BAB IV
GAMBARAN PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
4.1.1. Biografi Joshua Oppenheimer
Joshua Lincoln Oppenheimer (lahir 23 September 1974 di Texas, Amerika Serikat) adalah sutradara film berkebangsaan Amerika dan Inggris tinggal di Copenhagen, Denmark.
Film karya Oppenheimer mengaburkan batas antara fiksi dan dokumenter. Dipengaruhi oleh montase eksperimental gurunya, Dusan Makavejev, film panjang pertamanya The Entire History of the Louisiana Purchase (1997) memenangi penghargaan Gold Hugo pada Chicago International Film Festival (1998) dan di putar perdana pada Telluride Film Festival 1997.
Dari tahun 2001 sampai 2012, Oppenheimer membuat beberapa film di Indonesia. Film terbaru Joshua Oppenheimer adalah dwilogi Senyap dan Jagal atau dalam bahasa Inggris The Look of Silence dan The Act of Killing (2012/2014). Film Jagal diputar pertama kali pada Telluride Film Festival 2012, dan Senyap pada Venice International Film Festival 2024. Sejak pemutaran perdana film ini telah memenangkan banyak penghargaan internasional, termasuk Panorama Audience Award dan Prize of the Ecumenical Jury dari Berlin International Film Festival 2013. Film Jagal juga memenangi Robert Award dari Film Academy of Denmark, selain Bodil Awards dari Asosiasi Kritikus Film Nasional Denmark The Act of Killing juga
Melalui karya Joshua Oppenheimer yang memfilmkan para pelaku genosida di Indonesia, satu keluarga penyintas mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana anak mereka dibunuh dan siapa yang membunuhnya. Adik bungsu korban bertekad untuk memecah belenggu kesenyapan dan ketakutan yang menyelimuti kehidupan para korban, dan kemudian mendatangi mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan kakaknya – sesuatu yang tak terbayangkan di negeri dengan para pembunuh yang masih berkuasa.
4.1.2. Sinopsis Film Dokumenter Senyap
The Look of Silence yang dalam bahasa Indonesia berjudul Senyap adalah film
dokumenter tentang Adi Rukun. Tukang kacamata keliling itu adalah adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa perkebunan terpencil di Sumatera Utara. Lahir pasca pembantaian 1965-1966, Adi tumbuh dalam keluarga yang secara resmi dinyatakan "tidak bersih lingkungan" karena kakaknya, Ramli, dianggap simpatisan PKI. Bersama Adi, Oppenheimer mengumpulkan para korban dan penyintas pembantaian 1965-1966, mendokumentasikan kesaksian mereka tentang sejarah pahit itu.1
Di tengah proses itu, terjadi intimidasi kepada para penyintas. Mereka diminta diam dan tidak memberi kesaksian kepada Oppenheimer. Para penyintas mencari siasat, lalu mendesak Oppenheimer mewawancarai sejumlah tokoh yang terlibat pembantaian itu, yang mungkin akan menceritakan sendiri pembantaian mereka.Oppenheimer ragu siasat itu bisa berjalan, dan menjadi terkejut ketika ternyata mereka yang terlibat pembantaian 1965-1966 bangga menceritakan
bagaimana mereka membunuh para korban. Siasat di tengah jalan itulah yang melahirkan film Jagal yang diluncurkan mendahului Senyap. Oppenheimer melanjutkan proyek film dokumentasi kesaksian para penyintas dengan menunjukkan rekaman wawancara itu kepada Adi. Dalam Senyap, tampak Adi menonton kesaksian para pembunuh. Adi tercenung, diam, tetapi terus menonton rekaman wawancara yang diabadikan pada April 2003 yang memperlihatkan orang yang tertawa-tawa bangga mengisahkan "kepahlawanan" mereka membunuh.Adi mencoba memahami kejumawaan "para pahlawan" pembantaian 1965-1966. Senyap juga menuturkan bahwa Adi—berikut ratusan ribu hingga jutaan keluarga penyintas lainnya—masih dilukai hingga luka itu terus basah.Luka Adi basah menerima pertanyaan anaknya yang pulang sekolah, mengisahkan cerita guru mereka tentang kekejaman PKI. Adi bersabar menjelaskan sejarah keluarga dan sejarah Indonesia kepada sang anak. Adi marah, belajar tidak mendendam, tetapi negara terus mengoyak lukanya. Kerendahan hati menjadi kunci mendengar kesenyapan itu. Kerendahan hati Adi berikut ratusan ribu hingga jutaan keluarga yang menjadi korban pembantaian 1965-1966, kerendahan hati orang-orang seperti Inong dan keluarga Amir Hasan, ataupun kerendahan hati negara.
4.1.3 Crew film
Ekskutif produser : Werner Herzog
Errol Morris
Sutradara : Joshua Oppenheimer
Penata kamera : Joshua Oppenheimer
Christine Cynn
Anonim
Penyunting gambar : Niels Pagh Andersen
Penata musik : Henrik Garnov
Penata suara : Henrik Garnov
Penata Warna : Virgil Kastrup
Asisten sutradara 1 : Anonim
Asisten sutradara 2 : Anonim
Asisten sutradara 3 : Anonim
Pemain utama : Adi Rukun
Amir Hasan
Amir Siahaan
4.1.4 Penghargaan Film
1. Venice International Film Festival, September 2014
- Grand Jury Prize
- FIPRESCI Award
- Mouse d’Oro Award
- Human Rights Nights Award
2. Busan International Film Festival, Oktober 2014
- Busan Cinephile Award
3. Copenhagen International Documentary Festival, November 2014
- DOC:AWARD
4.2. Visualisasi Konsep Eksploitatif Sutradara Dalam Film Dokumenter Senyap
Visualisasi merupakan sebuah upaya penggambaran yang difungsikan sebagai penjelas untuk menghasilkan pemahaman yang tepat. Visualisasi yang peneliti lakukan adalah adegan-adegan berupa gambar yang berkaitan dengan Konsep eksploitatif sutradara untuk mengetahuhi bagaimana sutradara bertanggung jawab untuk tidak memanipulasi narasumber di filmnya hanya demi kepentingan pribadi.
4.2.1 Analisis Kesatu, adegan 23 dan 25,
Dalam adegan ini terdapat konsep eksploitatif yaitu memanipulasi sebuah pertemuan yang seharusnya memeriksa kesehatan mata, menjadi sesi wawancara peristiwa pembantaian PKI.
Tabel 4.2.1 Analisis adegan ke 1
Adi yang sedang memeriksa kesehatan mata Inong menanyakan tentang pengalaman Inong ketika menjadi algojo.
Inong merasa terintimidasi oleh Adi dan ia meminta Joshua untuk mematikan kamera.
1) Tahap Denotatif
Dalam adegan ini Inong meminta Joshua untuk menghentikan proses suting karena menurut inong, sesi wawancara ini sudah masuk ke ranah politik dimana inong tidak senang jika di tanya tentang masalah politik pada masa itu.. Dimaknai secara denotatif bahwa Joshua sudah melanggar kode etik karena pada saat Inong meminta kamera untuk dimatikan, Joshua tidak melakukan nya dan malah meng-Close Up wajah Inong agar bisa melihat ekspresi Inong.
2) Tahap konotatif
Dalam adegan ini Adi Rukun yang bekerja sebagai Optometris mengunjungi rumah Inong, salah satu algojo dalam kasus pembantaian PKI. Adi Rukun mencoba melihat kesehatan mata Inong dan mencocokan lensa apa yang cocok untuk Inong. Di sela-sela pengecekan mata Inong, Adi Rukun melemparkan pertanyaan – pertanyaan kepada Inong tentang latar belakang Inong pada tragedi pembantaian PKI. Nampak Inong menceritakan semua peristiwa – peristiwa yang terjadi pada masa itu . Dimaknai secara konotatif bahwa alih-alih mendapat resep untuk kesehatan matanya, Inong malah dicecar dengan pertanyaan pretensius dan intimidatif dari Adi Rukun.
3) Tahap Mitos
Membunuh orang menurut Inong diperbolehkan jika yang kita bunuh adalah musuh kita, dan membunuh atas nama negara. Namun pada kenyataannya membunuh adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Seharusnya manusia tidak boleh saling membunuh satu sama lain.
4.2.2. Analisis kedua, adegan 58.
Dalam adegan ini terdapat konsep eksploitatif terhadap Adi dimana keselamatan Adi Rukun terancam, ketika Amir Siahaan selaku Komandan Pasukan Pembunuh Sungai Ular menanyakan tempat tinggal Adi secara intimidatif.
1) Tahap Denotatif
Dalam adegan ini Adi Rukun mendatangi rumah Amir Siahaan selaku Komandan Pasukan Pembunuh Sungai Ular untuk membicarakan tentang tragedi pembantaian PKI pada masa itu. Nampak Adi menayakan perasaan Amir, apakah ada rasa penyesalan dan keinginan untuk meminta maaf kepada keluarga Adi Rukun, Namun pada kenyataannya Amir tidak merasa bersalah dan malah membanggakan diri karena telah membantu negara. Dimaknai secara denotatif bahwa seorang yang telah membuat kesalahan apalagi membunuh, harus memiliki rasa bersalah dan harus meminta maaf kepada keluarga korban.
Tabel 4.2.2 Analisis adegan ke 2
2) Tahap Konotatif
Visualisasi Adi Rukun yang sedang menanyakan bagaimana jika saat ini ia berada di situasi pembantian PKI pada masa itu, apa yang akan terjadi dengannya. Kemudian Amir menjawab bahwa nyawa Adi Rukun bisa terancam. Kemudian Nampak Amir memberikan pertanyaan secara intimidatif kepada Adi Rukun. Ia menanyakan dimana tempat tinggal Adi. Dimaknai secara konotatif bahwa pertanyaan tersebut bukan hanya ingin mengetahui tempat tinggal Adi, namun ingin melakukan tindakan yang bisa membahayakan keluarga Adi Rukun, karena kita tahu perbuatan para algojo PKI akan melakukan apa saja agar informasi tentang mereka tidak diketahui khalayak, dan jika Adi memberikan alamat tinggalnya, keluarga Adi Rukun bisa terancam.
4.2.3. Analisis ketiga, adegan 73 dan 76.
Dalam adegan ini terdapat sebuah konsep eksploitatif dimana sang anak dibuat menangis agar adegan ini terkesan dramatis.
1) Tahap Denotatif
Adegan ini menggambarkan seorang bapak mantan algojo yang sudah tampak linglung sedang menceritakan kejadian pada saat dia memenggal kepala perempuan keturunan toing hoa, ia membawa kepala perempuan tersebut ke tempat makan dimana banyak orang toing hoa yang sedang makan disana. Cerita ini menggambarkan sebuah perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Tujuan si bapak membawa kepala perempuan tersebut ke tempat makan adalah untuk menakut –
Tabel 4.2.3 Analisis adegan ke 3
Sang bapak sedang menceritakan ketika ia menbunuh orang, ia selalu meminum darah korbannya.
Sang anak yang terlihat sedih ketika ia tahu bahwa bapaknya seorang pembunuh.
nakuti orang tiong hoa yang berada disana dan menertawakan mereka ketika orang – orang pada berlari ketakutan.
2) Tahap Konotatif
Dari visualisasi adegan ini, Adi Rukun menanyakan kepada sang anak bagaimana perasaan sang anak setelah mengetahui bahwa bapaknya adalah seorang pembunuh, dan kakak Adi yaitu Ramli adalah salah satu korban pembantaian PKI. dikonotasikan bahwa sang anak yang tadinya bangga dengan bapaknya karena ditakuti warga, menjadi sedih setelah tahu bahwa bapaknya adalah pembunuh. Konon adegan ini dianggap paling menyentuh dari Senyap, dan dijadikan sebagai contoh usaha rekonsiliasi. Konsep eksploitatif ini terlihat ketika anak perempuan yang dipaksa sedemikian rupa untuk ikut terlibat menanggung dosa bapaknya.
3) Tahap Mitos
Meminum darah korban yang kita bunuh akan membuat kita menjadi tidak gila, namun pada kenyataannya, meminum darah manusia haram hukumnya dan tidak ada relavansinya kehilangan akal sehat jika kita tidak meminum darah korban yang kita bunuh.
4.2.4. Analisis keempat, adegan 84.
Dalam adegan ini terdapat konsep eksploitasi demi mendapatkan adegan yang dramatis dimana Adi memaksa pamannya sendiri untuk mengaku bersalah atas kematian Ramli.
1) Tahap Denotatif
Digambarkan dalam adegan ini, Sang paman sedang membicarakan tentang situasi pada masa pembantaian PKI, dan Adi menanyakan apakah pamanya ikut membantu dalam pembantaian yang terjadi pada waktu itu.
Dimaknai secara denotatif bahwa Adi ingin tahu apa yang dilakukan pamannya ketika Ramli diculik.
Tabel 4.2.4 Analisis adegan ke 4
Paman Adi memarahi Adi karena telah memaksa pamannya bersalah atas kematian Ramli.
2) Tahap Konotatif
Demi upaya untuk mengungkap kebenaran, kedatangan Adi sebenarnya ingin memaksa pamannya sendiri untuk mengaku bersalah atas kematian Ramli. Alasannya, saat itu si paman bertugas menjaga bioskop tempat para korban ditahan sebelum dibunuh.
4.2.5. Analisis kelima, adegan 94.
Dalam adegan ini terdapat konsep eksploitasi dimana Adi disuruh menonton rekaman video reka ulang pembunuhan agar Adi lebih berekspresif.
1) Tahap Denotatif
Digambarkan dalam adegan ini, Adi sedang melihat rekaman video tentang Amir dan Inong yang sedang menceritakan tentang mereka saat melakukan eksekusi kepada orang – orang yang terlibat dalam gerakan PKI .
Tabel 4.2.5 Analisis adegan ke 5
Adi terlihat kesal saat sedang melihat video yang diberikan Joshua tentang reka ulang pembantian PKI.
2) Tahap Konotatif
Joshua memperlihatkan rekaman video reka ulang kepada Adi agar Adi lebih mendalami perasaan marah dan kesal terhadap keluarga Amir dan Inong. Dengan begitu, Joshua bisa memanfaatkan Adi untuk mendatangi mereka dan memberikan pernyataan kepada Adi .
4.2.6. Analisis keenam, adegan 103.
Dalam adegan ini terdapat konsep eksploitasi dimana Adi disuruh menghampiri M.Y Basrun untuk menanyakan tentang kehidupan dia yang sekarang menjabat sebagai pimpinan DPRD.
1) Tahap Denotatif
Digambarkan dalam adegan ini, Adi sedang mengobrol dengan pimpinan DPRD Serdang Bedagai, M.Y Basrun untuk menanyakan tentang tragedy pembantian PKI. Dimaknai secara denotatif bahwa Adi ingin tahu apa yang terjadi pada masa pembantian PKI.
Tabel 4.2.6 Analisis adegan ke 6
Adi terlihat kesal saat sedang melihat video yang diberikan Joshua tentang reka ulang pembantian PKI.
2) Tahap Konotatif
Adi ingin tahu apakah ada rasa bersalah dan menyesal ketika M.Y Basrun pernah menjadi ketua peristiwa pembantaian PKI di Serdang Bedagai dan sekarang sudah menjabat sebagai pimpinan dearah tersebut.
4.2.5. Analisis ketujuh, adegan 127.
Dalam adegan ini terdapat sebuah konsep eksploitatif dimana keterbukaan keluarga terakhir dalam film ini dalam menerima sutradara ke rumahnya, dan kesediaan mereka untuk difilmkan nyata-nyata ternodai oleh tingkah laku si sutradara yang terlihat tanpa etika.
1) Tahap Denotatif
Adegan ini menggambarkan Joshua dan Adi yang mengunjungi keluarga terakhir di film itu. Karena si bapak yang menjadi algojo ( Amir Hasan ) sudah meninggal dunia, yang ditemui adalah sang istri yang sedang sakit, dan si anak yang tampaknya tidak tahu apa-apa. Dimaknai secara denotatif kedatangan mereka untuk
Tabel 4.2.5 Analisis adegan ke 5
Joshua menunjukan video hasil riset almarhum Amir Hasan kepada keluarga pelaku
Sang anak memarahi Joshua karena mereka tidak mau mengungkit masalah almarhum bapaknya
mewawancarai keluarga dan menunjukan hasil riset Joshua tentang video reka ulang yang dilakukan almarhum Amir Hasan kepada keluarganya.
2) Tahap Konotatif
Dari visualisasi adegan ini, saat menunjukan video riset tadi, dimaknai secara konotaif hal ini hanya demi efek dramatis, seolah ingin mengatakan “suamimu pembunuh, bapakmu pembunuh, dosanya harus kamu tanggung.” Saat keluarga algojo tersebut merasa tidak nyaman, bahkan meminta wawancara itu dihentikan, alih-alih menenangkan keadaan, salah satu sutradara dengan bahasa Indonesia beraksen Amerika malah ingin menunjukkan satu video lagi. Tampaknya si sutradara hanya ingin menambah dramatis suasana dengan memojokkan keluarga itu. Di situlah puncak eksplotasinya . Senyap menjelma sebuah film yang berhasil memberi stigma pada keluarga-keluarga algojo tersebut, semacam stempel keras bahwa mereka “anak pembunuh”.
Peneliti melihat adegan ini adalah wujud eksploitasi sutradara dalam membuat sebuah karya untuk kepentingannya sendiri yang bagi penulis dimaknai secara konotatif dan denotatif.
4.3 Pembahasan
Berdasarkan analisis di atas penulis dapat mempelajari bagaimana sutrada memanipulasi dan mengeksploitasi para pemainnya. Sutradara mengarahkan Adi, sebagai optometris, untuk mendatangi para algojo dan keluarganya, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak ada hubungannya dengan kesehatan mata. Film
Senyap adalah hasil konstruksi yang terukur dan terencana dengan matang. Menurut
pengakuan Joshua, film Senyap direkam hanya dalam enam hari. Sebagian besar adegan di film ini bukanlah sesuatu yang organik yang terjadi begitu saja kemudian direkam, melainkan hasil pengadeganan, misalnya percakapan Adi dengan istrinya, percakapan dua anaknya, atau ketika Adi mengadu kepada ibunya. Adegan-adegan itu mustahil terjadi dan terekam secara wajar dalam waktu kurang dari seminggu. Reaksi para algojo dan keluarganya yang ditemui Adi adalah hal paling brilian dalam film ini, tetapi harus diingat bahwa sutradaralah yang mereka-reka dan menciptakannya, serta berkuasa penuh atas terjadinya semua adegan itu. Motivasi Adi sebagai karakter utama secara mentah-mentah dijadikan proyeksi visi sutradara.
Dalam visualisasi yang pertama, Adi yang bekerja sebagai optometris keliling mendatangi Inong, salah satu algojo pembantaian PKI. Alih-alih mendapat resep untuk kesehatan matanya, ia malah dicecar dengan pertanyaan pretensius dan intimidatif dari Adi. Inong pun merasa terganggu dengan keadaan ini, lalu ia meminta Joshua selaku sutradara agar mematikan kamera namun hal ini tidak dilakukan oleh Joshua. Disinilah eksploitasi terjadi.
Dalam visualisasi kedua, Adi Rukun terintimidasi oleh pertanyaan dari ketua Pemuda Pancasila yang menanyakan tempat tinggalnya karena sang algojo tidak
terima di wawancarai tentang tragedi pembantaian PKI . Disini yang menjadi korban eksploitasi adalah Adi Rukun, karena keselamatan keluarga Adi terancam.2
Dalam visualisasi ketiga, pada sebuah keluarga yang terdiri dari seorang bapak yang sudah tampak linglung, dan seorang anak perempuannya, perhatikan bagaimana Adi mendramatisir adegan itu dengan cerita betapa si bapak meminum darah korban yang dibunuhnya supaya tidak gila. Juga ketika Adi bertanya kepada si anak perempuan, tentang bagaimana perasaannya saat tahu bapaknya membunuh orang lalu meminum darahnya. Gaya yang diperlihatkan Adi mengingatkan penulis pada reporter stasiun-stasiun TV di Indonesia ketika meliput sebuah peristiwa bencana, yang selalu mencecar korban dengan pertanyaan “Bagaimana perasaan Ibu?”, sembari kamera bergerak zoom-in, berharap si narasumber menangis demi mendapatkan efek dramatis ala sinetron-sinetron murahan. Konon adegan ini dianggap paling menyentuh dari Senyap, dan dijadikan sebagai contoh usaha rekonsiliasi..3
Dalam visualisasi keempat diperlihatkan bagaimana Adi memaksa pamannya sendiri untuk mengaku bersalah atas kematian Ramli. Alasannya, saat itu si paman bertugas menjaga bioskop tempat para korban ditahan sebelum dibunuh. Tak cukup sampai di situ, Adi masih merasa perlu mengadukan hal itu pada ibunya demi mendapatkan drama lain. Semua itu mengingatkan penulis pada politik adu domba. Penulis melihat bagaimana pintarnya sutradara mengkonstruksi situasi tersebut untuk menciptakan efek drama. Narasumber lebih tampak sebagai pion dalam permainan catur ketimbang karakter yang punya motivasi murni.
Dalam visualisasi kelima puncak eksploitasi pada Senyap terjadi di adegan ini saat Adi mengunjungi keluarga terakhir di film itu. Karena si bapak yang menjadi algojo sudah meninggal dunia, yang ditemui adalah sang istri yang sedang sakit, dan si anak yang tampaknya tidak tahu apa-apa. Keterbukaan keluarga itu dalam menerima sutradara ke rumahnya, dan kesediaan mereka untuk difilmkan nyata-nyata ternodai oleh tingkah laku si sutradara yang terlihat tanpa etika. Perhatikan bagaimana adegan itu kemudian disusun: dimulai dengan menampilkan satu video, yang saya duga adalah materi riset ketika si bapak masih hidup.
Tak hanya kelihatan bangga saat diwawancara, si bapak algojo itu bahkan menunjukkan buku berisi daftar orang-orang yang berhasil dibunuhnya. Di video itu terlihat juga istrinya, yang tampak berdiri ceria di sampingnya. Adegan inimengingatkan kita pada polah orang-orang biasa di depan kamera: riang, lugu, terbuka, ‘pengen masuk TV’, tanpa tahu sedikit pun soal agenda orang yang merekamnya. Kemudian adegan berpindah ke masa kini, ketika sang istri diwawancarai secara intimidatif oleh Adi yang hadir ke rumah itu, entah dengan kapasitas sebagai apa, sebab tidak ada anggota keluarga yang punya masalah dengan mata ditunjukkanlah video riset tadi demi efek dramatis, seolah ingin mengatakan “suamimu pembunuh, bapakmu pembunuh, dosanya harus kamu tanggung.” Saat keluarga algojo tersebut merasa tidak nyaman, bahkan meminta wawancara itu dihentikan, alih-alih menenangkan keadaan, salah satu sutradara dengan bahasa Indonesia beraksen Amerika malah ingin menunjukkan satu video lagi..4
4 John Rossa. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Bandung: Mata Bangsa :1988. hlm. 29-‐30.