• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam Keragaman Genetik Ternak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam Keragaman Genetik Ternak"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di bagian paling barat dari gugusan kepulauan Nusantara. Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Banda Aceh, mempunyai luas daratan 2,75% terhadap luas daratan Indonesia yaitu 5.193.700 ha dengan 17 kabupaten, 227 kecamatan dan 5.947 desa (Departemen Kehutanan 2004).

Secara geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di antara 2-6oLU dan 95-98 oBT, termasuk 119 pulau. Rataan tinggi daratan 125 m di atas permukaan laut (Sujitno dan Achmad 1995). Suhu udara maksimum 32,4oC pada bulan Nopember dan minimum 24,2oC pada bulan Juni, curah hujan maksimum 243,4 mm pada bulan Januari dan curah hujan minimum 22,2 mm pada bulan Juni (Departemen Kehutanan 2004). Udara di Aceh mempunyai kelembaban tinggi terutama di wilayah pesisir barat sangat lembab dan basah, sedangkan di wilayah timur Aceh mempunyai udara kering. Batas di sebelah barat adalah Samudera Indonesia, dan di sebelah utara dan timur adalah Selat Malaka, sedangkan di sebelah utara mengikuti sungai Simpang Kiri di sebelah timur dan sungai Tamiang di sebelah barat bagian selatan (Sujitno dan Achmad 1995; PEMDA NAD1997). Jumlah penduduk 4.240.000 jiwa (estimasi Juni 2003) dengan laju pertumbuhan 2,57% dan kepadatan penduduk 81/km2(Departemen Kehutanan 2004).

Sebagian besar penduduk Aceh hidup dari pertanian (peternakan), ladang padi, palawija dan hortikultura (Sujitno dan Achmad 1995). Daerah Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) memiliki kekayaan ternak, terutama ternak sapi. Keadaan ini didukung oleh adanya padang gembalaan yang dapat menampung ratusan ribu sapi merumput bebas dan pada saat tertentu dipanen (Gunawan 1998). Pada tahun 2002 terdapat 701.356 ekor sapi di Nanggroe Aceh Darussalam (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2003).

Keragaman Genetik Ternak

Keragaman genetik terjadi tidak hanya antarbangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antarpopulasi maupun di dalam populasi, atau di antara individu dalam populasi. Pada spesies domestik suatu identifikasi tingkat keragaman, terutama pada lokus-lokus yang mempunyai sifat bernilai penting

(2)

mempunyai keterkaitan dengan seleksi dalam program pemuliaan (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Salah satu ’alat bantu’ yang dapat digunakan untuk mendeteksi keragaman populasi adalah DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit (Muladno 2006).

Keragaman genetik dalam populasi merupakan modal dasar aplikasi teknologi pemuliaan dalam pemanfaatan hewan. Keragaman genetik populasi yang digambarkan dalam keragaman penampilan hewan adalah refleksi informasi genetik yang dimilikinya. Sebagai ilustrasi sapi Bali yang hidup di pulau Bali memiliki kontruksi gen-gen yang berbeda dengan populasi sapi pesisir yang ada di Sumatera Barat. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dinyatakan dalam kemampuan adaptasi, besarnya tubuh, dan ketahanan penyakit. Komponen ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap perubahan lingkungan seperti degradasi kualitas lingkungan sebagai media tumbuh hewan. Perbedaan penampilan ini disebabkan selama domestifikasi, tipe-tipe atau bangsa-bangsa hewan terpisah secara genetik karena adanya penyesuaian (adaptasi) dengan masing-masing lingkungan lokal dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan bangsa berbeda (Muladno 2006). Adanya kemampuan adaptasi hewan disebabkan hewan memiliki kemampuan menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan (pengaturan ekspresi gen) (Noor 2008).

Lebih dari 12.000 tahun yang lalu terdapat 14 spesies ternak telah didomestikasikan dan berevolusi sehingga menjadi rumpun (breed) yang secara genetika unik dan berbeda, beradaptasi terhadap lingkungan dan komunitas setempat. Saat ini terdapat sekitar 6.000-7.000 rumpun ternak domestik dari spesies yang telah terdomestikasi, bersama dengan lebih dari 80 spesies kerabat liarnya yang merupakan sumber daya genetik ternak di bumi ini yang berperanan penting untuk pangan dan produksi pertanian (Subandriyo dan Setiadi 2003).

Beja-Pereira et al. (2006) menyatakan bahwa, penjinakan sapi (Bos taurus dan Bos indicus) dari aurochsen liar (Bos primigenius) adalah satu yang penting dalam sejarah manusia, mendorong ke arah modifikasi-modifikasi pangan yang meluas, tingkah laku dan struktur sosial ekonomi dari banyak populasi: (1) proses ini dimulai sekitar 11.000 tahun yang lalu; (2) penyimpangan genetik yang besar antara bangsa-bangsa sapi taurine (Bos taurus) dan zebu (Bos indicus), minimal dua titik penjinakan bangsa sapi tersebut yang secara sendiri-sendiri dan

(3)

merupakan kejadian dari dua kelompok aurochsen yang jelas terpisah; (3). data arkeologis menyatakan bahwa penjinakan sapi zebu terjadi mungkin di Indus Valley (sekarang Pakistan); (4) dengan suatu difusi utama bangsa-bangsa sapi ini di India dan hanya yang terakhir (<3.000 tahun) pengenalan sebagai jantan sekunder di Afrika; dan (5) sebaliknya, lokasi penjinakan yang hampir bisa dipastikan untuk bangsa-bangsa taurine dipertimbangkan yaitu di suatu areal paling barat di Near East, Fertile Crescent (FC), meskipun suatu peristiwa penjinakan yang berdiri sendiri mungkin telah terjadi di Afrika.

Berbagai bangsa ternak yang telah berkembang dalam berbagai sistem dan lingkungan yang ada saat ini telah menghasilkan berbagai kombinasi gen yang unik. Gen-gen ini tidak hanya menentukan kualitas sifat produksi dari masing-masing bangsa, tetapi juga terhadap kemampuan adaptasinya pada kondisi lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan hama penyakit (FAO 2001).

Berbagai macam kebutuhan manusia sehari-hari dipenuhi dari spesies ternak, dalam bentuk pangan maupun kebutuhan lainnya. Namun hanya sebagian kecil dari total keragaman genetik ternak dan kerabat liarnya, yakni sekitar 40 spesies yang memenuhi sebagian besar proporsi dari produksi ternak global. Keragaman genetik di dalam spesies ternak dan beberapa kerabat liarnya telah menjadi sumber keragaman dari rumpun dan populasi ternak. Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berkelanjutan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003).

Sebagai contoh, negara Lithuania memiliki dua bangsa sapi utama yaitu

Lithuanian Black dan White dan Lithuanian Red, masing-masing 62% dan 32%

dari populasi ternak dalam negeri. Bangsa ternak Lithuanian Black dan White ditemukan di Barat Daya Lithuania dan dikembangkan dari sapi lokal Lithuania berwarna putih dan hitam melalui persilangan sesama dengan bangsa sapi hitam dan putih Holstein-Friesian dari Belanda dan bangsa sapi hitam dan putih dari Jerman. Bangsa sapi Lithuanian Black dan Black sebagai bangsa sapi perah yang menghasilkan susu berkualitas dan telah teradaptasi dengan iklim di tempatnya. Bangsa sapi Lithuanian Red ditemukan di Timur Laut Lithuania dan dibentuk pada awal abad ini dari bangsa Lithuanian Red lokal melalui assortative

mating, seleksi masal dan persilangan dengan bangsa-bangsa: Ayrshire, Angeln,

Dutch, Danish Red, Swiss Brown dan Shorthorn. Bangsa-bangsa sapi unggul dipilih karena produksi susu. Umumnya ternak-ternak tersebut jelas sebagai tipe

(4)

bangsa sapi perah (FAO 2000). Di Barat Daya, bagian Tenggara dan sebagian Lithuania bagian Tengah, sapi Lithuania paling asli yaitu memiliki warna tubuh putih atau abu-abu terang. Dalam beberapa dekade terakhir, sapi Lithuania yang asli, seperti Lithuanian Light Grey dan Lithuanian White, hampir seluruhnya digantikan oleh Lithuanian Black dan White dan Lithuanian Red yang merupakan sapi produksi tinggi. Hal ini diketahui bahwa sapi Lithuanian Light Grey dan

Lithuanian White-Backed dipelihara di Lithuania mulai zaman lampau dan

dikhususkan untuk negara. Sekarang ini, Lithuanian White-Backed, Lithuanian

Grey dan bangsa sapi Lithuanian Black dan White tua populasinya sangat kecil

dan mempunyai status dari suatu bangsa sapi yang terancam kepunahan (Malevičiūtėet al. 2002).

Keanekaragaman genetik ternak, sedikitnya memiliki empat manfaat, yaitu (1) keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan; (2) memaksimumkan produktivitas lahan dan sumber daya pertanian; (3) pencapaian pertanian berkelanjutan untuk memberikan keuntungan masa kini dan generasi yang akan datang; (4) pemenuhan keanekaragaman baik yang telah maupun yang belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat. Ketersediaan keanekaragaman genetik ternak, termasuk sapi akan mempengaruhi keberhasilan strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO-AAAS 1994).

Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak

FAO memprediksi bahwa paling sedikit satu bangsa ternak tradisional punah setiap minggu dan lebih dari 30% ternak di Eropa sekarang ini diperkirakan dalam keadaan terancam kepunahan (FAO 1995). Banyak bangsa ternak tradisional sudah menghilang karena para petani lebih fokus pada bangsa sapi baru. Sekitar 16% dari bangsa sapi tradisional telah punah dan kurang dari 15 % bersifat jarang (FAO 2000). Keadaan ini dapat dilihat pada bangsa-bangsa sapi zebu di India yang secara signifikan telah kehilangan ekonomi yang sangat penting dan penurunan ukuran populasi terutama karena persilangan secara meluas (Sodhi et al. 2006).

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar, mekanisasi pertanian dan produksi ternak, akan mendorong eksploitasi ternak melalui persilangan, penggantian

(5)

pengurasan stock secara berlebihan, dan pada gilirannya akan mengancam keragaman genetik ternak. Di lain pihak pelestarian keragaman genetik ternak akan selalu diperlukan dalam pemuliaan di masa mendatang, karena tanpa adanya keragaman genetik, pemuliaan ternak tidak mungkin dilaksanakan untuk mengantisipasi keperluan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003)

Melalui literatur diketahui bahwa sudah sejak lama, ternak asli mempunyai suatu arti penting yang sangat tinggi di dalam kegiatan pertanian dan kehidupan sosial dari masyarakat pedesaan. Diketahui pula bahwa bangsa-bangsa sapi lokal yang dipelihara petani di dalam areal pertanian menjadi titik rujukan dari tradisi-tradisi lokal pada masa lalu, yang berhubungan dengan produksi pertanian dan sektor-sektor lain, seperti makanan (Malevičiūtėet al. 2002).

Pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak lokal sebagai bagian dari komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan pagan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan datang. Ada beberapa alasan untuk ini, antara lain (1) lebih dari 60 p ersen dari bangsa-bangsa ternak di dunia berada di negara-negara sedang berkembang; (2) konservasi bangsa ternak lokal tidak menarik bagi petani; (3) secara umum tidak ada program monitoring yang sistematis dan tidak tersedianya informasi deskriptif dasar sebagian besar sumber daya genetik hewan ternak; serta (4) sedikit sekali bangsa-bangsa ternak asli yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif (FAO 2001).

Kesadaran dari pentingnya memelihara sumber daya genetik hewan sudah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak negara Eropa mempunyai atau sedang mengembangkan program-program nasional untuk pemeliharaan dan konservasi keanekaragaman hayati hewan (Malevičiūtėet al. 2002).

Ada tiga metode utama program pelestarian plasma nutfah ternak yang telah dilaksanakan masyarakat atau pemulia: (1) mempertahankan populasi ternak hidup, (2) penyimpanan beku materi genetik berupa haploid (n) seperti gamet yakni semen dan oocyte atau berupa diploid (2n) seperti embrio, dan (3) penyimpanan DNA (deoxyrybonucleic acid). Metode bioteknologi dapat digunakan untuk mengkarakterisasi gen-gen ternak dan plasma nutfah suatu populasi. Metode ini akan membantu dalam pembuatan keputusan tentang pelestarian plasma nutfah yang unik. Studi mengenai struktur dan fungsi gen-gen pada tingkat molekuler suatu populasi ternak dapat membantu menentukan kesamaan material genetik yang dibawa oleh dua atau lebih populasi dan

(6)

keragaman genetik dalam populasi ternak yang diamati. Identifikasi gen-gen dari individu ternak akan membantu program pemuliaan (genetik) ternak, yang membedakan dari penampilan (fenotipe) yang tampak, yang dapat menentukan proses pemilihan tetua untuk generasi yang akan datang (seleksi buatan). Jika gen-gen untuk sifat produksi dapat diidentifikasi, ternak-ternak tersebut dapat diseleksi walaupun tidak diekspresikan oleh individu ternak yang bersangkutan. Sebagai alternatif, jika mereka dapat diikatkan dengan gen-gen yang diketahui lokasinya dalam kromosom (marker lokus-lokusi), seleksi dapat dilaksanakan berdasarkan acuan tersebut (Subandriyo dan Setiadi 2003).

Negara Indonesia mempunyai undang-undang dan peraturan menteri pertanian menyangkut pelestarian sumber daya genetik ternak yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Sistem Pembibitan Ternak Nasional.

Sifat Kuantitatif dan Kualitatif

Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe. Seekor hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruh-pengaruh seluruh gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara genotipe dan lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Sifat kuantitatif dan kualitatif pada hewan atau ternak merupakan fenotipe.

Pada program pemuliaan, prediksi perbedaan genetik di antara hewan dapat berdasarkan observasi fenotipe yang bergantung pada faktor genetik dan lingkungan (Muladno 2006). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuran-ukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Surjoatmodjo 1993; Karthickeyan et al. 2006), warna dan pola warna tubuh, pertumbuhan tanduk (Wiley 1981; Warwick et al. 1990; Handiwirawan 2003; Riwantoro 2005), tekstur dan panjang rambut (Handiwirawan dan Subandriyo 2004).

Otsuka et al. (1980) telah menggunakan ukuran-ukuran tubuh hewan dalam melakukan perbandingan antara berbagai bangsa sapi asli Indonesia,

(7)

serta hubungannya dengan berbagai bangsa sapi lain di Asia. Warna termasuk sifat kualitatif seekor ternak (Warwick et al. 1990). Warna tubuh ternak dianggap sebagai character displacement untuk membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya (Baker dan Manwell 1991).

Sifat kuantitatif adalah ciri-ciri dari makhluk hidup yang dapat diukur, dihitung atau diskors. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley 1981), sedangkan sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2008).

Membedakan warna tubuh merupakan salah satu cara mengidentifikasi ternak. Pelacakan pada sapi asli yang hampir punah di Lithuania untuk upaya konservasi, salah satunya dilakukan melalui ciri-ciri umum pada breed asli

Lithuanian Black dan White dan Lithuanian Red yaitu berdasarkan warna tubuh

yang khas, konstitusi tubuh, perlawanan tubuh sapi terhadap penyakit-penyakit lokal, dan produksi umum sebagai sapi tipe perah dan sapi dwifungsi sebagai penghasil susu dan daging (Malevičiūtėet al. 2002).

Sifat-sifat kualitatif adalah sifat-sifat yang pada umumnya dijelaskan dengan kata-kata atau gambar (Warwick et al. 1990). Spesies-spesies sering ditandai oleh warna atau pola warna tertentu. Pola warna apabila ada kemungkinan lebih berguna daripada warna itu sendiri. Hal ini biasanya dianggap sebagai character displacement untuk menghindari kesalahan saat membedakan bangsa ternak (Wiley 1981).

Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia

Sapi Bali merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh, Pesisir, Madura dan Bali). Sapi Sumba-Ongole dan Java-Ongole (PO) juga dianggap sebagai bangsa sapi lokal Indonesia (Martojo 2003; Dahlanuddin et al. 2003).

Ternak sapi sebagaimana jenis ternak lain, dikenali sebagai komponen-komponen penting dari keanekaragaman hayati dunia, karena gen dan kombinasi gen-gen yang terdapat pada ternak ini berguna bagi pertanian di masa yang akan datang (Beja-Pereira et al. 2003). Sumber daya genetik ternak adalah populasi pada masing-masing spesies yang secara genetik unik, terbentuk dalam proses domestikasi yang digunakan untuk produksi pangan dan pertanian

(8)

termasuk kerabat dekat populasi tersebut yang masih liar. Istilah ini juga digunakan semua spesies dan bangsa-bangsa hewan yang mempunyai nilai ekonomis, ilmu pengetahuan dan sosial budaya untuk pertanian, atau mempunyai kepentingan untuk masa depan (FAO-AAAS 1994).

Bangsa-bangsa ternak tradisional dan asli yang multifungsi telah teradaptasi dengan kondisi-kondisi lokal, iklim, penyakit-penyakit dan nutrisi lingkungan sepanjang tahun. Bangsa-bangsa ternak seperti itu juga dengan baik telah beradaptasi dengan sumber pakan lokal, atau lebih resistan terhadap patogen-patogen dan berbagai penyakit ternak yang ada di daerah di mana ternak itu berada. Bangsa-bangsa ternak asli telah juga diseleksi dengan berbagai tujuan, tergantung pada sifat-sifatnya yang penting bagi masyarakat-masyarakat lokal. Bangsa ternak asli merupakan bangsa ternak yang dapat menunjukkan hasil dari pengembangan sosial ekonomi masyarakat dan tidak mungkin bertahan di luar sistem pertanian yang telah terbentuk (Malevičiūtėet al. 2002).

Sumber daya ternak sapi di Indonesia saat ini terdiri atas tiga kelompok, yakni (1) ternak asli; (2) ternak impor; dan (3) ternak yang telah beradaptasi. Sehubungan pentingnya nilai konservasi pada kelompok ternak ini, beberapa bangsa sapi menjadi target konservasi sekaligus pemanfaatannya (Utoyo 2002. Beberapa di antara sumber daya ternak sapi tersebut ialah sapi Aceh, Bali, turunan Ongole, Sumba Ongole, Madura, Jawa, Pesisir, dan Grati. Selanjutnya Utoyo (2002) menjelaskan keanekaragaman sapi di Indonesia, terbentuk dari sumber daya genetik asli dan impor. Importasi Bos indicus Ongole dari India telah dimulai pada awal abad ke-20 dan kemudian bangsa sapi ini memegang peranan penting dalam program pengembangan peternakan di Indonesia. Sapi Ongole murni pertama dibawa ke pulau Sumba yang kemudian disebut sebagai Sumba Ongole, kemudian sapi ini dibawa ke tepat-tempat lain untuk disilangkan dengan sapi asli Jawa dan membentuk Peranakan Ongole (Ongole-cross) dan sapi Madura.

Pada tahun 1976 terdapat 6.194.000 ekor sapi di Indonesia, umumnya sapi-sapi tersebut ada di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara dan sekitar 650.00 ekor ada di Sumatera. Bangsa-bangsa sapi utama atau sapi lokal Indonesia adalah Peranakan Ongole (Filial Ongole), Bali, Madura, Aceh dan Grati. Populasi sapi PO di Indonesia sekitar 4.400.000 yang merupakan jumlah

(9)

sapi terbesar. Sapi Bali, Madura dan Aceh diketahui secara luas sebagai jenis sapi lokal khas atau bangsa ternak asli (Otsuka et al. 1980).

Menurut ILRI (1995), terdapat banyak ternak asli di Indonesia: tujuh bangsa sapi asli (Sumba Ongole, Ongole cross, Bali, Madura, Aceh, Pesisir dan Grati); kerbau (Sungai, Murrah, Toraja dan Kalang); domba (Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Kurus); kambing (Kacang, Etawah cross, Gembrong dan Kosta); ayam (Kampung, Kedu, Pelung, Bekisar dan Nunukan); itik (Tegal, Modjosari, Alabio dan Bali); serta babi (Java, Bali dan Nias).

Hubungan genetik antara sapi-sapi Indonesia sangat menarik karena variasi sapi-sapi tersebut yang luas (Namikawa et al. 1982b). Ada sejumlah gen

pool ternak asli Indonesia yang telah beradaptasi dengan lingkungannya dan

belum secara penuh dimanfaatkan dalam kaitan dengan laju pertumbuhan atau reproduksi. Bangsa-bangsa ternak asli Indonesia dipelihara secara sistem tradisional dengan input yang rendah. Perusahaan ternak komersial tidak mempercayai bangsa-bangsa ternak asli tersebut karena hal ini diperhitungkan bahwa ternak asli mempunyai produktivitas yang rendah. Lebih lanjut bahwa tidak ada jaminan tentang perolehan suatu penyediaan ternak dalam jumlah besar secara reguler. Namun, di Indonesia telah timbul suatu keinginan akan keuntungan dari keunggulan genetik bangsa-bangsa ternak asli (ILRI 1995).

Karakteristik Sapi Aceh

Sapi Aceh merupakan sapi lokal yang terdapat di Aceh Sumatera (Merkens 1926; Namikawa et al. 1982a) dan diminati sebagai ternak potong (Merkens 1926). Sapi tersebut masih terdapat beberapa variasi warna tubuh (Namikawa et

al. 1982a). Sapi kecil yang banyak ditemukan di bagian barat, lebih mendekati jenis Sumatera biasa (sapi Pesisir). Sapi yang lebih baik dan lebih besar yang diminati sebagai komoditas ekspor ke kawasan budaya Deli dan Medan, berasal dari Aceh. Sebagian sapi Aceh digunakan sebagai alat transportasi pada beberapa perusahaan berlokasi dekat rel kereta di Deli dan Medan karena lebih baik dan lebih besar (Merkens 1926).

Sapi Aceh mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air dan pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur panas dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional (Gunawan 1998). Berdasarkan berbagai catatan pendek dari beberapa laporan dan sejumlah foto, disimpulkan

(10)

bahwa sapi Aceh merupakan hasil persilangan Banteng dan zebu (Merkens 1926).

Pada tahun 1926, di Aceh terdapat sekitar 150 ribu ekor sapi. Sejauh ini tidak banyak literatur mengenai jenis sapi ini yang berperanan penting di seluruh kawasan Sumatera Utara. Sapi Aceh jantan mempunyai tinggi pundak 115,5 cm; tinggi pinggul 115,0 cm; panjang badan 126,0 cm; lebar dada 35,5 cm; dalam dada 62,8 cm; lebar pinggul 42,2 cm; dan lingkar dada 160,8 cm (Merkens 1926). Hasil laporan Otsuka et al. (1980; 1982) yang melakukan survei terbatas di SNAKMA Saree dan Rumah Potong Hewan Banda Aceh, sapi Aceh betina mempunyai tinggi pundak 105,0 cm; tinggi pinggul 108,2 cm; panjang badan 118,8 cm; lebar dada 22,0 cm; dalam dada 52,9 cm; lebar pinggul 34,4 cm; lingkar dada 131,0 cm; panjang kepala 41,7 cm; dan lebar kepala 14,0 cm.

Sapi Aceh jantan mempunyai gumba berukuran sedang (medium), biasanya mempunyai warna cokelat yang lebih gelap pada tubuh bagian depannya dibanding bagian belakang (Otsuka et al. 1980). Sapi Aceh, mempunyai lebar dan tinggi tengkorak lebih pendek dibanding panjangnya dan bagian cerebral tengkorak lebih besar dari bagian mukanya (Hayashi et al. 1982). Otsuka et al. (1980; 1982) telah menggunakan ukuran-ukuran tubuh hewan dalam melakukan perbandingan antara sapi Aceh, Padang, Madura, Bali dan Grati, serta hubungannya dengan berbagai bangsa sapi lain di Asia (Thai, Batangas, Taiwan, Iloilo, Ilocos, Kedah-Kelantan, Palawan, Hainan, Cebu, Kuchinoshima, Mishima dan Sindhi). Menurut Dwiyanto 1982), penggunaan ukuran tubuh selain untuk menaksir bobot badan dan karkas, dapat digunakan pula untuk memberikan gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas bangsa ternak tertentu.

Penanda Molekuler

Keragaman suatu spesies dapat didekati dengan menggunakan penanda morfologi dan penanda molekuler (Hillis et al. 1996). Informasi mutu genetik hewan dapat diperoleh dengan penafsiran melalui pencatatan performa produksi dan reproduksi (penanda morfologi) hewan. Penanda morfologi merupakan penanda yang telah banyak digunakan dalam program genetika dasar maupun dalam program praktis pemuliaan, karena penanda ini paling mudah untuk diamati dan dibedakan. Namun demikian, penanda morfologi memiliki beberapa kelemahan dalam aplikasi di lapang, yaitu ketelitian dan ketepatan penentuan

(11)

mutu genetik hewan dengan penanda morfologi sangat rendah, proses seleksi berjalan lambat dan respons yang diperoleh sangat kecil, walaupun dilakukan secara terus-menerus serta terdapat kesalahan dalam pengambilan keputusan dalam penentuan strategi perkawinan. Dengan demikian untuk kegiatan pemuliaan tidak cukup hanya berdasarkan pada informasi karakter morfologi saja, tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, maka dapat digunakan alternatif penanda lain yaitu penanda molekuler yang telah relatif mudah untuk dikerjakan (Muladno 2006).

Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekuler dan lebih khusus pada genetika molekuler, studi tentang hubungan kekerabatan atau variasi genetik bangsa ternak sering dilakukan dengan teknik molekuler (Muladno 2002). Penanda molekuler mampu mengidentifikasi perbedaan genetik langsung pada level DNA sebagai komponen genetik. Semua karakter yang ditampilkan baik secara nyata atau tidak oleh satu individu hewan tidak lain adalah pencerminan karakter gen yang dimiliki oleh individu hewan tersebut, atau dapat disebut bahwa semua informasi yang dapat diamati pada suatu individu hewan adalah penanda genetik dari individu tersebut. Karakteristik penanda molekuler ini dapat menanggulangi keterbatasan penggunaan penanda morfologi dapat diminimalisasi dengan menggunakan penanda molekuler dalam aplikasi program pemuliaan hewan karena penanda ini bebas dari pengaruh-pengaruh epistasis, lingkungan dan fenotipe, sehingga dapat menyediakan informasi genetik yang lebih akurat dalam mempelajari genotipe hewan, mempelajari sifat-sifat genetik yang kompleks dan keragaman genetik hewan (Muladno 2006).

Sekarang telah ada beberapa penanda DNA untuk menganalisis latar belakang genetik hibrida pada sapi (Nijman et al. 2003). Penanda DNA mitokondria (mtDNA) menunjukkan introgresi melalui silsilah maternal (Loftus et

al. 1994; Ward et al. 1999; Mezzadra et al. 2005), yang pada sapi menunjukkan

sejarah kawanannya (Nijman et al. 2003; Ascunce et al. 2007). Carvajal-Carmona et al. (2003) melakukan penelitian dengan menguji keragaman sekuens daerah kontrol DNA mitokondria dari bangsa sapi Criollo pada tujuh wilayah di Colombia. Penemuan dalam bangsa sapi Criollo disimpulkan bahwa ada perbedaan ancestor untuk beberapa bangsa sapi yang konsisten dengan pusat domestikasi sapi di Afrika Utara.

Penanda mikrosatelit digunakan secara luas sebagai penanda genetik di dalam studi populasi dan verifikasi silsilah keturunan (Ibeagha-Awemu dan

(12)

Erhardt 2005; Cervini et al. 2006), terutama karena mikrosatelit mengandung informasi polimorfisme yang tinggi, tersebar luas di dalam genom eukariot (Tautz dan Renz 1984; Cervini et al. 2006). Mikrosatelit sangat efektif dalam mengevaluasi perbedaan di dalam bangsa sapi dan dalam menentukan substruktur populasi (MacHugh et al. 1998). Lebih dari 1.400 mikrosatelit telah dipetakan dalam genom sapi (Luikart et al. 1999; Cervini et al. 2006) dan beberapa di antara mikrosatelit tersebut digunakan untuk studi genetik populasi serta verifikasi asal-usul (Cervini et al. 2006). Mikrosatelit digunakan Mukesh (2004) untuk mengkaji keragaman genetik dan menetapkan hubungan di antara tiga bangsa sapi zebu India (Sahiwal, Hariana dan Deoni).

Sumber spesies genom inti dapat diduga dari alel-alel mikrosatelit khusus spesies (MacHugh et al. 1997). Mikrosatelit bersifat polymorphic tinggi atau

hyperpolymorphic dan sangat informatif pada tingkat famili atau hewan

persilangan. Oleh karena itu, mikrosatelit sering digunakan sebagai tool’ yang potensial dalam pemetaan pautan gen (linkage gene) pada organisme yang berbeda. Sifat polimorfisme yang tinggi ini memungkinkan individu-individu akan menjadi heterozigot dan karenanya akan lebih mudah untuk menelusuri pewarisan suatu penanda pada penelusuran keluarga atau famili. Sifat yang polimorfisme ini dan terletak sepanjang genom, maka mikrosatelit merupakan sumber data yang ideal untuk determinasi jarak genetik (Nicholas 1996).

DNA adalah polimer dari nukleotida, terdiri atas molekul yang panjang berisi beberapa rangkaian monomer nukleotida yang dirangkai dalam satu urutan berseri dan diorganisasikan dalam bentuk suatu heliks. Setiap nukleotida itu sendiri adalah suatu molekul yang kompleks terdiri tiga komponen yaitu (1) gula, (2) basa nitrogen; dan (3) asam phosphat. Gula pada DNA adalah suatu pentosa (dengan lima atom carbon) yang berbentuk cincin dikenal sebagai 2’-deoxyribose. Basa-basa nitrogen pada DNA adalah berstruktur satu ataupun dua cincin. Basa-basa tersebut terdiri atas purine (Adenine dan Guanine) dan

pyrimidine (Thymine dan Cytosine) (Duryadi 2005).

Hewan memiliki total untaian DNA dengan ukuran kira-kira sebesar 3x109 basa nukleotida, dengan 10% dari untaian DNA merupakan gen sedangkan sisanya bersifat sebagai DNA pengisi. Struktur DNA pengisi ini terdiri atas ulangan yang bersifat khas dan unik. Tingginya persentase urutan berulang pada total DNA menandakan tingkat kompleksitas DNA tersebut (Muladno 2006).

(13)

DNA sebagai unit keturunan terkecil terdapat pada semua makhluk hidup mulai dari mikroorganisme sampai organisme tingkat tinggi seperti manusia, hewan dan tanaman. DNA terdapat dalam sel terdiri atas DNA inti sel dan DNA sitoplasma. DNA sitoplasma berupa DNA mitokondria dan DNA kloroplast (Muladno 2002). Genom inti dan sitoplasmik ini menjadi karakter organisme sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam perbandingan ciri baik kesamaan maupun perbedaannya. Semakin dekat kekerabatan pada tingkat takson maupun tingkatan keturunan (lineage) dari organisme tersebut, maka semakin besar kesamaan pada tingkatan molekulnya. Hal demikian ini yang menjadi dasar perunutan hubungan evolusi dan asal-usul organisme (Duryadi 2005).

DNA Mitokondria

Organisme eukariot termasuk ternak domestik, sumber DNA dapat diperoleh dari organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria. DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dengan DNA inti, dan memiliki variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti. Tingginya variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006).

Mitokondria memiliki molekul DNA tersendiri dengan ukuran kecil yang susunannya berbeda dengan DNA inti (Duryadi 1994; Lewin 2000). Setiap sel mengandung satu hingga ratusan DNA mitokondria. DNA mitokondria merupakan DNA utas ganda yang berbentuk sirkuler (Duryadi 1994), mengandung sejumlah gen penting untuk respirasi dan fungsi lainnya, sehingga relatif lebih mudah untuk mengisolasi nukleotidanya dari genom (Park dan Moran 1995). Genom mitokondria hewan berukuran relatif kecil dan terdapat dalam jumlah banyak, maka eksplorasi dan penelaahannya lebih mudah (Duryadi 1994).

DNA mitokondria (mtDNA) mempunyai beberapa kelebihan yang menjadikannya banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika populasi. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) memiliki ukuran yang kompak dan relatif kecil (16.000-20.000 pasang basa), tidak sekompleks DNA inti sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih cepat dibandingkan dengan jelas perbedaan antara populasi dan hubungan

(14)

kekerabatannya; (3) hanya sel telur yang menyumbangkan material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk betina; dan (4) bagian-bagian dari genom mitokondria berevolusi dengan laju yang berbeda, sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran kesamaan asal-usul (Park dan Moran 1995). DNA mitokondria telah banyak digunakan sebagai penanda molekul untuk studi genetika populasi, penelusuran asal-usul dan pelacakan beberapa penyakit degeneratif, penuaan serta kanker (Wandia 2001). DNA mitokondria telah dikarakterisasi dengan lebih baik pada sebagian besar ternak dan telah digunakan untuk studi evolusi (Subandriyo 2003).

Tingkat evolusi dari suatu gen atau bagian DNA yang berbeda merupakan faktor penting yang menentukan penggunaan penanda DNA dalam studi sistematika dan biogeografi. Umumnya, gen-gen yang terkonservasi dengan baik (berevolusi lambat) dapat dijadikan dasar penelusuran asal-usul atau filogeni. Sebaliknya, gen-gen yang tidak terkonservasi dengan baik (berevolusi cepat) dapat digunakan untuk perbandingan galur-galur baru (Duryadi 1994).

DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang sama yaitu 13 daerah yang mengkode protein (URF1, URF2, URF3, URF4, URF5, URF6, URFA6L, URF4L, Cytochrome Oxidase unit I, Cytochrome Oxidase unit II, Cytochrome Oxidase unit III, Cytochrome-b dan ATPase 6); 2

gen pengkode rRNA yaitu 12S rRNA dan 16S rRNA; 22 gen pengkode tRNA (Melnick dan Hoelzer 1993; Duryadi 1994), dan perkembangan sekarang ini ke-8 URF adalah diidentifikasikan menjadi gen-gen 7 sub unit NADH-dehidrogenase (ND 1-6 dan ND 4L) dan sisa ATPase 8 (Lewin 2000). Daerah bukan pengkode, hanya terdiri atas daerah kontrol (control region), yang memegang peranan penting dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Andersson

et al. 1981). Pada mamalia, daerah bukan pengkode meliputi daerah bukan

pengkode utama yang merupakan tempat awal replikasi H strand (OH) dan transkripsi awal dari kedua unting. Daerah bukan penyandi utama terletak pada wilayah displacement-loop (D-loop). Bagian lainnya adalah daerah bukan pengkode segmen minor yaitu tempat awal replikasi L strand (OL) yang terletak pada gugus gen tRNA antara gen CO I dan ND 2 (Ghivizzani et al. 1993).

DNA mitokondria mempunyai laju kecepatan mutasi 5 sampai 10 kali lebih cepat dibandingkan dengan DNA inti (Brown et al. 1982). Daerah D-loop pada DNA mitokondria memiliki laju perubahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah DNA mitokondria lainnya. Sebagai contoh perbedaan panjang fragmen

(15)

D-loop antara unggas dan mamalia cukup tinggi yaitu 348 pb, sedangkan

fragmen mtDNA yang mengkode protein tidak terlalu banyak berbeda (konservatif). Hal ini dapat dilihat dari fragmen DNA gen ND5, perbedaan maksimum antara unggas dan mamalia sebesar 18 pb. Bila dibandingkan dengan DNA inti, mtDNA yang mengkode proteinpun masih lebih bervariasi. Berdasarkan uraian di atas, maka DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik di dalam spesies maupun antarspesies (Muladno 2006).

Gambar 1 Skema genom mitokondria (Sumber: Bernstein et al. 1995)

Teknik eksplorasi dapat dimanfaatkan oleh para biologiawan untuk menggali informasi yang terkandung dalam genom mitokondria. Teknik eksplorasi yang pertama didasarkan pada sekuens basa-basa penyusun genom mitokondria akan memberikan informasi yang sangat lengkap mengenai urutan basa-basanya. Beberapa jenis organisme telah diketahui secara lengkap susunan basa-basanya. Alternatif lain yang lebih efisien ialah analisis hanya bagian tertentu dari genom mitokondria (Duryadi 1994).

DNA Mikrosatelit

DNA mikrosatelit merupakan pengulangan DNA tandem pendek (1-5 basa) pada fragmen DNA. Pengulangan tandem biasanya dinukleotida sederhana (seperti (TG)n) dengan masing-masing dinukleotida yang diulang sekitar sepuluh kali (Montaldo dan Meza-Herrera 1998).

Mikrosatelit adalah suatu sekuens yang terdiri atas motif urutan sederhana, tidak lebih dari enam basa panjangnya yang secara tandem diulangi berurutan

(16)

setiap basanya tanpa terganggu oleh adanya basa atau motif lain. Sekuens nukleotida sederhana di- dan tri- yang diulangi secara tandem telah menunjukkan sifat polimorfisme sepanjang genom eukariot (Litt and Luty 1989), berpotensi dimanfaatkan dalam studi penanda-penanda DNA atau pemetaan gen (Navanitbhai 2004). Selain terdapat secara acak di dalam genom, mikrosatelit dengan motif mono-, di-, tri-, dan tetranukleotida ditemukan lokasinya dekat atau di dalam daerah penyandi gen seperti telah dilaporkan pada genom manusia (Litt dan Luty 1989), sapi dan domba (Moore et al. 1992). Banyak mikrosatelit yang ditemukan tersebut bersifat sangat polimorfisme sehingga sangat ideal untuk analisis keterpautan. Keterpautan mikrosatelit dengan daerah penyandi genom yang runutan DNAnya cenderung lestari (conserved), juga dapat dimanfaatkan untuk studi perbandingan peta genetika antarspesies (Muladno 2000).

Mikrosatelit adalah satu dari tipe DNA berulang yang paling umum dengan motif ulangan nukleotida sederhana dalam bentuk salinan berdampingan (tandem). Mikrosatelit memiliki jumlah yang sangat banyak dan lokasinya tersebar di hampir semua kromosom sehingga sangat ideal untuk menganalisis fenotipe hewan. Satu motif basa terdiri atas 2-5 pb atau 1-6 pb, yang berulang mencapai 100 kali atau lebih. Tingkat variabilitas mikrosatelit memiliki korelasi positif dengan panjang ulangan sekuensnya dengan panjang kurang dari 20 pasang basa, maka kemungkinan hasil analisis mikrosatelit memiliki polimorfik sangat besar. Mikrosatelit termasuk di dalam kelompok urutan berulang yang berjumlah sekitar 0,3% dari total genom. Mikrosatelit dapat dikategorikan sesuai bentuk ulangannya, yaitu (1) ulangan sempurna, terdiri atas sekuens dengan tanpa selang sepanjang ulangannya. Cenderung lebih polimorfik dibandingkan dengan dua jenis mikrosatelit lainnya. Bentuk ulangan sempurna adalah CACATTAGTCGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTCGACCA CATA; (2) ulangan tidak sempurna, terdiri atas ulangan dengan satu atau lebih selang pada sepanjang ulangannya. Bentuk ulangan tidak sempurna adalah CATGGAAAAT ACACACAC CACACACACACACACACACACA GGCTTTGG AT; dan (3) kombinasi keduanya, ulangan sempurna dan tidak sempurna yang bergabung dengan ulangan sederhana sekuens lain. Bentuk ulangan sempurna

adalah GGGAGGGTTT GTGTGTGTGTGTGT GAGAGAGAGAGAGAGA

CTGTGTATAT (Muladno 2006).

Mikrosatelit terdapat menyebar di dalam genom. Bahkan ada kecenderungan bahwa hampir setiap gen sedikitnya mempunyai satu

(17)

mikrosatelit, yang terletak di dalam intron atau di dalam daerah 5’ atau 3’ yang mengapit sekuens pengkode. Mikrosatelit dideteksi dengan menggunakan PCR, dengan primer yang sesuai dengan DNA sekuens khas yang mengapit ulangan tandem tersebut. Prosedur merunut urutan DNA secara keseluruhan sama dengan prosedur untuk merunut DNA: primer berlabel digunakan, dan pita-pita divisualisasikan baik dengan autoradiografi atau fluoresen, seperti dengan perunutan, deteksi mikrosatelit menjadi automatis (Nicholas 1996).

DNA sekuens khas yang sesuai dengan primer hanya terdapat di satu tempat saja dalam genom total. Ini berarti bahwa walaupun unit ulangan mikrosatelit tertentu terdapat pada banyak situs yang berbeda di dalam genom, PCR hanya akan mengamplifikasi satu tempat saja, yaitu tempat yang sekuens pengapitnya sesuai dengan sekuens primer yang digunakan. Panjang produk PCR bervariasi menurut jumlah unit ulangan pada situs tersebut (Nicholas 1996). Panjang masing-masing alel ditentukan oleh PCR yang menggunakan primer oligonukleotida spesifik pengapit sekuens yang diulang (Montaldo dan Meza-Herrera 1998).

Lokus-lokus mikrosatelit adalah penanda-penanda pilihan untuk mengetahui hubungan-hubungan evolusi antarpopulasi dan hubungan silsilah antarindividu (Steven et al. 2006). Potensi mikrosatelit sebagai penciri DNA untuk analisis keterpautan telah banyak diketahui dan didokumentasi dengan baik. Penciri ini telah digunakan untuk pemetaan gen pada ternak babi (Muladno 1994; 2000), ayam (Kerje 2003) dan sapi (Ihara et al. 2004), studi kekerabatan, keragaman dan variasi genetik pada domba (Grigaliŭnaitẻ et al. 2003), kambing (Mainguy et al. 2005), sapi (MacHugh 1997; Sodhi et al. 2006; Karthickeyan et al. 2006; Armstrong et al. 2006; Pandey et al. 2006) dan kuda (Luis et al. 2007).

Dua atau lebih mikrosatelit dapat dianalisis secara bersamaan (Weber dan May 1989; George et al. 1990), membuka peluang baru untuk analisis genetik dari jumlah sampel yang besar. Berbagai metode sedang dikembangkan sehingga akan menyederhanakan pendeteksian dan analisis polimorfisme mikrosatelit (Litt et al. 1993). Suatu atribut yang sangat penting adalah polimorfisme dapat dideskripsikan sesuai jumlahnya, sehingga penanganan data dapat dianalisis secara komputerisasi. Keuntungan lain adalah bahwa sekuens pada analisis mikrosatelit dapat dilakukan antarkolaborator. Hal ini akan memperjelas hasil yang sempurna dari pembeda bangsa dan hal itu tidak ada

(18)

kesukaran untuk mengidentifikasi populasi suatu bangsa dengan yang memiliki alel-alel spesifik (Navanitbhai 2004).

Praktik penggunaan mikrosatelit sebagai marker adalah sangat mudah penanganannya. Pertukaran marker antarlaboratorium, termasuk dalam proyek pemetaan gen hanya memerlukan pertukaran dari sekuens nukleotidanya yang digunakan sebagai primer dalam PCR. Proses ini bisa ditransmisikan secara elektronik melalui komputer, sehingga dalam hal ini tidak diperlukan pertukaran klon rekombinan antarlaboratorium. Penggunaan langsung secara fisik mikrosatelit dari sisipan klon yang besar kepada kromosom individual dengan menggunakan teknik seperti in situ hybridization telah meningkatkan keuntungan mikrosatelit sebagai marker dalam konstruksi peta genetik. Studi keterpautan gen dengan demikian tidak diragukan harus dikonsentrasikan pada penggunaan mikrosatelit (Muladno 1994).

Teknik Penelitian DNA

DNA terdapat di dalam sel organisme, oleh karena itu seluruh bagian tubuh maupun organ organisme dapat dijadikan sebagai sumber untuk mendapatkan dan mengisolasi DNA. Pada prinsipnya, untuk mendapatkan DNA dimulai dari ekstraksi dan purifikasi DNA, pengecekan kualitas (konsentrasi) dan kuantitas DNA melalui alat spektrofotometer. Evaluasi kualitas DNA hasil purifikasi dapat pula dilakukan dengan gel agarose (Duryadi 2005) dengan standar konsentrasi tertentu. Menurut Muladno (2002), molekul DNA dikatakan murni apabila rasio antara nilai OD260 dan nilai OD280 pada sampel DNA diukur melalui spektrofotometer berkisar antara 1,8-2,0. Apabila konsentrasi DNA yang diukur terlalu kecil, seringkali nilai rasio tersebut sulit digunakan sebagai patokan dalam menentukan tingkat kemurniannya.

Ekstraksi DNA pada organisme eukariot (manusia, hewan dan tumbuhan) dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls), penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (precipitation

of DNA) dan pemanenan. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi tersebut merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya. (Sulandari dan Zein 2003).

Memperbanyak DNA target salah satunya melalui teknik PCR (Polymerase

(19)

jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler (Muladno 2002). Pada suhu 94-95oC, DNA mengalami denaturasi. Apabila suhunya diturunkan antara 36-72oC terjadi proses penempelan primer (annealing) (Sulandari dan Zein 2003). Pada suhu berkisar antara (biasanya) 50oC sampai dengan 60oC, primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada komposisi komplemennya, demikian juga primer reversenya akan menempel pada basa tunggal lainnya. Setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim

polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3’-nya

masing-masing primer. Sintesa molekul DNA baru (ekstensi) ini terjadi pada suhu 72oC. Proses dari denaturasi-penempelan-ekstensi disebut sebagai satu siklus. Proses PCR biasanya berlangsung 35-40 siklus (Muladno 2002). Umumnya setelah proses siklus PCR selesai, ditambah post elongasi selama 5-10 menit pada suhu 72oC agar semua hasil PCR berbentuk untai ganda (Sulandari dan Zein 2003).

Hasil PCR dapat dilihat dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose untuk memisahkan dan mengidentifikasi fragmen DNA sesuai dengan ukurannya. Prinsip dasarnya adalah jika molekul DNA, yang bermuatan negatif, ditempatkan pada penghantar listrik (buffer), molekul tersebut akan bergerak menuju ke muatan positif. Molekul DNA yang berukuran kecil akan bergerak lebih cepat daripada yang berukuran besar. Ukuran fragmen DNA hasil elektroforesis dapat diketahui dengan menggunakan penanda ukuran (marker) yang salah satunya didapat dari λyang telah dipotong oleh enzim restriksi (Dawson et al. 1996).

Suatu terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan metode mensekuens potongan DNA secara cepat (Muladno 2002). Ada dua metode dalam sekuensing: metode Sanger atau dideoxy atau chain-terminating dan metode Maxam-Gilbert atau chemical, dengan metode yang pertama lebih umum digunakan (Nicholas 1996). Tiap metode meliputi pembuatan serangkaian rangkaian tunggal berlabel dengan panjang bervariasi, yang dimulai dari salah satu ujung fragmen yang sedang disekuens (Nicholas 1996; Duryadi 2005). Elektroforesis dari rangkaian-rangkaian tersebut dalam gel poliakrilamida memisahkan rangkaian-rangkaian itu berdasarkan ukuran, yang menghasilkan

(20)

‘tangga pita’ (ladder) berlabel, dengan tiap pita mewakili tersekuensnya satu basa. Jika pelabelan bersifat radioaktif, gel tersebut kemudian dikeringkan dan dilekatkan pada film X-ray, yang mencatat keberadaan tiap pita pada autoradiograf yang dihasilkan (Nicholas 1996). Belakangan ini penggunaan label memakai bahan fluoresen yang diaktifkan dengan sinar laser akan menggantikan pelabelan dengan bahan radioaktif. Apabila pita-pita telah dapat divisualisasikan dengan menggunakan cara pelabelan apapun, maka basa-basa nukleotida pada fragmen DNA dapat dibaca langsung dari urutan pita yang tampak (Duryadi 2005). Proses yang lebih panjang dihasilkan dengan menggabungkan sekuens yang diperoleh dari fragmen yang overlap (Nicholas 1996).

Proses sekuensing secara keseluruhan telah berkembang menjadi otomatis, dan data sekuens terus dikumpulkan dengan kecepatan yang semakin meningkat. Database seperti GenBank (USA) dan EMBL Data Library (Eropa) telah didirikan yang secara spesifik mencatat data tersebut, dan akses online ke database itu tersedia di seluruh dunia. Ada banyak aktivitas yang memerlukan informasi sekuens, sebagai contoh adalah untuk menelusuri data sekuens, untuk mencari open reading frame, yang menunjukkan gen berstruktur dan merupakan salah satu cara menemukan gen yang belum diketahui. Penggunaan penting lainnya dari data sekuens adalah dalam membandingkan sekuens dari gen yang sama pada spesies yang berbeda, yang memungkinkan pohon evolusionari dapat dibuat (Nicholas 1996).

Gambar

Gambar 1 Skema genom mitokondria (Sumber: Bernstein et al. 1995)

Referensi

Dokumen terkait

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan analisis statistik Chi-Square untuk melihat perbedaan peningkatan pengetahuan, keterampilan, kepatuhan sebelum dan

Setelah berhasil memasang sistem operasi raspbian pada raspberry pi board , berikutnya mengkonfigurasi manual IP pada raspberry pi board untuk dapat dikenali oleh server,

Paket perizinan juga merupakan sebuah tipologi inovasi kebijakan karena paket perizinan tidak jauh juga merupakan kebijakan dan strategi baru dalam menghadapi

Progressive die adalah merupakan metode pemotongan yang paling lengkap, yaitu suatu metode untuk membuat produk dengan dua tahap pengerjaan atau lebih dalam suatu proses

Penelitian yang dilakukan Gustanti (1999) terhadap uji efek anti kanker dadih sapi yang mengandung bakteri Lactococcus lactis terhadap mencit yang diinduksi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai data keanekaragaman, kekayaan, status, dan komposisi jenis serta distribusi jenis amfibi

Namun, dalam Bab 3, MOU membentuk halangan besar bagi keadilan untuk para korban kejahatan yang dilakukan oleh GAM dengan mengatur bahwa Pemerintah Indonesia akan “memberikan

Sumber : Hasil Data Kuesioner Pertanyaan Ke Duapuluh Satu Penelitian Tanggal 1 – 6 Februari 2017.. Dari data tersebut tentunya bisa menggambarkan bahwa masyarakat tidak