• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL DIMENSI SEJARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL DIMENSI SEJARAH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 103

ARTICLE IN PRESS

ISSN - 2086-133

J

URNAL

D

IMENSI

S

EJARAH

Journal homepage: www.jurnaldimensisejarahum.com

SYAHADAT SUPAYA SELAMAT: HUBUNGAN

PEMBERANTASAN PKI DI BLITAR DENGAN BERDIRINYA

MADRASAH TARBIYATUL MUBALLIGHIN SUKOREJO

TAHUN 1967-2019

Zulfa Inayatul Aini, Arif Subekti

Zulfainayatul@gmail.com, arif.subekti.fis@um.ac.id

Abstract

Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo is one of the madrasas that has developed since 1967 in Blitar City. Until now, this madrasa has developed and opened several other branches in the city and district of Blitar. According to one cleric who was a historical witness at that time, the existence of this madrasa was inseparable from the events of the eradication of the PKI in Blitar in 1965. By knowing this history, it can be seen that the eradication of the PKI in Blitar indirectly helped the development of Islam in Blitar. The purpose of the researchers writing this journal is to uncover and explain the connection between PKI eradication events in Blitar with the establishment of the Tarbiyatul Muballighin Sukorejo Madrasah which is still rarely known by the general public. In addition, researchers also provide a brief explanation of the development of madrasas to date. The researcher used the interview method and literature review in studying the history of the establishment of the madrasa and its relation to the PKI eradication event in Blitar. This paper contains one of the local histories in Blitar, and is expected to inspire other writers to raise the local history of their respective regions.

Keywords

Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo; eradication; PKI; Blitar

Abstrak

Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo merupakan salah satu madrasah yang berkembang sejak tahun 1967 di Kota Blitar. Hingga saat ini, madrasah ini sudah berkembang dan membuka beberapa cabang lain di daerah kota maupun kabupaten Blitar. Menurut salah satu ustadz yang merupakan saksi sejarah pada masa itu, adanya madrasah ini tidak terlepas dari peristiwa pemberantasan PKI di Blitar pada tahun 1965. Dengan mengetahui sejarah ini, dapat diketahui bahwasanya pemberantasan PKI di Blitar secara tidak langsung membantu perkembangan agama Islam di Blitar. Tujuan peneliti menulis jurnal ini adalah untuk mengungkap dan menjelaskan mengenai keterkaitan peristiwa pemberantasan PKI di Blitar dengan berdirinya Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo yang masih jarang diketahui oleh khalayak umum. Selain itu, peneliti juga

(2)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 104

ARTICLE IN PRESS

memberikan penjelasan singkat mengenai perkembangan madrasah hingga saat ini.Peneliti menggunakan metode wawancara dan kajian pustaka dalam mengkaji sejarah berdirinya madrasah dan kaitannnya dengan peristiwa pemberantasan PKI di Blitar. Tulisan ini memuat salah satu sejarah lokal yang ada di Blitar, dan diharapkan dapat menginspirasi penulis lain untuk mengangkat sejarah lokal daerah masing-masing.

Kata kunci

Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo; pemberantasan; PKI; Blitar

*Received: 11 January 2020 *Revised: 28 March 2020

*Accepted: 5 May 2020 *Published: 25 June 2020

Pendahuluan

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal akan pendidikan agama Islamnya. Banyak pondok pesantren yang menjadi rujukan dalam mencari ilmu agama Islam. Hampir di seluruh kota atau kabupaten di Jawa Timur memiliki pondok pesantren atau madrasah. Salah satunya adalah Kota Blitar. Pentingnya pendidikan agama bagi kehidupan membuat banyak sekolah berdiri guna mewadahi kebutuhan masyarakat di Kota Blitar.

Salah satu wadah pendidikan agama Islam yang berkembang pesat di masyarakat adalah madrasah. Madrasah dikenal sebagai lembaga pendidikan keagamaan tingkat dasar dan menengah yang karenanya lebih menitikberatkan pada mata pelajaran agama, dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab Departemen Agama (Kosim, 2007, p. 42). Madrasah berbeda dengan pondok pesantren yang peserta didiknya harus tinggal di pondok. Biasanya madrasah hanya ada pada sore atau malam hari.

Salah satu madrasah yang terkenal di Kota Blitar adalah Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo. Madrasah ini dirintis sejak tahun 1967 dan bertahan hingga sekarang. Setelah berdirinya Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo, beberapa daerah seperti Sumberjo dan Tuliskriyo juga mendirikan madrasah yang sama dengan pusatnya ada di Sukorejo. Namun, banyak yang tidak tahu mengenai sejarah berdirinya madrasah di Sukorejo tersebut.

Perkembangan yang sangat pesat pada madrasah ini perlu kiranya sejarah berdirinya dan tokoh-tokoh yang berperan pada masa itu dikenang. Selain itu, sangat penting untuk mengkaji sejarahnya. Karena di tahun 2018, didirikan Yayasan KH. Ma’roef Zainuddin (Yamaza) yang menaungi dibawahnya Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo. Hal tersebut mengharuskan penentuan tanggal resmi berdirinya madrasah. Di dalam madrasah sendiri, belum ada buku atau sejenisnya yang berisikan sejarah detail mengenai hal tersebut. Maka dari itu, muncul tiga rumusan masalah yang menurut peniti perlu dikaji, pertama mengenai bagaimana sejarah singkat peristiwa pemberantasan PKI di Blitar Selatan; kedua, bagaimana hubungan peristiwa pemberantasan PKI di Blitar Selatan dengan berdirinya Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo; dan ketiga, bagaimana perkembangan Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo setelah peristiwa pemberantasan PKI mereda.

(3)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 105

ARTICLE IN PRESS

Adanya pembahasan mengenai sejarah berdirinya Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk mengangkat sejarah lokal daerah masing-masing.

Metode

Wawancara menurut Arifin (2014: p. 233) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui percakapan dan tanya jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan responden untuk mencapai tujuan tertentu. Peneliti menggunakan metode wawancara dengan beberapa responden yang berkaitan dengan bahasan, seperti kepada Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo dan seorang ustadz yang pada masa awal pembentukan madrasah terlibat.

Selain itu, peneliti juga menggunakan kajian pustaka dengan pembacaan pada beberapa buku dan skripsi yang berkaitan dengan pembahasan mengenai PKI di Blitar khususnya Blitar Selatan dan Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo di Kota Blitar. Pembahasan

Kekerasan adalah perkara yang omnipresent, muncul dalam banyak tempat dan waktu. Tentu tindakan kekerasan yang dilakukan bukan semata-mata sebuah tindakan kekejian terhadap sesama manusia, namun ada sebab akibatnya. Ada juga kekerasan yang membawa-bawa agama, termasuk Islam, yang dibumbui dengan hubungan yang saling menguntungkan pada kedua belah pihak yang terkait (Subekti & Kusairi, 2019), seperti hubungan pembantaian PKI di Blitar dengan berdirinya Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo di Kota Blitar.

PKI atau Partai Komunis Indonesia merupakan partai komunis Asia pertama di luar hegemoni Tsar Rusia yang bergabung dengan komintern pada Desember 1920. Setelah dilarang pada masa kolonial, PKI muncul kembali pada tahun November 1945 (Cribb & Kahin, 2004). Namun adanya ideologi membawa pro kontra bagi negara seperti Indonesia yang memiliki dasar negara salah satunya mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa. Komunis dianggap sebagai ideologi yang tidak sesuai dengan dasar negara Indonesia. Namun hal tersebut tidak membuat ideologi ini tidak memiliki pengikut. Salah satu tokoh komunis di Indonesia ialah Muso. Muso ialah tokoh komunis yang cukup lama bermukim di Uni Soviet, kembali ke Indonesia bersama Suripno pada tanggal 10 Agustus 1948 (Notosusanto & Poesponegoro, 1984, p. 239).

PKI senantiasa dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 atau disebut G 30 S terjadi pada tanggal 30 September 1965 larut, atau sudah masuk tanggal 1 Oktober 1965. Mulai dari penyebutan, kronologi kejadian hingga pelaku pemberontakan tersebut hingga saat ini masih menjadi perdebatan para ahli. Pasca pemberontakan tersebut, dampak yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia yang tidak menganut komunis, namun penganut ideologi ini juga merasakannya. Kekejian yang dilakukan oknum-oknum yang berlabel komunis menyulut kemarahan masyarakat Indonesia. Mahasiswa, pelajar, dan ormas-ormas yang setia kepada Pancasila melakukan tindakan-tindakan seperti pembakaran gedung kantor pusat PKI di Jalan Kramat Raya, pembakaran rumah tokoh-tokoh

(4)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 106

ARTICLE IN PRESS

PKI, aksi corat coret, dan demonstrasi sebagai bentuk kemarahan terhadap PKI (Notosusanto & Poesponegoro, 1984). Kemudian terjadi pemberantasan PKI besar-besaran di setiap daerah, tidak terkecuali di Blitar, khususnya Blitar Selatan yang merupakan basis PKI. Persebaran PKI di Blitar khususnya Blitar Selatan bisa dikatakan berkembang dengan pesat. Jika melihat kondisi budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat Blitar Selatan. Menurut Kuntoro dalam Saputra (2015, pp. 49–50) dilihat dari sisi budaya, masyarakat Blitar Selatan dibagi menjadi dua, yaitu wilayah barat dengan kebudayaan masyarakat yang condong ke Mentaraman yang merujuk pada suatu teritori budaya maupun kebiasaan bahasa yang digunakan dan wilayah timur cenderung pada kebiasaan bahasa yang diucapkan oleh penduduk Kabupaten Malang. Masyarakat Blitar Selatan menggemari berbagai bentuk kesenian seperti ludruk, ketoprak, dan kuda lumping yang hampir semua kelompok bergabung di bawah Lekra, yaitu organisasi kesenian bentukan PKI. Masyarakat Blitar Selatan tidak mengetahui Lekra adalah perkumpulan kesenian yang dibentuk PKI. Yang mereka tau Lekra adalah perkumpulan para pecinta seni rakyat.

Letak wilayah Blitar Selatan yang jauh dari pusat kota menyebabkan keterlambatan beberapa fasilitias baik untuk pendidikan atau bidang lainnya. Hal tersebut menyebabkan masyarakat disana minim pengetahuan luar dan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Selain itu, kesadaran dalam hal pendidikan masih sangat rendah terutama pendidikan formal. Masyarakat disana masih banyak yang buta huruf. Mayoritas lulusan paling tinggi sekolah dasar atau sekolah rakyat.

Sedangkan kondisi sosial ekonomi di Blitar Selatan, berdasarkan monografi dan demografi di Kabupaten Blitar, sebagian besar masyarakat Kabupaten Blitar adalah masyarakat pedesaan yang hidup dari sektor pertanian (tradisional) dengan sawah dan perkebunan sebagai faktor produksi utama (Saputra, 2015). Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwasanya mayoritas masyarakat di Blitar Selatan bekerja sebagai buruh tani dan kebun. Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi penyebaran PKI yang mana sasaran utamanya adalah para buruh tani. Perekrutan keanggotaan PKI dilakukan dengan cara membentuk organisas-organisasi underbow yaitu BTI, Pemuda Rakyat, Gerwani, Sabupri, SOBSI, dan lain sebagainya. Masyarakat yang tergabung dalam organisasi underbow PKI tidak mengetahui mengenai PKI sendiri itu apa, yang mereka tau hanya bergabung pada organisasi berdasarkan pekerjaan, seni, dan sebagainya.

Selain faktor di atas, perkembangan PKI di Blitar Selatan dapat tumbuh dengan pengikut yang banyak karena sifat senang membantu, toleran, dan hidup gotong royong memudahkan para pelarian PKI untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat Blitar Selatan. Dan hal tersebut dimanfaatkan untuk merekrut mereka menjadi PKI. Banyaknya pengikut PKI di Blitar Selatan menyebabkan terjadinya sejarah kelam pemberantasan PKI di Blitar.

Dalam pemberantasan PKI pasca kejadian 1965, pemberantasan yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh aparat negara saja. Ormas-ormas dan masyarakat sipil juga ikut andil dalam hal ini. Menurut Kurniawan (2013, p. 29) sejarah mencatat, NU adalah organisasi yang aktif berperan “membersihkan” PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banser dan Gerakan Pemuda Ansor ikut berperan dalam hal ini. Berawal dari pembantaian beberapa algojo yang membunuh PKI dan terjadi balas dendam dari PKI terhadap algojo tersebut. Kemudian PKI merusak beberapa rumah petinggi NU, merusak

(5)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 107

ARTICLE IN PRESS

masjid dan Al-Qur’an menyulut amarah kaum Islam. Berawal dari kecurigaan keterlibatan PKI dalam pembantain tersebut, kemudian Banser dan GP. Ansor melakukan pengamatan yang kemudian dapat membenarkan bahwa PKI berada di balik peristiwa tersebut. Ditambah tersebut terjadi pasca kejadian September 1965. Kemudian bersama militer melakukan operasi pemberantasan PKI di Blitar Selatan. Masyarakat juga ikut berperan dalam pemberantasan tersebut. Dalam pemberantasan ini, salah satu pesan dari Kiai dari Pondok Dawuhan yaitu KH. Zahid Syafi’i mengeluarkan fatwa bahwa PKI yang mengucapkan syahadat tidak boleh dibunuh (Saputra, 2015).

Pemberantasan PKI dan pengikut-pengikutnya, yang memang PKI dan dituduh sebagai PKI membawa dampak yang tidak semua buruk. Pemberantasan PKI di salah satu daerah di Jawa Timur yaitu Blitar, membawa dampak yang baik bagi perkembangan Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo Blitar yang berdiri sejak tahun 1967 hingga sekarang.

Berdirinya Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin merupakan salah satu dampak dari adanya peristiwa G 30 S yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 atau ada teori yang mengatakan terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Pasca kejadian pembantaian tujuh jenderal yang dilakukan oleh PKI, membawa dampak ke seluruh wilayah Indonesia tidak terkecuali di Blitar. Banyak anggota PKI yang dibantai sebagai salah satu bentuk protes masyarakat terhadap peristiwa tragis yang terjadi pada tujuh jendral yang dibunuh dengan sadis. Pembantaian anggota PKI dilakukan mulai pusat hingga daerah pelosok. Akhirnya, banyak anggota PKI yang meminta bantuan perlindungan kepada kaum muslimin agar tidak dibunuh. Sebagai imbalan atas bantuan kaum muslimin, anggota PKI bersedia melepas ideologi komunisnya dan memeluk agama Islam. Tidak hanya cukup menjadi seorang muallaf, para PKI juga diharuskan menuntut ilmu agama. Dengan adanya perjanjian tersebut, akhirnya kaum muslimin bersedia memberikan perlindungan kepada anggota PKI.

Para anggota PKI berbondong-bondong memenuhi mushola (langgar/surau) dan masjid setiap malam untuk mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai bukti bahwa mereka benar-benar bersedia menganut agama Islam dan sekaligus belajar tentang ajaran-ajaran agama Islam. Mushola (langgar/surau) dan masjid yang awalnya sepi menjadi ramai dengan adanya anggota PKI yang menjadi muallaf.

Perkumpulan masyarakat di mushola (langgar/surau) dan masjid tersebut dinamakan dengan ISC (Islamic Study Club). Hal tersebut dituturkan oleh Ustadz Mucharom selaku guru di Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo dan merupakan salah satu angkatan I di madrasah tersebut:

“Berdirinekan mulaine sakdurunge enek Tarbiyatul Muballighin iki kene iku ngenekne istilah e cah enom-enom yo wi ngenekne kumpulan wi lo ISC jenenge, Islam Study Club ngono wi. Terus tokoh-tokoh kene (Sukorejo) kan akhir e tanggap, wo brarti kene ki butuhne pendidikan agama ngono kui. Terus akhir e kiyai-kiyai, tokoh-tokoh kene (Sukorejo) kan musyawarah terus ngedekne gae

(6)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 108

ARTICLE IN PRESS

madrasah kui. Jeneng e dhisik madrasah diniyah ngono tok urung enek jenenge.”1

Dari paparan di atas, tidak hanya banyaknya jumlah para muallaf eks-PKI yang mencari ilmu agama, namun juga semangat para pemuda di Sukorejo juga turut ikut aktif dalam pembentukan madrasah ini.

Jumlah para santri yang semakin banyak menimbulkan permasalahan baru yaitu kekurangan muballigh atau tenaga pendidik ilmu agama Islam. Dibutuhkan banyak muballigh untuk mengajar ajaran-ajaran agama Islam kepada mereka. Selain permasalahan jumlah muballigh yang terbatas, mushola (langgar/surau) dan masjid yang digunakan untuk menuntut ilmu juga tidak memadai mengingat jumlah mereka yang banyak.

Hal tersebut menarik perhatian masyarakat Sukorejo, Kota Blitar yang pada saat itu sudah menjadi daerah dengan basis Islam. Masyarakat Sukorejo berpartisipasi dengan mengirimkan muballigh-muballigh ke mushola (langgar/surau) dan masjid yang digunakan untuk pembelajaran agama. Namun hal tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat karena masih banyak mushola (langgar/surau) dan masjid yang belum ada muballighnya. Untuk mencari solusi atas permasalah tersebut, para tokoh-tokoh agama Islam di Sukorejo mengadakan musyawarah guna membahas permasalah tersebut. Dan hasilnya mereka semua setuju mencetak kader-kader muballigh baru dengan jalan mendirikan sebuah madrasah diniyah salafiyah sebagai wadah untuk mewujudkan keinginan tersebut (Novitasari, 2018, p. 56).

Satu hal lain yang mendorong didirikannya Madrasah pada waktu itu adalah fakta bahwa Pondok Pesantren yang ada di Sukorejo pada waktu itu mengalami perkembangan yang semakin pesat (Ubaidilah, 2011, p. 66). Hal tersebut membuat pimpinan Pondok Pesantren, yakni KH. Ma’roef Zaenuddin yang merupakan perintis dan sekaligus ketua madrasah pertama berkeinginan mendirikan madrasah guna kepentingan pembelajaran ilmu-ilmu agama. Dituturkan oleh Ustadz Mucharom, bahwa santri yang mondok di Sukorejo mencari ilmu di luar pondok. Maka dari itu, KH. Ma’roef Zaenuddin mendirikan madrasah ini dengan salah satu alasannya untuk memfasilitasi santri dalam mencari ilmu agama. Terdapat lima tokoh perintis dan pendiri Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo:

1. KH. Ma’roef Zaenuddin

2. KH. Jalal Mahalli (putra dari KH. Ma’roef Zaenuddin) 3. K. Abdurrohman Mukti

4. KH. Mustofa

5. K. Anshar Najamuddin

Di awal terbentuknya madrasah ini, hanya terdapat dua kelas. Lokasi madrasah sudah ada di lokasi yang sekarang berdiri Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo. Dalam satu kelas, terdapat lebih dari 50 santri dengan berbagai usia menjadi satu. Hal tersebut dituturkan oleh Ustadz Mucharom yang menjadi salah satu pelaku sejarah berdirinya madrasah ini. Bahkan beliau juga ikut dalam pembangunan dua kelas awal tersebut bersama dengan KH. Ma’roef Zaenuddin.

1 Wawancara dengan Ustadz Mucharom selaku guru di Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo dan merupakan salah satu angkatan I Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo, pada tanggal 26 April 2019.

(7)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 109

ARTICLE IN PRESS

Foto 1. KH. Ma’roef Zaenuddin pendiri Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Sumber: Nahdatul Wathan Jakarta dalam Republika (Ginting, 2017)

Perintisan dan pendirian madrasah ini dimulai sekitar tahun 1967. Menurut Drs. H. Arif Fuadi, M.M, M.H selaku ketua Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo saat ini, telah disepakati bahwa perintisan madrasah dimulai sejak tahun 1967 dengan pengajian biasa (belum terstruktur). Sedangkan secara formal, madrasah ini disepakati terbentuk pada tanggal 12 bulan Syawal tahun 19672. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya SPP (syahriah) atas nama Munawaroh tertanggal 1971. Dalam SPP, disebutkan bahwa Munawaroh sudah menempuh kelas 4.3

Ustadz-ustadz yang mengajar pada masa itu masih sangat terbatas dan beliau-beliau sudah lanjut usia. Ustadz-ustadz yang ada saat itu antara lain:

1. K. Abdurrohman Mukti 2. K. Zaid 3. K. Yazid 4. KH. Jalal Mahalli 5. K. Anshar Najamuddin 6. KH. Muhsin 7. KH. Imam Mu’ti 8. KH. Abdurrohim Sidiq4

Seiring berjalannya waktu, santri di madrasah ini terus meningkat. Tidak hanya dari wilayah Kota Blitar saja, namun banyak juga santri yang berasal dari Kabupaten Blitar. Antara lain wilayah Wlingi, Talun, Kademangan, Nglegok, Sumberjo sampai daerah Kandangan di sebelah Barat Kota Blitar (Ubaidilah, 2011).

Pada tahun 1970, Madrasah Diniyah Salafiyah ini diubah namanya menjadi “Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin”. Alasan mengapa namanya diganti karena madrasah ini memiliki tujuan yaitu mendidik santri menjadi muballigh, karenanya di madrasah ada kegiatan tambahan yaitu muhadarah (Novitasari, 2018). Penggantian nama dilakukan dengan cara musyawarah. Seiring berjalannya waktu, Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin yang

2Wawancara dengan Bapak Sugianto selaku pembina OSIS-OSIM, pada tanggal 26 April 2019.

3 Wawancara dengan Drs. H. Arif Fuadi, M.M, M.H selaku ketua Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo, pada tanggal 26 April 2019.

(8)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 110

ARTICLE IN PRESS

awalnya dibentuk hanya di Sukorejo dapat berkembang di beberapa wilayah, antara lain Tuliskriyo dan Sumberjo.

Setelah wafatnya KH. Ma’roef Zaenuddin, kepemimpinan di madrasah diserahkan kepada putranya, yaitu KH. Jalal Mahalli. Dikarenakan sibuk mengurusi pondok pesantren yang dipimpinnya, maka pada tahun 1991, KH. Mahalli menyerahkan kepemimpinan Madrasah ini kepada KH. Abdurrohim Sidik yang masih keponakan beliau (Ubaidilah, 2011). Dibawah kepemimpinan beliau, terjadi banyak perubahan di dalam proses belajar mengajar. Beliau mengadakan kegiatan PKL (Praktek Kegiatan Lapangan) bagi siswa tingkat akhir (kelas 6) yang pertama kali di daerah Wates dekat perbatasan Malang. Tujuan diadakannya PKL ini adalah untuk melakukan dakwah Islam di daerah pelosok dan terpencil yang masih minim akan pengetahuan agama. Santri tidak hanya belajar di dalam kelas saja, namun juga dilatih untuk menghadapi masyarakat secara langsung. Kegiatan PKL ini diadakan di setiap bulan Ramadhan selama 22 hari.

Foto 2. PKL angkatan 50 di Ringinbranjang, Maliran, Ponggok, Kabupaten Bitar Sumber: Koleksi Pribadi

Pada tahun 2010, KH. Abdurrohim Sidik wafat. Kepemimpinan madrasah digantikan oleh Bapak H. Umar Wahab. Nmaun, pada tahun 2014 beliau wafat dan digantikan dengan Drs. H. Arif Fuadi, M.M, M.H hingga sekarang. Di bawah kepemimpinan beliau, wisuda untuk pertama kalinya dilakukan secara formal dan terstruktur. Mulai dari prosesi pembacaan keputusan hingga pemakain sorban dan pembacaan sumpah atau ikrar wisudawan. Wisuda pada tahun 2019, merupakan wisuda angkatan yang ke-52. Di tahun 2018, madrasah mulai mengadakan acara “Temu Reuni”, dan di tahun 2019 ini merupakan tahun kedua diadakan acara tersebut.

Foto 3. Proses Pembacaan Sumpah Wisudawan Angkatan 50 Pada Tahun 2017 Sumber: Koleksi Pribadi

Kesimpulan

Merujuk dari dari beragam paparan di atas, dapat dikatakan adanya pemberantasan PKI pasca tragedi 1965 tidak selalu membawa dampak yang negatif yang dapat menimbulkan perpecahan. Pemberantasan PKI di Blitar menciptakan para muallaf yang awalnya hanya semata-mata untuk meminta pertolongan kepada golongan Islam. Adanya kesepakatan menjadi muallaf dan menuntut ilmu agama Islam menciptakan perkumpulan yang kemudian

(9)

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 103-111 DOI:10.17977/um020v1i12020p103

Zulfa Inayatul Aini & Arif Subekti| 111

ARTICLE IN PRESS

menjadi cikal bakal berdirinya Madrasah Tarbiyatul Muballighin Sukorejo Blitar yang hingga kini masih ada dan berkembang menjadi madrasah yang besar. Mampu menciptakan muballigh-muballigh yang menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Indonesia, khusunya Jawa Timur.

Daftar Rujukan Buku dan Jurnal

Arifin, Z. (2014). Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Cribb, R. B., & Kahin, A. (2004). Historical dictionary of Indonesia. Scarecrow Press. Ginting, S. (2017, April). Segudang Penghargaan Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul

Madjid. Republika.

Kosim, M. (2007). Madrasah di Indonesia (Pertumbuhan dan Perkembangan). Tadris, 2(1), 41–57.

Kurniawan. (2013). Pengakuan Algojo 1965 (Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965). Jakarta: Tempo Publishing.

Notosusanto, N., & Poesponegoro, M. D. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. In Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. PT Balai Pustaka.

Novitasari, E. (2018). Peran Kegiatan Muhadarah Dalam Meningkatkan Kecerdasan Interpersonal Santri di Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Muslihuun.

Saputra, J. . (2015). Peran Gerakan Pemuda Ansor dalam Menumpas PKI di Blitar Selatan Tahun 1968. Universitas Negeri Malang.

Subekti, A., & Kusairi, L. (2019). From Sunrise of Java to Santet of Java: Recent Urban Symbolism Of Banyuwangi, Indonesia. https://doi.org/10.2991/icskse-18.2019.28 Ubaidilah, U. (2011). OPTIMALISASI PERKEMBANGAN MORAL SISWA DI MADRASAH DINIYAH

Gambar

Foto 1. KH. Ma’roef Zaenuddin pendiri Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin  Sumber: Nahdatul Wathan Jakarta dalam Republika (Ginting, 2017)
Foto 2. PKL angkatan 50 di Ringinbranjang, Maliran, Ponggok, Kabupaten Bitar  Sumber: Koleksi Pribadi

Referensi

Dokumen terkait

Dengan informasi dari guru, siswa diajak memahami perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat di Indonesia pada masa kolonial.. Guru

Bagi sebagian besar penduduk Kabupaten Majalengka yang rata-rata memiliki kondisi sosial-ekonomi yang tidak terlalu baik, keputusan untuk menjadi TKI di luar

Sedangkan pada awal Orde Baru, strategi pembangunan di Indonesia lebih diarahkan pada tindakan pembersihan dan perbaikan kondisi ekonomi yang mendasar, terutama

Dan akhirnya penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud dengan status sosial ekonomi adalah kondisi yang menggambarkan kedudukan seseorang dalam kelompok serat dalam

Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.. Kondisi ekonomi pasca konversi hutan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Kondisi sosial ekonomi guru honorer di SMA Negeri 1 Tapango Kabupaten Polewali Mandar. 2) Strategi yang dilakukan guru honorer di

Kondisi ekonomi yang buruk tak terlepas dari kondisi sosial dan demografi suatu daerah/negara, oleh karena itu dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh karakteristik sosial ekonomi

Status sosial ekonomi responden di daerah pedesaan sebagian besar masih berstatus rendah sedangkan di daerah perkotaan sebagian besar berstatus ekonomi tinggi berbagai faktor telah