• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM ORGANISASI INTERNASIONAL PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM ORGANISASI INTERNASIONAL PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM ORGANISASI INTERNASIONAL PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

2.1 Sejarah Lahirnya Perserikatan Bangsa- Bangsa

Pada umumnya manusia hidup memerlukan bantuan orang lain. Oleh karena itu, manusia hidup di dunia memerlukan kerjasama, hidup berdampingan, hidup damai; namun dalam mencapai tujuannya kadang-kadang berbenturan kepentingan. Demikian pula dengan negara, ingin bekerjasama dengan negara lain namun adakalanya benturan kepentingan tidak dapat dihindari. Kenyataan dari benturan kepentingan ini dapat menimbulkan perang, peperangan antar bangsa dapat terjadi. Setiap peperangan selalu menimbulkan kehancuran, baik pihak yang dikatakan menang maupun pihak yang kalah. Bahkan banyak peristiwa perang mengakibatkan lenyapnya sebuah bangsa atau sebuah negara.

Dibalik dahsyatnya akibat perang orang memikirkan tentang perdamaian yang kekal dan abadi. Upaya menghindari peperangan yang mengancam kehidupan manusia, diusahakan dengan membentuk suatu lembaga perdamaian yang merupakan persatuan seluruh bangsa atas dasar kehendak bebas negara masing- masing. Untuk bersama- sama menjaga dan menjamin keamanan dan ketertiban bersama.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka setelah perang dunia pertama (1914- 1919) yang berakhir dengan adanya Perjanjian Versailles 1919 antara pihak yang berperang Jerman Raya, Austria,Turki Raya vs Inggris dan Perancis, terbentuklah

(2)

LBB atau League of Nations.26 Prakarsa mendirikan LBB ini disponsori oleh Woodrow Wilson (Presiden Amerika Serikat), untuk kemudian berdiri resmi tanggal 10 Januari 1920 yang berkedudukan di Swiss. Tujuan yang tercantum

dalam Piagam Dasar LBB disebutkan antara lain :27

1). Menghindarkan peperangan;

2). Berusaha menyelesaikan segala bentuk persengketaan secara damai,

3). Memberi kesempatan hubungan antarnegara yang terbuka dan adil serta untuk memajukan kerjasama ekonomi, budaya, sosial, dan pendidikan.

Tetapi LBB sebagai organisasi perdamaian dunia tidak memiliki umur panjang karena dua puluh tahun kemudian ternyata LBB tidak mampu bertindak terhadap negara-negara yang melanggar piagam dan akhirnya perdamaian dunia tidak dapat dipertahankan lagi. Karena LBB tidak memiliki kewibawaan untuk menindak

negara-negara besar antara lain 28:

1. Jepang pada tahun 1931 menduduki Manchuria dan menyerang Tiongkok tahun 1937.

2. Italia pada tahun 1935 menyerbu Libya dan Ethiopia.

3. Jerman pada tahun 1938 menduduki wilayah Austria dan Chekoslovakia. Peristiwa-peristiwa tersebut mengakibatkan kekuasaan Liga Bangsa-Bangsa tidak ada artinya lagi. Satu demi satu anggotanya menyatakan keluar. Selain itu, LBB sebagai Organisasi Internasional dinilai kurang energies karena tidak ada badan di dalamnya yang memiliki tugas untuk memutuskan suatu keputusan. LBB

26 Teuku May Rudy, 1993, Administrasi dan Organisasi Internasional. PT. Eresco, Bandung. h.36.

27 Ibid. 28 Ibid. h. 37.

(3)

terlalu mengutamakan demokrasi sehingga negara- negara besar yang pada saat itu dipercaya sebagai anggota tetap merasa tidak memiliki tugas spesial dengan kedudukan mereka. Kemudian pada tanggal 1 September 1939 pecah perang

dunia kedua, ditandai dengan penyerbuan Jerman atas Polandia,29 LBB tidak

dapat berbuat apa- apa sehingga tujuan LBB tidak tercapai. Sebagai organisasi, LBB kemudian dibubarkan.

Pada saat Perang Dunia kedua berkecamuk, dua negarawan yakni Winston Churchill (PM Inggris) beserta Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika Serikat) mengadakan pembicaraan khusus diatas sebuah kapal milik Amerika Serikat Agusta di perairan New Foundland Samudera Atlantik, untuk meredakan peperangan. Pertemuan tanggal 14 Agustus 1941 menghasilkan suatu piagam yang merupakan suatu deklarasi tentang hak kebebasan, kemerdekaan dan

perdamaian dunia. 30 Piagam tersebut telah ditandatangani oleh kedua belah pihak

sehingga disebut juga Piagam Atlantik atau Atlantic Charter yang pada pokoknya

antara lain sebagai berikut: 31

1. Tidak dibenarkan adanya perluasan daerah sesamanya.

2. Segala bangsa berhak untuk menentukan bentuk pemerintahannya dan menentukan nasibnya.

3. Semua negara berhak turut serta dalam perdagangan dunia.

4. Mengusahakan perdamaian dunia yang membuat setiap bangsa dapat hidup bebas dari rasa takut dan bebas dari kemiskinan.

Demikianlah maka Piagam Atlantik merupakan dasar- dasar pertama usaha pembentukan PBB.

29 Ibid 30 Ibid, h.38 31 Ibid.

(4)

Langkah pertama kearah pembentukan PBB ialah ditandatanganinya deklarasi antara negara- negara sekutu (The Inter Allied Declaration) tertanggal 12 Juni 1941 di St. James’s Palace London oleh wakil –wakil Australia, Kanada,Selandia Baru, Uni Afrika Selatan, Kerajaan Inggris, serta Pemerintah Pelarian/Pengungsi Belgia, Chekoslovakia, Yunani, Luksemburg, Negeri Belanda, Norwegia,

Polandia, dan Yugoslavia serta turut pula Jenderal De Gaulle dari Prancis.32

Dalam Deklarasi London tersebut dinyatakan antara lain bahwa satu- satunya dasar yang sejati bagi pemeliharaan perdamaian adalah kehendak bekerja sama antara bangsa- bangsa yang bebas di dunia, dimana semua orang bebas dari ancaman agresi, dapat menikmati ketentraman ekonomi dan sosial, dan bahwa mereka bersedia untuk bekerja sama demi tujuan itu dan juga bekerja sama

dengan bangsa-bangsa bebas lainnya, dalam masa perang maupun damai.33

Adapun sejarah lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah : 1. Piagam Atlantik (Atlantic Charter)

Dua bulan setelah itu, yaitu pada tanggal 14 Agustus 1941, deklarasi bersama di Samudera Atlantik antara Presiden Franklin D. Roosevelt dari Amerika Serikat dan PM Winston Churchill dari Inggris, yang terkenal dengan nama Atlantic Charter.

Piagam ini pada dasarnya memuat beberapa prinsip bersama dalam menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional dua negara. Dan dinyatakan pula dalam dokumen itu kehendak untuk melaksananakan kerjasama sepenuhnya antara semua bangsa di lapangan ekonomi dengan tujuan menetapkan bagi semua orang, perbaikan standar harga, kemajuan ekonomi, dan jaminan sosial.

32 Ibid. 33 Ibid.

(5)

2. Deklarasi PBB (Declaration By United Nations).

Deklarasi ini ditandatangani pada tanggal 1 Januari 1942 oleh wakil- wakil 26 negara di Washington, yang menentang negara- negara Axis. Istilah PBB muncul dari usulan Presiden Roosevelt dari Amerika Serikat.

3. Konferensi Moskwa

Selanjutnya pada tanggal 30 Oktober 1943, di Moskow ditandatangani suatu deklarasi oleh V.M. Molotov dari USSR, Anthony Eden dari Inggris, Cardell Hull dari AS dan Foo Ping Sheung (Tentara Tiongkok di Moskwa), hal mana keempat negara mengemukakan bahwa mereka menganggap perlu dalam waktu secepat mungkin membentuk suatu organisasi internasional umum, yang berdasarkan prinsip kesamaan kedaulatan dari semua negara yang mencintai perdamaian, dan terbuka keanggotaannya bagi semua negara besar dan kecil, demi untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

4. Konferensi Teheran

Satu bulan kemudian, yaitu pada tanggal 1 Desember 1943, Presiden Rosevelt, Presiden Stalin, dan PM Churchill mengeluarkan deklarasi di Teheran yang antara lain berbunyi :

“Kami mengakui sepenuhnya tanggung jawab yang luhur atas pundak kami dan atas semua bangsa yang bersatu untuk mewujudkan suatu perdamaian yang akan meliputi kehendak rakyat seluruh dunia dan menghalau bencana dan teror peperangan bagi generas-generasi.”

5. Konferensi Dumbarton Oaks

Pada tanggal 21 sampai 28 Agustus 1944, diselenggarakan perundingan di Washington D.C. tepatnya di Dumbarton Oaks, berupa pembicaraan tingkat pertama antara wakil- wakil USSR, Inggris, dan Amerika Serikat.

Perundingan tingkat kedua dilakukan antara Cina, Inggris, dan Amerika Serikat pada tanggal 29 September 1944 sampai 7 Oktober 1944. Seluruh persetujuan yang dapat dicapai keempat kekuatan tersebut dihimpun menjadi usul- usul bagi pembentukan sebuah Organisasi Internasional Umum.

Konferensi Dombarto Oaks membicarakan tentang tujuan dan asal organisasi, keanggotaan, dan kelengkapan utama dan keamanan internasional serta kerjasama internasional di bidang ekonomi dan sosial. Pada konferensi itu diusulkan badan yang paling menentukan pemeliharaan perdamaian dunia yaitu 5 negara besar : Cina, Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat harus menjadi anggota tetap dan permanent members. Pada saat itu yang menjadi rumit adalah masalah prosedur pemungutan suara dalam Dewan Keamanan.

(6)

6. Konferensi Yalta

Konferensi Yalta pada tanggal 4 sampai 11 Februari 1945 yang dihadiri oleh Presiden Roosevelt PM Churchill dan Premier Stalin. Ditegaskan kembali niat yang serius untuk mendirikan suatu Organisasi Internasional umum demi memelihara perdamaian dan keamanan, yang sangat hakiki guna menghindarkan agresi dan menyingkirkan sebab politik dan sosial dari peperangan dengan jalan kerjasama yang erat dan langgeng antara semua bangsa yang cinta damai.

Konferensi ini menghasilkan Yalta Agreement pada tanggal 11 Februari 1945 memutuskan antara lain bahwa pada tanggal 25 April di San Fransisco AS akan diselenggarakan suatu Konferensi PBB. 5 negara yang akan diundang sebagai sponsor adalah Pemerintah Republik Cina, Pemerintah Perancis, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat.

Persoalan yang timbul daam konferensi ini adalah masalah veto, yang menyebabkan Soviet berbeda pendapat dengan Inggris dan Amerika Serikat. Namun tercapai pula rumusan kompromi, veto dapat digunakan sekalipun salah satu Negara besar menjadi pihak bersengketa.

Disepakati pula, bahwa Inggris dan Amerika Serikat mendukung permintaan Soviet agar Ukrainan dan Byelo Rusia diterima menjadi anggota PBB.

7. Konferensi San Fransisco

Konferensi San Fransisco tanggal 25 April 1945 yang dikenal sebagai “The United Nations Conference of International Organization”, dihadiri oleh 5 negara termasuk 5 pemerintah sponsor. Bertindak sebagai ketua delegasi negara- negara sponsor ialah Anthony Edend dari Inggris, Edward R. Stettinius, Jr., dari Amerika Serikat, T.V.Soong dari Cina dan V.M Molotov dari Uni Soviet. Presiden Roosevelt wafat dan tidak sempat membuka konferensi yang telah lama diidam- idamkannya itu. Pembahasan atas konsep piagam dilakukan dalam 4 bagian yang masing- masing ditangani oleh 4 komisi :

Komisi I menangani masalah tujuan umum organisasi.

Komisi II memperbincangkan kekuasaan- kekuasaan dan tanggung jawab Majelis Umum.

Komisi III memperbincangkan Dewan Keamanan.

Komisi IV menelaah konsep mengenai status Mahkamah Internasional

yang telah disiapkan di Washington.34

(7)

Pada tanggal 25 Juni 1945 diselenggarakan sidang pleno terakhir di gedung opera di San Fransisco, pada kesempatan mana keseluruhan Piagam PBB disetujui secara bulat, dan keesokan harinya tanggal 26 Juni 1945 piagam tersebut ditandatangani dalam suatu upacara yang mulia dan anggun dalam auditorium di Veterans Memorial Hall.

Pada tanggal 24 Oktober 1945 Piagam PBB mulai mempunyai daya berlaku, bertepatan dengan saat Cina, Prancis, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat serta sebagian besar dari negara penandatangan lainnya menyampaikan kelengkapan ratifikasi mereka. Pada tanggal 31 Oktober 1947 ditetapkan bahwa tanggal 24 Oktober hari ulang tahun berlakunya Piagam PBB, dinyatakan secara resmi sebagai “Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa” (United Nations Day). Pada masa itu, berkaca pada kegagalan LBB, maka dijanjikan keefektifan organisasi baru ini dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pada masa itu juga ditekankan bahwa organisasi baru tersebut (PBB), dengan sifat kekuasaannya untuk mengambil langkah- langkah militer kalau perlu, mempunyai kemampuan mengambil tindakan yang efektif di mana hal ini tidak dapat

dilakukan pada masa Liga Bangsa-Bangsa.35 Berbicara mengenai masalah

Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization) tidak dapat dipisahkan dari statusnya sebagai Organisasi Internasional yang sekaligus merupakan subyek Hukum Internasional. Subyek Hukum Internasional menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja dibatasi menjadi 2, yaitu subyek Hukum Internasional dalam arti sebenarnya yaitu subyek Hukum Internasional adalah

(8)

pemegang hak dan kewajiban. Dalam artian ini disebut subyek hukum penuh dalam segala hal. Dan yang kedua adalah subyek Hukum Internasional dalam arti lebih luas, subyek Hukum Internasional mencakup pula keadaan-keadaan dimana yang dimiliki itu hanya hak- hak dan kewajiban terbatas, misalnya kewenangan untuk mengadakan penuntutan hak yang diberikan oleh hukum internasional di

muka pengadilan berdasarkan suatu konvensi.36

Didirikannya PBB memiliki tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan Internasional, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Mukadimah Piagam PBB. Berbicara tentang tujuan dari suatu organisasi tidak dapat dipisahkan dengan prinsip yang mendasarinya. PBB sebagai suatu organisasi dalam rangka melaksanakan fungsi untuk mencapai tujuannya, memiliki beberapa

asas sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Piagam PBB yakni:37

a. Asas persamaan kedaulatan dari anggota- anggotanya.

b. Asas bahwa semua Negara harus memenuhi kewajibannya dengan kejuruan/ kesetiaan sesuai dengan ketentuan piagam.

c. Asas bahwa semua anggota akan menyelesaikan sengketa- sengketa internasional dengan cara damai sedemikian rupa, sehingga perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan tidak terancam.

d. Asas bahwa semua anggota dalam Hubungan Internasional hendaknya menghindarkan diri dari penggunaan kekuatan atau ancaman dengan kekuatan terhadap keutuhan suatu wilayah atau kemerdekaan suatu negara, atau dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tujuan PBB.

e. Asas bahwa semua anggota hendaknya memberikan bantuan kepada PBB dalam setiap kegiatan yang dilakukan sesuai dengan isi piagam dan tidak diperkenankan memberikan bantuan keapda suatu negara yang oleh PBB sedang dikenakan suatu tindakan pencegahan atau paksaan ( preventive or enforcement action).

f. Asas bahwa PBB akan menjamin agar Negara- Negara yang bukan anggota bertindak sesuai dengan asas- asas ini, demi menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

36 I Ketut Mandra , et.al, 2003, Perserikatan Bangsa- Bangsa dan Dewan Keamanan Sebagai

Organ Utama, Aksara, Denpasar, h. 1.

37 Ibid, h.26.

(9)

g. Asas bahwa PBB tidak akan mencampuri urusan- urusan dalam negeri suatu Negara dengan menuntut anggota- anggotanya untuk menyelesaikan urusan- urusan mereka menurut keentuan piagam.

Akan tetapi asas ini tidak mengurangi kekuasaan PBB untuk menggunakan tindakan kekerasan terhadap perbuatan- perbuatan pelanggaran yang mengancam perdamaian.

Selain itu, Perserikatan Bangsa- Bangsa tidak hanya memiliki International Legal Personality dan Municipal Legal Personality, akan tetapi lebih dari itu. PBB memiliki pula apa yang disebut kepribadian subyektif dan kepribadian obyektif (Subjective and Objective Personality). Subjective personality, dari suatu organisasi internasional berarti bahwa personality tersebut diterima dan diakui oleh semua negara yang berdasarkan perjanjian telah mendirikan organisasi tersebut atau menjadi anggota Organisasi Internasional itu, sehingga secara subyektif terikat kepadanya. Sedangkan pihak ketiga yang tidak mempunyai ikatan dengan Organisasi Internasional tersebut tidak terkena akibat dari adanya

perjanjian itu.38 Objective Personality berarti bahwa legal personality sesuatu

Organisasi Internasional telah diterima dan diakui secara obyektif oleh semua pihak, anggota maupun bukan anggota, karena sudah tidak dapat dibantah dan

dipungkiri lagi, karena memang sudah demikian seharusnya.39

Karena kedudukan PBB yang demikian unik maka dikatakan, bahwa PBB adalah suatu Organisasi Internasional sui generis, dari jenis istimewa atau jenis tersendiri. Organisasi PBB terdiri dari alat- alat perlengkapan, antara lain :

38 James Barros, Op.cit. h.45. 39 Ibid.

(10)

1. Majelis Umum 2. Dewan Keamanan

3. Dewan Ekonomi dan Sosial 4. Dewan Perwalian

5. Mahkamah Internasional 6. Sekretariat

Dan salah satu yang sangat menarik banyak perhatian adalah Dewan Keamanan PBB khususnya 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan "hak veto” nya. Apa sebenarnya hak veto itu dan mengapa hanya dimiliki oleh 5 negara saja?. Hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan

peraturan dan undang-undang atau resolusi.40 Dalam sejarahnya, hak veto dimiliki

oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Hak veto melekat pada kelima negara tersebut berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB.

Selain anggota tetap, Dewan Keamanan PBB juga memiliki anggota tidak tetap yang berjumlah lima belas negara. Anggota tetap dan tidak tetap berbeda dalam pemilikan hak veto. Anggota tidak tetap tidak mempunyai hak veto. Dari kelima belas negara tersebut, hanya lima yang memiliki hak veto, antara lain Amerika Serikat, Rusia (dahulu Uni Soviet), Inggris, Perancis, Republik Rakyat China menggantikan Republik China (Taiwan) pada tahun 1979 (Pasal 23 [1]

Piagam PBB).41 Kesepuluh anggota tidak tetap dipilih untuk waktu dua tahun oleh

40Wordpress, Hak Veto Dewan Keamanan PBB, diakses pada 18 Juni 2011 URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_veto

41 Dengan resolusi Majelis mum tanggal 25 Oktober 1971 No. 2758 (XXVI),resolusi tersebut mengembalikan hak Cina sebagaimana ditentukan dalam Piagam tahun 1945.

Sebagaimana kita ketahui Cina kemudian pecah menjadi Cina daratan dan Republik Taiwan, sampai tahun 1971 yang mewakili hak Cina berdasarkan Piagam PBB adalah Taiwan. Namun karena terjadi perubahan politik dunia terhadap Cina daratan Majelis Umum PBB dengan resolusi diatas telah mengakui Cina Daratan sebagai satu- satunya wakil sah dari Cina di PBB dan disemua organisasi internasional di bawah PBB, Basic Fact About the United Nations (New York: 1977), hlm. 109 dalam Sri Setianingsih Suwardi, opcit, h. 287.

(11)

Majelis Umum PBB (Pasal 23 [2] Piagam PBB). Semula anggota tidak tetap adalah enam negara, kemudian pada tanggal 1 Januari 1966 anggota tidak tetap menjadi sepuluh anggota, sebagai hasil amandemen Piagam PBB; hal ini disebabkan karena jumlah anggota PBB bertambah dan untuk lebih memberikan

kesempatan pada anggota PBB untuk duduk di Dewan Keamanan42.

Hak veto yang akan dimiliki oleh negara-negara besar dibicarakan secara teratur pada waktu merumuskan Piagam PBB baik di Dumbarton Oaks maupun di Yalta, dan di San Fransisco. Bahwasanya kepada lima negara yang dianggap sangat bertanggung jawab pada penyelesaian perang dunia II akan merupakan negara anggota tetap Dewan Keamanan dan kepada mereka diberikan hak veto, hal ini adalah merupakan imbalan dari tanggung jawab mereka terhadap perdamaian dan keamanan internasional (Primary Responsibilities). Pasal 4 Piagam PBB menetapkan bahwa untuk menjamin tindakan yang cepat dan efektif, maka negara- negara anggota menyerahkan kepada Dewan Keamanan tanggung jawab yang utama yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui pula bahwa Dewan Keamanan akan melaksanakan kewajibannya di

bawah tanggung jawab ini.43 Dalam hal ini, Dewan Keamanan PBB dapat

bertindak terhadap dua macam persengketaan :44

1. Persengketaan yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, dan

42 Sri Setianingsih Suwardi, opcit, h.288.

43 Syahmin A.K, 1986, Pokok-Pokok Hukum Organisasi Internasional, Bina Cipta, Bandung, h.28.

(12)

2. Peristiwa yang mengancam perdamaian dan/atau agresi.

Secara hukum kekuasaan yang dipunyai oleh anggota tetap Dewan Keamanan merupakan privileges yang diberikan pada mereka, namun secara hukum mereka tidak mempunyai kewajiban atau tanggung jawab yang berbeda dengan negara anggota PBB lainnya. Piagam hanya menentukan bahwa tanggung jawab utama untuk perdamaian dan keamanan internasional ada pada pihak Dewan Keamanan (Pasal 24 [1] Piagam PBB) dan bukan pada anggota tetap Dewan Kemanan. Pada pembicaraan di Dumbarton Oaks terdapat perbedaan perumusan tentang pasal mengenai veto. Amerika Serikat menghendaki supaya ada aturan yang membatasi penggunaan veto misalnya dalam soal tata tertib. Demikian juga supaya suara dari negara yang menjadi pihak dalam sengketa yang dibicarakan di Dewan Keamanan tidak mempunyai hak suara, juga bagi negara anggota tetap Dewan Keamanan, maka negara tersebut tidak dapat menggunakan hak vetonya. Soviet menolak pendapat Amerika Serikat dan menginginkan veto penuh tanpa

pembatasan.45 Pembicaraan tentang veto dilanjutkan di Yalta.

Pembicaraan dititikberatkan pada anggota tetap Dewan Keamanan yang mempunyai hak veto diwajibkan abstain dalam pemungutan suara yang diambil untuk penyelesaian sengketa di mana mereka merupakan pihak yang berselisih. Soviet berjuang dengan gigih untuk dapat mempergunakan hak vetonya didalam segala kasus tanpa memperhatikan konsep yang ideal dalam hukum bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menjadi hakim dalam masalahnya sendiri. Namun akhirnya Uni Soviet dapat menerima saran yang dikemukakan oleh Presiden

45 Roeslan Abdulgani, 25 Tahun Indonesia PBB, Gunung Agung, Jakarta, h. 27. dalam Sri Setianingsih Suwardi, op.cit, h.291.

(13)

Roosevelt di Yalta, bahwa anggota Dewan Keamanan harus abstain bila ada pemungutan suara yang harus diambil tentang suatu sengketa di mana mereka adalah salah satu pihak dalam sengketa. Kompromi yang dicapai tersebut dirumuskan dalam Pasal 27 Piagam PBB. Di pertemuan San Fransisco hak veto akhirnya disetujui. Dengan ikut sertanya negara-negara besar di PBB diharapkan PBB akan lebih berhasil dari LBB, dalam hal ini Amerika Serikat tidak menjadi anggota LBB.

Kekuatan veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar Dewan Keamanan mempunyai kekuatan yang manjur dalam praktiknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak veto oleh negara yang mempunyai hak tadi sering dipergunakan dengan tidak ada batasnya. Di dalam praktik anggota tetap Dewan Keamanan lebih senang memilih abstain daripada menggunakan suara negatifnya dalam hal Dewan Keamanan harus memutuskan suatu masalah. Masalah yang lebih sulit adalah apabila Dewan Keamanan harus memutuskan suatu masalah dengan tidak hadirnya suatu anggota tetap Dewan Keamanan. Bila masalah yang diputuskan adalah masalah procedural, maka tidak hadirnya anggota tetap Dewan Keamanan tidak menjadi masalah, tetapi bila keputusan yang harus diambil tentang masalah non procedural akan menimbulkan masalah, karena masalah non procedural harus diputuskan dengan suara 9 anggota Dewan Keamanan termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan.

Di dalam praktik masalah veto ini telah diperlunak. Penafsiran Pasal 27(3) Piagam secara gramatika bahwa semua anggota tetap Dewan Keamanan harus memberikan suaranya agar suatu draft Resolusi Dewan Keamanan dapat

(14)

diputuskan; abstain dianggap suatu veto. Tetapi sejak permulaan berdirinya PBB telah ada praktik yang konsisten yang tidak menganggap bahwa abstain sebagai veto dan ini telah diakui dalam praktik (lihat keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Namibia). Di dalam praktiknya saat ini, kewajiban untuk abstain pada salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa anggota tetap Dewan Keamanan sering diabaikan.

2.2 Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa

Resolusi PBB adalah suatu naskah formal yang diadopsi oleh suatu badan PBB. Walaupun hampir semua badan PBB dapat membuat resolusi, namun hampir semua resolusi dalam praktiknya diterbitkan oleh Dewan Keamanan PBB atau Sidang Umum PBB. Resolusi PBB dapat dikelompokkan menjadi resolusi substantif atau prosedural atau sesuai badan penerbitnya yaitu Resolusi Sidang

Umum dan Resolusi Dewan Keamanan. 46

Dewan Keamanan PBB adalah badan terkuat di PBB. Tugasnya adalah menjaga perdamaian dan keamanan antar negara. Sedang badan PBB lainnya hanya dapat memberikan rekomendasi kepada para anggota, Dewan Keamanan mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan yang harus dilaksanakan para anggota di bawah Piagam PBB. Dewan Keamanan mengadakan pertemuan pertamanya pada 17 Januari 1946 di Church House, London dan keputusan yang

mereka tetapkan disebut Resolusi Dewan Keamanan PBB. 47

46Anonim, Definisi Resolusi PBB, diakses pada 31 Mei 2011, waktu 19.09, URL : (http://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_Perserikatan_Bangsa-Bangsa)

(15)

Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations General Assembly Resolution) adalah sebuah keputusan resmi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa yang diadopsi ke dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun semua badan PBB dapat mengeluarkan resolusi, dalam praktiknya resolusi paling sering yang dikeluarkan adalah resolusi oleh Dewan

Keamanan PBB atau Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. 48

Resolusi Majelis Umum biasanya memerlukan suatu mayoritas sederhana (50% dari semua suara ditambah satu) untuk lolos. Namun, jika Majelis Umum menentukan bahwa masalah adalah sebuah "pertanyaan penting" dengan suara mayoritas sederhana, maka dua pertiga mayoritas diperlukan adalah mereka yang menangani secara signifikan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pengakuan atas anggota baru untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, penangguhan hak-hak dan hak keanggotaan, pengusiran anggota, pengoperasian sistem perwalian, atau pertanyaan anggaran.

Meskipun Resolusi Majelis Umum umumnya tidak mengikat terhadap negara-negara anggota, resolusi internal dapat mengikat pengoperasian itu sendiri, misalnya terhadap masalah-masalah anggaran dan prosedur.

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Security Council resolution) adalah resolusi PBB yang ditetapkan lewat pemungutan suara oleh lima anggota tetap dan sepuluh anggota tidak tetap dari Dewan Keamanan PBB dengan "tanggung jawab utama bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional". Piagam PBB menetapkan (dalam Pasal

(16)

27) bahwa konsep resolusi pada non prosedural jika hal itu diadopsi sembilan atau lebih, dari lima belas anggota Dewan Keamanan untuk memilih resolusi serta

jika tidak dipergunakannya "hak tolak" oleh salah satu dari lima anggota tetap.49

2.3 Hukum Humaniter Internasional

Hukum perang merupakan bagian dari Hukum Internasional dan dewasa ini sebagian besar merupakan hukum tertulis. Hukum Humaniter Internasional merumuskan sejumlah ketentuan yang dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang ikut serta atau tidak ikut serta dalam pertempuran, serta untuk membatasi alat dan cara berperang. Hukum Humaniter Internasional juga dikenal dengan Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata. Meskipun dalam Hukum Internasional penyelesaian konflik diusahakan dilakukan secara damai, kalaupun terjadi perang, itu merupakan salah satu upaya/cara terakhir setelah jalan damai ditempuh. Dalam kondisi perang itupun para pihak yang bertikai harus mentaati aturan-aturan dalam Hukum Humaniter Internasional. Hukum Humaniter Internasional banyak dituangkan dalam Konvensi Jenewa 1949. Hukum Humaniter Internasional terdiri dari sekumpulan aturan-aturan Internasional yang bertujuan untuk membatasi akibat-akibat dari peperangan, baik orang ataupun objek-objek lainnya.

Kunz berpendapat bahwa Hukum Perang itu merupakan bagian tertua dari Hukum Internasional dan yang pertama dikodifikasi; separuh dari hukum perang merupakan hukum tertulis. Bagian terbesar dari hukum perang yang tertulis ini terdapat dalam keempat Konvensi Jenewa Tahun 1949, yang keseluruhannya

(17)

terdiri dari 427 pasal. Konvensi ini juga dikenal dengan nama Red Cross Convenstions karena diprakarsai oleh International Committee of The Red Cross

(ICRC). 50

Definisi mengenai Hukum Humaniter dikemukakan oleh Starke 51:

“The Laws of war consist of the limits set by International Law within which the force required to overpower the enemy may be used, and the principles there under governing the treatment of individuals in the course of war and armed conflict” (J.G. Starke, 1977 : 585).

Sedangkan Lautherpacht secara singkat mengatakan :

“Laws of war are the rules of the law of the nations respecting warfare” (H.

Lauther, 1955 : 226).52

Prof Mochtar Kusumaatmadja tidak memberikan definisi. Ia hanya memberikan

pembagian hukum perang, yaitu sebagai berikut.53

1. Jus ad Bellum, yaitu hukum tentang perang, yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana Negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata. 2. Jus in Bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang.

Hukum ini dibagi dua lagi, yaitu:54

1. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war), yang biasanya disebut Hague Laws.

50 Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6. 51 Ibid.

52 Ibid. 53 Ibid. 54 Ibid, h.7.

(18)

2. Hukum yang mengatur perlindungan orang- orang yang menjadi korban perang, yang lazimnya disebut Geneva Laws (Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, 1979:12).

Dengan ditandatanganinya Kongres Wina Tahun 1815, perang berlangsung menurut jeda waktu tertentu, dimana intensitasnya rendah dan rakyat tidak banyak terlibat. Pada era tersebut, praktik-praktik kebiasaan perang mulai diterapkan sebagai aturan bagi pihak- pihak yang berperang. Pada prinsipnya, praktik- praktik tersebut dimotivasi oleh keinginan negara dan pemerintah pihak- pihak yang berperang untuk mendapatkan hak- hak resiprositasnya, atau lebih singkat

diungkapkan demikian :55

“ . . . . if you and I at war, and if you don’t kill and forture your prisoner of war, I will not Kill and forture my prisoner of war either”.

Pola perang makin berkembang dari abad ke abad, hingga sampai abad ke-20. Dengan melihat pola perkembangan konflik ala abad ke-20 yang kurang memperhatikan aspek keberadaan perang dan mengabaikan keselamatan pihak non combatant maupun korban dari pihak militer, maka Palang Merah Internasional (ICRC) berupaya agar hak- hak non combatan dan tawanan perang dihargai dan dihormati dengan upaya penguatan Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law).

Hukum Humaniter Internasional merupakan cabang dari Hukum Internasional yang berlaku dalam situasi perang dan konflik bersenjata. Hukum ini diperlukan

55 T.A. Columbis and James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and

Justice, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1990, h. 262 dalam Ambarawati dkk, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta,

(19)

untuk meringankan penderitaan akibat kondisi perang dan konflik bersenjata dengan cara melindungi korban yang tidak bisa mempertahankan diri dan dengan

mengatur sarana dan metode peperangan. Aturan- aturan dasar dari HHI yaitu:56

- Ensure humane treatment to persons not taking part in hostilities - Do not kill injure protected persons

- Collect and care wounded and sick

- Respect lives and dignity of captured combatant and detained civilians - Choice of means and methods of warfare in not unlimited

Hukum Humaniter atau Hukum Konflik Bersenjata terdiri dari dua cabang utama

yaitu termuat dalam :57

- Konvensi Jenewa yang dirancang untuk melindungi personil militer yang tidak dapat lagi terlibat dalam pertempuran dan orang- orang yang tidak terlibat aktif dalam permusuhan dengan penduduk sipil.

- Hukum Den Haag yang menentukan hak dan kewajiban negara- negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer dan membatasi alat yang digunakan untuk menyerang musuh.

Konvensi Jenewa merupakan konvensi yang penerimaannya paling luas karena seluruh dunia menjadi pihak yang terikat dalam konvensi tersebut. Konferensi Internasional di Jenewa, yang merupakan realisasi dari gagasan Henry Dunant, telah berlangsung beberapa kali dan puncaknya adalah lahirnya Konvensi Jenewa tahun 1949 Tentang Perlindungan Korban Perang (International Convention for Protection of Victims of War). Konvensi ini lebih detail terdiri

dari empat bagian:58

- Konvensi Jenewa Tentang Perbaikan Keadaan yang luka dan sakit Dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat.

56 Ibid, h. xviii.

57 ICRC, Hukum Humaniter International Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Anda, 2004, h,4. dalam Ibid, h. xviii.

58 Kompas, 19 Januari 2007, h.5 dalam Ambarawati, et.all , 2009, Hukum Humaniter

(20)

- Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam

- Konvensi Jenewa Mengenai Perlakuan Tawanan Perang

- Konvensi Jenewa Mengenai Perlindungan Warga Sipil di Waktu Perang Tujuan hukum perang seperti yang tercantum dalam U.S. Army Field Manual of

The law of Landwarfare dijelaskan beberapa tujuan perang, yaitu:59

1. Melindungi baik combat maupun non-combat dari penderitaan yang tidak perlu;

2. Menjamin hak- hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh; 3. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian;

4. Membatasi kekuasaan pihak yang berperang (The Law of Landwarfare, 1969:3).

Hukum Humaniter Internasional sebagai salah satu bagian Hukum Internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi diberbagai negara. Mengurangi penderitaan korban perang tidak cukup dengan membagikan makanan dan obat-obatan, tetapi perlu disertai upaya mengingatkan para pihak yang berperang agar operasi tempur mereka dilaksanakan dalam batas- batas perikemanusiaan. Hal tersebut dapat terlaksana apabila pihak-pihak yang terkait menghormati dan mempraktikkan Hukum Humaniter Internasional (HHI) karena HHI memuat aturan tentang perlindungan korban konflik serta tentang pembatasan alat dan cara perang. Pada dasarnya Hukum Humaniter diilhami oeh nurani kemanusiaan dan keinginan untuk membatasi akibat-akibat perang. Oleh

karenanya Hukum Humaniter dapat berfungsi :60

59 Haryomataram, Loc.Cit.

60 J. Supoyo, 1996, Hukum Perang Udara dalam Humaniter, PT.Toko Gunung Agung, Jakarta, h.5.

(21)

a. Melindungi combatan dan non-combatan dari penderitaan yang tidak perlu.

b. Melindungi hak- hak dasar penduduk sipil, anggota pasukan yang terluka dan sakit, serta anggota pasukan yang tertawan.

c. Mencegah berkembangnya perang menjadi perbuatan yang biadab dan brutal.

d. Memudahkan terselenggaranya pemulihan perdamaian dan hubungan normal pihak- pihak yang berperang yang suatu saat harus tercapai.

e. Sebagai suatu perwujudan standar minimum peradaban manusia dalam pergaulan dunia sebagaimana layaknya kehidupan bangsa-bangsa yang beradab.

Keikutsertaan suatu negara dalam mempraktikkan aturan HHI atau dalam mengesahkan Perjanjian HHI (Perjanjian Internasional di bidang HHI), merupakan himbauan bagi negara-negara lainnya. Dengan kata lain, keikutsertaan suatu negara damai merupakan dorongan bagi negara-negara lainnya, termasuk bagi negara-negara yang potensial terlibat dalam perang, untuk berbuat serupa dalam menghormati dan mengikatkan diri dengan perjanjian HHI. Artinya, makin banyak negara yang mengakui norma-norma HHI makin besar pengharapan akan penghormatan dan pelaksanaan HHI oleh negara yang sedang berperang maupun yang tidak terlibat dalam peperangan. Sumber-sumber Hukum Humaniter

Internasional antara lain:61

1. Perjanjian Internasioal di Bidang Hukum Humaniter Internasional (HHI)

Sebelum pembentukan Konvensi Jenewa 1864, terdapat juga Negara- Negara yang membuat perjanjian bilateral. Biasanya mereka membuat perjanjian tukar- menukar tawanan perang. Kebanyakan perjanjian internasional HHI yang kemudian dibentuk ternyata merupakan tambahan atau penggantin yang lebih detail dari perjanjian sebelumnya. Penambahan atau pembaruan tersebut biasanya diselenggarakan setelah peristiwa-peristiwa perang tertentu dan setelah melihat adanya perkembangan militer atau teknologi yang baru.

(22)

Kelebihan atau keuntungan sebagai sumber HHI, perjanjian internasional dapat memberikan rumusan aturan yang jelas, dan mudah diterapkan. Dengan demikian, aturannya dapat dilaksanakan oleh tentara tanpa harus melakukan penelitian mendalam.

Kelemahan dari perjanjian sebagai sumber HHI, sebagaimana hukum yang berlaku terhadap setiap perjanjian internasional di bidang apapun, secara teknis perjanjian tidak dapat mengikat negara yang tidak meratifikasinya.

2. Hukum Kebiasaan Internasional

Tidak mudah menentukan atau menilai bahwa suatu norma HHI telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Statuta Mahkamah Internasional, suatu aturan hanya dapat dikatagorikan hukum kebiasaan internasional apabila telah memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu telah dipraktikkan secara umum oleh negara-negara dan telah memperoleh pendapat hukum yang mengakui ketentuan tersebut sebagai suatu keharusan. 3. Prinsip- Prinsip Hukum Umum

Mengingat yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa adalah prinsip-prinsip hukum domestik yang ada dalam segala bidang hukum, maka hanya sedikit prinsip-prinsip tersebut yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum HHI.

4. Prinsip- Prinsip Hukum Humaniter Internasional

Dibanding dengan prinsip hukum umum, hal yang lebih penting bagi HHI adalah prinsip-prinsip HHI atau yang dianggap sebagai prinsip-prinsip HHI yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu prinsip pembatasan, prinsip necessity (kepentingan), prinsip larangan yang menyebabkan penderitaan yang tak seharusnya, prinsip kemanusiaan,dan Marten’s Clause (Klausula Marten).

Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut : 1) Kemanusiaan

Prinsip- prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metode berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata. Dalam bukunya yang berjudul Development and Principles of International Humanitarian Law,Jean Pictet meninterpretasikan arti kemanusiaan sebagai berikut:

. . . penangkapan lebih diutamakan daripada melukai musuh, dan melukai musuh adalah lebih baik daripada membunuhnya; bahwa nonkombatan harus dijauhkan sedapat mungkin dari aren pertempuran; bahwa korban- korban yang luka harusdiusahakan seminimal mungkin,sehingga mereka dapat dirawat dan diobati; bahwa luka-luka yang terjadi harus diusahakan seringan- ringannya menimbulkan rasa sakit.

(23)

Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerja sama, dan perdamaian yang berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas maupun aliran politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan, memberikan prioritas kepada kasus- kasus keadaan susah yang paling mendesak.

2) Kepentingan (Necessity)

Walaupun HHI telah menetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran hanyalah sasaran militer atau obyek militer, terdapat pula ketentuan HHI yang memungkinkan suatu obyek sipil menjadi sasaran militer apabila memenuhi persyaratan tertentu. Dengan demikian, prinsip kepentingan adalah ketentuan yang menetapkan bahwa suatu obyek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu a. Obyek tersebut telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer

pihak musuh; dan

b. Tindakan penghancuran,atau penangkapan atau perlucutan terhadap obyek tersebut memang akan memberikan suatu keuntungan militer yang semestinya bagi pihak yang akan melakukan tindakan.

3) Proporsional

Dalam melakukan tindakan keras atau serangan, apapun alat dan caranya, setipa pihak yang bersengketa harus melakukannya dengan berperang pada prinsip proporsional. Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang berimbas langsung akibat serangan tersebut.

4) Pembedaan (Distinction)

Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (combatant) dengan orang sipil. Demikian, salah satu ketentuan HHI yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran. Tujuan dari prinsip pembeda ini adalah untuk melindungi warga sipil.

5) Prohibition of Causing Unnecessary Suffering (Prinsip HHI tentang Larangan Menyebabkan Penderitaan yang Tidak Seharusnya)

Ketentuan HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya, sering disebut sebagai principle of limitation (prinsip pembatasan). Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode

(24)

dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.

6) Pemisahan antara Ius Ad Bellum Dengan Ius In Bello

Pemberlakuan HHI, sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut. Contoh tentang pemisahan ius ad bellum dengan ius in bello dapat dilihat dalam Keputusan Prosecutor of International Crime Tribunal for Yugoslavia (ICTY). Keputusan tersebut adalah tentang pembentukan suatu komite yang diberi mandat untuk memberikan advice kepada prosekutor mengenai apakah ada dasar yang cukup untuk melakukan investigasi atas dugaan adanya pelanggaran HHI dalam serangan udara yang dilakukan NATO di Yugoslavia. Terlepas dari isi laporan komite tersebut, keputusan Prosekutor tersebut menunjukkan pengakuan tentang prinsip pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello.

7) Ketentuan Minimal

Dalam rangka mendorong para pihak yang berkonflik menerapkan HHI dalam situasi konflik bersenjata, HHI telah dilengkapi dengan ketentuan minimal yang harus diberlakukan dalam setiap situasi konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata noninternasional. Ketentuan minimal yang dimuat dalam Pasal 3 ketentuan yang sama dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Ketentuan minimal itu adalah sebagai berikut :

a. Orang-orang yang tidak ikut serta dalam pertempuran, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjatanya dan orang- orang yang telah tidak ikut bertempur lagi karena sakit, luka, ditahan, atau sebab lainnya, harus selalu diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan yang merugikan baik karena ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, kekayaan atau kelahiran, ataupun kriteria lain yang serupa.

b. Mereka yang tidak ikut bertempur tersebut, dalam setiap waktu dan di tempat mana pun, tidak boleh dikenakan tindakan-tindakan berikut:

i. Kekerasan terhadap kehidupan, pribadi, dan fisiknya, khususnya

pembunuhan dalam bentuk apa pun, mutilasi, perilaku kejam, dan penganiayaan;

ii. Kekerasan terhadap martabat pribadinya, khususnya penghinaan

dan perlakuan yang merendahkan; serta

iii. Pemberian hukuman dan pelaksanaan eksekusi sebelum adanya

putusan yang ditetapkan oleh suatu pengadilan yang sah yang dilengkapi dengan jaminan hukum yang diakui oleh masyarakat beradab.

c. Sebuah badan kemanusiaan yang tidak berpihak, seperti ICRC, boleh menawarkan jasanya kepada pihak yang berkonflik.

(25)

d. Pihak- pihak yang berkonflik seharusnya berusaha memberlakukan semua atau sebagian ketentuan HHI lainnya melalui perjanjian khusus.

e. Penerapan ketentuan-ketentuan HHI, khususnya pada waktu sengketa yang tidak bersifat internasional, tidak mengubah status hukum pihak-pihak yang berkonflik.

8) Tanggung Jawab Dalam Pelaksanaan dan Penegakan HHI

Melihat prinsip-prinsipnya, jelas bahwa HHI memberikan ketentuan yang mengatur tindakan negara atau pemerintahnya dan sekaligus juga langsung mengatur tingkah laku individu atau warga dari Negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, HHI wajib dihormati oleh pemerintah maupun warga dari negara yang bersangkutan.

Namun demikian, pelaksanaan dan penegakkan HHI sangat bergantung pada pemerintah negara yang bersangkutan. Salah satu kewajiban negara untuk menjamin penghormatan terhadap HHI adalah kewajiban untuk menyebarluaskan HHI, baik di kalangan militer maupun sipil. Termasuk kewajiban negara untuk membuat peraturan nasional yang memuat sanksi hukum bagi setiap orang atau

warganya yang melakukan tindakan pelanggaran HHI.62

Dalam Hukum Humaniter terdapat 3 asas yang melandasi yaitu:63

a. Asas Kepentingan Militer. Hukum Humaniter sejalan dengan prinsip kepentingan militer dalam suatu perang yaitu agar tujuan perang dapat dicapai dengan pengorbanan sumber daya manusia dan alam yang semaksimal mungkin. Tujuan suatu perang adalah agar lawan perang segera menyetujui persyaratan-persyaratan yang menjamin kepentingan nasional negara yang berkonflik. Melalui Hukum Humaniter asas kepentingan militer bisa dicapai karena:

1) kekuatan perang yang dipergunakan tetap dalam kendali negara yang menggunakan kekuatan perang tersebut.

2) Penggunaan kekuatan dapat diarahkan pada tujuan peperangan yaitu musuh menyerah secepatnya baik penyerahan sebagian atau penyerahan secara penuh.

3) Penggunaan kekuatan dan tindakan kekerasan tidak berlebihan. Kerugian pada musuh baik personil maupun harta benda tidak melampaui batas-batas yang diperlukan agar musuh segera menyerah. 4) Kekuatan penghancur yang dipergunakan dalam perang tetap dalam

batas-batas yang tidak dilarang menurut Hukum Internasional.

b. Asas Kemanusiaan. Asas ini sejalan dengan asas yang pertama yaitu tidak perlu menciptakan penderitaan yang berlebihan terhadap musuh dalam menjalankan perang. Berdasarkan asas ini Hukum Humaniter memberikan jaminan perlindungan kepada penduduk sipil, tentara yang menyerah, tawanan perang, tentara yang luka dan sakit.

c. Asas Kesatriaan. Asas ini sejalan dengan watak kehidupan prajurit untuk menjunjung tinggi sikap kehormatan prajurit. Tindakan-tindakan licik dan menyakiti lawan yang sudah tidak berdaya adalah perbuatan yang

62 Ambarawat, et.all , Op.cit, h.41- h. 52. 63 J.Supoyo, Op.cit, h.7.

(26)

mengingkari kesatriaan. Asas ini menjadikan perang atau konflik bersenjata tetap terpelihara dari kemungkinan menjurus menjadi penggunaan kekerasan secara biadab.

Melihat tujuan dibentuknya PBB dan apabila dikaitkan dengan Hukum Humaniter Internasional, sudah tentu peran PBB sangat diperlukan dalam Hukum Humaniter Internasional. Terlebih lagi apabila di dalam Hukum Humaniter terjadi banyak pelanggaran dan sudah tentu menimbulkan banyak korban dan salah satunya pada kasus Israel-Palestina yang sampai detik ini tidak kunjung menemukan titik terang. Peran PBB khususnya Dewan Kemanan sebagai ‘polisi dunia’ tampaknya telah banyak melenceng dari apa yang diharapkan. Berbagai kasus pelanggaran terhadap Hukum Internasional, HAM, maupun Hukum Humaniter menjadi tersendat- sendat penyelesaiannya karena adanya hak spesial dari negara- negara The Big Five. Kasus blokade Gaza yang dinilai melanggar HAM, Hukum Internasional, dan juga Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah satu dari sekian banyak kasus internasional yang penyelesaiannya secara hukum tidak berhasil karena lemahnya sistematika dalam tubuh PBB yang disebabkan oleh adanya hak veto.

Referensi

Dokumen terkait

Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh PBB dalam bentuk Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait ujicoba nuklir Korea Utara tanggal 12 Pebruari 2013 adalah Resolusi Dewan Keamanan

Resolusi ini menyatakan, berhubung Dewan Keamanan tidak dapat mencapai suatu kesepakatan di antara negara-negara anggota tetapnya dan gagal dalam menunaikan tugas

Pada November tahun 1967, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 242, untuk perintah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya dalam perang 6

Struktur Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa (DK-PBB) dewasa ini menuai kritik mayoritas negara dunia dan khususnya keanggotaan tetap dewan ini tidak disetujui banyak

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 XV 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada bangsa dan negara terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 XXV 24 Oktober

xxiii ABSTRAK Advisory opinion Mahkamah Internasional menyatakan bahwa secara de jure dan de facto cukup Perserikatan Bangsa – Bangsa United Nations sebagai suatu organisasi

4Leo Van Den Hole, 2003, “Anticipatory Self – Defence Under International Law”, Pembentukan Perserikatan Bangsa–Bangsa United Nations pada tahun 1946 yang didalam piagam pendiriannya