1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini sebagian besar masyarakat di dunia telah memahami mengenai arti penting kesehatan, baik kesehatan diri sendiri maupun kesehatan lingkungan. Arti penting dari kesehatan ini tertuju dari kerugian-kerugian yang didapatkan bila kesehatan tersebut hilang seperti tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik. Kesehatan sendiri menurut Undang-Undang No.36 Tahun 2009 merupakan suatu keadaan yang sehat baik itu sehat secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonimis.
Kesehatan ini erat kaitannya dengan berbagai macam penyakit dimana penyakit ini menimbulkan berbagai macam tingkatan kesehatan dari yang sehat hingga tidak sehat. Konsep dasar terjadinya penyakit ini dikarenakan interaksi tiga element yaitu agent (sebagai penyebar penyakit), host (sebagai tempat bersarangnya penyakit), dan lingkungan (sebagai media transmisi yang mendukung terjadinya penyakit). Salah satu penyakit yang sebenarnya patut untuk diperhatikan adalah penyakit kecacingan. Penyakit kecacingan ini merupakan penyakit menular yang ditularkan oleh cacing sebagai agent yang menggunakan tanah sebagai media siklus hidupnya atau yang biasa disebut dengan Soil Transmitted Helminth (STH). Terdapat 4 (empat) jenis cacing yang termasuk ke dalam Soil Transmitted Helminth dan biasa menginfeksi manusia yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus and Ancylostoma duodenale.
Infeksi yang disebabkan penyakit kecacingan yang termasuk ke dalam kelompok STH ini banyak terjadi dan tersebar di berbagai penjuru dunia dengan tingkat prevalensi rendah hingga tinggi. Tercatat bahwa
2 penderita dari penyakit ini lebih dari 2 miliar orang di dunia pada tahun 2009 menurut World Health Organization (WHO) seperti penderita infeksi Ascaris lumbricoides berjumlah sekitar 807 juta manusia dan sekitar 604 juta menderita Trichuris trichiura. Jumlah infeksi penyakit kecacingan ini sangat banyak ditemui di daerah beriklim tropis dan sub-tropis seperti pada negara Afrika, India, dan juga Indonesia (terlihat pada gambar 1.1), dimana banyak anak-anak yang menjadi penderita dari kasus kecacingan ini yaitu yang berumur sekitar 5 tahun hingga 14 tahun.
Gambar 1.1 Persebaran Penyakit Kecacingan Soil Transmitted Helminth di
Dunia Tahun 2011 (sumber: WHO, 2014)
Kasus penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth di Indonesia sendiri termasuk cukup tinggi dimana menurut WHO negara Indonesia termasuk ke dalam sepuluh negara di dunia dengan kasus kecacingan Soil Transmitted Helminth pada tahun 2009. Menurut Sumanto (2010), angka prevalensi kasus kecacingan Soil Transmitted Helminth di Indonesia pada tahun 2006 saja sebesar 32,6%. Dimana prevalensi pada salah satu desa di Provinsi Bali yaitu Desa Suter sebesar 21,57% dan di Bangunjiwo, Bantul ditemukan kasus sebesar 63,8%. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia terutama Asia timur dan selatan lainnya, pada tahun 2009 negara Indonesia berada pada peringkat
3 kedua dengan nilai prevalensi sebesar 15% setelah India dengan nilai 64% untuk kasus kecacingan Soil Transmitted Helminth. Sedangkan pada peringkat ketiga merupakan negara Bangladesh dengan prevalensi 13% (terlihat pada Gambar 1.2).
Gambar 1.2 Diagram Persentase Kasus Kecacingan Soil Transmitted Helminth
di Sebagian Asia Tahun 2009 (sumber: WHO, 2014)
Prevalensi penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth di beberapa kabupaten di Indonesia pada tahun 2012 berkisar antara 0% hingga 76,67% (Direktorat Jendral PP & PL, 2013). Kabupaten dengan prevalensi terendah yaitu 0% adalah Kota Yogyakarta, sedangkan kabupaten dengan prevalensi kecacingan tertinggi berada di Kabupaten Gunung Mas (76,67%). Prevalensi yang tinggi juga berada pada Kabupaten Lebak (62%), Kabupaten Batanghari (58,18%), dan Kabupaten Karangasem (51,27%). Prevalensi yang terdapat di DI Yogyakarta termasuk cukup tinggi dimana tingkat prevalensi tidak berbeda jauh di setiap kabupaten (kecuali Kota Yogyakarta). Tingkat prevalensi dapat terlihat pada gambar 1.3, dimana tingkat prevalensi kecacingan Soil Transmitted Helminth paling tinggi berada di Kabupaten Bantul sebesar 28,67%. Tingginya kasus kecacingan di Kabupaten
4 tersebut dapat dikarenakan tingginya kontak langsung masyarakat dengan tanah seperti pekerjaan bertani dan berladang padahal Kabupaten Bantul merupakan kabupaten yang secara umum kondisinya mendukung untuk cacing Soil Transmitted Helminth dapat hidup.
Gambar 1.3 Tingkat Prevalensi Kecacingan Soil Transmitted Helminth di DI
Yogyakarta (sumber: Direktorat Jendral PP & PL, 2013 ; Nugroho, 2010)
Penanggulangan yang diupayakan untuk pemberantasan penyakit kecacingan STH ini sendiri telah dilakukan dengan seksama dimana hasil yang didapatkan cukup memuaskan dengan berkurangnya angka prevalensi setiap tahunnya hingga tahun 2014. Namun, meskipun begitu masih terdapat beberapa daerah yang mempunyai tingkat prevalensi yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan kasus penyakit STH ini masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat dan kurang terpantau oleh petugas medis yang terdapat di daerah tersebut. Salah satu alasannya karena penyakit kecacingan ini merupakan penyakit yang tersembunyi dan dianggap sebagai penyakit yang tidak membahayakan.
Dampak yang diakibatkan dari infeksi cacing STH tersebut sebenarnya tidak menimbulkan penyakit yang mewabah besar-besaran namun menggrogoti secara perlahan dan jika sudah masuk ke dalam tubuh manusia dapat menimbulkan masalah kesehatan lainnya seperti menurunnya produktivitas, kekurangan gizi, kekurangan darah (anemia),
0% 21,78% 12,90% 11% 28,67% Kota Yogyakarta Sleman Kulon Progo Gunung Kidul Bantul
5 bahkan hingga terjadi kematian. Sehingga perlu adanya kajian atau penelitian yang membahas mengenai penyakit kecacingan STH ini. Hal tersebut dikarenakan masih sedikit penelitian terutama dari dunia kesehatan untuk mengangkat tema mengenai kesehatan penyakit ini, meskipun penyakit ini sebenarnya penting untuk dikaji.
Kegiatan mengkaji baik mengidentifikasi maupun hingga memonitoring suatu kejadian yang dalam hal ini dapat digambarkan sebagai kejadian yang berhubungan dengan kesehatan dapat menggunakan data Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Keunggunalan penginderaan jauh ini menurut Sutanto (1994), data penginderaan jauh dapat menggambarkan obyek, daerah, dan fenomena di permukaan bumi dengan wujud dan letak meskipun wilayah kajiannya luas, beberapa data penginderaan jauh dapat menggambarkan secara tiga dimensional, karakteristik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan sehingga dapat dilakukan pengenalan mengenai obyek tersebut, dan data penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik suatu daerah dengan cepat meskipun sulit djangkau serta ketersediaan data secara periodik.
Kelebihan dari data Penginderaan Jauh dan SIG ini juga dapat menganalisis suatu kejadian atau suatu fenomena secara spasial sehingga fenomena penyakit yang berada di suatu wilayah yang luas dapat dianalisis secara menyeluruh. Peran Penginderaan Jauh dan SIG dalam kajian kesehatan sendiri sudah banyak ditemukan seperti peran untuk mengidentifikasi persebaran penyakit secara geografis, menganalisis secara spasial dengan memperhatikan tren penyakit dan temporal, memetakan risiko penyakit di masyarakat, mengetahui faktor-faktor risiko, dan melakukan pemantauan, serta pengendalian penyakit secara periodik. Tidak hanya melihat dari satu sudut pandang atau faktor, penginderaan jauh juga dapat melihat dari sudut pandang atau faktor yang lain, sehingga memungkinkan analisis gabungan menggunakan data penginderaan jauh ini.
6 Penyakit kecacingan ini sendiri disisi lain berhubungan dengan kondisi dan karakteristik tanah dalam siklus hidupnya dimana cacing STH hanya dapat hidup dalam karakteristik tanah tertentu. Hal tersebut membuka peluang Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengkaji lebih dalam mengenai penyakit kecacingan yang masuk ke dalam kelompok Soil Transmitted Helminth ini. Peluang PJ dan SIG ini merupakan salah satu aplikasi untuk mengkaji kesehatan yang banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Pemanfaatan PJ dan SIG disini dapat digunakan dalam mengidentifikasi karakteristik tanah sebagai media hidup cacing dan mengetahui persebaran penyakit kecacingan ini.
1.2. Rumusan Masalah
Pengaruh penyakit kecacingan yang termasuk ke dalam STH sangat besar bagi kehidupan sehari-hari masyarakat dimana penyakit ini berdampak untuk jangka panjang, namun sayangnya perhatian akan penyakit ini masih sangat kurang yang dikarenakan penyakit ini merupakan penyakit yang jarang menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan dianggap sebagai penyakit yang tidak berat. Meskipun begitu penggunaan data penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengetahui persebaran dari penyakit kecacingan yang termasuk STH ini secara spasial dengan menghubungkan media hidup dari penyakit STH tersebut.
Rumusan masalah yang dapat diuraikan dari penjabaran masalah-masalah yang telah ada adalah:
a. Penggunaan data Penginderaan Jauh dan SIG dapat digunakan untuk mengetahui jenis dan karakteristik tanah melalui pendekatan geomorfologi, namun kajian penggunaan data penginderaan jauh untuk mengidentifikasi jenis dan karakteristik tanah melalui pendekatan geomorfologi di daerah penelitian belum banyak dilakukan.
7 b. Cacing yang termasuk STH mengandalkan tanah sebagai media siklus hidupnya sehingga penularan besar terjadi melalui media tanah, meskipun begitu masih harus dikaji lebih dalam mengenai kesesuaian tanah sebagai media hidup cacing yang termasuk ke dalam kelompok Soil Transmitted Helminth ini.
c. Persebaran penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth melalui karakteristik tanah dapat diketahui secara spasial, meskipun begitu analisis mengenai hubungan antara persebaran penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth dengan karakteristik tanah masih sangat kurang.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan tersebut, maka perlu diadakannya penelitian mengenai persebaran penyakit kecacingan yang termasuk STH dengan menggunakan bantuan penginderaan jauh untuk salah satu sumber datanya sehingga dapat digambarkan secara spasial serta hubungannya dengan media siklus hidupnya. Maka penulis mengambil judul penelitian “Analisis Spasial Penyakit Kecacingan Soil Transmitted Helminth Dengan Karakteristik Tanah Melalui Pendekatan Geomorfologi Di Kabupaten Bantul”.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana Penginderaan Jauh dan SIG dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan karakteristik tanah melalui pendekatan geomorfologi di Kabupaten Bantul?
2. Bagaimana kesesuaian tanah sebagai media hidup cacing yang termasuk ke dalam Soil Transmitted Helminth di Kabupaten Bantul? 3. Apakah persebaran penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth
mempunyai hubungan dengan karakteristik tanah di Kabupaten Bantul?
8 1.4. Tujuan
1. Mengidentifikasi jenis dan karakteristik tanah melalui pendekatan geomorfologi menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG di Kabupaten Bantul.
2. Mengidentifikasi kesesuaian tanah sebagai media hidup cacing Soil Tensmitted Helminth di Kabupaten Bantul.
3. Mengetahui hubungan antara persebaran penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth dengan karakteristik tanah di Kabupaten Bantul.
1.5. Sasaran Penelitian
1. Peta jenis dan karakteristik tanah melalui pendekatan geomorfologi di Kabupaten Bantul.
2. Peta kesesuaian tanah sebagai media hidup cacing Soil Transmitted Helminth di Kabupaten Bantul.
3. Hubungan antara persebaran penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth dengan karakteristik tanah di Kabupaten Bantul.
1.6. Manfaat Penelitian
1. Memberikan data jenis dan karakteristik tanah melalui pendekatan geomorfologi dan serta data persebaran penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth di Kabupaten Bantul secara spasial dalam bentuk peta.
2. Menemukan hubungan antara geomorfologi, jenis dan karakteristik tanah, serta persebaran penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.
3. Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya terutama bagi pengembangan ilmu Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis yang berkaitan dengan kesehatan.