan dihasilkan vermi-kompos yang berasal dari casting-nya

serta bioamasa cacing yang kaya akan protein untuk makanan ternak serta kegunaan

lain. Yang menjadi sasaran dari pengomposan–vermi adalah memusnahkan sampah,

sehingga hasil yang diharapkan adalah kascing.

Sampah sebetulnya menyimpan enersi yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan enersi

sampah dapat dilakukan dengan cara :

− menangkap gasbio hasil proses degradasi secara anaerobik pada sebuah reaktor

(digestor),

− menangkap gas bio yang terbentuk dari sebuah landfill,

− menangkap panas yang keluar akibat pembakaran, misalnya melalui insinerasi.

Generasi terbaru dari teknologi ini dikenal sebagai waste-to-energy.

Beberapa Teknologi Pengolah Sampah Berbasis Recoveri Enersi

Berdasarkan data dari berbagai Dinas Kebersihan seperti di Jakarta, Bandung dan

lain-lain tempat, terdapat beberapa MOU yang telah ditandatangani oleh Pemda sejak tahun

awal tahun 2000 untuk menanggulangi permasalahan sampahnya. Teknologi yang

ditawarkan oleh fihak swasta banyak yang berbasis recovery enersi dan bahan seperti

pembuatan ethyl-alkohol dengan teknologi pirolisa dan bio-oxidation, pembuatan

kompos, pembuatan pupuk cair dan pupuk padat dengan teknologi fermentasi, konversi

sampah menjadi enersi. Namun sampai saat ini, satupun belum terlihat realisasinya,

karena berbagai alasan dan hambatan, baik teknis, regulasi maupun birokrasi,

khususnya finansial.

Beberapa teknologi berbasis recovery energy yang ditawarkan dalam memecahkan

masalah sampah kota oleh calon-calon investor di Sarbagita (Bali), kota Jakarta dan

kota Bandung adalah :

(5)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 5

o

Waste-to-energy

o

Thermal converter

o Floating resource recovery facility

− Teknologi termal sejenis gasifikasi atau pirolisis :

o Gasification

o

Energy generation

− Teknnologi yang terkait dengan proses anaerob, khususnya produksi gasbio dalam

sebuah digestor, pupuk padat dan cair, serta recovery biogas dari TPA.

Dari teknologi tersebut, maka produk dan atau by-product yang dihasilkan, adalah

sebagai berikut :

− Enersi panas yang dapat dikonversi menjadi listrik : recovery panas merupakan

salah satu keunggulan yang ditawarkan dari insinerator jenis baru. Enersi tersebut

berasal dari panas dalam tungku, yang biasanya didinginkan dengan air, dan uap air

yang muncul dapat digunakan sebagai penggerak turbin pembangkit listrik.

Beberapa catatan :

o Produk panas yang akan dikonversi menjadi listrik tergantung pada nilai

kalor sampah itu sendiri. Nilai kalor sampah Indonesia biasanya sulit

mencapai angka 1200 Kcal/kg, bandingkan dengan sampah dimana

teknologi insinerator itu berasal, yaitu paling tidak 2000-2500 kcal/kg.

Komponen sampah yang dikenal mempunyai nilai kalor tinggi adalah

kertas dan plastik. Dilemna yang muncul adalah, bila yang dikejar adalah

nilai kalor tinggi, maka upaya daur-ulang sebetulnya tidak mendukung

teknologi ini.

o Pembatas lain yang perlu dipertimbangkan adalah sampah Indonesia

mengandung banyak sisa makanan (bisa lebih dari 60%) yang dikenal

mempunyai kadar air tinggi. Ditambah musim hujan, serta sistem

pewadahan sampah yang tidak tertutup, akan menambah tingginya kadar

air. Secara logika, tambah tinggi kadar air, maka akan tambah banyak

enersi yang dibutuhkan untuk memulai sampah itu terbakar.

− Abu yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan : proses termal menawarkan

destruksi massa limbah secara cepat. Namun semua proses termal tetap akan

menghasilkan residu (non-combustible) yang tidak bisa terbakar pada temperatur

operasi. Tambah tinggi panas, maka residu-nya akan tambah sedikit. Residu ini

berada dalam bentuk abu, debu dan residu lain. Abu biasanya dikenal mempunyai

(6)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 6

potensi sebagai bahan bangunan, karena mengandung silikat tinggi. Sampah

Indonesia mengandung abu sampai mencapai 30% berat.

− Debu atau partikulat : akan merupakan salah satu permasalahan pencemaran udara

yang perlu diperhatikan.

− Residu lain yang belum atau tidak bisa terbakar : residu ini bila tidak termanfaatkan,

akan menjadi bahan yang perlu difikirkan penanganannya, dan jalan terakhir yang

biasa dilakukan adalah diurug di landfilling.

− Logam berat yang menguap : dalam proses termal, beberapa logam berat yang

berada dalam sampah, akan teruapkan seperti Zn dan Hg, yang tergantung dari titik

uapnya. Merkuri (Hg) pada temperatur kamarpun akan menguap. Tambah tinggi

temperatur, akan tambah banyak jenis logam berat yang akan menguap. Agak sulit

menangani jenis pencemar ini.

− Dioxin : akan muncul sebagai proses antara dalam pembakaran material, bukan

hanya pada insinerator. Tambah tinggi temperatur, maka biasanya tambah sedikit

bahan antara ini. Yang menjadi persoalan, bila terjadi kegagalan dalam

mempertahankan panas, misalnya pada awal operasi atau di akhir operasi dari

sebuah insinerator dimana temperatur berada pada tingkat yang rendah, akan

berpotensi memunculkan senyawa ini.

− Gas yang belum teroksidasi sempurna serta gas buang lain : apapun teknologinya,

maka dalam proses oskidasi (pembakaran) akan dihasilkan produk oksidasi. Bila

sistem tidak tercampur sempurna, maka akan dihasilkan gas-gas yang belum

terbakar sempurna.

− Air asam : bila material berbasis khlor terbakar, maka akan dihasilkan produk gas

khlor, yang sangat berbahaya karena korosif maupun karena toksik. Dengan adanya

uap air, gas yang sangat reaktif ini dengan mudah akan menangkap uap air menjadi

HCl. Ini juga perlu diklarifikasi dalam teknologi yang ditawarkan dalam air pollution

control, guna mengurangi terjadinya hujan asam.

− Pelet bahan bakar : dihasilkan bila proses yang digunakan adalah pengeringan.

Proses ini, akan menghasilkan bahan bakar siap pakai karena biasanya berasal dari

bahan yang mempunyai nilai kalor tinggi seperti kertas atau plastik. Pelet dapat pula

digunakan sebagai umpan dalam gasifikasi. Jenis teknologi waste-to-energy ini

dikenal sebagai sistem refuse-derived-fuel (RDF)

− Bahan bakar dari produk gasiifikasi : bila pemanasan dilakukan tanpa oksigen, maka

proses ini dikenal sebagai pirolisis. Modivikasi dari pirolisis adalah gasifikasi yang

(7)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 7

memasukkan sedikit udara dalam proses. Akan dihasilkan 3 jenis produk, yaitu (a)

gas hasil oksidasi tanpa oksigen seperti CH

4

(metan), H

2

dsb (b) C

2

H

4

(ethyelene)

dan tar dan (c) arang (karbon). Seperti halnya insinerasi, karena yang digunakan

sebagai bahan adalah sampah yang sangat heterogen, maka akan dihasilkan

by-product lain seperti gas pencemar, dioxin, residu yang belum dapat terurai. Proporsi

produk yang dihasilkan (gas, cair atau padat) tergantung dari temperatur dan waktu

pembakaran.

− Gas-bio (CO

2

dan CH

4

) dari sebuah digestor anaerob : dari sebuah digestor,

perkiraan kasar akan dihasikan gas-bio sebesar 0,5-0,7 liter/kg sampah basah,

dengan proporsi metan dapat mencapai 60%.

Gas-bio dari sebuah landfill : melalui penangkapan gas dari sebuah landfill yang

telah cukup waktunya. Recovery gas ini banyak diterapkan pada landfill yang dari

awal telah disiapkan dan dioperesikan secara sistematis. Efektivitas penangkapan

gas-bio akan tergantung dari perpipaan dan sistem penyedotan yang digunakan,

serta sistem landfill itu sendiri. Tetapi dapat dikatakan bahwa produknya akan jauh

lebih kecil dibanding dari gas-bio sebuah digestor yang terkontrol dengan baik.

Sebagian dari gas tsb akan “lari” ke tempat lain tanpa melalui sistem perpipaan.

Teknologi yang ditawarkan dengan investasi yang sangat besar untuk skala Indonesia,

dari mulai 300-M rupiah sampai mencapai 130 juta USD per-1000 ton sampah diolah.

− Pada dasarnya tidak ada teknologi yang tanpa efek samping. Selalu akan dihasilkan

by-product yang sebetulnya telah diketahui benar oleh fabrikannya. Istilah “safe

technology” atau “clean-gas” perlu dicermati, karena mungkin terminologi yang

digunakan berbeda. Kadangkala apa yang ditawarkan oleh investor belum

memasukkan teknologi tambahan yang sangat diperlukan, dan kadangkala biayanya

akan sama dengan biaya teknologi utamanya atau mungkin bahkan lebih. Seperti

Insinerator yang ditawarkan oleh mayoritas pengusul, merupakan teknologi tinggi,

yang dapat mendestruksi sampah dalam waktu singkat, namun jelas membutuhkan

teknologi pengendali udara yang sangat spesifik untuk setiap jenis pencemarnya.

− Terlepas dari persoalan non-teknis yang mungkin muncul, teknologi lain dalam

penanganan sampah yang telah biasa digunakan di kota-kota di dunia adalah

pengomposan. Teknologi ini telah tersedia mulai dari yang sangat sederhana seperti

yang dipraktekkan selama ini di masyarakat di Indonesia, sampai yang cukup

high-tech dengan pengaturan secara sistematis proses biodegradasinya. Tampaknya

(8)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 8

bentuk teknologi ini perlu pula diangkat sebagai salah satu alternatif pilihan. Seperti

dikemukakan, tidak ada teknologi yang tanpa efek samping. Bila ditelusuri, maka

pengomposan juga menghadirkan berbagai permasalahan yang tidak mulus, apalagi

hadir dalam skala yang besar dalam menerima sampah yang sangat heterogen dan

fluktuatif karakteristiknya. Persoalan lingkungan juga dapat pula muncul dari aplikasi

teknologi ini, seperti bau bagi lingkungan sekitarnya, leachate dari timbunan (stock)

sampah atau produk kompos yang terpapar air hujan, dan masalah-masalah estetis

bagi masyarakat sekitarnya.

Teknologi yang ditawarkan biasanya teknologi utamanya, yang bersasaran memproses

sesuai sasaran. Dalam banyak hal dibutuhkan unit-unit tambahan, baik di hulu proses

(pre-treatment) seperti pemisah, pencacah, pengering, dsb maupun di hilir proses (post

treatment), seperti penyaring produk, pengendali pencemaran sesuai jenisnya, yang

biasanya dijual dan ditawarkan terpisah sesuai kebutuhan dan kesepakatan.

Biogas dari Sampah

Produk akhir dari proses anaerob bila kondisinya menunjang adalah menuju

pembentukan gas metan (CH

4

). Bila proses ini terjadi pada timbunan sampah di sebuah

landfill, akan menyebabkan lindi (leachate) dari timbunan tersebut bercirikan COD atau

BOD yang tinggi, dengan pH yang rendah, menyebabkan timbulnya bau khas sampah

yang membusuk. Bila tahap ini dipersingkat dengan mengkonversi segera asam-asam

tersebut menjadi metan, maka beban organik dalam lindi akan berkurang. Konsep inilah

yang digunakan dalam accelerated landfilling.

Dalam proses biodegradasi secara anaerob, kemunculan gas metan praktis sulit

dihindari. Gas CH

4

bersama CO

2

merupakan hasil akhir dari proses tersebut. Timbulnya

gas tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bila tidak ditangani secara baik karena

akan menimbulkan ledakan bila berada di udara terbuka dengan konsentrasi sekitar

15%. Dari 1 m

3

gas bio yang mengadung gas metan 50%, akan terkandung enersi

sekitar 5500 Kcal, yang kira-kira ekuivalen dengan 0,58 liter bensin atau ekivalen

dengan 5,80 kWH listrik.

Dari digestor skala komersial di Valorga (Perancis) yaitu pilot

metanisasi sampah kota skala industri, diperoleh produksi biogas sebesar 140 L/kg-solid

sampah dengan 65% metan. Dari pengalaman di negara industri, produksi gas bio pada

(9)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 9

Proses degradasi bahan organik secara anaerob dilakukan oleh mikroorganisme

fakultatif dan anaerobik tanpa kehadiran oksigen, mengubah senyawa tersebut menjadi

hasil utama CO

2

dan CH

4

. Beberapa kelebihan dari proses anaerob adalah :

− Biomassa yang dihasilkan per unit substrat (senyawa organik) yang digunakan

relatif kecil

− Diperoleh gas metan yang mempunyai nilai ekonomis

− Peluang beban proses yang lebih tinggi karena proses tidak dibatasi oleh

kehadiran oksigen

Dalam kondisi anaerob, materi organik umumnya akan terurai melalui beberapa tahap,

yaitu :

− Proses Hidrolisa : proses pelarutan organik tak terlarut dan pemecahan

senyawa-senyawa organik rantai panjang (kompleks) seperti protein,

karbohidrat, lemak, selulosa, dan hemiseluloasa menjadi materi bermolekul lebih

kecil atau menjadi senyawa mudah larut dan berantai lebih sederhana, seperti

glukosa, asam lemak, alkohol, dan asam amino. Reaksi ini dikatalisa oleh enzim

ekstraseluler yang dilepaskan oleh bakteri ke dalam media. Bakteri yang

bertanggunjawab pada tahap ini adalah jenis bakteri fermentasi.

− Proses Asidogenesa : produk akhir dari hidrolisa kemudian difermentasikan oleh

mikroorganisme yang sama (penghasil asam) menjadi asam-asam organik

terutama asam volatil rantai pendek (asetat, propionat, dan butirat), hidrogen

(H

2

), karbondioksida (CO

2

), dan senyawa dengan berat molekul lebih rendah

lainnya.

− Proses Asetogenesa : pada tahap ini asam-asam lemak berantai pendek, butirat,

dan propionat kemudian akan dioksidasi oleh mikroorganisme asetogen

menghasilkan asam asetat, karbondioksida (CO

2

), dan hidrogen (H

2

).

− Proses Metanogenesa : semua hasil dari tahap sebelumnya digunakan oleh

bakteri metan untuk dikonversi menjadi gas CH

4

dan CO

2

. Sekitar 70% metan

yang dihasilkan dibentuk dari substrat asetat.

Secara teoritis, perhitungan produksi gas bio adalah bila dianggap seluruh materi volatil

adalah sellulosa, dan gas-bio (CO

2

+ CH

4

) mempunyai konsentrasi masing-masing 50%,

maka secara teoritis produksinya adalah = 829 L/kg-volatil = 414,5 L metan/kg-volatil.

Maksimum potensi gas bio menurut Rees adalah 400 L biogas/kg-solid.

(10)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 10

− Reaktor kecil dengan kontrol temperatur 35-37ºC

Diaz

: 45-295 L biogas/kg-volatil = 27-177 L/kg-solid

Stenstrom

: 440-560 L biogas/kg-volatil = 270-264 L/kg-solid

Cooney & Wis

: 467 L biogas/kg-volatil = 280 L/kg-solid

− Pada beberapa lisimeter sampah kota yang dioperasikan tanpa kontrol temperatur

diperoleh nilai produksi antara 2,6 sampai 183 L/kg-volati

− Pada lisimeter sampah kota yang dioperasikan dengan resirkulasi leachate diperoleh

nilai rata-rata 0,137 L gas-bio/kg-volatil/hari = 0,026 L metan/kg-volatil/hari.

Beberapa data dari skala laboratorium adalah :

− Valorga (Perancis) : pilot metanisasi sampah kota skala industri, dengan kondisi :

o Konsentrasi solid = 30-40% (air = 60-70%)

o Reaktor komersil = 500 m

3

o Prapengolahan = pemilahan dan pemotongan.

o Resirkulasi cairan dari reaktor kembali ke reaktor

o Diperoleh produksi biogas sebesar 140 L /kg-solid dengan 65% metan.

− Cetom Methane (Perancis) : reaktor anaerobik skala komersil menghasilkan

produksi 240 L/kg-volatil dengan konsentrasi metan sebesar 60%.

Biogas dari Sebuah Landfill

Pada awalnya sampah yang ditimbun akan mengalami proses degradasi secara aerob.

Tetapi sejalan dengan teknik operasional yang sampai saat ini dianut, yaitu sampah

ditimbun lapis perlapis dan setiap periode tertentu ditutup dengan tanah penutup, maka

kondisi aerob tidak dapat lama bertahan dalam sebuah lahan-urug. Kondisi yang paling

dominan kemudian adalah kondisi anaerob. Produk akhir dari proses anaerob bila

kondisinya menunjang adalah pembentukkan gas metan (CH

4

). Produk yang dihasilkan

sebelum terbentuknya fase metanogen ini adalah asam-asam organik yang

menyebabkan lindi (leachate) dari timbunan tersebut bercirikan COD dan BOD yang

tinggi dengan pH yang rendah, serta penyebab timbulnya bau khas sampah membusuk.

Bila tahap ini lebih dipersingkat lagi keberadaannya dengan mengkonversi segera

asam-asam tersebut menjadi metan, maka beban organik dalam lindi akan menjadi

berkurang, yang secara tidak langsung akan mengurangi kelarutan mineral dalam lindi.

Sampah kota mengandung bahan organik untuk kebutuhan energi mikroorganisme.

Proses mendapatkan energi dilakukan dengan mendegradasi senyawa organik

(11)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 11

kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, proses ini disebut katabolisme.

Stanforth et al (1979) memperkenalkan model proses degradasi yang dapat terjadi

dalam sebuah landfill berdasarkan teori klasik dari proses degradasi materi organik.

Kurva di bawah ini menjelaskan hubungan antara pH, oksigen, karbondioksida, metana,

asam asetat, garam terlarut, dan potensial redoks.

Model tersebut membagi proses

degradasi menjadi 2 (dua) fasa, yaitu :

− Fasa Aerob, ditandai oleh likuifaksi dan hidrolisa materi organik yang mengakibatkan

turunnya pH dan larutnya mineral-mineral

− Fasa Anaerob, dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu :

o Tahap 1 : setelah oksigen berkurang, maka bakteri anaerob fakultatif

menjadi dominan, likuifaksi terus berlangsung, sejumlah besar

asam-asam volatil serta CO

2

akan dihasilkan dari sistem ini, dan materi

anorganik akan lebih banyak lagi larut, terutama karena turunnya pH.

o Tahap 2 : fasa ini bisa berlangsung karena meningkatnya alkalinitas

sehingga pH menjadi naik, dan memungkinkan bakteri-bakteri metan

dapat hidup, asam-asam volatil akan dikonversikan menjadi menjadi

metan dan CO

2

, dan materi organik terlarut menjadi berkurang karena

kelarutannya menjadi berkurang akibat pH yang naik.

Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi proses biodegradasi oleh

mikrorganisme menjadi metanogenesa adalah ketersediaan oksigen, kadar

air/kelembaban, ukuran dan densitas, temperatur, pH, alkalinitas, asam volatile, nutrisi,

dan senyawa toksik, dengan beberapa penjelasan :

− Bakteri metanogen adalah bakteri strict anaerob, sehingga kehadiran oksigen akan

mengganggu proses dan merupakan inhibitor. Laju produksi gas bio akan

bertambah dengan bertambahnya kelembaban.

− Adanya kelembaban di samping merupakan kebutuhan mikroorganisme, juga

berfungsi untuk mendistribusikan nutrisi dalam timbunan sampah. Jumlah air serta

aliran air merupakan dua parameter yang berbeda, dimana gerakan air ternyata juga

mempengaruhi laju produktivitas gas bio dalam sebuah lahan urug.

− Dalam sebuah landfill, kenaikkan densitas timbulan sampah akan menurunkan luas

permukaan efektif yang dapat kontak dengan mikroorganisme, sehingga akan

mengurangi produksi gas bio.

(12)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 12

Faktor Bepengaruhi dalam Produktivitas Gas Bio di Lanfill [Farquhar et al]

− Temperatur merupakan parameter yang sangat penting dalam degradasi secara

anaerob. Temperatur thermofilik memiliki keunggulan dibandingkan mesofilik. Pada

temperatur yang lebih tinggi, kecepatan fermentasi akan lebih cepat dan bisa

meminimasi bakteri pathogen. Dengan simulasi lahan-urug pada kondisi

laboratorium, Damanhuri (1987) mendapatkan bahwa produktivitas metan adalah

0,006-0,007 L/kg-volatil/hari pada temperatur 20ºC, sedangkan pada temperatur

37ºC menghasilkan produktivitas sebesar 2,38 - 2,413 L/kg-volatil/hari. Kenyataan di

lapangan, pengaturan temperatur praktis sulit dilaksanakan. Namun hal ini

menunjukkan bahwa pada kondisi Indonesia yang mempunyai temperatur udara

relatif lebih tinggi, akan diperoleh produktivitas gas bio yang lebih baik dibandingkan

pada daerah yang beriklim dingin.

Produksi gas bio pada landfill secara teoritis :

Estimasi Frerote adalah bahwa hanya 20-25% yang dapat dimanfaatkan

(ditangkap) dengan produksi taksiran = 30-40 L biogas/kg-solid

Taksiran Mouton = 30-40 L biogas/kg-solid

Perkiraan kasar di landfill (USA) = 20-25 mL/kg-solid/hari.

Produksi nyata biogas di lapangan di luar negeri :

Landfill Palas Verde (USA) = 0,030-0,056 L/kg-volatil /hari atau sekitar 11,5-13

m

3

/ton sampah per tahun.

Temperatur Oksigen tersedia Kadar air Potensial reduksi pH Nutrien Ukuran sampah Kepadatan sampah Tinggi landfill Temperatur udara Tanah penutup Hujan Air permukaan Komposisi sampah Perlakuan awal Pengoperasian Biogas Infiltrasi

(13)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 13

Landfill Sheldon Arletta (USA) = 0,022 L/kg-volatil/hari.

Landfill Mountain View (USA) = 0,045 L/kg-volatil/hari.

Pada sebuah lahan urug yang baik, sarana penangkap gas sudah diperhitungkan,

paling tidak pada akhir penggunaan lahan tersebut. Adanya gas metan tidak dapat

dihindari dalam suatu proses biodegradasi secara anaerob, yang merupakan hasil akhir

dari proses tersebut. Secara mikro timbulnya gas tersebut dapat menimbulkan dampak

negatif bila tidak ditangani secara baik karena akan menimbulkan ledakan bila berada di

udara terbuka dengan konsentrasi sekitar 15%. Secara global, gas metan ini

mempunyai potensi yang lebih besar dalam masalah efek rumah kaca dibandingkan

produk akhir lain dari proses degradasi karbon, yaitu CO

2

. Oleh karenanya gas metan

yang terbentuk harus dikonversi menjadi CO

2

dengan jalan membakarnya. Oleh karena

itu, timbulnya gas metan dapat pula dianggap sebagai nilai tambah dari sebuah landfill,

dengan memanfaatkan gas terbentuk sebagai sumber enersi. Beberapa negara industri

telah mengkomersialkan gas yang terbentuk dari sebuah landfill.

Pemasangan penangkap gas yang ideal adalah dimulai dari saat landfill tersebut

dioperasikan, dengan demikian metode penangkapannya dapat disesuaikan dengan

kondisi lapangan (lihat gambar), yaitu :

- Secara vertikal.

- Secara horizontal/miring, biasanya mengikuti kemiringan sel sampah

- Kombinasi antara dua cara tersebut.

Beberapa literatur mengemukakan bahwa sistem penangkap secara horizontal akan

lebih baik untuk menangkap gas dibandingkan yang vertikal. Pada landfill yang dari awal

tidak dilengkapi dengan penangkap gas, maka satu-satunya cara untuk menangkap gas

bio adalah secara vertikal dengan membor ke dalam timbunan sampah.

Secara teoritis, potensi biogas dari timbunan sampah di Indonesia relatif cukup tinggi

dibandingkan di negara industri yang umumnya terletak di daerah beriklim dingin.

Potensi tersebut menonjol terutama bila dilihat dari sudut temperatur udara, komposisi

sampah dan kelembaban. Tetapi permasalahan yang ada umumnya TPA di Indonesia

yang dioperasikan secara open dumping yang belum disiapkan untuk memungkinkan

penangkapan gas dari awal penggunaan TPA. Di samping itu, timbunan tersebut kurang

begitu baik dalam mengumpulkan gas yang terjadi.

Pengukuran gasbio di TPA Indonesia (secara pasif) menghasilkan :

(14)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 14

- Rentang volume = 2508 - 4669 L/hari.

- Rentang kadar metan = 77,02 - 88,38%.

- Produktivitas metan = 0,04 - 0,07 mL/kg-solid/hari.

TPA Grenjeng (Cirebon) diukur pada 3 ventilasi gas miring berumur 1-2 tahun :

- Rentang volume = 2686 - 24817 L/hari.

- Rentang kadar metan = 64 - 74,85%.

- Produktivitas metan = 0,19 - 1,72 mL/kg-solid/hari.

Pengukuran gas bio di TPA Sukamiskin secara dinamis (Laporan PD Kebersihan

Bandung, Agustus 1993), memberikan hasil :

- Pada sumur uji no.6 : gas terukur = 6 m

3

/jam.

- Komposisi rata-rata : metan = 60% dan CO

2

= 40%.

- Pipa-pipa gas terisi air, akibat tersumbat batu dan tanah yang menghambat

keluarnya gas.

- Tanah penutup kurang baik : retak pada musim kemarau menyebabkan udara

luar mudah masuk.

Timbulnya gas metan dapat pula dianggap sebagai nilai tambah dari sebuah landfill,

dengan memanfaatkan gas terbentuk sebagai sumber enersi. Upaya konversi CH

4

menjadi CO

2

, karena CH

4

dinilai mempunyai efek rumah kaca lebih dari 20 kali yang

ditimbulkan CO

2

, merupakan salah satu subyek menarik dalam Clean Development

Mechanism (CDM) sesuai dengan Kyoto Protocol, dan merupakan potensi besar bagi

Indonesia dalam perdagangan CO

2

. Permasalahan umum pada TPA di Indonesia

adalah umumnya landfill dioperasikan secara open dumping atau paling jauh dengan

cara controlled landfill, yang dapat mengakibatkan gas tidak terfokus menuju titik-titik

pengumpul.

Recovery Enersi Panas dari Insinerator Sampah

Salah satu jenis pengolah sampah yang sering digunakan sebagai alternatif

penanganan sampah adalah insinerator. Untuk sampah kota, sebuah insinerator akan

dianggap layak bila selama pembakarannya tidak dibutuhkan subsidi enersi dari luar.

Sampah tersebut harus terbakar dengan sendirinya. Sampah akan disebut layak untuk

insinerator, bila mempunyai paling tidak nilai kalor sebesar 1500 Kcal/kg-kering. Untuk

sampah kota di Indonesia, angka ini umumnya merupakan ambang tertinggi. Sampah

kota di Indonesia dikenal mempunyai kadar air yang tinggi (sekitar 60 %), sehingga akan

(15)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 15

mempersulit agar terbakar dengan sendirinya. Hambatan utama penggunaan insinerator

adalah kekhawatiran akan pencemaran udara.

Enersi panas dari sebuah insinerator skala kota di negara industri sudah banyak yang

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti untuk pemanas kota di musim dingin,

pembangkit tenaga listrik. Singapura pun telah memanfaatkan insinerator sampah-nya

sebagai salah satu sumber listrik. Persyaratan awal yang biasanya digunakan untuk

menentukan kelayakan insinerator skala komersial adalah :

− Nilai kalor sampah di atas 1500 kcal/kg-kering

− Kapasitas insinerasi >100 ton/hari, beberapa standar mensyaratkan 500 ton/hari

− Kadar air di bawah 50%

− Bagian sampah yang kombustibel di atas 35%

− Sebaiknya dioperasikan terus menerus

Beberapa catatan nilai kalor untuk sampah Bandung berdasarkan penelitian Lab.

Buangan Padat Teknik Lingkungan ITB tahun 2002 adalah :

− Kadar air rata-rata : 57%

− Kadar abu rata-rata : bisa mencapai 40%

− Bagian yang kombustibel : antara 58 – 93% kering

− Nilai kalor berasal dari sampah rumah tangga sebelum diletakkan di tempat sampah

(belum dilakukan pengambilan untuk daur-ulang) tertinggi adalah 1600

kcal/kg-kering. Sedang nilai kalor di institusi yang sampahnya banyak mengandung kertas

dapat mencapai 3200 kcal/kg-basah. Nilai kalor tsb sangat tinggi, mengingat data

yang ada di lapangan biasanya tidak pernah mencapai 1200 kcal/kg, hal ini karena

sampah yang terukur adalah termasuk sampah dengan nilai kalor tinggi seperti

kertas.

− Kadar air merupakan hambatan utama dalam aplikasi insinerasi. Penelitian

menunjukkan bahwa pengeringan sampah dengan memanfaatkan enersi panas dari

insinertor tsb dapat meningkatkan nilai kalor sampai 37% per-satuan berat sampah

masuk.

Recovery panas merupakan salah satu keunggulan yang ditawarkan dari sebuah

insinerator. Insinerator jenis baru yang sekarang banyak digunakan di negara industri,

dikenal sebagai wate-to-energy incinerator, intinya adalah menyiapkan sampah dengan

karakteristik yang lebih pasti melaui pre-treatment. Enersi tersebut berasal dari panas

(16)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 16

dalam tungku, yang biasanya didinginkan dengan air, dan uap air yang muncul

kemudian dapat digunakan sebagai penggerak turbin pembangkit listrik. Dikenal 2 jenis

sistem pemanfaatan panas dari sebuah insinerator, yaitu tungku yang dilengkapi dengan

waste-heat-boiler dan tungku dengan water-wall. Terdapat serangkaian upaya konversi

enersi dalam sistem ini, mulai dari combustor – boiler – steam generator sampai ke

electric generator, yang tidak akan mampu mengkonversi enersi secara mulus 100%.

Bila sampah yang digunakan adalah sejenis sampah di negara industri, dengan nilai

kalor biasanya 2000 – 2500 kkal/kg, maka enersi listrik sebesar 20 MW/1000 ton

sampah kering dapat dicapai.

Enersi panas dari sebuah insinerator di negara industri sudah banyak yang

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti untuk pemanas kota di musim dingin,

pembangkit tenaga listrik. Pemanfaatan enersi ini tentu saja membutuhkan kesiapan

yang matang, seperti pasar yang akan membeli dan sebagainya, sebab biaya

investasinya akan lebih mahal dibandingkan insinerator biasa. Nilai kalor sampah

Indonesia biasanya lebih kecil dibanding sampah dari negara industri. Komponen

sampah yang dikenal mempunyai nilai kalor tinggi adalah kertas dan plastik. Dalam

praktek persampahan di Indonesia, kertas dan plastik merupakan bahan yang

didaur-ulang, khususnya oleh pemulung. Pembatas lain yang perlu dipertimbangkan adalah

bahwa sampah Indonesia mengandung banyak sisa makanan, bisa mencapai 70%,

yang dikenal mempunyai kadar air tinggi. Ditambah musim hujan, serta sistem

pewadahan sampah yang tidak tertutup, akan menambah tingginya kadar air. Secara

logika, tambah tinggi kadar air, maka akan tambah banyak enersi yang dibutuhkan untuk

memulai sampah itu terbakar.

Dengan nilai kalor hanya sebesar 1000 Kcal/kg seperti yang umumnya dijumpai pada

sampah kota di Indonesia, akan diperoleh overall efficiency sampai menjadi listrik

kurang dari 5%, yang besarnya kira-kira 6000 kw untuk 1000 ton sampah. Dengan

kondisi sampah Indonesia yang mempunyai nilai kalor yang relatif lebih rendah, apalagi

bila kertas dan plastiknya dikeluarkan untuk didaur-ulang, serta kadar air yang cukup

tinggi, katakanlah 55%, maka secara sederhana potensinya kemungkinan besar tidak

akan melebihi 7,5 MW/1000 ton sampah, atau sekitar 7,5 KW/ton sampah. Jenis

sampah yang dianggap baik untuk dikonversi menjadi listrik biasanya bila mempunyai

overall efficiency paling tidak 10 %. Pemanfaatan enersi panas dari sebuah insinerator

(17)

Enri Damanhuri – TL FTSL ITB 17

Salah satu kehawatiran yang saat ini disuarakan oleh pemerhati lingkungan di seluruh

dunia adalah, adanya dampak negatif akibat pencemaran udara dari sebuah insinerator,

apalagi diterapkan di negara berkembang yang belum konsisten dalam menjalankan

peraturan lingkungan hidup. Dampak negatif penggunaan teknologi termal, dampak

sosial budaya serta kemungkinan tertutupnya praktek-prakter daur-ulang dari sektor

informal yang selama ini sudah berjalan, tampaknya merupakan kekhawatiran yang

perlu diperhatikan sebelum keputusan pemilihan teknologi ini dilakukan. Dari sekian

banyak jenis pencemaran udara yang mungkin timbul, maka tampaknya yang paling

dikhawatirkan adalah munculnya dioxin. Temperatur operasional di atas 800

o

C dianggap

jalan yang terbaik untuk mengurangi dioxin. Kekhawatiran dampak teknologi termal ini

memang patut dicermati secara proporsional, apalagi Indonesia samasekali belum

mempunyai pengalaman dalam aplikasi insinerator sekala kota, katakanlah sampai 100

ton/hari (400 m3/hari). Insinerator yang selama ini dibuat di Indonesia adalah dalam

skala modular, yaitu skala kecil sampai kapasitas hanya 15 ton/hari atau sekitar

60m3/hari. Biasanya insinerator jenis ini belum dilengkapi dengan sarana pengendali

pencemaran udara. Namun sikap apriori di awal hendaknya jangan terlalu dikedepankan

dalam mempertimbangkan pilihan-pilihan yang ada.

Penutup

Pengelolaan sampah pada masyarakat perkotan bertambah lama bertambah kompleks

sejalan dengan kekomplekan masyarakat itu sendiri. Pendekatannya tidak lagi

sesederhana menghadapi masyarakat di perdesaan. Seluruh proses tersebut perlu

diselesaikan dalam rangka bagaimana melindungi kesehatan masyarakat, pelestarian

lingkungan hidup, namun secara estetika dan juga secara ekonomi dapat diterima.

Konsep daur ulang sampah, termasuk recovery enersi dan bahan, merupakan salah

satu solusi yang dapat dipertimbangkan, sehingga nilai ekonomis yang masih

terkandung di dalam sampah dapat lebih dimanfaatkan. Pengembangan teknologi yang

sesuai dengan kondisi Indonesia perlu digalakkan, khususnya yang mudah beradaptasi

dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia.

Bahan Referensi :

Berasal dari disertasi, diktat-diktat kuliah serta tulisan Penulis dalam berbagai

seminar/lolakarya

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini tergambar dari tidak adanya fasilitas pelindung berupa breakwater padahal TPI Kali Buntu diampit 2 sungai sehingga ketika air laut naik terjadinya banjir rob,

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “RISK ASSESSMENT PADA UNIT PENGELOLAAN

Metode quantum memang pernah digunakan dalam penelitian pembelajaran membaca, yaitu dalam skripsi Rohayati (2009) dengan judul “Penerapan Strategi Quantum dalam

Kelompok tikus yang diberi probiotik, prebiotik dan sinbiotik mengalami peningkatan jumlah BAL dalam feses setelah 5 dan 10 hari perlakuan.. Jumlah BAL tertinggi

Dalam perusahaan yang telah pergi ke penggunaan tujuan kualitas strategis, proses penyebaran (lihat di bawah) akan membuat tujuan kualitas tambahan yang harus

William J Schull, Effects off Aetocic Radiatioi: Ae H alff-CCeitury off Studies ffroc H iroshica aid Nagasaki, 1995... Radiation Safety • Hiroshima

Berikut adalah contoh manfaat ilmu Fisika tentang materi dan perubahannya, cahaya, magnet, dan udara dalam kehidupan sehari-hari

Persepsi yang muncul dalam aktivitas konsumsi umumnyamelibatkan emosional yang mereka rasakan sehinggaakan mempengaruhi perilaku, kebiasaan membeli, dan sebagainya