• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses perencanaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Sebaliknya alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi (Sarwono 2002).

Sementara menurut Surata (1993) dalam Widawari (1994), persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan.

Persepsi sebagai pandangan individu terhadap suatu objek atau stimulus. Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut. Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus yang akan berakibat terhadap kemauan dan perasaan terhadap stimulus tersebut, serta motivasi tertentu. Stimulus bisa berupa benda, isyarat, informasi maupun situasi dan kondisi tertentu (Langevelt 1966, dalam Harihanto 2001).

Menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan lainnya, yaitu: (1) pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) indoktrinasi budaya, bagaimana menerjemahkan apa yang dialami; (3) sikap pemahaman, apa yang diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut, persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan, dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang termasuk juga pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lainnya.

Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa persepsi yang kita kenal memiliki pengaruh terhadap konsep diri seperti:

(2)

1. Pengetahuan: apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan, motif dan sebagainya. 2. Pengharapan: gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau

melakukan apa yang dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa.

3. Evaluasi: kesimpulan kita tentang seseorang didasarkan pada bagaimana seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi pengharapan kita tentang dia.

2.2 Hutan Rakyat

Menurut SK Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luasan minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak 500 tanaman tiap hektar (Awang 2002, dalam Koswara 2006).

Hutan rakyat sebagai salah satu bentuk hutan kemasyarakatan yang dimiliki oleh masyarakat atau rakyat, baik secara perorangan, kelompok, maupun swasta ataupun badan usaha masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan serta pelestarian lingkungan hidup (Departemen Kehutanan 1995, dalam Suryono 2004).

Toha (1987) dalam Suryono (2004) membagi bentuk hutan rakyat menjadi tiga, yaitu:

1. Hutan rakyat murni, yaitu hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu.

2. Hutan rakyat campuran, terdiri dari lebih dari satu jenis tanaman pokok berkayu.

3. Hutan rakyat agroforestri, hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi dari tanaman kehutanan dengan usaha pertanian terpadu.

(3)

1. Hutan rakyat murni adalah areal hutan rakyat yang seluruhnya ditanami kayu-kayuan.

2. Hutan rakyat campuran adalah areal hutan rakyat yang ditanami kayu-kayuan yang dicampur dengan tanaman jenis multi purpose tree species (MPTS).

3. Hutan rakyat pola kebun (kebun rakyat) adalah hutan yang pengaturan pola jarak tanamnya mengikuti pola kebun (5 m x 5 m) dengan maksud agar dapat dikerjakan dengan sistem tumpang sari.

Menurut Djajapertjunda (1995) dalam Dede (1998), hutan rakyat mempunyai peran penting dan mempunyai manfaat-manfaat yang cukup meyakinkan, diantaranya:

1. Hutan rakyat dapat merupakan sumber pendapatan yang berkesinambungan dan berbentuk tabungan.

2. Keberadaan hutan rakyat dapat membuka lapangan kerja yang cukup berarti.

3. Produksi hutan rakyat yang berupa kayu dan non kayu dapat mendorong dibangunnya industri hutan rakyat yang akan mempunyai peran penting dalam ekonomi nasional.

4. Hutan rakyat dibangun di lahan-lahan kritis dapat berperan dalam melindungi bahaya erosi, sedangkan hutan rakyat yang memiliki jenis tanaman tertentu dapat meningkatkan kesuburan tanah.

5. Hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan pendapatan negara dari berbagai pajak dan pungutan.

6. Meningkatkan pemanfaatan lahan secara optimal termasuk lahan-lahan marginal.

2.3 Agroforestri

Agroforestri adalah nama bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu, dan lain-lain) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek serta diusahakan pada petak lahan yang sama dalam satu pengaturan waktu. Dalam

(4)

sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya (Foresta et al. 2000).

Sedangkan menurut Nair (1989), agroforestri diartikan sebagai suatu nama kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palem, bambu, dan sebagainya) ditanam secara bersamaan dengan tanaman pertanian dan atau hewan dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi diantara berbagai komponen yang bersangkutan. Agroforestri bertujuan untuk menimbulkan kesadaran dan harapan akan peningkatan pendapatan rumahtangga dengan meningkatnya produktivitas hutan dan pertanian secara masing-masing.

Foresta et al. (2000) mengelompokkan agroforestri di Indonesia menjadi dua kategori utama, yaitu:

1. Sistem agroforestri sederhana, berupa perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, menggambarkan apa yang kini dikenal sebagai skema agroforestri klasik. Bentuk paling sederhana dari sistem ini adalah tumpangsari yang bisa dijumpai dalam pertanian tradisional.

2. Sistem agroforestri kompleks atau singkatnya agroforest, adalah sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer maupun sekunder.

Menurut Lahjie (2004) dalam Hutapea (2005), sistem agroforestri memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial. Secara ekonomi sistem agroforestri membantu dalam: (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau, dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen masih dapat ditutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan. Secara sosial agroforestri mendukung: (a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan pekerjaan dan pendapatan;

(5)

(b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi, dan papan; serta (c) terjaminnya stabilitas komunikasi petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi.

Sementara secara ekologi menurut Young (1997) dan Moore (1997) dalam Hutapea (2005), agroforestri memberikan manfaat berupa: (a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b) efisiensi dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan tanah oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evapotranspirasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) sistem ekologis terpelihara lebih baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dari populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah; (f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan; dan (g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan.

2.4 Perkembangan Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) di Indonesia

Tanaman karet mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1864 di masa pemerintahan kolonial Belanda. Tanaman tersebut ditanam pertama kali di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Karet jenis Hevea brasiliensis Muell. Arg. yang banyak ditanam akhir-akhir ini dan merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Karet mulai diperkenalkan pada tahun 1902 di perkebunan Sumatera. Pada awalnya, jenis yang ditanam adalah karet rambung atau Ficus elastica (Herlina 2002).

Kegunaan utamanya adalah lateks (karet) yang diolah secara langsung ataupun tidak langsung menjadi sekitar 50.000 produk berbeda. Penggunaannya berkurang sejak munculnya karet sintetis. Kayunya telah digunakan dalam pembuatan furnitur. Secara tradisional bijinya dimakan setelah direbus untuk menghilangkan racunnya (Jensen 1989). Biji karet dapat digunakan sebagai

(6)

suplemen atau komponen produk makanan, seperti makanan bayi dan aneka makanan ringan (Herlina 2002).

Berdasarkan Data Statistik Hasil Perkebunan Indonesia pada tahun 2000, total tanaman karet di Indonesia berdasarkan kepemilikan didominasi oleh usaha kecil seluas 2.882.795 ha atau sekitar 86%, pemerintah seluas 212.617 ha (6%), dan swasta seluas 276.887 ha (8%). Tanaman karet didominasi oleh pulau Sumatera dan Kalimantan bila dibandingkan dengan pulau lainnya (Nainggolan et

al. 2005).

Perkebunan karet rakyat merupakan sumber kayu karet yang sangat potensial. Potensi kayu karet diperkirakan lebih dari 2,7 juta m3 per tahun dihitung dari luas areal perkebunan karet yang ada, dengan asumsi bahwa perkebunan besar setiap tahun meremajakan 3% dari areal karetnya, perkebunan karet rakyat tradisional yang diremajakan hanya 2% (Nancy et al. 2001, dalam Pangihutan 2003).

Umumnya kebun karet rakyat dibangun dengan sistem tebas-tebang-bakar hutan sekunder atau hutan karet tua, yang diikuti oleh penanaman tanaman pangan (padi, jagung dan sayur-sayuran) diantara tanaman karet muda selama 1-2 tahun. Penanaman karet dilakukan bersamaan dengan tanaman pangan atau setelah tanaman pangan dipanen. Dengan pola yang sama, petani kemudian meninggalkan lahan dan membiarkan tanaman karetnya tumbuh, sambil mencari lahan baru untuk dibuka kembali. Penyiangan atau penebasan vegetasi hutan yang tumbuh di sekitar tanaman karet dilakukan satu sampai dua kali setahun pada awal pertumbuhan, dan maksimal sekali setahun sampai karet siap disadap. Selama masa pertumbuhan karet, kebun berkembang menjadi seperti hutan dengan karet sebagai komoditas utama yang tumbuh bersama dengan jenis pohon kayu, buah-buahan, rotan atau tanaman obat lainnya. Sistem ekstensif dengan pengelolaan minimal ini berkembang ke arah wanatani kompleks berbasis karet (Budi et al. 2008).

2.5 Agroforest Karet sebagai Bentuk Hutan Rakyat

Sebagai sebuah ‘sistem penggunaan lahan dimana tanaman keras dengan sengaja dipadukan dengan tanaman pertanian atau hewan, dengan pengaturan

(7)

ruang atau urutan waktu’, dengan ‘interaksi ekonomi dan ekologi antar komponen yang berbeda’ (Lundrgren dan Raintree 2000, dalam Foresta et al. 2000), kebun karet campuran dipastikan termasuk sistem agroforestri (Foresta et al. 2000).

Gouyon (1995) dan SFDP/GTZ (1991) dalam Penot (2007) menyatakan bahwa menurut sejarah, perluasan karet telah meliputi tiga tahap. Tahap pertama dicirikan oleh pengayaan lahan kosong dengan karet tanpa dipilih. Pada awal tahap 'perbaikan bera' ini, meskipun karet diakui sebagai sumber pendapatan, penekanan masih ditempatkan pada produksi padi di perladangan berpindah. Namun, petani dengan cepat berupaya untuk membangun sistem agroforestri karet dimana karet lateks yang menjadi sumber utama pendapatan. Tahap kedua ditandai dengan pergeseran dari karet bera yang ditingkatkan menjadi karet murni, agroforest kompleks. Tahap ketiga melibatkan integrasi inovasi eksternal kedalam sistem untuk meningkatkan produktivitas tanaman karet (Penot 2007).

Agroforest karet adalah salah satu bentuk wanatani kompleks yang umum dijumpai di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Luas agroforest karet di Indonesia diperkirakan lebih dari 2,5 juta ha dan mensuplai kira-kira 80% dari total produksi karet di Indonesia (Gouyon et al. 1993; Penot et al. 1997, dalam Rasnovi 2006). Agroforest karet merupakan sistem pertanian yang seimbang yang berisi beranekaragam jenis tumbuhan, dibangun petani diluar arahan penyuluh dan instansi perkebunan. Dengan membangun kebun yang mirip hutan yang dapat disebut sebagai agroforest, petani dapat menganekaragamkan penghasilan dengan biaya pembuatan dan perawatan yang rendah (Foresta et al. 2000).

Vegetasi sistem ini cukup kompleks dan biasanya disusun oleh tegakan pohon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) sebagai komponen utama dan berbagai jenis liana, herba dan pohon, baik yang tidak disengaja dipelihara maupun yang sengaja dipelihara untuk maksud tertentu sebagai penghasil buah, kayu bakar maupun papan. Manajemen wanatani karet umumnya tidak intensif dan memiliki struktur serta formasi tegakan yang mirip dengan hutan alam. Agroekosistem yang mampu memadukan fungsi ekonomi dengan konservasi secara harmonis seperti wanatani karet, bagi negara berkembang seperti Indonesia, dimana upaya konservasi sering berhadapan dengan masalah sosial dan ekonomi, dapat menjadi salah satu alternatif untuk membantu menahan dan menekan

(8)

efek negatif hilangnya habitat akibat deforestasi yang disebabkan oleh berbagai faktor dan aktor (Rasnovi et al. 2008).

Menurut Gouyon et al. (1993) diacu dalam Pangihutan (2003) kebun karet campuran atau hutan karet atau agroforest karet merupakan sistem pertanian yang seimbang yang berisi beranekaragam jenis tumbuhan dimana petani dapat menganekaragamkan penghasilan dengan biaya dan pembuatan dan perawatan yang rendah. Kebun karet campuran secara ekologi bisa dianggap sebagai hutan sekunder berbasis karet. Kebun tersebut umumnya bertahan hingga 40 tahun atau lebih, sebelum dibuka dan ditanami kembali. Sedang pertumbuhan kembali hutan sekunder dalam siklus perladangan berputar jarang melebihi 20 tahun. Jangka waktu ini memberikan lebih banyak kesempatan kepada spesies non pionir asal hutan primer untuk berkembang. Di lahan-lahan agroforest karet tua yang ditinggalkan dan tidak ditanami kembali terjadi perkembangan struktur ke arah hutan tua, jumlah pohon karet semakin lama semakin berkurang.

Pada agroforest karet, pohon karet sering disadap dengan cara serampangan oleh tenaga yang kurang ahli seperti anak-anak, untuk menghemat biaya tenaga kerja. Akibatnya pohon karet hampir tidak dapat disadap lagi setelah lebih dari 20 tahun. Sementara pohon karet yang dikelola dengan hati-hati di perkebunan besar bisa disadap selama sekitar 28 tahun. Namun agroforest karet dapat tetap disadap selama lebih dari 30 tahun - ketika pohon yang mula-mula ditanam mati dan membusuk, petani bisa segera mulai menyadap pohon muda yang tumbuh spontan di sela-selanya. Petani merangsang tumbuhnya semaian karet spontan dengan menyiangi sekelilingnya atau dengan memindahkan anakan pohon ke tempat bekas pohon mati. Karena karet tidak tumbuh baik di bawah naungan maka regenerasi ini tidak dapat mencegah menurunnya populasi karet. Setelah 40 tahun kerapatan karet yang semula 500 pohon per hektar menurun menjadi 200 pohon per hektar. Akibatnya penyadapan tak lagi menguntungkan, sehingga petani melakukan penanaman kembali secara menyeluruh (Foresta et al. 2000).

Foresta et al. (2000) menyatakan bahwa tanaman pangan dan tanaman komersil yang tumbuh bersama karet muda seperti padi, pisang, nanas, sayuran dan lain-lain memberikan penghasilan selama satu sampai tiga tahun. Setelah itu

(9)

pengikisan tanah, gulma rumputan, dan naungan karet menghalangi pengolahan lebih lanjut. Meski hanya sementara, tanaman-tanaman komersil tersebut merupakan sumber penghasilan satu-satunya selama tahun-tahun awal. Tanaman-tanaman itu menutupi tanah, mencegah gulma, serta cepat memberikan penghasilan untuk biaya penyiangan gulma untuk melindungi pohon karet muda. Tanaman komersil memberikan penghasilan beragam bagi petani, memenuhi sebagian kebutuhan makanan pokok serta menjadi penyangga bila harga karet merosot. Dengan memproduksi sendiri padi yang dibutuhkannya, secara sosial petani juga akan lebih dihargai oleh masyarakat setempat. Sementara itu komponen non karet di kebun karet yang lebih tua memasok berbagai produk bernilai ekonomi. Berbagai jenis pohon buah yang tumbuh spontan dimungkinkan berkat penyebaran biji oleh binatang liar yang dimungkinkan karena keanekaragaman tumbuhan di agroforest karet. Produk yang dihasilkan bermanfaat bagi konsumsi buah keluarga, terutama untuk pemenuhan gizi anak-anak.

Agroforest dapat menjadi contoh sistem pertanian dimana keanekaragaman hayati memberikan manfaat ekonomi langsung. Dalam kasus agroforest karet, sejak lama keanekaragaman hayati memberikan dua fungsi ekonomi yaitu (1) menambah penghasilan petani dalam bentuk uang tunai atau pangan untuk konsumsi sendiri, sehingga petani mampu mengurangi ketergantungan terhadap karet, (2) memungkinkan petani memperluas lahan yang ditanami dengan modal dan tenaga kerja minimal (Foresta et al. 2000).

Menurut Foresta et al. (2000) dalam kondisi ekonomi dan alam daerah lahan kering, sulit untuk merekomendasikan jenis tanaman lain diluar yang sudah ada. Pemeliharaan tanaman semusim yang dapat berkelanjutan hampir tidak mungkin bisa menguntungkan. Tanaman keras yang cocok untuk lahan tersebut terbatas pada karet, pohon buah-buahan dan kelapa sawit, tetapi kelapa sawit membutuhkan investasi besar. Maka pilihan untuk meningkatkan penghasilan petani lebih mungkin bertumpu pada karet dengan menggunakan spesies pepohonan yang bisa dipadukan dengan karet.

Sekarang sistem agroforest karet tradisional menghadapi persaingan ketat dengan sistem pertanian lain yang lebih intensif. Seiring dengan semakin

(10)

membaiknya perekonomian sehingga modal bukan merupakan suatu kendala bagi petani. Mereka lebih tertarik untuk mengganti agroforest karet menjadi kebun karet monokultur ataupun kebun kelapa sawit yang menurut mereka lebih menguntungkan (Rasnovi 2006).

Selanjutnya Rasnovi (2006) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan perubahan persepsi masyarakat terhadap keberadaan agroforest karet. Pertama, berdasarkan kenyataan bahwa produktivitas getah agroforest karet per hektar rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kebun karet monokultur. Kedua, hadirnya pilihan-pilihan baru penggunaan lahan yang lebih menguntungkan dari sisi ekonomi jangka pendek. Bentuk perkebunan kelapa sawit adalah kompetitor yang paling kuat terhadap sistem agroforest karet yang diikuti oleh bentuk perkebunan karet monokultur. Ketiga, umumnya petani yang mempraktekkan sistem agroforest karet adalah petani-petani miskin yang kekurangan modal. Akses mereka terhadap informasi yang sangat kurang dan posisi tawar yang rendah menyebabkan turunnya popularitas sistem multikultur karet di masyarakat. Keempat, belum adanya pengakuan dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk mengakui bahwa agroforest karet atau perkebunan karet monokultur adalah salah satu pilihan bentuk penggunaan lahan sama halnya dengan perkebunan karet monokultur ataupun perkebunan kelapa sawit yang terlihat jelas dalam laporan-laporan statistika daerah yang tidak mencantumkan data mengenai agroforest karet di daerahnya.

2.6 Perkembangan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia

Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2003) dalam Pasaribu (2005), upaya pengembangan kelapa sawit di Indonesia dirintis oleh Adrian Hall berkebangsaan Belgia yang mempunyai pengalaman pembudidayaan kelapa sawit di Afrika. Namun kelapa sawit yang ditanam di perkebunan Indonesia bukan berasal dari Afrika. Indonesia menerima bibit kelapa sawit sejumlah empat batang dari Bourbon dan Amsterdam, yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Anakan dari empat batang sawit ini kemudian dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara (Herlina 2002).

(11)

Adrian Hall membangun perkebunan kelapa sawit pertama dalam skala besar di Sungai Liput (Nangroe Aceh Darussalam) dan Pulu Raja (Asahan, Sumatera Utara) dengan menggunakan benih dari Deli pada tahun 1911. Upaya pengembangan kelapa sawit selanjutnya di Indonesia berkembang cukup pesat dimana pada tahun 1925 telah ditanam kelapa sawit seluas 39.000 ha di Sumatera dan pada tahun 1938 seluas 114.000 ha (Mangoensoekarjo dan Semangun 2003, dalam Pasaribu 2005).

Setyamidjaja (2006) menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit sering ditanam pada berbagai kondisi areal sesuai dengan ketersediaan lahan yang akan dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit. Cara membuka lahan untuk tanaman kelapa sawit disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia.

1. Bukaan baru (new planting) pada hutan primer, hutan sekunder, semak belukar atau areal yang ditumbuhi lalang.

2. Konversi, yaitu penanaman pada areal yang sebelumnya ditanami dengan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa, atau komoditas tanaman perkebunan lainnya.

3. Bukaan ulangan (replanting), yaitu areal yang sebelumnya juga ditanami kelapa sawit.

Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Sebanyak 85% lebih pasar dunia kelapa sawit dikuasai oleh Indonesia dan Malaysia (Pahan 2006).

Menurut Setyamidjaja (2006), setelah Indonesia melaksanakan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang dimulai tahun 1969, perkembangan perluasan perkebunan kelapa sawit berjalan dengan pesat. Perluasan tanaman kelapa sawit yang dilaksanakan meliputi:

1. Penguasaan kembali areal yang diokupasi oleh petani/ penduduk yang berdomisili di sekitar perkebunan.

2. Konversi kebun-kebun swasta yang tidak terurus, konversi dari komoditas non kelapa sawit (misalnya karet) menjadi kelapa sawit.

3. Mengimplementasikan berbagai proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Unit Pelayanan

(12)

Pengembangan (UUP), Pola Swadaya, dan Pola Pembinaan Perkebunan Besar.

4. Membuka hutan-hutan perawan dan hutan sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit yang sebelumnya merupakan konsesi perkebunan maupun kehutanan melalui PMDN/PMA.

Peta penyebaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencakup 19 provinsi dengan luas areal tanaman pada tahun 2004 sebesar 5,45 juta ha. Provinsi yang mempunyai luas areal terbesar yaitu Riau dengan luas 1,37 juta ha atau merupakan 25,15% dari total area kelapa sawit nasional. Peringkat kedua dan ketiga yaitu provinsi Sumatera Utara (17,53%) dan Sumatera Selatan (9,46%), dengan komposisi kepemilikan usaha yang paling dominan yaitu perkebunan besar swasta nasional (PBSN), disusul kemudian oleh perkebunan rakyat dan perkebunan negara (Pahan 2006).

Menurut Setyamidjaja (2006), dari produk hulu kelapa sawit dapat dihasilkan jenis-jenis produk sebagai berikut.

1. Minyak sawit (CPO) yang menghasilkan carotene, tocopherol, olein,

stearin, soap stock, dan free fatty acid.

2. Inti sawit menghasilkan minyak inti dan bungkil.

3. Tempurung menghasilkan arang, tepung tempurung, dan bahan bakar. 4. Serat menghasilkan bahan bakar dan sumber selulosa.

5. Tandan kosong digunakan sebagai sumber selulosa. 6. Sludge digunakan sebagai komponen makanan ternak.

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini membahas secara deskriptif aplikasi-aplikasi iOS yang mendukung proses perancangan arsitektur dari tahap ke tahap, dan membandingkan potensi masing-masing app dalam

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan dan kesabaran serta semangat untuk senantiasa berusaha menyelesaikan

Tabel 3 memperlihatkan bahwa pemberian Trichokompos TKKS terformulasi dan pupuk nitrogen tidak terjadi interaksi secara nyata terhadap tinggi tanaman bawang merah,

(3) terdapat perbedaan signifikan prestasi belajar Geografi antara siswa dengan kemampuan awal tinggi dan rendah pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yaitu

Pada percobaan ini, perbandingan massa yang paling baik terdapat pada variasi 2 yaitu 2 gram asam salisilat dengan 4 ml anhidrida asetat dan 6 tetes H 2 SO 4 dengan produk

Pada pengamatan pigmen, pigmen merah memiliki pigmen lebih kompleks daripada pigmen hijau, ini disebabkan oleh warna yang dimiliki pigmen merah lebih beragam karena pigmen merah

2etelah diberikan askep selama 4 > 15 jam diharapkan rasa percaya diri klien meningkat dengan kriteria : - 'lien dapat menerima situasi dan kondisi yang dihadapinya. -

Aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual adalah aset keuangan non-derivatif yang ditetapkan untuk memiliki selama periode tertentu, dimana akan dijual dalam rangka