• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Presidensialisme dan Demokrasi Indonesia Selepas Pemilu 2004

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Praktik Presidensialisme dan Demokrasi Indonesia Selepas Pemilu 2004"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Praktik Presidensialisme dan Demokrasi Indonesia Selepas Pemilu 2004

Eep Saefulloh Fatah

Direktur Eksekutif The Indonesian School of Democracy, Staf Pengajar di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Pemilu (legislatif dan presiden) 2004 telah menghasilkan konfigurasi politik yang khas di Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diisi oleh kekuatan politik yang terfragmentasi. Dari 17 partai politik yang berbagi 550 kursi DPR, tujuh partai terbesar menguasai 91 persen kursi dengan sebaran yang terfragmentasi, tanpa ada satu pun kekuatan dominan.3

Sementara itu, pemilihan langsung presiden-wakil presiden yang pertama dalam sejarah Indonesia dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla. Sekali pun meraih 61 persen melawan 39 persen suara saingannya (Megawati Sukarno Putri-Hasyim Muzadi) dalam putaran kedua pemilu, pasangan ini pada mulanya hanya disokong oleh empat partai (Partai Demokrat, PBB, PKPI dan PKS) dengan kursi minoritas dalam DPR (113 atau 20,5 persen kursi).4

Diletakkan dalam konteks tata kelola negara berdasarkan empat kali amandemen atas UUD 1945, maka yang terbangun adalah kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multipartai yang khas. Di satu sisi, presiden memiliki legitimasi politik yang kuat karena dipilih secara langsung melalui mekanisme dua putaran pemilihan yang mau tak mau menghasilkan kemenangan mayoritas. Di sisi lain, DPR merupakan lembaga legislatif yang memiliki kekuasaan besar. Bagaimanakah praktik presidensialisme dalam kerangka itu? Apa tantangan-tantangan terpenting dalam praktik presidensialisme Indonesia ini? Seberapa jauh praktik sistem ini memfasilitasi penguatan dan efektivitas demokrasi?

Itulah kurang lebih pertanyaan-pertanyaan paling pokok dalam diskusi mengenai "Implementasi Sistem Presidensial di Indonesia Pada Masa Reformasi Dalam Perspektif Demokrasi". Maka mau tak mau, diskusi semacam ini mesti dimulai dengan melacak studi-studi mengenai keterkaitan antara desain institusi dan sukses demokrasi.

Presidensialisme dan Demokrasi: 13 Pelajaran

Disiplin perbandingan politik telah lama memusatkan perhatian terhadap keterkaitan antara desain institusi dan sukses demokrasi. Sejumlah studi mengkaji desain institusi dalam cakupan yang luas dan keterkaitannya dengan sukses

(2)

transisi dan konsolidasi demokrasi (e.g. Bastian dan Luckhman 2003, Lijphart 1999). Sejumlah studi lainnya mengkaji keterkaitan pilihan atas sistem pemilu dengan manajemen konflik dan pengelolaan demokrasi (e.g. Norris 2004, Reilly 2001, Cox 1997). Sejumlah studi lain secara khusus mengkaji penguatan parlemen dan konsolidasi demokrasi (e.g. Ruland, Jurgenmeyer, Nelson, dan Ziegenhain 2005). Studi-studi lain mengkhususkan diri pada pembahasan mengenai presidensialisme dan kaitannya dengan sukses demokratisasi dan demokrasi (Linz dan Valenzuela 1994a, 1994b, Shugart dan Carey 1995, von Mettenheim 1997).

Terlepas dari keragaman kesimpulan serta perdebatan yang dihasilkan oleh berbagai studi itu, beberapa kesepakatan umum bisa kita temukan.5 Pertama, pilihan atas tipe kekuasaan eksekutif (presidensialisme,

parlementarianisme, atau semi-presidensialisme) tidak pernah diambil dalam ruang hampa sosial, politik, dan ekonomi. Di balik pilihan ini, beserta segenap rinciannya, selalu ada konteks atau kepentingan sosial, politik, dan ekonomi pihak-pihak yang mengambil pilihan itu (politisi dan partai). Dalam konteks ini, pilihan atas tipe kekuasaan eksekutif bersifat dinamis dan selalu terbuka pada kemungkinan perubahan atau perbaikan.

Kedua, pilihan desain institusi, termasuk pilihan atas tipe kekuasaan eksekutif, bukanlah tujuan, melainkan alat atau sarana. Karena itu, yang terpenting dalam kaitan ini bukanlah karakteristik dari tipe kekuasaan eksekutif (presidensialisme atau parlementarianisme atau semi-presidensialisme) itu an sich melainkan bagaimana mempraktikkan tipe itu untuk mencapai tujuan-tujuan demokrasi.

Dalam kerangka itu, ada setidaknya enam tujuan yang harus difasilitasi oleh praktik tipe kekuasaan eksekutif apapun, yakni: (1) regulasi konflik dan pemeliharaan sistem, (2) inovasi dan kemantapan kebijakan, (3) konsistensi dan koherensi kebijakan, (4) keterwakilan kelompok-kelompok sosial, (5) proteksi kepentingan-kepentingan utama kalangan minoritas, dan (6) keterbukaan akses terhadap pembuat kebijakan (Gunther 1997). Manakala keenam aspek tercapai, tujuan-tujuan demokrasi (mandat, keterwakilan, akuntabilitas, kebebasan, dan keadilan) pun terfasilitasi pencapaiannya (Lihat Gambar 1).

Gambar 1:

Desain Institusi dan Demokrasi

(3)

Lebih jauh, berbagai studi mengenai demokrasi dan demokratisasi yang dilakukan belakangan ini menghasilkan sejumlah kesimpulan yang relevan untuk kasus Indonesia. Dalam kaitan ini, untuk sementara saya mencatat setidaknya 13 pelajaran yang relevan.

- Demokrasi presidensial lebih cenderung terbangun selepas kediktatoran militer ketimbang selepas kediktatoran sipil dan kematian atau kegagalan demokrasi cenderung berkait dengan konteks ini. Ada kecenderungan bahwa usia atau daya tahan demokrasi presidensial cenderung lebih pendek dibanding usia atau daya tahan demokrasi parlementer (Przeworksi, Alvarez, Cheibub, Limongi 2000).

- Belajar dari pengalaman 24 negara demokrasi presidensial, pemisahan pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif memberikan peluang kepada pemilih untuk ikut berperan dalam penyeimbangan kekuasaan (checks and balances) di antara legislatif dan eksekutif. Manakala terkelola dengan baik, pemisahan pemilu ini potensial memberi kontribusi bagi pengembangan dan penguatan demokrasi. (Samuels 2003).

- Sistem presidensial yang dibentuk melalui dua putaran pemilihan (majority-run off elections) cenderung tidak mendesak partai-partai untuk berkoalisi sebelum pemilu

sehingga jumlah kandidat presiden/wakil presiden cenderung besar. Koalisi antarpartai cenderung terbangun di antara putaran pertama dan kedua pemilu serta setelah terpilihnya presiden. Hubungan dinamis di antara eksekutif dan legislatif pun cenderung baru dimulai selepas pemilu, terutama dalam rangka pembentukan koalisi lebih besar untuk memperkuat pemerintahan (Coromer dan Negretto, 2001). Dalam konteks ini, terbuka kemungkinan bagi terpraktikkannya "informal parliamentarism", yakni sistem presidensial yang banyak kekuasaan dan kebijakannya banyak dipengaruhi oleh koalisi politik dan parlemen (Ferraro 2006).

- Praktik sistem pemilihan presiden melalui dua putaran, yang makin populer di negara-negara demokrasi baru belakangan ini,6

memfasilitasi praktik-praktik penguatan kekuasaan yang bersifat non-elektoral (di luar atau selepas pemilu). Jika tidak terkelola dengan baik, praktik-praktik non-elektoral ini berpotensi menghambat pengembangan demokrasi (Birch 2003).

- Dalam praktik demokrasi modern, sebetulnya tidak ada perbedaan menyolok di antara presidensialisme vis a vis parlementarianisme

dalam kecenderungannya untuk membangun pemerintahan berbasis koalisi besar. Dalam parlementarianisme, kemungkinan bagi terpilihnya kepala pemerintahan dari satu di antara dua partai terbesar adalah 0,9492.

Sementara dalam presidensialisme, kemungkinannya adalah 0,9279. Namun demikian, pemeliharaan hubungan legislatif-eksekutif dalam mekanisme presidensial bersifat lebih kompleks dan beresiko dibanding dalam mekanisme parlementer (Cheibub dan Limongi 2002).

- Sistem multipartai dan

presidensialisme adalah sebuah "kombinasi yang sulit" yang tak ditemukan dalam satu pun dari 31 kasus demokrasi yang stabil. Dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai cenderung menghasilkan polarisasi ideologi. Sementara itu, dalam sistem presidensial koalisi antarpartai cenderung lebih sulit dibangun

dibandingkan dalam sistem parlementer. Di tengah ketiadaan kekuatan partai mayoritas, kemungkinan bagi terjadinya jalan buntu legislatif eksekutif menjadi terbuka (Mainwaring 1993).

- Dalam rentang waktu

1973-1989, dari 28 negara demokrasi baru di bawah sistem parlementer terdapat 17 negara (60%) yang demokrasinya bisa bertahan selama sepuluh tahun. Sementara itu, dari 25 negara demokrasi baru di bawah sistem presidensial, hanya 5 negara (20%) yang demokrasinya bisa bertahan

(4)

selama sepuluh tahun. Dalam rentang waktu itu, jumlah total tahun

bertahannya demokrasi parlementer adalah 208 tahun dengan 173 tahun di antaranya (83%) kepala pemerintahan menguasasi mayoritas dalam lembaga legislatif. Sementara jumlah total tahun bertahannya demokrasi

presidensial adalah 122 tahun dengan hanya 58 tahun (48%) kepala pemerintahan menguasai mayoritas dalam lembaga legislatif. Salah satu tantangan terbesar demokrasi presidensial adalah tak terbangunnya dukungan mayoritas dari lembaga legislatif (Stepan dan Skach 1993). - Presidensialisme di

bawah kepemimpinan presiden yang berasal dari partai minoritas, kecenderungan bagi terjadinya jalan buntu di antara eksekutf-legislatif terbuka dengan cukup lebar. Dari 73 negara demokrasi di dunia, dalam

rentang waktu 1946-1996, terdapat 61,5 persen dari minority presidents yang terbentur situasi jalan buntu (deadlock situations) (Cheibub, 2002).

- Dalam rentang waktu

1946-1996 terjadi 133 kasus transisi menuju demokrasi (demokratisasi) dan transisi dari demokrasi (kejatuhan demokrasi) di dunia. Dari sejumlah itu, 59 kasus transisi (45%) terjadi di 23 negara Amerika Latin sementara 74 kasus sisanya terjadi di berbagai belahan dunia lainnya (Alvarez, et al 1996, Cheibub 2002). Dalam konteks ini,

kestabilan dan kemudian kejatuhan rezim demokratis banyak berkaitan dengan krisis tata kelola pemerintahan (crisis of governability)

dalam bentuk ketidakmampuan pemerintahan demokratis mengelola dirinya serta membuktikan efektivitas sosial-ekonomi pemerintahannya (Linz 1994).

- Dalam rentang waktu

1950-1990, dari seluruh kasus demokrasi di dunia, kemungkinan bagi demokrasi presidensial untuk gagal adalah 0,0477 dengan usia harapan hidup demokrasi sepanjang 21 tahun. Sementara itu, kemungkinan demokrasi parlementer untuk gagal adalah lebih rendah, yakni 0,0138 dengan usia harapan hidup demokrasi 73 tahun (Przeworksi et al 1996, Cheibub 2002).

- Belajar dari

pengalaman sepuluh negara Amerika Latin dalam rentang waktu 1978-2003, umumnya presiden yang mengundurkan diri atau berhasil dijatuhkan adalah yang hanya memiliki dukungan minoritas dalam lembaga legslatif dan terlibat skandal. Gabungan antara dukungan minoritas dan keterlibatan dalam skandal adalah rumus mematikan dalam demokrasi presidensial. Dalam kasus-kasus itu, presiden cenderung mengundurkan diri atau dijatuhkan manakala memperoleh tantangan dari politik di luar parlemen (gerakan sosial) atau gabungan antara politik di luar dan di dalam

parlemen. Umumnya tantangan atau oposisi dari dalam lembaga legislatif (saja) cenderung tak bisa menjatuhkan presiden (Hochsteller 2005). - Dalam demokrasi

presidensial, di satu sisi, koalisi antarpartai dalam pembentukan kabinet kerapkali menjadi kebutuhan tak terhindarkan. Tetapi, sebagai ongkosnya, manajemen pemerintahan dan efektivitas kebijakan kerapkali terhambat oleh kepentingan-kepentingan memelihara koalisi. Setidaknya, begitulah pengalaman di Amerika Latin selama 1946-1995 (Neto 2002). Demokrasi presidensial, karena keterbatasan efektivitas kontrol

terhadap eksekutif, juga membuka peluang lebih besar bagi terjadi dan terlembagakannya praktik korupsi. Untuk itu, upaya-upaya pemberantasan korupsi dalam sistem presidensial cenderung lebih kompleks, rumit, dan beresiko (Gouvea 2005).

- Menimbang segenap

kompleksitas dan kerapuhan dan tantangan yang dimiliki/dihadapi oleh presidensialisme, negara-negara yang memilih mempraktikkan demokrasi presidensial perlu terus-menerus berkonsentrasi pada upaya-upaya perbaikan dan penguatan desain institusi mereka. Dengan cara inilah

(5)

demokrasi presidensial bisa bertahan dan membuktikan efektivitasnya (Cheibub 2007).

Praktik Presidensialisme Indonesia

Bagaimana Indonesia selayaknya mengambil pelajaran dari berbagai pengalaman yang terpapar di atas? Apa sajakah persoalan dan tantangan presidensialisme Indonesia selepas amandemen UUD 1945 dan Pemilu 2004?

Gabungan (1) pengaturan konstitusional mengenai lembaga-lembaga negara, (2) sistem pemilu proporsional untuk legislatif, (3) pemilu presiden dua putaran, dan (3) sistem multipartai, menghasilkan praktik presidensialisme yang khas di Indonesia. Presiden memiliki legitimasi kuat untuk memerintah tetapi kuatnya posisi politik legislatif membuat presiden terdesak untuk memperkuat dan memperbesar kakinya dalam lembaga legislatif melalui koalisi antarpartai. Sementara itu, presiden yang berasal dari partai kecil, berpasangan dengan wakil presiden dari partai yang jauh lebih besar.

Lembaga legislatif sendiri bersifat dinamis dan cair mengingat fragmentasi atau tersebarnya kekuatan politik tanpa ada kekuatan yang dominan. Berhadapan dengan presiden/eksekutif, partai-partai hanya memiliki satu jalan untuk

meningkatkan posisi tawar mereka, yakni dengan menggunakan mekanisme non-elektoral. Mereka menggunakan fungsi pengawasan legislatif atas eksekutif sebagai mekanisme tawar-menawar untuk meraih kepentingan politik mereka.

Menimbang berbagai faktor itu, demokrasi presidensial Indonesia pun berhadapan dengan sebuah ancaman serius yang cenderung berpola: terbatasnya waktu yang leluasa dan efektif bagi presiden/wakil presiden untuk bekerja. Termin lima tahun sesungguhnya terbatasi atau terkurangi oleh satu atau bahkan dua tahun pertama untuk mengkonsolidasikan diri (karena pemerintahan adalah koalisi antarpartai dalam jumlah besar), dan dua tahun terakhir pemerintahan untuk bersiap menghadapi pemilu berikutnya.

Itulah yang untuk sementara saya sebut sebagai "formula 2-1-2" atau formula "1-2-2" yang merepotkan. Waktu

memerintah yang efektif dan leluasa sesungguhnya hanyalah dua atau bahkan satu tahun saja. Sisanya (3 atau bahkan 4 tahun habis untuk konsolidasi dan menyiapkan diri (dalam kerangka partai politik) untuk pemilu berikutnya (Lihat Tabel 1).

Tabel 1

Gambaran Lima Tahun Kerja Pemerintahan, 2004-2009

(6)

Secara umum, praktik presidensialisme di Indonesia, menghadapi tiga tantangan serius: (1) koalisi (coalition), (2) kohabitasi (cohabitation), dan (3) governabiliti (governability). Praktik presidensialisme menghadapi tiga ancaman, yakni krisis koalisi, krisis kohabitasi, dan krisis governabiliti.

[1] Koalisi

"Koalisi" adalah persekutuan di antara dua atau lebih politisi dan/atau partai politik untuk mencapai kepentingan yang saling dipertukarkan di antara para anggota persekutuan itu.

Pengaturan kelembagaan yang disepakati melalui Paket UU Politik telah mendorong koalisi antarpartai (baik formal maupun informal) dalam Pemilu Presiden 2004. Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla adalah produk dari koalisi semacam ini.

Pemerintahan Yudhoyono-Kalla pun terbangun di tengah komposisi politik yang khas. Sebagai kandidat keduanya disokong oleh koalisi empat partai: Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangsaan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan kemudian Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Setelah memenangi Pemilu dan membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, koalisi membesar dengan melibatkan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Pelopor. Keberhasilan Kalla merebut kursi Ketua Umum Golkar di awal 2005, memperkuat koalisi ini.

Pemerintah pun punya kaki yang besar dan kuat dalam lembaga legislatif. Kesepuluh partai yang terwakili dalam Kabinet menguasai 420 (76,4 persen) kursi DPR. Sementara Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dan lima partai kecil lain, yang berada di luar pemerintahan, hanya menguasai 130 (23,6 persen) kursi DPR (Lihat Tabel 2).

Tabel 2:

Kekuatan Politik di Dalam versus di Luar Pemerintahan

(14 Februari 2007)

(7)

Keterangan: *) Menteri yang berasal dari kalangan non-partai adalah 18 orang.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

Kebijakan dan langkah pemerintah pun teramankan oleh koalisi besar dalam legislatif. Krisis pemerintahan bisa saja muncul manakala koalisi ini retak atau bergeser. Dalam situasi normal, kecenderungan ke arah ini memang cenderung rendah selama pemerintah mampu memenuhi kepentingan berbagai partai yang berkoalisi. Namun, menjelang Pemilu 2009, keretakan, pergesekan, dan pergeseran dalam koalisi mungkin saja terjadi mengingat para politisi dalam pemerintahan pun pada saat-saat ini kembali ke haribaan partai. Arus mudik politisi ke partai di akhir termin pemerintahan ini, di Indonesia, menjadi salah satu arena terbuka bagi krisis koalisi yang berulang.

[2] Kohabitasi

Tapi, menyelesaikan masalah koalisi hanyalah sepertiga penyelesaian persoalan. Sepertiga persoalan lainnya adalah "kohabitasi dalam kepemimpinan eksekutif".

Dalam penggunaan sehari-hari "kohabitasi" berarti menjalani hidup bersama sebelum atau tanpa nikah. Ketika diadopsi oleh kamus Ilmu Politik, istilah ini memperoleh pemaknaan yang berbeda. Kohabitasi biasa digunakan untuk

menggambarkan sebuah keadaan dalam semi-presidensialisme (seperti yang dipraktikkan Perancis dan Finlandia) ketika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari dua partai yang berbeda.

Karena orientasi dan terkadang ideologi partai keduanya berbeda, maka kepala negara dan kepala pemerintahan mesti saling menyesuaikan diri untuk bisa saling sokong. Tak jarang, dalam isu-isu tertentu, keduanya berbeda, bersitegang dan berkonflik. Kohabitasi pun menjadi tantangan sekaligus bahaya.

Berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen, Indonesia jelas cenderung pada presidensialisme. Sekalipun demikian, sesungguhnya tak terlalu tegas tipe eksekutif mana yang sejatinya dipraktikkan. Sekalipun pemerintah tak bergantung pada parlemen, Indonesia tidak mempraktikkan presidensialisme murni karena legislatif sangat berkuasa. Sebaliknya, sekalipun perlemen begitu berkuasa, Indonesia jelas tak mempraktikkan parlementarianisme.

(8)

Yang sudah jelas, Indonesia tak mempraktikkan semi-presidensialisme. Namun demikian, politik Indonesia ternyata tak terbebas dari bahaya kohabitasi. Pemilu Presiden langsung 2004 telah memfasilitasi terbangunnya "kohabitasi a la Indonesia".

Presiden dan wakil presiden berasal dari dua partai yang berbeda, yakni Partai Demokrat (56 atau 10,2 persen kursi DPR) dan Partai Golkar (127 atau 23,1 persen).

Konstitusi sesungguhnya tak memposisikan wapres sebagai entitas atau institusi yang terpisah dengan presiden. Pasal 4 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen bahkan menyebut wakil presiden sebagai pembantu presiden. Tetapi, dalam praktik politik, Wapres Kalla memiliki dua modal politik untuk tak begitu saja melebur ke dalam atau terbawahi oleh lembaga kepresidenan.

Pertama, Wapres Kalla dipilih secara langsung sebagai satu paket pilihan dengan Presiden Yudhoyono. Wapres dan presiden pun punya bobot politik yang kurang lebih setara. Setidaknya, wapres (dan pendukungnya) memiliki argumen generik, "Jika tanpa Kalla, siapa yang bisa menjamin Yudhoyono akan mendulang nyaris 62 persen suara pemilih?"

Kedua, setelah (atas restu presiden) memenangkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, Kalla menjadi penting terutama bukan sebagai "sosok personal" melainkan sebagai "figur institusional". Sang Wapres adalah pengendali partai terbesar dengan kursi tergemuk dalam parlemen.

Maka, terbangunlah hubungan khas Yudhoyono-Kalla. Bagi Yudhoyono, Kalla adalah pedang bermata dua. Ujungnya yang satu bisa dipergunakan Yudhoyono untuk membunuh oposisi atas pemerintahannya. Tapi, ujungnya yang lain menghadap persis ke jantungnya. Bagi Yudhoyono, Kalla adalah berkah yang berpotensi menjadi musibah. Keduanya adalah duet yang potensial menjadi duel.

Dalam komposisi inilah terbentuk kohabitasi a la Indonesia. Dibandingkan yang biasa terbangun dalam semi-presidensialisme, kohabitasi a la Indonesia ini berbeda setidaknya dalam tiga hal.

Pertama, dalam semi-presidensialisme, kohabitasi biasanya jadi masalah di awal, ketika salah satu pihak (kepala negara atau kepala pemerintahan) baru saja merebut kursinya dan mesti menjalani tahapan konsolidasi politik. Sejalan dengan waktu, bahaya kohabitasi cenderung mengecil karena saling pengertian dan titik temu sudah semakin tercapai.

Berbeda dengan itu, bahaya kohabitasi a la Indonesia justru membesar ketika pemerintahan semakin mendekati akhir. Di masa-masa awal, kedua pemimpin (Presiden dan Wapres) justru menjalani bulan madu, berusaha saling memahami, dan berduet mengkonsolidasikan pemerintahan. Titik temu pun lebih mudah dibangun di antara keduanya. Tetapi, ketika pemilu berikutnya makin mendekat, ketegangan dan konflik justru lebih potensial mengemuka. Titik pecah potensial menenggelamkan titik temu (Lihat Tabel 3).

(9)

Kedua, dalam semi-presidensialisme yang sudah mapan (semacam Perancis dan Finlandia) kohabitasi dan bahaya-bahayanya mudah diprediksi berdasarkan perbedaan orientasi politik dan ideologi partai kedua pemimpin. Kohabitasi pun cenderung mudah dikendalikan.

Di Indonesia, partai tak memiliki orientasi politik dan ideologi yang jelas. Orientasi politik partai biasanya hanya tertulis di dokumen resmi tanpa terlihat perwujudannya. Ideologi partai hanya diteriakkan dalam kampanye tetapi tak mudah ditemukan implementasinya. Kohabitasi pun menjadi tak berpola dan lebih sulit dikendalikan.

Ketiga, berbeda dengan kohabitasi dalam semi-presidensialisme, the Indonesian kohabitasi tak punya karakter khusus kecuali sifatnya yang pragmatis. Bahkan, pragmatisme ini kemudian lebih bersifat personal karena banyak tergantung pada pilihan-pilihan pragmatis sang pemimpin.

Tabel 3

Dinamika Hubungan Yudhoyono-Kalla

Menurut hemat saya, menyelesaikan masalah kohabitasi adalah salah satu pekerjaan rumah penting dalam demokratisasi Indonesia. Diperlukan pengaturan kelembagaan untuk meminimalkan kemungkinan terbangunnya

kohabitasi yang penuh bahaya ini. Jika pengaturan ini tak tersedia, hambatan bagi efektivitas kerja pemerintahan datang pertama-tama bukan dari oposisi, melainkan dari dalam dirinya sendiri. Dalam batas-batas tertentu, inilah salah satu pelajaran penting dua tahun perjalanan pemerintahan Yudhoyono-Kalla sejauh ini.

[3] Governability

Akhirnya, sistem presidensial atau parlementer atau semi-presidensial pada akhirnya hanyalah alat atau sarana. Ia bukan tujuan. Penentuan tipe kekuasaan eksekutif mana yang terbaik pada akhirnya ditentukan oleh seberapa mampu sistem itu menghasilkan efektivitas sosial, politik dan ekonomi dalam kerjanya.

Presiden-wakil presiden dan jajaran pemerintahan harus membuktikan bahwa mereka memang mempraktikkan governing for prosperity (memerintah untuk menyejahterakan). Inilah tantangan governabiliti itu.

(10)

Dalam kerangka ini, praktik presidensialisme Indonesia berhadapan dengan tantangan untuk keluar dari dilema: memelihara dukungan politik dari politisi dan partai versus mengefektifkan manajemen pemerintahan dan kebijakan. Tentu saja, formula terbaik dari penyelesaian dilema itu adalah terpeliharanya dukungan politik dan tercapainya

efektivitas manajemen pemerintahan dan kebijakan. Namun, praktik politik di berbagai negara lain serta kenyataan politik di Indonesia selama dua tahun terakhir, memperlihatkan bahwa win-win solution semacam itu sungguh tak mudah dicapai. Ada semacam rumus trade-off di antara keduanya. Yang satu sukses dengan kegagalan yang lain sebagai bayarannya.

Inilah tantangan sekaligus ancaman ketiga bagi praktik presidensialisme di Indonesia. Mengatasi ketiganya merupakan tugas sejarah yang penting dan genting.

Jalan Keluar: 13 Agenda Kerja

Menimbang pengalaman berbagai negara (sebagaimana dipaparkan di bagian awal tulisan ini) serta menimbang praktik presidensialisme Indonesia selama lebih dari dua tahun terakhir, maka ada setidaknya 13 agenda kerja yang perlu dipertimbangkan.

- Sebagaimana ditunjukkan oleh studi Przeworksi, Alvarez, Cheibub, Limongi (2000), sekali pun demiliterisasi telah dan tengah berjalan secara signifikan, tetap ada kebutuhan untuk tidak pernah mengabaikan faktor politik militer sebagai ancaman, terutama dalam jangka menengah dan panjang. Karena itu, penuntasan agenda demiliterisasi serta pembentukan supremasi sipil - misalnya, menyelesaikan soal bisnis militer, reposisi polisi vis a vis tentara, peradilan anggota tentara, dan penjaminan hak pilih anggota tentara dan polisi - tetap menjadi agenda kerja penting.

- Belajar dari pengalaman 24 negara demokrasi presidensial (Samuels 2003), pemisahan pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif selayaknya dipertahankan, bahkan jika perlu dibuat "jarak waktu yang lebih layak" di antara kedua pemilu itu. Ini setidaknya memberikan peluang kepada pemilih untuk ikut berperan dalam penyeimbangan kekuasaan (checks and balances) di antara legislatif dan eksekutif.

- Mengingat keunggulan

dan kelemahan sistem presidensial yang dibentuk melalui dua putaran pemilihan (Coromer dan Negretto, 2001, Ferraro 2006), sebaiknya masalah koalisi diatur dalam satu aturan tertulis, terutama untuk tetap

memelihara stabilitas pemerintahan dan efektivitas kebijakan di tengah gabungan presidensialisme dan sistem multipartai yang berbahaya. Presiden dan wakil presiden, bukannya saling melemahkan, justru mesti saling menguatkan untuk membuat pemerintahan tidak tergelincir ke dalam bahaya "informal parliamentarism".

- Harus dibangun

komitmen yang kuat di antara presiden-wakil presiden dan seluruh kabinet (di bawah kepemimpinan kuat presiden) untuk menjaga agar manuver-manuver non-elektoral (di luar atau selepas pemilu) tidak menghambat pengembangan demokrasi dan melemahkan pemerintahan demokratis - sebagaimana diingatkan Birch (2003).

- Karena

pemeliharaan hubungan legislatif-eksekutif dalam mekanisme presidensial bersifat lebih kompleks dan beresiko dibanding dalam mekanisme

parlementer (Cheibub dan Limongi 2002), pelembagaan hubungan dan komunikasi di antara kedua lembaga negara itu mutlak diperlukan. Kedua pihak harus pandai melakukan terobosan dalam kaitan ini sehingga potensi-potensi jalan buntu terhindarkan.

- Mengingat kekuatan

(11)

partai mayoritas tidak tersedia dan kemungkinan bagi terjadinya jalan buntu legislatif-eksekutif terbuka (Mainwaring 1993), maka pemeliharaan dukungan partai-partai harus terus dipelihara. Hanya saja, sebaiknya presiden-wakil presiden tidak bertumpu semata-mata pada cara-cara konvensional (pembagian jatah kabinet serta jabatan-jabatan politik dan birokrasi lainnya) dan pada mekanisme loyalitas insentif (memberi dan menerima secara material).

- Terbangunnya dukungan

mayoritas dari lembaga legislatif, sebagai salah satu tantangan terbesar demokrasi presidensial (Stepan dan Skach 1993) harus

terpelihara hingga akhir masa jabatan. Pemerintah harus melembagakan cara untuk mengatasi dualisme loyalitas para menteri menjelang pemilu berikutnya. Di sini, larangan perangkapan jabatan partai dan jabatan eksekutif/kementerian selayaknya diberlakukan.

- Karena

presidensialisme Indonesia pasca Pemilu 2004 adalah "presidensialisme di bawah kepemimpinan presiden yang berasal dari partai minoritas", maka presiden tak hanya mesti berkonsentrasi pada penyelesaikan masalah koalisi dengan partai-partai tetapi juga kohabitasi dengan wakil

presiden - sebagaimana disyaratkan studi Cheibub (2002).

Yudhoyono-Kalla ditantang untuk membuat preseden kelembagaan yang layak dalam kaitan ini.

- Mengingat kestabilan dan kejatuhan rezim demokratis banyak berkaitan dengan krisis tata kelola pemerintahan atau crisis of governability (Linz

1994), pemerintahan Yudhoyono-Kalla harus mengkonsentrasikan tiga tahun sisa waktu pemerintahan untuk membuktikan efektivitas sosial-ekonomi pemerintahannya. Tahun 2007 menjadi kesempatan yang leluasa untuk mengoptimalkan ini. Tahun 2008-2009 akan ditandai oleh peningkatan kesulitan mencapai tujuan ini karena konsentrasi politisi dan partai lebih mengarah ke Pemilu 2009.

- Pemerintahan

selayaknya dapat bertahan sampai dengan 2009. Tidak ada untungnya bagi Indonesia mengalami jatuh-bangun pemerintahan melalui cara-cara

non-elektoral.7

- Mengingat pengalaman

sepuluh negara Amerika Latin dalam rentang waktu 1978-2003 (Hochsteller 2005), umumnya presiden tak bisa dijatuhkan hanya oleh mekanisme legislatif melainkan oleh gerakan politik di luar parlemen (gerakan sosial) atau gabungan antara politik di luar dan di dalam parlemen. Terutama, manakala presiden berasal dari partai minoritas dan membuat skandal (sebagaimana terbuktikan dalam kasus Abdurrahman Wahid pada tahun 2001). Karena itu, sebagai minority presidents, sekali

pun memiliki legitimasi kuat, tak ada alasan bagi Yudhoyono-Kalla untuk mengabaikan gerakan sosial serta membuat skandal yang mencelakakan. - Korupsi lebih umum

terjadi dalam demokrasi presidensial (Neto 2002, Gouvea 2005).

Pemerintah harus membuktikan efektivitas dan kelayakan pemberantasan korupsi. Ujian akan terjadi paling berat terutama pada 2008-2009 ketika pemerintah akan didesak atau sengaja menimbang faktor politik ketika mengambil kebijakan atau langkah, karena pemilu sudah dekat. - Selayaknya Indonesia

tetap bertahan dengan presidensialisme. Berpindah ke parlementer tak menjamin secara serta-merta peningkatan demokrasi demokrasi serta membutuhkan waktu transisi yang panjang dan makan ongkos (sosial, ekonomi, finansial). Yang diperlukan adalah terus-menerus

berkonsentrasi pada upaya-upaya perbaikan dan penguatan desain presidensialisme itu. Lembaga eksekutif dan legislatif selayaknya menjadikan ini sebagai agenda kerja berjangka panjang, bukan agenda

(12)

kerja cicilan setiap lima tahun sekali, menjelang pemilu. Sesuai hasil studi Cheibub (2007), dengan cara yang layak itulah demokrasi presidensial bisa bertahan dan membuktikan efektivitasnya (Cheibub 2007).[]

---

-

3 Ketujuh partai itu adalah Partai Golkar (23% kursi), Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P, 19.8%), Partai Persatuan Pembangunan (PPP, 10.6%), Partai Demokrat (10.4%), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB, 9,5%), Partai Amanat Nasional (PAN, 9.5%), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS, 8.2%).

-

4 Sebarannya adalah: Partai Demokrat dengan 56 kursi, PBB 11 kursi, PKPI 1 kursi dan PKS 45 kursi.

-

5 Salah satu sumber terbaik dalam pemberian kesimpulan umum atas pilihan desain institusi yang sangat beragam, adalah Bastian dan Luckham (2003). Lihat “Conclusion: The Politics of Institutional Choice―, halaman 303-320.

-

6 Dalam rentang waktu 1989-1999, terjadi peningkatan praktik pemilihan dua putaran ini. Pada 1 Januari 1989, dari 127 kasus/negara, hanya 16 negara (12,6%) yang mempraktikkan pemilihan dua putaran (dibandingkan 106 kasus atau 83,5 persen yang menggunakan sistem pemilu satu putaran). Pada 1 Januari 1999, dari 144 kasus/negara, jumlah pengguna sistem pemilu dua putaran berkembang menjadi 29 negara (20,1%) berbanding 114 negara (79,2%) yang menggunakan sistem pemilu satu putaran (Birch 2003:324).

-

7 Sekadar mengingatkan. Tepat hari ini, Kamis, 17 Januari 2008, nanti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono — presiden pertama Indonesia yang dipilih secara langsung — memasuki hari ke-1187 kepemimpinannya. Maka, pada hari itu

Yudhoyono membuat sebuah rekor baru: Presiden dengan masa jabatan terlama sepeninggal kekuasaan Sukarno dan Soeharto. Baharuddin Jusuf Habibie hanya bertahan selama 518 hari (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999). Abdurrahman Wahid hanya bertahan selama 642 hari (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001). Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden selama 1.186 hari (23 Juli 2001 -20 Oktober 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Nilai min yang diperoleh oleh item 10 pula ialah 3.75, di mana seramai 166 orang responden (62.4%) tidak setuju dengan kenyataan bahawa saya pernah mengikut kawan ponteng

C4 PG Andi pencampuran dua jenis zat melakukan yang berbeda, setelah dicampurkan, didapatkan ciri-ciri antara lain: Partikel penyusun dengan partikel lainnya

Dari gambaran histopatologik hepar bahwa CCl 4 yang digunakan sebagai penginduksi kerusakan hepar tidak menimbulkan nekrosis pada hepar, sehingga belum dapat diambil

Masyarakat berkembang suatu wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Lampung, banyak membutuhkan tanah untuk perorangan, badan hukum, maupun pemerintah daerah

3.3 Deteksi Tepi Operator Laplacian of Gaussian Proses mendeteksi tepi motif batik menggunakan operator Laplacian of Gaussian, berikut ini adalah hasil dari deteksi tepi

Keanekaragaman Nudibranchia dan tutupan karang di perairan Pasir Putih menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu tertinggi pada Karang Mayit diikuti oleh Teluk Pelita

Penelitian ini bertujuan untuk membangun basisdata digital sifat hidrolik tanah dan melakukan identifikasi penaksir retensi air tanah pada ordo Inceptisols menggunakan data

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses representasi wacana mengenai Anas Urbaningrum ditampilkan melalui teks-teks yang hadir dalam proses interaksi selama