• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POTENSI KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN DATA TITIK PANAS DAN CUACA UNTUK PEMASANGAN ALAT KUALITAS UDARA DI PROVINSI RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS POTENSI KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN DATA TITIK PANAS DAN CUACA UNTUK PEMASANGAN ALAT KUALITAS UDARA DI PROVINSI RIAU"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN DATA TITIK

PANAS DAN CUACA UNTUK PEMASANGAN ALAT KUALITAS UDARA DI

PROVINSI RIAU

ANALYSIS OF POTENTIAL FOREST FIRE USING HOTSPOT AND WEATHER DATA

FOR INSTALLATION OFAIR QUALITY MONITORING SYSTEM IN RIAU

PROVINCE

Elpi Sandra Yunvi1, Indra Chandra2, Rahmat Awaludin Salam3

Program Studi S1 Teknik Fisika, Fakultas Teknik Elektro, Universitas Telkom

1elpisandrayunvi@student.telkomuniversity.ac.id , 2indrachandra@telkomuniversity.ac.id ,

3awaludinsalam@telkomuniversity.ac.id

Abstrak

Riau merupakan salah satu daerah di pulau Sumatera yang memiliki lahan gambut terluas berkisar 55,76% dari total luas di Sumatera. Hal ini menyebabkan Riau rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan akibat proses alami ataupun penyalahgunaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis suatu daerah untuk pemasangan alat kualitas udara berbasis low-cost sensor di Provinsi Riau dengan memanfaatkan data cuaca dan sebaran titik panas (hotspot). Data yang digunakan yaitu kebakaran hutan pada tahun 2015 dan 2019 yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Malaysia Dapartment of Environment (DOE) melalui Air Quality Historical Data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dengan meneliti berbagai kejadian, serta mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data. Dari proses tersebut, cuaca berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan serta sebaran titik panas (hotspot). Kebakaran hutan yang terjadi menyebabkan polusi lintas batas yang meningkatkan konsentrasi PM10 dan terjadi degradasi kualitas udara, sebagai contoh di Malaysia. Polutan dari kebakaran hutan berupa fresh (gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O) dan black carbon) dan aged (senyawa fotokimia (CO, NMVOC, NOx))

combutions. Adapun parameter ukur yang dapat digunakan yaitu temperatur, kelembapan, arah dan kecepatan

angin, Particulate Metter, sensor gas, dan sensor api. Dari hasil analisis didapatkan beberapa daerah yang direkomendasikan yaitu Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu.

Kata kunci : Cuaca, hotspot, kebakaran hutan, PM10.

Abstract

Riau is one of the areas on the island of Sumatra, which has the largest peatlands, around 55.76% of the total area in Sumatra. This leaves Riau vulnerable to forest and land fires due to natural processes or land misuse. This study aims to analyze an area for the installation of air quality devices based on low-cost sensors in Riau Province by utilizing weather data and the distribution of hotspots. The data used are forest fires in 2015 and 2019 which were obtained from the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency (BMKG), the Ministry of Environment and Forestry (KLHK), and the Malaysia Department of Environment (DOE) through Air Quality Historical Data. The method used in this research is descriptive by examining various events, as well as collecting, processing, and analyzing data. From this process, the weather affects forest and land fires and the distribution of hotspots. Forest fires that occur cause transboundary pollution which increases PM10 concentrations and degrades air quality, for example in Malaysia. Pollutants from forest fires are fresh (greenhouse gases (CO2, CH4, N2O) and black carbon) and aged (photochemical compounds (CO, NMVOC, NOx)) combutions. The measuring parameters that can be used are temperature, humidity, wind direction and speed, particulate meter, gas sensor, and fire sensor. From the analysis, it was found that several recommended areas were Bengkalis Regency, Rokan Hilir Regency, Pelalawan Regency, Siak Regency, Meranti Islands Regency, Indragiri Hilir Regency, and Indragiri Hulu Regency.

Keywords: Forest fire, hotspot, PM10, weather. 1. Pendahuluan

Salah satu isu lingkungan utama yang dialami Indonesia setiap tahunnya adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan memiliki dampak terhadap kualitas udara suatu daerah serta kesehatan masyarakat. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir kebakaran hutan di Indonesia terus meningkat dengan puncak kebakaran tertinggi terjadi pada tahun 2015 dan 2019. Riau menjadi salah satu daerah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan yang parah karena salah satu daerah yang memiliki tanah gambut terluas di Sumatera yaitu sekitar 55,76% dari total luas di Sumatera

(2)

[1,2]. Pada musim kemarau terdapat beberapa daerah yang rawan terjadi kebakaran yang disebabkan oleh aktivitas dari pihak-pihak luar yang melakukan pembukaan lahan. Pembukaan lahan dilakukan secara besar-besaran dengan cara membakar [3]. Perubahan cuaca pada musim kemarau erat kaitannya dengan kebakaran hutan. Temperatur yang meningkat akan menyebabkan bahan bakar kebakaran seperti daun, ranting, dan kayu menjadi kering. Hal tersebut menyebabkan api akan cepat menjalar dan didorong oleh curah hujan yang rendah sehingga kandungan air pada lahan gambut akan berkurang [4].

Kebakaran hutan dan lahan menghasilkan beberapa material dan partikel berupa fresh dan aged combutions [5]. Fresh combution merupakan senyawa atau partikel dari kebakaran hutan dan lahan yang belum mengalami reaksi apapun atau dengan senyawa lainnya. Fresh combution berupa gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O) dan black

carbon yang merupakan komponen partikel halus pada particulate metter (PM10 dan PM2.5). Aged combution merupakan senyawa atau partikel dari kebakaran hutan dan lahan yang telah mengalami reaksi seperti senyawa fotokimia (CO, NMVOC, NOx) [6]. Selain polutan tersebut terdapat 15 unsur yang terbagi dalam beberapa kelompok berdasarkan waktu paruh masing-masing radionuklida. Waktu paruh pendek yaitu selama 2 menit hingga 3 jam (Al, Ca, Ti, Cl, Mn), waktu paruh sedang yaitu 15 jam hingga 2 hari (As, Br, Na, K), dan waktu paruh panjang yaitu 2 hari hingga 5 tahun (Cr, Fe, Zn, Co, Sb, Se). Konsentrasi Al, Ca, Ti, Cl, dan K lebih tinggi di bandingkan konsentrasi unsur lainnya. Perbedaan konsentrasi unsur pada saat sebelum terjadinya kebakaran dan pada saat terjadinya kabut asap dikarenakan sebagian besar dihasilkan dari berbagai sumber emisi, kondensasi, dan koagulasi dalam partikulat udara seperti jaringan dari tumbuhan yang ikut terbakar serta abu dan tanah yang tersuspensi dalam partikulat udara[7].

Polusi akibat dari kebakaran hutan dan lahan yaitu berupa asap telah mengganggu kesehatan masyarakat khususnya gangguan saluran pernafasan. Masyarakat yang tinggal di tempat yang berdampak kebakaran hutan dan lahan mengalami penyakit yang menyerang saluran pernafasan yaitu batuk, sesak nafas, penyakit paru-paru, serta penyakit mata akibat debu hasil kebakaran [8]. Selain mengakibatkan gangguan kesehatan, masyarakat yang terdampak kebakaran hutan juga mengalami penurunan tingkat ekonomi yang sangat drastis dikarenakan sistem perekonomian masyarakat tidak dapat berjalan sewajarnya akibatnya akses transportasi dan penyediaan bahan baku pun terhambat. Transportasi yang menjadi pusat utama perekonomian masyarakat mengalami kelumpuhan total akibat gangguan asap. Masyarakat terdampak kebakaran hutan dan lahan tidak dapat melakukan kegiatan perjalanan jarak jauh akibat ditutupnya transportasi udara maupun darat yang diakibatkan oleh gangguan asap yang membuat transportasi antar kota maupun antar provinsi tidak dapat beroperasi selama kebakaran hutan dan lahan terjadi [9].

Di Provinsi Riau terdapat stasiun yang di Kelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melihat indeks standar pencemar udara (ISPU). Stasiun tersebut berada di beberapa daerah yaitu di kota Pekanbaru terdapat 3 stasiun Kota Pekanbaru terdapat 3 stasiun (KLHK, CRF-1, CRF-8), Kabupaten Siak terdapat 1 stasiun (CRF-2), Kabupaten Kampar terdapat 1 stasiun (CRF-3), Kota Dumai terdapat 1 stasiun (CRF-4), Kabupaten Bengkalis terdapat 2 stasiun (CRF-5, CRF-6), dan Kabupaten Rokan Hilir terdapat 1 stasiun (CRF-7). Parameter ukur yang terdapat pada stasiun tersebut adalah PM10, SO2, CO, NO2, dan O3 [10].

Pada tahun 2017 dilakukan penelitian tentang efek dari kebakaran hutan pada tahun 2015 di Malaysia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa degradasi kualitas udara yang terjadi disebabkan oleh transportasi polusi transnasional dari kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia [11]. Kemudian pada tahun 2019 di lakukan penelitian tentang analisis tren polusi udara jangka panjang di Malaysia. Penelitian tersebut berdasarkan dari model HYSPLIT mengidentifikasi bahwa pembakaran biomassa di Sumatera, Indonesia terkait dengan sumber polusi lintas batas atau transboundary pollution di Malaysia pada bulan Oktober dan November 2015 [12].

Berdasarkan dari penelitian tersebut bahwa sumber polusi lintas batas atau transboundary pollution berasal dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Maka pada penelitian kali ini dilakukan analisis potensi kebakaran hutan dengan menggunakan data titik panas (hotspot) dan iklim untuk pemasangan alat kualitas udara di Provinsi Riau. Analisis dilakukan dengan menggunakan data titik panas, cuaca, dan kualitas udara pada tahun 2015 dan 2019. Pemasangan alat kualitas udara tersebut ditujukan untuk menjadi alat peringatan dini kebakaran hutan dan dapat dijadikan data pendukung dari stasiun yang sudah ada. Penggunaan alat berbasis low-cost sensor dikarenakan mampu mengukur konsentrasi partikel secara cepat dan realtime. Selain itu sifatnya yang mudah dioperasikan, mudah dibawa, dan biaya operasional yang murah sehingga dapat diaplikasikan pada skala yang lebih luas.

2. Data dan Metodologi Penelitian 2.1 Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data cuaca, sebaran titik panas (hotspot), dan kualitas udara di Provinsi Riau dan Malaysia pada tahun 2015 dan 2019. Data cuaca dan kualitas udara di Provinsi Riau diperoleh dari arsip data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di stasiun pengamatan yang terdapat di bandara Sultan Syarif Qasim II Pekanbaru pada website https://dataonline.bmkg.go.id. Data sebaran titik panas (hotspot) diperoleh dari site sistem pemantauan kebakaran hutan dan lahan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui website http://sipongi.menlhk.go.id. Lalu data kualitas udara Malaysia diperoleh

(3)

dari Dapartement of Environment (DOE) Malaysia melalui Air Quality Historical Data pada website

https://aqicn.org/data-platform/register/.

2.2 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu suatu kejadian diteliti kemudian mengumpulkan data, mengolah data, dan menganalisis data sehingga data yang dihasilkan dapat menginterpretasikan potensi kebakaran hutan dan lahan menggunakan data titik panas (hotspot) dan cuaca untuk pemasangan alat kualitas udara di Provinsi Riau.

Pengumpulan data cuaca berupa curah hujan, temperatur, dan kelembapan untuk melihat pengaruh cuaca terhadap kebakaran hutan yang terjadi. Selanjutnya mengumpulkan data sebaran titik panas (hotspot) untuk diolah ke dalam bentuk grafik agar dapat mengetahui pola dan puncak dari titik panas (hotspot) terbanyak selama tahun 2015 dan 2019 di Provinsi Riau. Langkah selanjutnya yaitu mengumpulkan data polutan yang dihasilkan dari kebakaran hutan kemudian diolah ke dalam bentuk grafik untuk melihat perubahan konsentrasi massa dari polutan pada saat sebelum, sedang, dan setelah kejadian kebakaran hutan.

Pengumpulan data arah angin, kecepatan angin, dan tekanan aliran udara untuk diolah ke dalam bentuk

windrose agar dapat mengetahui arah sebaran polutan dari kebakaran hutan yang kemudian di validasi dengan back trajectory dari HYSPLIT MODEL. Menganalisis data cuaca, sebaran titik panas (hotspot), dan polutan hasil

kebakaran hutan dan lahan yang terjadi untuk mendapatkan hasil berupa rekomendasi daerah beserta parameter ukur yang akan digunakan untuk alat kualitas udara berbasis low-cost sensor di Provinsi Riau sebagai early

warning system atau peringatan dini dan sebagai pemantau kualitas udara di daerah tersebut.

3. Pembahasan

3.1. Cuaca Provinsi Riau

Berdasarkan data cuaca dari Provinsi Riau tahun 2015 dan 2019, cuaca dari kedua tahun tersebut tidak jauh berbeda. Pola hujan yang terjadi pada tahun 2015 dan tahun 2019 pada Gambar 1 relatif sama. Pada tahun 2015 curah hujan mulai menurun pada bulan April hingga bulan Oktober. Pada rentang bulan tersebut merupakan musim kemarau. Namun pada bulan Agustus 2015 terjadi peningkatan pada curah hujan, hal ini disebabkan pada bulan tersebut di lakukannya teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan adanya hujan buatan. TMC tersebut dilakukan karena pada bulan Juli hingga Agustus tersebut jumlah curah hujan yang terjadi berada dalam bawah batas normal. Sedangkan pada tahun 2019, curah hujan mulai menurun pada bulan Juli hingga bulan September. Puncak rendahnya curah hujan pada tahun 2019 yaitu pada bulan Agustus dan kembali naik pada bulan Oktober. Curah hujan tersebut juga akan mempengaruhi temperatur dan kelembaban. Pola dari temperatur dan kelembaban berbanding lurus dengan curah hujan yang terjadi. Ketika curah hujan rendah maka temperatur akan naik dan kelembaban akan turun begitu sebaliknya ketika curah hujan tinggi maka temperatur akan turun dan kelembaban akan naik.

Gambar 1. Cuaca di Provinsi Riau pada 2015 dan 2019 [13].

(4)

Arah angin pada tahun 2015 dan 2019 memiliki kesamaan yaitu dominan berasal dari arah Selatan. Pada Gambar 2 terlihat bahwa arah angin tahun 2015 dominan berasal dari Selatan dan dari arah Timur dengan kecepatan rata-rata 1-2 m/s. Kemudian pada tahun 2019 terlihat bahwa arah angin dominan berasal dari Selatan dan Utara dengan kecepatan rata-rata 1-3 m/s. Arah angin tersebut berpengaruh pada sebaran api yang ada ketika terjadi kebakaran sehingga dapat memperluas area kebakaran hutan dan lahan pada suatu tempat atau daerah. Tidak hanya memperluas area kebakaran, pergerakan angin juga berpengaruh terhadap penyebaran polutan dari kebakaran hutan dan lahan [14].

Gambar 2. Arah angin tahun 2015 dan tahun 2019 [13].

3.2 Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot)

Data sebaran titik panas (hotspot) dari tahun ke tahun terdapat pola yang sama. Pada Gambar 3 merupakan sebaran titik panas bulanan yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2019. Diketahui bahwa tahun 2015 dan 2019 merupakan tahun yang memiliki titik panas tertinggi selama 5 tahun terakhir. Tahun 2015 titik panas (hotspot) mulai meningkat pada bulan Juni hingga puncaknya yaitu pada bulan September. Sedangkan pada tahun 2019 titik panas (hotspot) mulai meningkat pada bulan Juli hingga puncaknya yaitu pada bulan September. Kedua tahun ini memiliki pola yang sama yaitu mengalami kenaikan titik panas (hotspot) dan puncak titik panas (hotspot) bulan September dan kembali menurun ketika bulan Oktober.

Gambar 3. Titik-titik panas bulanan di Indonesia pada tahun 2015 hingga 2019 [15].

Pada Gambar 4 merupakan perbandingan curah hujan dengan sebaran titik panas (hotpost) pada tahun 2015 dan 2019. Curah hujan yang terjadi dapat mempengaruhi jumlah dari sebaran titik panas (hotspot). Ketika curah hujan dalam kondisi rendah maka jumlah sebaran titik panas (hotspot) meningkat. Puncak dari titik panas terjadi pada bulan Juli untuk tahun 2015 dan pada bulan September untuk tahun 2019. Puncak titik panas (hotspot) dan rendahnya curah hujan terjadi pada musim kemarau. Dalam hal ini curah hujan dapat menekan sebaran titik panas (hotspot) yang ada.

0 0,1 0,2 0,3 0,4 N NE E SE S SW W NW

Arah Angin Tahun 2019

4 m/s 3 m/s 2 m/s 1 m/s 0 m/s 0 0,1 0,2 0,3 0,4 N NE E SE S SW W NW

Arah angin 2015

2 m/s 1 m/s 0 m/s

(5)

Gambar 4. Perbandingan curah hujan dan titik panas bulanan di Provinsi Riau pada tahun 2015 dan 2019 [13,15].

3.3 Polusi Lintas Batas (Transboundary Polution)

Malaysia merupakan salah satu Negara tetangga yang terdampak dari polusi lintas batas (transboundary

pollution) [7]. Transboundary pollution tersebut diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan yang berasal dari

Sumatera, Indonesia. Selain bersumber dari polusi lokal, hal tersebut menyebabkan terjadinya degradasi pada kualitas udara di Malaysia [8]. Pada Gambar 5 menunjukkan Air Quality Index (AQI) Malaysia pada tahun 2015 dari beberapa stasiun yang terdapat di Malaysia mengalami kenaikan signifikan pada bulan September hingga Oktober. Pada bulan tersebut AQI Malaysia berada pada rentang tidak sehat dan bahkan mencapai rentang sangat tidak sehat. Meningkatnya AQI pada bulan tersebut bertepatan dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Gambar 5. Air Quality Index Malaysia tahun 2015 [16].

(6)

Gambar 6 merupakan perbandingan konsentrasi PM10 Riau dan Malaysia pada bulan September dan bulan Oktober, di mana pada bulan tersebut terjadi kebakaran hutan dan lahan. Pada gambar tersebut terdapat dua delay yang terjadi antara konsentrasi PM10 di Riau dan Malaysia. Delay terjadi yaitu selama satu hari antara pengukuran konsentrasi PM10 di Riau dan Malaysia. Ditinjau dari back trajectory dengan menggunakan NOAA HYSPLIT MODEL, konsentrasi PM10 yang mengalami delay pada bulan September salah satu sumbernya berasal Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Hal ini dapat dipengaruhi oleh arah angin dan tekanan aliran udara sehingga polutan dari hasil kebakaran tidak langsung terdeteksi oleh pengukuran di Malaysia. Sedangkan delay yang terjadi di bulan Oktober ditinjau dari back trajectory dengan menggunakan NOAA HYSPLIT MODEL, konsentrasi PM10 yang mengalami delay tidak hanya berasal dari Provinsi Riau. Polutan tersebut bersumber dari kebakaran hutan dan lahan lainnya yang juga di pengaruhi oleh arah angin dan aliran udara. Angin dari aliran udara akan bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Sehingga emisi dari kebakaran hutan yang telah mengalami transformasi bereaksi secara kimia dengan senyawa yang terdapat di atmosfer akan terbawa ke suatu daerah yang mana tekanan aliran udaranya lebih rendah dari pada tekanan aliran udara pada sumber emisi kebakaran hutan.

Pada bulan Oktober terdeteksi pada pengukuran dua puncak dari konsentrasi PM10, yaitu pada tanggal 4 Oktober dan 23 Oktober. Ditinjau dari back trajectory dengan menggunakan NOAA HYSPLIT MODEL diketahui bahwa puncak konsentrasi PM10 yang terdeteksi di Malaysia pada tanggal 4 Oktober salah satunya dari berasal dari daerah yang ada di Provinsi Riau yaitu Kabupaten Rokan Hilir. Sedangkan puncak yang terdeteksi di Malaysia pada tanggal 23 Oktober yang ditinjau dari back trajectory menggunakan NOAA HYSPLIT MODEL bukan bersumber dari Provinsi Riau.

Gambar 7. Konsentrasi PM10 pada bulan Oktober 2015 [16].

3.4 Material yang Dirilis Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan yang terjadi menghasilkan polutan berupa fresh combution yang mana gas atau senyawa hasil kebakaran hutan belum mengalami reaksi apapun seperti gas rumah kaca dan black carbon (BC). Selain itu juga menghasilkan aged combution yaitu gas atau partikel yang dihasilkan dari kebakaran hutan telah mengalami reaksi kimia seperti reaksi fotokimia yaitu NMVOC, NOx dan CO. Selain polutan tersebut kebakaran hutan secara umum juga menghasilkan beberapa polutan lain seperti pada tabel berikut.

Tabel 1. Jenis polutan dari hasil kebakaran hutan secara umum [17].

Komposisi Persentase

Karbon Dioksida (CO2) 71,44%

Uap Air (H2O) 20,97%

Karbon Monoksida 5,52%

Particulate Metter <2.5 µg (PM2.5) 0,47%

Nitric Oxide (NO) 0,39%

Metana (CH4) 0,27%

Volatile Organic Compounds (VOCs) 0,24%

Karbon Organik (OC) 0,24%

Particulate Metter >10 µg (PM10) 0,17%

PM2.5-10 0,09%

Elemental Karbon (EC) 0,02%

3.5 Rekomendasi Daerah

Rekomendasi daerah ini merupakan beberapa daerah yang nantinya akan dipasang alat kualitas udara berbasis

(7)

yang terjadi pada daerah-daerah yang direkomendasikan tersebut. Pada Tabel 2 merupakan daerah-daerah yang telah di urutkan berdasarkan luas kebakaran hutan, jumlah titik panas, dan luas lahan gambut. Lahan gambut tersebut merupakan salah satu bahan bakar ketika terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang dapat membuat api semakin menjalar. Kemudian titik panas atau hotspot ini merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan pada suatu daerah.

Tabel 2. Urutan rekomendasi daerah untuk pemasangan alat kualitas udara berbasis low-cost sensor. No. Kabupaten / Kota Luas Wilayah

(km2) Luas Gambut (Ha) Jumlah Titik Panas Luas Kebakaran Hutan (Ha)* 1. Bengkalis 6.975,41 1.240,12 279 1.756,78 2. Rokan Hilir 8.881,59 734,05 309 1.215,95 3. Pelalawan 12.758,45 904,461 562 344 4. Siak 8.275,18 735,835 193 785,7 5. Kepulauan Meranti 3.707,84 680,414 154 349,7 6. Indragiri Hilir 12.614,78 1.267,24 548 827,35 7. Indragiri Hulu 7.723,80 225,635 210 386,1 8. Dumai 1.623,38 298,521 94 325,25 9. Kampar 10.983,47 153,811 64 225,53 10. Pekanbaru 632,27 42,266 1 169,62 11. Rokan Hulu 7.588,13 117,645 6 34,25 12. Kuantan Singingi 5.259,36 0 11 15,1

*data luas kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau Januari hingga September 2019

Berdasarkan data dari luas kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019, jumlah titik panas, dan luas lahan gambut terdapat 7 daerah yang dapat direkomendasikan sebagai daerah pemasangan alat kualitas udara berbasis

low-cost sensor di Provinsi Riau. Daerah-daerah tersebut adalah daerah yang rentan terjadinya kebakaran hutan

dan lahan. Daerah-daerah yang direkomendasikan tersebut adalah Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu.

4. Kesimpulan

Potensi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dapat diketahui dari data parameter-parameter kebakaran hutan dan lahan yaitu dari luas sebaran lahan gambut daerah tersebut, jumlah titik panas atau hotspot, kenaikan temperatur, menurunnya curah hujan dan kelembapan. Pemasangan alat kualitas udara dimaksudkan untuk dapat dijadikan early warning system kebakaran hutan dan lahan pada daerah yang memiliki potensi kebakaran hutan yang tinggi yaitu dengan mendeteksi jumlah polutan hasil kebakaran hutan yang melebihi batas ambang. Adapun hasil analisa berdasarkan dengan data yang diperoleh didapatkan beberapa daerah yang direkomendasikan untuk pemasangan alat kualitas udara berbasis low-cost sensor. Adapun parameter ukur yang dapat digunakan yaitu temperatur, kelembapan, arah dan kecepatan angin, Particulate Metter, sensor gas, dan sensor api. Daerah yang direkomendasikan yaitu Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu.

Referensi:

[1] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) Per Provinsi Di Indonesia Tahun 2015-2020.” http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran. (accessed Jul. 04, 2020).

[2] Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut, “Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional (Skala 1:250.000).”

http://pkgppkl.menlhk.go.id/v0/kesatuan-hidrologis-gambut-nasional-skala-1250-000/. (accessed Jul. 25, 2020).

[3] T. Handayani, A. J. Santoso, and Y. Dwiandiyanta, “Pemanfaatan Data Terra Modis untuk Identifikasi Titik Api Pada Kebakaran Hutan Gambut (Studi Kasus Kota Dumai Provinsi Riau),” Semin. Nas. Teknol.

Inf. dan Komun., vol. 2014, no. Sentika, pp. 2089–9813, 2014, [Online]. Available: https://fti.uajy.ac.id/sentika/publikasi/makalah/2014/(54).pdf.

(8)

Indonesia,” Sumatera Utara, 2001.

[5] C. Bhattarai et al., “Physical and chemical characterization of aerosol in fresh and aged emissions from open combustion of biomass fuels,” Aerosol Sci. Technol., vol. 52, no. 11, pp. 1266–1282, 2018, doi: 10.1080/02786826.2018.1498585.

[6] S. P. Urbanski, W. M. Hao, and S. Baker, “Chapter 4 Chemical Composition of Wildland Fire Emissions,”

Dev. Environ. Sci., vol. 8, no. 08, pp. 79–107, 2008, doi: 10.1016/S1474-8177(08)00004-1.

[7] I. Kusmartini, N. Adventini, D. K. Sari, S. Kurniawati, D. D. Lestiani, and M. Santoso, “Karakterisasi Unsur Pm 2,5 Pada Periode Kebakaran Hutan Di Pekanbaru Dengan Teknik Analisis Aktivasi Neutron,”

J. Sains dan Teknol. Nukl. Indones., vol. 20, no. 1, p. 29, 2019, doi: 10.17146/jstni.2019.1.1.4655.

[8] A. Hermawan, M. Hananto, and D. Lasut, “Increasing Air Pollution Index and Respiratory Problems in Pekanbaru,” J. Ekol. Kesehat., vol. 15, no. 2, pp. 76–86, 2016.

[9] D. W. Chandra, “ANALISIS DAMPAK BENCANA KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TERHADAP PDRB SEKTOR TRANSPORTASI ANGKUTAN UDARA DI PROVINSI RIAU TAHUN 2005 – 2014,” 2017.

[10] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Daftar Stasiun.” http://iku.menlhk.go.id/aqms/. [11] M. I. Mead et al., “Impact of the 2015 wildfires on Malaysian air quality and exposure: A comparative

study of observed and modeled data,” Environ. Res. Lett., vol. 13, no. 4, 2018, doi: 10.1088/1748-9326/aab325.

[12] J. Sentian, F. Herman, C. Y. Yih, and J. C. Hian Wui, “Long-term air pollution trend analysis in Malaysia,”

Int. J. Environ. Impacts Manag. Mitig. Recover., vol. 2, no. 4, pp. 309–324, 2019, doi:

10.2495/ei-v2-n4-309-324.

[13] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika “Data Iklim Harian.” https://dataonline.bmkg.go.id

(accessed Oct. 25, 2020).

[14] I. Sofiati, “Penyebaran polutan dari kebakaran hutan dan isu pencemaran udara di Malaysia,” Ber.

Dirgant., vol. 11, no. 2, pp. 42–46, 2010, [Online]. Available:

http://jurnal.lapan.go.id/index.php/berita_dirgantara/article/view/1172.

[15] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Sebaran Titik Panas.”

http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/sebaran_arsip. (accessed Jul. 04, 2020).

[16] “Air Quality Historycal Data.” https://aqicn.org/data-platform/register/. (accessed Oct. 25, 2020). [17] National Research Council. 2004. Air Quality Management in the United States. Washington, DC: The

Gambar

Gambar 1. Cuaca di Provinsi Riau pada 2015 dan 2019 [13].
Gambar 2. Arah angin tahun 2015 dan tahun 2019 [13].
Gambar 4. Perbandingan curah hujan dan titik panas bulanan di Provinsi Riau pada tahun 2015 dan 2019  [13,15]
Gambar  6  merupakan  perbandingan  konsentrasi  PM 10   Riau  dan  Malaysia  pada  bulan  September  dan  bulan  Oktober, di mana pada bulan tersebut terjadi kebakaran hutan dan lahan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Banyuasin Tahun Anggaran 2014, berdasarkan Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung Nomor.. 10.04/PP.I/Disbun-01/2014 Tanggal 23 Mei 2014 dan Surat Penetapan Penyedia

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif tersebut penulis melakukan penelitian untuk menghasilkan data deskriptif terkait dengan strategi rekrutmen kader yang diterapkan

Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Penyelesaian utang piutang mura&gt;bah}ah pada pembiayaan mikro di BRI Syariah Kantor Cabang Induk Gubeng Surabaya yaitu dengan

Streptozotocin-induced diabetes alters the serum lipid profiles of adult wistar rats.. Effect of hyperglycemia and hiperlipidemia on atherocclerosis in

Pengukuran tingkat capaian kinerja Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan tahun 2017 dilakukan dengan cara membandingkan antara target pencapaian indikator

Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf yang

Reaksi Glukosa dengan Reagen Benedict (WHO, 2012).. Memasukkan 5 ml reagen Benedict ke dalam tabung reaksi. Kemudian meneteskan sebanyak 5-8 tetes urin ke dalam tabung tersebut dan

LHA sebuah benda angkasa adalah sebagian busur dari katulistiwa angkasa, Dihitung dari derajah atas, kearah Barat, sampai titik potong lingkaran Zawal Benda angkasa itu di