• Tidak ada hasil yang ditemukan

LP PEB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LP PEB"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A.

A. PENDAPENDAHULUAHULUANN 1.

1. LatLatar ar BelBelakaakangng Wo

World rld HeaHealth lth OrgOrganianizatzationion (W(WHOHO) ) memempmperkerkirairakakan n di di duduninia a setsetiaiap p memeninitt  perempuan

 perempuan meninggal meninggal karena karena komplikasi komplikasi yang yang terkait terkait dengan dengan kehamilan kehamilan dandan  persalinan,

 persalinan, dengan dengan kata kata lain lain 1400 1400 perempuan perempuan meninggal meninggal setiap setiap harinya harinya atau atau kurangkurang lebih 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan. lebih 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan.

Kematian ibu di Indonesia merupakan peringkat tertinggi di negara ASEAN, yang mana Kematian ibu di Indonesia merupakan peringkat tertinggi di negara ASEAN, yang mana dip

diperkerkirairakan kan sedsedikiikitnytnya a 18.18.000 000 ibu ibu menmeninginggal gal setsetiap iap tahtahun, un, kakarenrena a kehkehamiamilan lan ataatauu  persalinan.

 persalinan. Dari Dari jumlah jumlah kematian kematian ibu ibu prevalensi prevalensi paling paling besar besar adalah adalah pre-eklampsia pre-eklampsia dandan eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu (Siswono, 2003).

eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu (Siswono, 2003).

Pre eklampsia adalah

Pre eklampsia adalah timbutimbulnya hipertensi disertai proteinurlnya hipertensi disertai proteinuria ia dan edema dan edema akibaakibatt keham

kehamilan ilan setelah usia setelah usia kehamkehamilan 20 ilan 20 mingminggu gu atau segera atau segera setelasetelah h persalipersalinan. Kejadiannan. Kejadian  pre eklampsia

 pre eklampsia menduduki urutan nomor menduduki urutan nomor 2 dengan 2 dengan persentase 24% persentase 24% dari angka dari angka kematiankematian ibu di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk  ibu di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk  melih

melihat at derajat kesehatan perempderajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu uan. Angka kematian ibu juga merupakjuga merupakan an salah satusalah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5, target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5, meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari survei yang dilakukan AKI mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari survei yang dilakukan AKI telah menunju

telah menunjukkan penurunkkan penurunan dari an dari waktu ke waktu ke waktuwaktu, , namunamun n demikdemikian ian upayupaya a untuuntuk k  mewuj

mewujudkan target udkan target tujuan pembangutujuan pembangunan nan millenmillenium ium masih masih membmembutuhkutuhkan an komikomitmentmen dan usaha keras (Depkes RI, 2010).

dan usaha keras (Depkes RI, 2010).

Menurut Depkes RI (2010), angka kematian ibu melahirkan di Indonesia saat ini Menurut Depkes RI (2010), angka kematian ibu melahirkan di Indonesia saat ini tergolong masih cukup tinggi yaitu mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Walaupun tergolong masih cukup tinggi yaitu mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Walaupun sebelumnya Indonesia telah mampu melakukan penurunan dari angka 300 per 100.000 sebelumnya Indonesia telah mampu melakukan penurunan dari angka 300 per 100.000 kelahiran pada tahun 2004. Padahal berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau kelahiran pada tahun 2004. Padahal berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau  Millenium Development Goal 

 Millenium Development Goal (MDGs), kematian ibu melahirkan ditetapkan pada angka(MDGs), kematian ibu melahirkan ditetapkan pada angka 103 per 100.000 kelahiran pada tahun 2015. Masalah AKI di Indonesia masih cukup 103 per 100.000 kelahiran pada tahun 2015. Masalah AKI di Indonesia masih cukup ti

tingnggi gi dadari ri AsAsia. ia. BeBerdrdasaasarkrkan an pepersersentntase ase pepenynyebebab ab kekemamatiatian n ibibu u memelahlahirirkankan,,  perdarahan

 perdarahan merupakan merupakan penyebab terbespenyebab terbesar ar kematian kematian ibu melahirkaibu melahirkan n denganj denganj persentasepersentase 28

28%, %, pepenynyebaebab b kekedudua a adadalalah ah hihipepertertensnsi i saasaat t hahamimil l ataatau u prpre e ekeklamlampspsia ia dedengnganan  persentase

 persentase 24%, 24%, penyebab penyebab ketiga ketiga dikarenakan dikarenakan infeksi infeksi saat saat melahirkan melahirkan dan dan lain-lainlain-lain y

yang ang memerurupapakakan n pepenynyakiakit t pepenynyerterta a saasaat t kekehamhamilailan n mamaupupun un pepersarsalilinanan n dedengnganan  persentase

 persentase 11%. Penyebab 11%. Penyebab lain lain adalah adalah komplikasi masa komplikasi masa puerperium dengan puerperium dengan persentasepersentase 8%. Selain itu, masih ada penyebab lain seperti persalinan lama atau macet dan abortus 8%. Selain itu, masih ada penyebab lain seperti persalinan lama atau macet dan abortus

(2)

dengan persentase 5%, dan penyebab lain karena terjadinya emboli obat sebanyak 3% dengan persentase 5%, dan penyebab lain karena terjadinya emboli obat sebanyak 3% (survei SDKI 2007).

(survei SDKI 2007). Tin

Tinggigginynya a angangka ka kemkematiatian an ibu ibu akiakibat bat pre pre ekleklamsamsia ia dan dan ekleklamsamsia ia menmenuntuntutut  peranan

 peranan tenaga tenaga kesehatan kesehatan dalam dalam mencegah mencegah komplikasi komplikasi dari dari terjadinya terjadinya pre pre eklamsia.eklamsia. Tenaga kesehatan khususnya perawat harus mampu melakukan perawatan yang tepat Tenaga kesehatan khususnya perawat harus mampu melakukan perawatan yang tepat terhadap ibu pre eklamsia sehingga kejadian pre eklamsia dapat ditangani dengan cepat terhadap ibu pre eklamsia sehingga kejadian pre eklamsia dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Hal tersebut akan lebih baik apabila pre eklamsia dapat ditangani sampai dan tepat. Hal tersebut akan lebih baik apabila pre eklamsia dapat ditangani sampai sebelum ibu akan melakukan proses persalinan sehingga ibu dapat melahirkan dalam sebelum ibu akan melakukan proses persalinan sehingga ibu dapat melahirkan dalam kon

kondisdisi i dan dan parpartus tus nornormal mal tantanpa pa adaadanynya a komkompliplikasi kasi perpersalisalinannan. . OleOleh h karkarena ena ituitu,, dilakukan penyusunan laporan pendahuluan tentang post partum dengan pre eklamsia, dilakukan penyusunan laporan pendahuluan tentang post partum dengan pre eklamsia, supaya mahasiswa memahami tentang bagaimana konsep dasar dan pemberian asuhan supaya mahasiswa memahami tentang bagaimana konsep dasar dan pemberian asuhan keperawatan terhadap pasien post partum dengan pre eklamsia.

keperawatan terhadap pasien post partum dengan pre eklamsia.

2

2.. TuTujjuauann a.

a. TujuTujuan an InstInstruksiruksional onal UmumUmum

Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat mengelola pasien

mengelola pasien post partum post partum dengan pre eklamsia.dengan pre eklamsia. b.

b. TujuTujuan Insan Instruktruksionasional Khusul Khususs

Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat: Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat: 1)

1) Mengetahui konsepMengetahui konsep post partum post partum dengan pre eklamsia.dengan pre eklamsia. 2)

2) Melakukan pengkajian pada pasienMelakukan pengkajian pada pasien post partum post partum dengan pre eklamsia.dengan pre eklamsia. 3)

3) Menetapkan diagnosa keperawatan pasienMenetapkan diagnosa keperawatan pasien post partum post partum dengan pre eklamsia.dengan pre eklamsia. 4)

(3)

B. TINJAUAN PUSTAKA Pre Eklamsi Berat (PEB) 1. Pengertian

Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang memperlihatkan gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-kadang hanya hipertensi dan edema atau hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias dan satu gejala yang harus ada yaitu hipertensi).

Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya hipertensi disertai  proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera

setelah persalinan.

Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal dan diartikan juga sebagai penyakit vasospastik yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005).

Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut: a. Pre eklamsia ringan

Pre eklamsia ringan ditandai dengan:

1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara  pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1  jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.

2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.

3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau midstream (aliran tengah).

b. Pre eklamsia berat

Pre eklamsia berat ditandai dengan:

1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. 2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.

3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .

4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan rasa nyeri pada epigastrium.

(4)

5) Terdapat edema paru dan sianosis

6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik. 7) Perdarahan pada retina.

8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.

2. Etiologi

Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu:

a. Primigravida atau primipara mudab (85%). b. Grand multigravida

c. Sosial ekonomi rendah. d. Gizi buruk.

e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun). f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.

g. Hipertensi kronik. h. Diabetes mellitus. i. Mola hidatidosa.

 j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau  polihidramnion (14-20%).

k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan). l. Hidrofetalis.

m. Penyakit ginjal kronik.

n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan diabetes mellitus.

o. Obesitas.

 p. Interval antar kehamilan yang jauh.

3. Patofisiologi

Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat

(5)

hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam  proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor   pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus

yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer  akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.

Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah,  paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan

terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan  pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya  pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi  peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat

menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan

(6)

 penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR  tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan diagnosa keperawatan risiko gawat janin.

Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.

4. Manifestasi Klinis

Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat  badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan  petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia

(7)

yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik  medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam  penegakkan diagnosa pre eklamsia.

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah

a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk  wanita hamil adalah 12-14 gr%).

 b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).

c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)

2) Urinalisis

Ditemukan protein dalam urine. 3) Pemeriksaan Fungsi Hati

a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).  b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.

c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.

d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml) e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml) f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)

4) Tes Kimia Darah

Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL

 b. Pemeriksaan Radiologi 1) Ultrasonografi (USG).

Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.

2) Kardiotografi

Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa denyut jantung janin lemah.

(8)

6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia antara lain:

a. Komplikasi pada Ibu 1) Eklamsia.

2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal  jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.

3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP ( Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes and Low Plateleted ) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas.

4) Solutio plasenta.

5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan. 6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.

7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan untuk sementara.

8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.

9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat serangan kejang.

10) DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan darah.

 b. Komplikasi pada Janin

1) Hipoksia karena solustio plasenta.

2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.

3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).

(9)

7. Penatalaksanaan

a. Pencegahan atau Tindakan preventif 

1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.

2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada faktor-faktor predisposisi.

3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta  pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi  protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan

b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif 

Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.

1) Penanganan pre eklamsia ringan

Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi  berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan  janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas.

2) Penanganan pre eklamsia berat

a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.

Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:

(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular  kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak  ada kontraindikasi.

(10)

(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan kecuali ada kontraindikasi.

(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta  berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi

timbulnya lagi gejala.

(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan. Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.  b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.

(1) Penderita dirawat inap

(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi. (b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.

(c)Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus kanan dan 4 gr digluteus kiri.

(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.

(e)Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc.

(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.

(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari. (3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru

dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV lasix.

(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi  partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin

(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.

(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu dilarang mengedan.

(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan yang disebabkan atonia uteri.

(11)

(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.

(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea. c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia

1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary, fenel, hyssop dan sage.

2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan.

3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi

4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.

(12)

9. Pengkajian

a. Data Subjektif 

1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun

2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan  berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai, muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre eklamsia berat < 400 ml/24 jam).

3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM.

4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya

5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan

6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.

 b. Data Objektif 

1) Pemeriksaan Fisik 

a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.  b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.

c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika refleks positif.

d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress. Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan  biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu).

Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.

2) Pemeriksaan Penunjang

a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan interval 4-6 jam

 b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif),

(13)

kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.

c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.

d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak. e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.

f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.

10. Diagnosa Keperawatan

Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai  berikut:

a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia  berat.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat  penimbunan cairan paru : adanya edema paru.

c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload. d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi. e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

f. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multipel.

g. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.

(14)

11. Rencana Asuhan Keperawatan

Dx Tujuan Intervensi Rasional

Risiko ketidakefektifan  perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia berat.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam diharapkan status

neurologi membaik dan ketidakefektifan  perfusi jaringan serebral teratasi dengan

indikator:

 NOC: Management neurology

Indikator Awal Target

Status neurologi: syaraf sensorik dan motorik dbn 2 3 Ukuran pupil 4 4 Pulil reaktif 3 4 Pola pergerakan mata 3 4 Pola nafas 3 5 TTV dalam batas normal 3 4

Pola istirahat dan tidur  3 4 Tidak muntah 5 5 Tidak gelisah 3 4 Keterangan : 1= keluhan ekstrim 2= keluhan substansial 3= keluhan sedang 4= keluhan ringan 5= tidak ada keluhan

 Neurologic monitoring 

1. Monitor ukuran pupil, bentuk, simetris dan reaktifitas pupil 2. Monitor keadaan klien dengan

GCS

3. Monitor TTV

4. Monitor status respirasi: ABClevels, pola nafas, kedalaman nafas, RR  5. Monitor reflek muntah 6. Monitor pergerakan otot 7. Monitor tremor 

8. Monitor reflek babinski 9. Identifikasi kondisi gawat

darurat pada pasien.

10. Monitor tanda peningkatan tekanan intrakranial

11. Kolaborasi dengan dokter jika terjadi perubahan kondisi pada klien

1. Klien dengan cedera kepala akan

mempengaruhi reaktivitas  pupil karena pupil diatur 

oleh syaraf cranialis 2. Mengetahui penurunan kesadaran klien 3. Memantau kondisi hemodinamik klien 4. Mengetahui kondisi  pernafasan klien 5. Peningkatan TIK  6. Memonitor kelemahan 7. Memonitor persyarafan di  perifer  8. Reflek babinsky (+) menunjukan adanya  perdarahan otak 

9. Peningkatan TIK dengan tanda muntah proyektil, kejang, penurunan kesadaran Gangguan  pertukaran gas  berhubungan dengan ventilasi- perfusi akibat  penimbunan cairan  paru : adanya edema paru.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, status respiratori: pertukaran gas dengan indikator:

1. Status mental dalam batas normal (5)

2. Dapat melakukan napas dalam (5)

3. Tidak terlihat sianosis (5) 4. Tidak mengalami somnolen (4) 5. PaO2 dalam rentang normal (4) 6. pH arteri normal (4)

7. ventilasi-perfusi dalam kondisi seimbang (4)

 NIC: Airway management  a. Posisikan klien untuk 

memaksimalkan potensi ventilasinya.

 b. Identifikasi kebutuhan klien akan insersi jalan nafas baik aktual maupun potensial.

c. Lakukan terapi fisik dada

d. Auskultasi suara nafas, tandai area  penurunan atau hilangnya ventilasi

dan adanya bunyi tambahan e. Monitor status pernafasan dan

oksigenasi, sesuai kebutuhan

a. Untuk mempermudah

 pertukaran gas

 b. Untuk memantau kondisi  jalan nafas klien

c. Untuk mengeluarkan sputum

d. Memantau kondisi

 pernafasan klien

e. Memantau kondisi klien

Penurunan curah  jantung  berhubungan dengan perubahan  preload dan afterload.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan penurunan curah jantung teratasi dengan indikator:  NOC:

- Cardiac Pump effectiveness - Circulation Status

- Vital Sign Status

- Tissue perfusion: perifer 

Indikator Awal Target

TTVdbn 2 3

Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan

1 3

Tidak ada edema  paru

1 1

Tidak ada asites 5 5

Tidak ada udema 2 2

1. Evaluasi adanya nyeri dada 2. Catat adanya disritmia jantung 3. Catat adanya tanda dan gejala

 penurunan cardiac putput 4. Monitor status pernafasan yang

menandakan gagal jantung 5. Monitor balance cairan

6. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia 7. Monitor adanya dyspneu, fatigue,

tekipneu dan ortopneu

8. Anjurkan untuk menurunkan stress 9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR  10. Monitor irama jantung

11. Monitor frekuensi dan irama  pernapasan

12. Monitor pola pernapasan abnormal

1. Menunjukan jantung dalam kondisi abnormal 2. Takikardi, bradikardi 3. Tanda dan gejala

 penurunan cardiac output : pucat, akral dingin, udema ekstermitas 4. Gagal jantung kiri

menyebabkan udema di  paru dan gagal jantung

kanan menyebabkan udema ekstermitas 5. Mengetahui adanya

kelebihan cairan karena klien biasanya udema 6. Mengetahui respon pasien

(15)

Gangguan  pertukaran gas  berhubungan dengan ventilasi- perfusi akibat  penimbunan cairan  paru : adanya edema paru.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, status respiratori: pertukaran gas dengan indikator:

1. Status mental dalam batas normal (5)

2. Dapat melakukan napas dalam (5)

3. Tidak terlihat sianosis (5) 4. Tidak mengalami somnolen (4) 5. PaO2 dalam rentang normal (4) 6. pH arteri normal (4)

7. ventilasi-perfusi dalam kondisi seimbang (4)

 NIC: Airway management  a. Posisikan klien untuk 

memaksimalkan potensi ventilasinya.

 b. Identifikasi kebutuhan klien akan insersi jalan nafas baik aktual maupun potensial.

c. Lakukan terapi fisik dada

d. Auskultasi suara nafas, tandai area  penurunan atau hilangnya ventilasi

dan adanya bunyi tambahan e. Monitor status pernafasan dan

oksigenasi, sesuai kebutuhan

a. Untuk mempermudah

 pertukaran gas

 b. Untuk memantau kondisi  jalan nafas klien

c. Untuk mengeluarkan sputum

d. Memantau kondisi

 pernafasan klien

e. Memantau kondisi klien

Penurunan curah  jantung  berhubungan dengan perubahan  preload dan afterload.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan penurunan curah jantung teratasi dengan indikator:  NOC:

- Cardiac Pump effectiveness - Circulation Status

- Vital Sign Status

- Tissue perfusion: perifer 

Indikator Awal Target

TTVdbn 2 3

Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan

1 3

Tidak ada edema  paru

1 1

Tidak ada asites 5 5

Tidak ada udema 2 2

1. Evaluasi adanya nyeri dada 2. Catat adanya disritmia jantung 3. Catat adanya tanda dan gejala

 penurunan cardiac putput 4. Monitor status pernafasan yang

menandakan gagal jantung 5. Monitor balance cairan

6. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia 7. Monitor adanya dyspneu, fatigue,

tekipneu dan ortopneu

8. Anjurkan untuk menurunkan stress 9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR  10. Monitor irama jantung

11. Monitor frekuensi dan irama  pernapasan

12. Monitor pola pernapasan abnormal

1. Menunjukan jantung dalam kondisi abnormal 2. Takikardi, bradikardi 3. Tanda dan gejala

 penurunan cardiac output : pucat, akral dingin, udema ekstermitas 4. Gagal jantung kiri

menyebabkan udema di  paru dan gagal jantung

kanan menyebabkan udema ekstermitas 5. Mengetahui adanya

kelebihan cairan karena klien biasanya udema 6. Mengetahui respon pasien

terhadap obat  perifer  Tidak terjadi  penurunan kesadaran 5 5

Tidak ada distensi Vena jugularis

5 5

Warna kulit normal 1 2

Keterangan : 1= keluhan ekstrim 2= keluhan substansial 3= keluhan sedang 4= keluhan ringan 5= tidak ada keluhan

13. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit

14. Monitor sianosis perifer  15. Jelaskan pada pasien tujuan dari

 pemberian oksigen

16. Kelola pemberian obat anti aritmia dan vasodilator 

7. Udema paru

menyebabkan dyspnea 8. Stres menambah berat

kerja jantung 9. Mengetahui kondisi

hemodinamik klien 10.Suara jantung tambahan,

S3, S4

11.Ronchi basah menunjukan adanya cairan di pulmo 12.Dyspnea, cepat dan

dangkal 13.Memungkinkan terjadinya sianosis 14.Kurang 02 menyebabkan sianosis perifer  15.Membantu suplai O2 ke  pasien

16.Obat antiaritmia dan vasodilatator untuk  membantu pengelolaan kontraktilitas jantung Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan volume cairan pasien stabil dengan kriteria hasil: 1. Keseimbangan intake dan output

cairan (4). 2. TTV normal (4).

3. BB stabil dan tidak terdapat edema (4).

4. Menyatakan pemahaman tentang

1. Monitor pengeluaran urin, catat  jumlah dan warna saat dimana

diuresis terjadi.

1. Pengeluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena  penurunan perfusi ginjal. Pemantauan urin dengan memperhatikan jumlah dan warna urin akan membantu dalam proses  penentuan diagnosa  pasien.

(16)

 perifer  Tidak terjadi  penurunan

kesadaran

5 5

Tidak ada distensi Vena jugularis

5 5

Warna kulit normal 1 2

Keterangan : 1= keluhan ekstrim 2= keluhan substansial 3= keluhan sedang 4= keluhan ringan 5= tidak ada keluhan

13. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit

14. Monitor sianosis perifer  15. Jelaskan pada pasien tujuan dari

 pemberian oksigen

16. Kelola pemberian obat anti aritmia dan vasodilator 

7. Udema paru

menyebabkan dyspnea 8. Stres menambah berat

kerja jantung 9. Mengetahui kondisi

hemodinamik klien 10.Suara jantung tambahan,

S3, S4

11.Ronchi basah menunjukan adanya cairan di pulmo 12.Dyspnea, cepat dan

dangkal 13.Memungkinkan terjadinya sianosis 14.Kurang 02 menyebabkan sianosis perifer  15.Membantu suplai O2 ke  pasien

16.Obat antiaritmia dan vasodilatator untuk  membantu pengelolaan kontraktilitas jantung Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan volume cairan pasien stabil dengan kriteria hasil: 1. Keseimbangan intake dan output

cairan (4). 2. TTV normal (4).

3. BB stabil dan tidak terdapat edema (4).

4. Menyatakan pemahaman tentang

1. Monitor pengeluaran urin, catat  jumlah dan warna saat dimana

diuresis terjadi.

1. Pengeluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena  penurunan perfusi ginjal. Pemantauan urin dengan memperhatikan jumlah dan warna urin akan membantu dalam proses  penentuan diagnosa  pasien.

 pembatasan cairan individual (5). 2. Monitor dan hitung intake dan output cairan selama 24 jam.

3. Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler atau  posisi yang nyaman bagi pasien

selama fase akut.

4. Monitor TTV terutama TD dan CVP (bila ada).

5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi asupan cairan.

6. Timbang berat badan setiap hari  jika memungkinkan dan amati

turgor kulit serta adanya edema. 7. Kolaborasi pemberian medikasi

seperti pemberian diuretik: furosemid, spironolacton, dan hidronolacton.

2. Pemantauan intake dan output cairan membantu dalam proses penentuan keseimbangan cairan dan elektrolit pasien.

3. Posisi duduk atau tirah  baring dengan posisi

semifowler dapat

meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan  produksi ADH sehingga

meningkatkan diuresis.

4. Hipertensi dan

 peningkatan CVP

menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan kongesti  paru serta gagal jantung.

5. Pemantauan dan

 pembatasan cairan akan menentukan BB ideal, keluaran urin, dan respon terhadap terapi.

6. Berat badan, turgor kulit, dan adanya edema mempengaruhi kondisi cairan dalam tubuh. 7. Diuretik bertujuan untuk 

menurunkan volume

 plasma dan menurunkan retensi cairan dijaringan sehingga menurunkan

(17)

 pembatasan cairan individual (5). 2. Monitor dan hitung intake dan output cairan selama 24 jam.

3. Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler atau  posisi yang nyaman bagi pasien

selama fase akut.

4. Monitor TTV terutama TD dan CVP (bila ada).

5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi asupan cairan.

6. Timbang berat badan setiap hari  jika memungkinkan dan amati

turgor kulit serta adanya edema. 7. Kolaborasi pemberian medikasi

seperti pemberian diuretik: furosemid, spironolacton, dan hidronolacton.

2. Pemantauan intake dan output cairan membantu dalam proses penentuan keseimbangan cairan dan elektrolit pasien.

3. Posisi duduk atau tirah  baring dengan posisi

semifowler dapat

meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan  produksi ADH sehingga

meningkatkan diuresis.

4. Hipertensi dan

 peningkatan CVP

menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan kongesti  paru serta gagal jantung.

5. Pemantauan dan

 pembatasan cairan akan menentukan BB ideal, keluaran urin, dan respon terhadap terapi.

6. Berat badan, turgor kulit, dan adanya edema mempengaruhi kondisi cairan dalam tubuh. 7. Diuretik bertujuan untuk 

menurunkan volume

 plasma dan menurunkan retensi cairan dijaringan sehingga menurunkan

risiko terjadinya edema. Intoleransi aktivitas

 berhubungan dengan kelemahan umum

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien mempunyai cukup energi untuk beraktivitas sehingga toleran terhadap aktivitas, dengan kriteria hasil:

1. TTV normal (4). 2. EKG normal (4).

3. Koordinasi otot, tulang, dan anggota gerak lainnya baik (4). 4. Pasien melaporkan kemampuan

dalam ADL (4).

1. Kaji aktivitas dan periode istirahat  pasien, rencanakan dan jadwalkan  periode istirahat dan tirah baring

yang cukup dan adekuat.

2.Berikan latihan aktivitas fisik secara  bertahap (ROM, ambulasi dini, cara  berpindah, dan pemenuhan

kebutuhan dasar).

3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar.

4. Lakukan terapi komponen darah sesuai resep bila pasien menderita anemia berat.

5. Kaji aktivitas dan respon pasien setelah latihan aktivitas (Monitor  TTV).

1. Mengetahui aktivitas dan  periode istirahat pasien serta upaya untuk   menurunkan keletihan dan kelemahan pasien.

2. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu  proses aktivitas secara

 perlahan dengan

menghemat tenaga namun tujuan tepat.

3. Mengurangi pemakaian enargi sampai kekuatan  pasien pulih kembali.

4. Mencegah dan

mengurangi anemia berat yang berakibat pada kelemahan.

5. Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

 b.d faktor 

 psikologis dan ketidakmampuan

Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil:

a. Masukan per oral meningkat (5).  b. Porsi makan yang disediakan habis

1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, dan makanan yang disukai pasien.

2. Kaji TTV pasien secara rutin, status mual, muntah, dan bising usus.

1. Meningkatkan nafsu makan pasien dan menghindari makanan yang alergi.

2. Monitor KU pasien, mengetahui kemampuan

(18)

risiko terjadinya edema. Intoleransi aktivitas

 berhubungan dengan kelemahan umum

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien mempunyai cukup energi untuk beraktivitas sehingga toleran terhadap aktivitas, dengan kriteria hasil:

1. TTV normal (4). 2. EKG normal (4).

3. Koordinasi otot, tulang, dan anggota gerak lainnya baik (4). 4. Pasien melaporkan kemampuan

dalam ADL (4).

1. Kaji aktivitas dan periode istirahat  pasien, rencanakan dan jadwalkan  periode istirahat dan tirah baring

yang cukup dan adekuat.

2.Berikan latihan aktivitas fisik secara  bertahap (ROM, ambulasi dini, cara  berpindah, dan pemenuhan

kebutuhan dasar).

3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar.

4. Lakukan terapi komponen darah sesuai resep bila pasien menderita anemia berat.

5. Kaji aktivitas dan respon pasien setelah latihan aktivitas (Monitor  TTV).

1. Mengetahui aktivitas dan  periode istirahat pasien serta upaya untuk   menurunkan keletihan dan kelemahan pasien.

2. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu  proses aktivitas secara

 perlahan dengan

menghemat tenaga namun tujuan tepat.

3. Mengurangi pemakaian enargi sampai kekuatan  pasien pulih kembali.

4. Mencegah dan

mengurangi anemia berat yang berakibat pada kelemahan.

5. Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

 b.d faktor 

 psikologis dan ketidakmampuan

Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil:

a. Masukan per oral meningkat (5).  b. Porsi makan yang disediakan habis

1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, dan makanan yang disukai pasien.

2. Kaji TTV pasien secara rutin, status mual, muntah, dan bising usus.

1. Meningkatkan nafsu makan pasien dan menghindari makanan yang alergi. 2. Monitor KU pasien, mengetahui kemampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan. (5).

c. Masa dan tonus otot baik (5). d. Tidak terjadi penurunan BB (5). e. Mual dan muntah tidak ada (5).

3. Berikan makanan sesuai diet dan  berikan selagi hangat.

4. Jelaskan pentingnya makanan untuk  kesembuhan.

5. Anjurkan pasien makan sedikit tetapi sering.

6. Anjurkan pasien untuk 

meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat terutama makanan yang  banyak mengandung karbohidrat

atau glukosa, protein, dan makanan  berserat.

7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk   pemberian diet sesuai indikasi.

 pasien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi.

3. Meminimalkan anoreksia dan mengurangi iritasi gaster.

4. Pasien termotivasi untuk  makan.

5. Meningkatkan

kenyamanan saat makan.

6. Glukosa dalam

karbohidrat cukup efektif  untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap sehingga akan membebani hepar,  protein baik untuk 

meningkatkan dan

mempercepat kesembuhan  pasien, makanan berserat

membantu mencegah terjadinya konstipasi. 7. Meningkatkan proses  penyembuhan Risiko cedera  berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan tidak  terjadi cedera, dengan kriteria hasil:

1. Pasien tidak mengeluh pusing (5).

2. Pasien tidak mengalami cedera (5).

1. Identifikasi keterbatasan fisik  dan kognitif pasien yang dapat meningkatkan risiko cedera. 2. Ajarkan pasien untuk  

meminimalkan cedera, misalnya ketika ditempat tidur maka gunakan side rail, ketika

1. Mengetahui penyebab  pasien mengalami risiko cedera. 2. Memberikan  pengetahuan kepada  pasien sehinggapasien  bisa terhindar dari

(19)

untuk mencerna,

menelan, dan

mengabsorpsi makanan.

(5).

c. Masa dan tonus otot baik (5). d. Tidak terjadi penurunan BB (5). e. Mual dan muntah tidak ada (5).

3. Berikan makanan sesuai diet dan  berikan selagi hangat.

4. Jelaskan pentingnya makanan untuk  kesembuhan.

5. Anjurkan pasien makan sedikit tetapi sering.

6. Anjurkan pasien untuk 

meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat terutama makanan yang  banyak mengandung karbohidrat

atau glukosa, protein, dan makanan  berserat.

7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk   pemberian diet sesuai indikasi.

 pasien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi.

3. Meminimalkan anoreksia dan mengurangi iritasi gaster.

4. Pasien termotivasi untuk  makan.

5. Meningkatkan

kenyamanan saat makan.

6. Glukosa dalam

karbohidrat cukup efektif  untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap sehingga akan membebani hepar,  protein baik untuk 

meningkatkan dan

mempercepat kesembuhan  pasien, makanan berserat

membantu mencegah terjadinya konstipasi. 7. Meningkatkan proses  penyembuhan Risiko cedera  berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan tidak  terjadi cedera, dengan kriteria hasil:

1. Pasien tidak mengeluh pusing (5).

2. Pasien tidak mengalami cedera (5).

1. Identifikasi keterbatasan fisik  dan kognitif pasien yang dapat meningkatkan risiko cedera. 2. Ajarkan pasien untuk  

meminimalkan cedera, misalnya ketika ditempat tidur maka gunakan side rail, ketika

1. Mengetahui penyebab  pasien mengalami risiko cedera. 2. Memberikan  pengetahuan kepada  pasien sehinggapasien  bisa terhindar dari

3. Pasien mampu menjelaskan cara mencegah terjadinya cedera (5)

mobilitas dari tempat tidur  anjurkan untuk dibantu oleh keluarga atau gunakan tongkat sebagai pegangan dan jika  pasien pusing anjurkan untuk 

istirahat terlebih dahulu.

3. Dampingi pasien dalam

melakukan pemenuhan

kebutuhan ADL.

4. Anjurkan pasien untuk banyak  mengkonsumsi makanan yang dapat menambah darah seperti sayur-sayuran hijau dan diet

rendah garam untuk  

menurunkan tekanan darah, sehingga bisa mengurango  pusing. cedera. 3. Mengantisipasi hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya cedera. 4. Sayuran hijau dapat

menambah darah dan mengobati anemia serta diet rendah

garam dapat

mengurangi

kekambuhan penyakit hipertensi.

(20)

3. Pasien mampu menjelaskan cara mencegah terjadinya cedera (5)

mobilitas dari tempat tidur  anjurkan untuk dibantu oleh keluarga atau gunakan tongkat sebagai pegangan dan jika  pasien pusing anjurkan untuk 

istirahat terlebih dahulu.

3. Dampingi pasien dalam

melakukan pemenuhan

kebutuhan ADL.

4. Anjurkan pasien untuk banyak  mengkonsumsi makanan yang dapat menambah darah seperti sayur-sayuran hijau dan diet

rendah garam untuk  

menurunkan tekanan darah, sehingga bisa mengurango  pusing. cedera. 3. Mengantisipasi hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya cedera. 4. Sayuran hijau dapat

menambah darah dan mengobati anemia serta diet rendah

garam dapat mengurangi kekambuhan penyakit hipertensi. 8. Pathway Tekanan darah Meningkat (140/90 mmHg)  Normal

Hipertensi kronik Superimposed pre eklamsia

Hamil < 20 minggu Hamil >20 minggu

PRE EKLAMSIA

Kejang (-) Kejang (+)

EKLAMSIA

Faktor predisposisi PE :

Primigravida atau primipara mudab (85%), Grand multigravida, Sosial ekonomi rendah, Gizi buruk., Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun), Pernah  pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya, Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola hidatidosa, Pemuaian uterus yang  berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau polihidramnion (14-20%), Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan),

Penurunan aliran darah

Prostaglandin plasenta menurun

(21)

8. Pathway

Tekanan darah

Meningkat (140/90 mmHg)  Normal

Hipertensi kronik Superimposed pre eklamsia

Hamil < 20 minggu Hamil >20 minggu

PRE EKLAMSIA

Kejang (-) Kejang (+)

EKLAMSIA

Faktor predisposisi PE :

Primigravida atau primipara mudab (85%), Grand multigravida, Sosial ekonomi rendah, Gizi buruk., Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun), Pernah  pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya, Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola hidatidosa, Pemuaian uterus yang  berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau polihidramnion (14-20%), Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan), Hidrofetalis, Penyakit ginjal kronik, Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi  besar, dan diabetes mellitus, Obesitas,

Interval antar kehamilan yang jauh.

Penurunan aliran darah

Prostaglandin plasenta menurun

Iskemia uterus

Hiperoksidase lemak & pelepasan renin uterus

Merangsang pengeluaran

 bahan tropoblastik  Proses endotheliosis

Merangsang pelepasan tromboplastin

Merangsang pengeluaran  bahan tromboksan

Aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin

Koagulasi intravaskuler 

Penurunan perfusi darah & konsumtif koagulatif 

Penurunan trombosit & faktor pembekuan darah

Gangguan fisiologis homeostasis Vasospasme PD

Lumen arteriol menyempit

Hanya 1 SDM yg dpt lewat

Tek. Perifer meningkat

kompensasi oksigen

*HIPERTENSI

Gangguan perfusi darah

Gangguan Multi Organ

Renin+darahhati

Renin+angiotensinogen

Angiotensin IAngiotensin II

(22)

Gangguan Multi Organ Otak Darah Edema serebri Peningkatan tek.intrakranial Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak  Kejang Risiko Cedera Endotheliosis PD pecah SDM pecah Perdarahan Anemia hemolitik  Kelemahan Ketidakseimb angan suplay & kebutuhan O2 Intoleransi Aktivitas Paru Penumpukan darah Peningkatan LAEDP

Kongesti vena pulmonal

Proses perpindahan cairan karena perbedaan tekanan

Timbul edema (gangguan fungsi alveoli (ronchi, rales, takipnea, PaCO2

menurun Gangguan Pertukaran Gas Hati Spasmus arteriola Penurunan Curah Jantung Payah jantung Gangguan kontraktilitas miokard Vasokontriksi PD miokard Mata

Edema duktus optikus dan retina

Diplopia

Risiko Cedera

Gangguan Multi Organ

Ginjal Adanya rangsangan angiotensin II pada gland.suprarenal Peningkatan reabsorpsi Na Retensi cairan *EDEMA Kelebihan Volume Cairan Vasospasme arteriol pada ginjal

Penurunan GFR  Peningkatan  permeabilitas  protein Diuresis menurun Oliguri/anuri Gangguan Eliminasi Urin >> protein yg lolos dari filtrasi glomerulus *PROTEINURIA Plasenta Ekstremitas

 Intra Uterine Growth  Retardation (IUGR)

Gangguan  pertumbuhan

 plasenta Hipoksia/anoksia Penurunan perfusi plasenta

Risiko Gawat Janin

Intoleransi Aktivitas

Cepat lelah & lemah Pembentukan

asam laktat ATP diproduksi2 ATP

Metabolisme anaerob Kelemahan umum GI Tract HCL meningkat Peristaltik turun Peningkatan akumulasi gas Konsti pasi Kembung

Mual & Muntah

Ketidakseimba ngan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh Nyeri

(23)

Gangguan Multi Organ Ginjal Adanya rangsangan angiotensin II pada gland.suprarenal Peningkatan reabsorpsi Na Retensi cairan *EDEMA Kelebihan Volume Cairan Vasospasme arteriol pada ginjal

Penurunan GFR  Peningkatan  permeabilitas  protein Diuresis menurun Oliguri/anuri Gangguan Eliminasi Urin >> protein yg lolos dari filtrasi glomerulus *PROTEINURIA Plasenta Ekstremitas

 Intra Uterine Growth  Retardation (IUGR)

Gangguan  pertumbuhan

 plasenta Hipoksia/anoksia Penurunan perfusi plasenta

Risiko Gawat Janin

Intoleransi Aktivitas

Cepat lelah & lemah Pembentukan

asam laktat ATP diproduksi2 ATP

Metabolisme anaerob Kelemahan umum GI Tract HCL meningkat Peristaltik turun Peningkatan akumulasi gas Konsti pasi Kembung

Mual & Muntah

Ketidakseimba ngan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh Nyeri DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4. Jakarta: EGC

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.

Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby. McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby.

Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4. Jakarta: EGC

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.

Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby. McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby.

Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.

Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre eklamsia”. http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-preeklampsia/.

(25)

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MATERNITAS

PEB (PRE EKLAMSI BERAT)

DI RUANG ANGGREK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS

oleh:

FERRA FEBRIANI G1B212004

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI NERS PURWOKERTO

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengendalian overload cairan kalium serum untuk menurunkan resiko terjadinya henti jantung pada asuhan keperawatan pasien gagal ginjal kronik sebelum

Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami Gagal Ginjal Kronik Dengan Kelebihan Volume Cairan Di Ruang Cempaka Rsud.. diakses pada tanggal 11 November 2019 Meidayanti,