Demam Tifoid beserta Penyebab,
Gejala, dan Tata Laksananya
Afifah Nur Utami 102013448 / E5
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: [email protected] Pendahuluan
Keadaan demam sejak zaman Hippocrates sudah diketahui sebagai pertanda penyakit. Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi. Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi perifer sehingga pengeluaran (dissipation) panas menurun dan pasien merasa demam. Suhu badan dapat bertambah tinggi lagi karena meningkatnya aktivitas metabolisme yang juga mengakibatkan penambahan produksi panas dan karena kurang adekuat penyalurannya ke permukaan maka rasa demam bertambah pada seorang pasien.1
Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.1,2
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan pasien baring pasif, tampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari.
Makin baik apabila demam tifoid dapat cepat di diagnosis. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja.
Anamnesis
Wawancara yang baik seringkali dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis.1
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis berdasarkan sistem organ dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, dan lingkungan).1
Pada kasus skenario 7, hasil anamnesanya adalah sebagai berikut:
- Keluhan utama: demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam sepanjang hari, meninggi pada sore hari.
- Keluhan tambahan: nyeri kepala, lemas, nyeri ulu hati, mual, muntah, dan kembung. Belum BAB sejak 4 hari yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, didapati bahwa kesadaran pasien adalah kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.1
Beberapa tingkat kesadaran lainnya, yaitu:1
- Apatis, yaitu keadaan di mana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
- Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yangg terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta.
- Somnolen (letargia, obtundasi, hipersomnia), yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
- Sopor (stupor), yaitu keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik.
- Semi-koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri tidak adekuat.
- Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
Kemudian selain tingkat kesadaran, pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 37,80C, nadi 90x per menit, tingkat respirasi (respiratory rate) 18x per menit, tekanan darah
120/80 mmHg, dan pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada epigastrium. Demam yang terjadi berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi pada sore hari.1,2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan (pada skenario 7) adalah pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb = 14 g/dl, Ht = 47%, leukosit = 4000/ul, dan trombosit = 200.000/ul. Pemeriksaan lainnya adalah Widal dengan titer S. thypi O = 1/320, S. thypi H = 1/320, S. parathypi AO = 1/80, dan S. parathypi AH = negatif (tidak ada).
Pemeriksaan penunjang di atas menunjukkan pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis demam tifoid. Salah satu pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan rutin. Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.1
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal, dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap S. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal
adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).1
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.1
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.1
Namun, uji Widal ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi antibiotik, kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga terdapat variasi nilai cut-off, reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi oleh vaksinasi.3
Untuk itu, dibutuhkan uji serologi lain untuk menggantikan Widal, dengan kriteria cepat, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik, mudah dikerjakan, murah, dan memiliki kontrol internal.3
Tubex merupakan pemeriksaan semikuantitatif untuk mendeteksi antibodi IgM antigen LPS O9 S. typhi dengan menggunakan metode IMBI (Inhibition Magnetic Binding
Immunoassay). Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut: penetesan reagen Brown 45
mL, penetesan spesimen kontrol 45 mL, inkubasi selama 2 menit, penetesan reagen Blue 90 mL, homogenisasi selama 2 menit, kemudian separasi magnetik selama 5 menit yang dilanjutkan dengan pembacaan hasil.3
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah uji typhidot dan uji IgM Dipstick. Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.
typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.1
Sedangkan uji IgM Dipstick, secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhi dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-250 C di tempat kering
tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannyaa dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik.1
biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal seperti berikut : 1). Telah mendapat terapi antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3). Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif; 4). Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.1
Gambaran Klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.1
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis. Meski jarang, pada beberapa kasus terlihat bintik-bintik merah (rose
spots) yang timbul sebentar.1,4
Diagnosis
Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer Widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis.5
Diagnosis Banding
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, artralgia. Dan adanya tanda-tanda perdarahan.2
- Hepatitis A: ditemukan gejala konstitusional seperti anoreksi, mual dan muntah, malaise, mudah lelah, atralgia, mialgia, nyeri kepala, faringitis, atau batuh. Yang membedakan adalah adanya fotofobia pada hepatitis A, dan juga perubahan warna urin yg lebih gelap serta feses menjadi lebih pucat.2
- Leptospirosis: demam mendadak, menggigil, nyeri kepala terutama region frontal, mialgia, nyeri tekan otot (terutama m. gastrocnemius), mual, muntah, diare. Yang membedakan adalah hiperestesia kulit dan penurunan kesadaran dalam kurun waktu 1 minggu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bradikardia relatif dan ikterus serta injeksi konjungtiva dan fotofobia pada hari 3-4.2
Epidemiologi
Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa. Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik, dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Insindens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (insidens >100 kasus per 100.000 populasi per tahun). Insidents demam tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.1
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah. Transmisi terjadi melalui air yg tercemar S. typhi pada daerah endemik sedangkan pada daerah non endemik, makanan yang tercemar karier merupakan sumber penularan utama.1,2
Demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dengan insidens tertinggi pada anak-anak. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081 kasus).1,2
Etiologi
A, B, atau C. Kedua spesies Salmonella ini berbentuk batang, berflagel, aerobik, serta Gram negatif.2
Patogenesis dan Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Setelah menempel (di plak Peyeri), bakteri memproduksi protein yang mengganggu lapisan
brush border usus dan memaksa sel usus untuk membentuk kerutan membran yang akan
melapisi bakteri dalam vesikel. Bakteri dalam vesikel akan menyeberang melewati sitoplasma sel usus dan dipesentasikan ke makrofag.1,2
Kuman memiliki berbagai mekanisme sehingga dapat terhindar dari serangan sistem imun seperti polisakarida kapsul Vi, penggunaan makrofag sebagai kendaraan, dan gen
Salmonella pathogenecity island-2 (SPI-2).2
Setelah sampai di kelenjar getah bening mesenterika, selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1,2
Kuman dapat masuk ke kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.1
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.1
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.1
Tata Laksana
A.) Non-Farmakologis1
Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
B.) Farmakologis
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut:5
Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan kloramfenikol)
Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
Sefalosporin generasi III; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2 x 1 gram.
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) = - Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
- Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari - Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari - Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.5
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi atau renjatan septik.5
Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami renjatan septik dengan dosis 3 x 5 mg.5
Suatu uji klinik di Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol (4 x 500 mg/hari) dan siprofloksasin (2 x 500 mg/hari) per oral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak berbeda bermakna dalam hal penyembuhan klinik maupun turunnya demam. Sekalipun demikian siprofloksasin lebih efektif untuk membersihkan sumsum tulang dari salmonela.6
Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:1
A.) Komplikasi intestinal
Perdarahan intestinal. Pada plak peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%.
Perforasi usus. Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
B.) Komplikasi ekstra-intestinal
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dapat
ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid. Hepatitis tifosa. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai pada S. thypi daripada S. paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalitis dapat terjadi.
Pankreatitis tifosa merupakan komplikasi yang bisa dijumpai pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-Scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.
Miokarditis. Terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman
S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada
Manifestasi neuropsikiatrik/toksis tifoid. Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma, Parkinson
rigidity/transient parkisonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. Gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada usia penderita, status kesehatan sebelumnya, dan tipe komplikasi yang terjadi. Penderita yang tidak mendapatkan pengobatan antibiotika dapat meninggal dunia (10% bayi dan sebagian kecil anak-anak berusia lebih tua). Pengobatan dengan kloramfenikol berhasil menurunkan angka kematian hingga 1% di berbagai daerah. Adanya penyakit dasar yang melemahkan, perforasi saluran cerna atau perdarahan yang hebat, akan meningkatkan kemungkinan kematian.7
Kekambuhan terjadi pada 10% penderita yang tidak mendapatkan pengobatan antibiotika. Manifestasi klinik kekambuhan nyata dalam 2 minggu setelah penghentian obat dengan antibiotika dan menyerupai bentuk penyakit akut. Tetapi, kekambuhan tersebut umumnya bersifat lebih ringan dan lebih singkat. Kekambuhan dapat terjadi berkali-kali pada orang yang sama.7
Individu yang mensekresikan S.thyposa selama 3 bulan atau lebih setelah infeksi biasanya menjadi ekskretor setahun setelah infeksi atau sering seumur hidup. Risiko menjadi karier kronis pada anak-anak adalah kecil, tetapi akan meningkat seiring bertambahnya umur. Lima persen penderita orang dewasa akan menjadi karier kronis; umumnya mereka mengalami infeksi kronis kandung empedu dan akan diekskresikan lewat tinja.7
Pencegahan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:1
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien demam. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. thypi ini cukup sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat
secara aktifyaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui mengidap kuman S.typhi.
3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko, yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.
4. Vaksinasi. Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila a). hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia Afrika), b). orang yang terpapar dengan penderita demam tifoid karier, dan 3). petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS (vaksin kapsul polisakarida). Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi sangat cepat yaitu sekitar 15 hari – 3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik (Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.1
Daftar Pustaka
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
2. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran jilid II. Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
3. Tubex, cepat dan akurat diagnosis demam tifoid. Jur Kedokt Indon [serial online] 2012 [cited 2015 November 16]; 38(8): [1 screen].
http://www.jurnalmedika.com/component/content/article/463-kegiatan/965-tubex-cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-tifoid
4. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Mikrobiologi kedokteran (medical microbiology). Edisi 20. Jakarta: EGC; 1996.
5. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A. Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
6. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru; 2007.
7. Behrman RE. Penyakit menular dalam ilmu kesehatan anak bagian dua. Jakarta: EGC; 2002. h.95-100.