• Tidak ada hasil yang ditemukan

CSR dalam Industri Pulp and Paper

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CSR dalam Industri Pulp and Paper"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Tentu saja, melibatkan warga dalam pembuatan kerajinan tersebut sangat perlu diapresiasi.

CSR dalam Industri Pulp and Paper

ada tanggal 4 November 2011, jurnalis Republika, Desy Susilawati, mengirimkan sejumlah pertanyaan melalui email kepada penulis mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam industri pulp and paper (bubur kertas dan kertas). Di bawah ini adalah pertanyaan sekaligus jawabannya.

Menurut Anda bagaimana kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan kertas saat ini? Apakah kegiatan CSR yang bisa mereka lakukan sesuai dengan inti bisnisnya? Contohnya apa?

Secara garis besar, sebagian besar perusahaan di Indonesia masih mengartikan CSR secara sempit, yaitu sebagai pengembangan masyarakat atau bahkan donasi belaka. Perusahaan kertas yang ada di Indonesia juga bukan merupakan kekecualian. Kalau kita periksa dengan teliti praktik yang mereka lakukan, penyempitan makna CSR memang masih merupakan ciri khasnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada perusahaan kertas yang melampaui peer group-nya. Sama dengan di industri lain, ada berbagai perusahaan dalam industri ini yang sudah melakukan CSR yang sesuai dengan bisnis intinya. Mereka adalah perusahaan-perusahaan yang bisa dikatakan relatif progresif dalam wacana dan implementasi CSR.

Bisnis inti dari perusahaan kertas adalah mendapatkan masukan untuk produksi—yang utamanya adalah kayu—lalu melakukan proses untuk mengubahnya menjadi bubur kertas, lalu menjadi kertas, kemudian memasarkannya hingga tiba di tangan konsumen. Dengan demikian, dampak bisnis intinya sangatlah tergantung dari sumber bahan bakunya. Kalau kayu yang dipergunakan seluruhnya adalah kayu yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari—yang dibuktikan dengan perolehan sertifikat ekolabel dari LEI atau FSC, misalnya—maka perusahaan itu sudah bisa mulai dinyatakan bertanngung jawab atas bisnis intinya. Proses produksinya kemudian perlu dilihat juga, apakah benar-benar menegakkan prinsip keberlanjutan lingkungan, sosial dan ekonomi. Demikian juga dengan produknya. Namun, sangatlah jelas bahwa dampak terbesar dari bisnis inti perusahaan kertas sangat ditentukan dari sumber bahan bakunya.

Kalau melihat luasan hutan tanaman di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi ekolabel, kemudian kita bandingkan dengan jumlah produksi kertas, sangatlah jelas bahwa sebagian besar

(2)

kertas belum diproduksi dari bahan baku yang lestari. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan kertas tampaknya belum menjalankan CSR yang sesuai dengan bisnis intinya.

Sinas Mas Pulp and Paper memiliki kegiatan CSR yang sesuai dengan inti bisnis mereka misalnya pengolahan kertas rejected menjadi kerajinan tangan yang melibatkan warga, mengelola limbah menjadi kerajinan tangan yg melibatkan ibu rumah tangga, dll. Bagaimana menurut Anda program CSR seperti ini?

Tentu saja, mengolah limbah produksi menjadi adalah hal yang sangat bagus. Dalam salah satu pilar ekonomi hijau, perusahaan harus mengupayakan untuk memastikan bahwa dirinya bertanggung jawab atas hasil produksinya sebelum berubah menjadi bentuk lain, atau dikenal dengan prinsip “waste = food.” Oleh karena itu, perusahaan yang memanfaatkan limbah produksinya (by product) untuk menjadi masukan (input) produksi lain telah menegakkan prinsip tersebut. Di alam, memang semua hal yang menjadi hasil sampingan suatu proses produksi selalu akan dimanfaatkan sebagai masukan untuk produksi lainnya, sehingga prosesnya menjadi sangat efisien. Perusahaan harus meniru proses seperti ini untuk bisa menjadi sepenuhnya bertanggung jawab sosial.

Namun demikian, contoh bahwa Sinar Mas mengolah limbah produksinya menjadi kerajinan kertas, tidak semata-mata bisa membuat perusahaan itu menjadi bertanggung jawab sosial dalam bisnis intinya. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, kita harus melihat dari mana seumber bahan baku asalnya dulu. Kalau memang seluruhnya berasal dari hutan yang dikelola secara lestari, atau sepenuhnya berasal dari limbah—misalnya kalau mereka mengolah kertas bekas dalam proses

recycling—maka Sinar Mas bisa dikatakan menjalankan CSR yang benar-benar sesuai dengan bisnis

intinya. Apabila sumber bahan bakunya ternyata tidak lestari, maka upaya memanfaatkan limbah produksinya menjadi kerajinan tetap tidak bisa membuat perusahaan itu menjalankan CSR yang sesuai bisnis intinya.

Tentu saja, melibatkan warga dalam pembuatan kerajinan tersebut sangat perlu diapresiasi. Bagaimanapun, penduduk setempat akan memiliki tambahan pengetahuan dan keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kalau mereka sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan itu, mereka tak perlu juga selalu menggantungkan diri pada Sinar Mas. Dan ini berarti projek tersebut bisa memandirikan penerima manfaatnya.

Perusahaan kertas juga memiliki CSR yang biasa dilakukan oleh perusahaan lain pada umumnya misalnya bidang kesehatan, pendidikan dan lingkungan. Bagaimana menurut Anda?

CSR selalu memiliki bentuk yang partikular (khusus) dan universal (umum). Dari ISO 26000:2010 Guidance on Social Responsibility, kita tahu bahwa apapun bentuk organisasinya, apapun industrinya, dan bagaimanapun ukurannya, ada 7 prinsip dan 7 subjek inti yang harus dijalankan untuk bisa dianggap bertanggung jawab sosial. Namun demikian, di setiap subjek inti terdapat kumpulan isu, dan tidak seluruh—jumlahnya 36—dari isu tersebut yang relevan bagi setiap organisasi/perusahaan. Dalam panduan tersebut, perusahaan harus mengetahui terlebih dahulu mana saja isu yang relevan untuk bisnis mereka, baru kemudian menjalankan ekspektasi di setiap isu.

Oleh karena itu, proses untuk menentukan isu mana yang relevan untuk perusahaan—dikenal sebagai proses uji materialitas isu—sangatlah penting untuk dilakukan. Di Indonesia, proses seperti ini belum dilaksanakan dengan disiplin. Sebagian sangat besar perusahaan—termasuku perusahaan kertas—dalam membuat perencanaan projek/program CSR-nya belum memulainya dengan menguji apakah isu tersebut relevan untuk perusahaan dan pemangku kepentingannya. Walaupun begitu, dalm kasus perusahaan-perusahaan yang progresif, mungkin hasilnya mungkin

(3)

tak terlampau meleset juga. Utamanya kalau mereka sudah melakukan penilaian kebutuhan masyarakat (community needs assessment).

Dalam standar AA1000 Stakeholder Engagement Standard, juga dalam Global Reporting Initiative Standard Disclosure 2.1, dinyatakan bahwa isu yang material/relevan itu berasal dari gabungan sudut pandang perusahaan dan pemangku kepentingan. Matriks materialitas dibentuk dengan persilangan antara relevansi dari sudut perusahaan (tinggi/rendah) dan relevansi dari sudut pemangku kepentingan (tinggi/rendah). Jadi, seandainya saja isu kesehatan, pendidikan dan lingkungan memang dipandang memiliki relevansi yang tinggi oleh pemangku kepentingan, terlepas dari apakah perusahaan memandangnya tinggi atau rendah, perusahaan tetap perlu untuk mempertimbangkan pengelolaannya. Kalau memang relevansinya tinggi buat perusahaan, maka pengelolaannya adalah harus; namun bila rendahpun perusahaan

tetap perlu berkontribusi dalam pengelolaannya demi hubungan baik dengan pemangku kepentingan. Di Indonesia sendiri, di manapun perusahaan beroperasi, ketiga isu itu tampaknya selalu relevan bagi pemangku kepentingan.

Apakah perusahaan kertas perlu melakukan inovasi lain dalam kegiatan CSR-nya? Seperti apa?

Tidak hanya perusahaan kertas, seluruh perusahaan sangat perlu memikirkan dan menerapkan inovasi dalam ber-CSR. Inovasi berarti pembaruan dalam cara melakukan, dengan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan cara-cara yang dikenal sebelumnya. Inovasi dalam ber-CSR menjadi sangat penting lantaran tiga hal. Pertama, agar hasil yang diperoleh oleh para penerima manfaat bisa menjadi lebih baik dan menguntungkan mereka. Kedua, agar sumberdaya yang dipergunakan oleh perusahaan menjadi lebih efisien, sehingga return on social investment-nya juga meningkat. Ketiga, untuk membedakan CSR antara perusahaan yang satu dengan yang lain.

Kini sudah cukup banyak perusahaan yang telah menjalankan sebagian atau seluruh subjek inti CSR. Ada juga perusahaan-perusahaan yang mulai memanfaatkan CSR untuk meraih keuntungan bisnis, selain untuk meningkatkan kondisi pemangku kepentingan mereka. Oleh karena itu, cukup banyak literatur yang menuliskan bagaimana caranya perusahaan membuat strategi competitive differentiation untuk CSR. Yang paling mutakhir di antaranya adalah The Future of Value (Lowitt, 2011). Sebetulnya, sudah cukup lama juga teori semacam first mover advantage (Sirsly dan Lamertz, 2008) menegaskan bahwa dalam ber-CSR perusahaan sangat perlu memerhatikan visibility di mata pemangku kepentingan internal maupun eksternal. Tentu, perusahaan yang menjalankan CSR yang inovatif akan jauh lebih tampak menonjol dibandingkan perusahaan-perusahaan lain yang hanya menjalankan CSR dengan cara konvensional.

Ada banyak contoh perusahaan dengan CSR yang inovatif—lihat misalnya contoh-contoh yang dikemukakan dalam Social Innovation, Inc. (Saul, 2010) sebagai salah satu contoh—namun untuk kasus perusahaan kertas di Indonesia, tampaknya belum ada yang cukup menonjol. Mungkin karena memang demikian, namun mungkin juga karena komunikasi CSR atas projek/program yang inovatif belum dilakukan dengan cukup masif di Indonesia. Kasus-kasus komunikasi CSR perusahaan kertas di Indonesia malahan kerap mengundang kritik dari pihak-pihak lain lantaran dianggap membuat klaim yang tidak tepat.

(4)

Perusahaan produsen kertas selama ini dituding sebagai salah satu perusahaan yang merusak hutan karena bahan bakunya berasal dari hutan. Apakah kegiatan CSR bisa membuat citra perusahaan tersebut menjadi baik?

Pertama-tama harusnya dikatakan bahwa bahan baku yang berasal dari hutan tidaklah selalu berarti merusak hutan. Secara global, sudah lebih dari satu dekade dunia mengenal berbagai standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management). Hutan adalah sumber dari sumberdaya yang terbarukan (renewable resource), sehingga apabila dikelola dengan prinsip-prinsip kelestarian fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi, maka hutan tetap bisa lestari keberadaan maupun manfaatnya.

Hanya saja, hingga kini proporsi unit pengelolaan hutan yang telah berhasil membuktikan dirinya dikelola secara berkelanjutan masihlah sangat kecil. Tak terkecuali di Indonesia. Baik APP maupun RAPP—dua raksasa industri kertas kelas dunia—belum sepenuhnya bisa membuat seluruh hutan-hutan tanamannya dikelola secara lestari. Baru sebagian saja dari hutan-hutan mereka yang telah mendapatkan sertifikat ekolabel, sementara hutan-hutan tanaman lain bahkan lebih buruk lagi kinerjanya, karena di luar kedua grup itu hampir tidak ada lagi yang bersertifikat ekolabel. Kondisinya juga diperparah dengan kenyataan bahwa kapasitas produksi industri bubur kertas dan kertas telah jauh-jauh hari dibuat jauh melampaui kemampuan pasokan dari hutan tanaman. Akibatnya, sumber dari hutan alam-pun dipergunakan untuk memasok kebutuhan industri ini.

Apakah CSR bisa membuat citra perusahaan kertas menjadi baik? Tergantung CSR seperti apa yang dijalankan. Kalau CSR-nya masih bersifat projek-projek yang tak ada kaitannya dengan bisnis inti, dan taidak juga sesuai dengan prioritas pemangku kepentingan, maka tak mungkin ada hasil yang memuaskan. Kalau CSR itu mau sesuai dengan bisnis inti, maka setiap perusahaan kertas harus berusaha sekeras mungkin agar setiap jengkal hutan di mana mereka mengambil sumber bahan bakunya itu dkelola secara berkelanjutan. Kalau mereka bisa membuat seluruh pasokannya berasal dari hutan tanaman yang bersertifikat ekolabel, membuat proses produksi yang ramah lingkungan-sosial-ekonomi, dan memasarkannya dengan cara-cara yang juga dilandasi prisnip yang sama, maka bukan hanya citra baik yang mereka bisa peroleh, melainkan juga peningkatan reputasi.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Doorley dan Garcia (2007), reputasi adalah resultan dari perilaku, kinerja dan komunikasi. Kalau salah satu di antaranya tidak baik, maka reputasi yang bagus tidak bisa diperoleh. Industri kertas tampaknya pertama-tama musti berusaha keras memperbaiki perilaku dan meningkatkan kinerja keberlanjutan mereka dahulu, sebelum bisa berkomunikasi dengan meyakinkan. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, ada banyak kejadian di mana komunikasi CSR perusahaan kertas dari Indonesia malahan menimbulkan kritik. Hal ini disebabkan bahwa di mata para pemangku kepentingan global, industri kertas Indonesia belum cukup memperbaiki perilaku dan kinerjanya, namun sudah terlampau kerap mengiklankan diri.

Apakah manfaat yang seharusnya dirasakan masyarakat sekitar dari kegiatan CSR perusahaan kertas?

Sama saja dengan CSR industri lainnya, masyarakat sekitar memiliki “hak istimewa” karena posisi mereka yang dengan perusahaan dan mereka tinggal di wilayah dampak. Tentu saja, sebagai pemangku kepentingan yang istimewa ini, masyarakat sekitar perlu selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan perusahaan yang menyangkut hidup mereka. Pelibatan ini harus serius dilaksanakan, bukan hanya pada level konsultatif, namun hingga pengambilan keputusan yang strategik.

(5)

Masyarakat juga memiliki hak untuk dilindungi dari berbagai dampak negatif aktivitas perusahaan. Dahulu, ada banyak kasus yang menunjukkan pencemaran lingkungan yang parah dilakukan oleh perusahaan kertas. Mereka mencemari udara, tanah, dan terutama sungai. Hal ini tidak boleh terjadi di masa sekarang, apalagi dalam kondisi di mana hukum lingkungan telah menjadi lebih ketat. Dampak negatif sosial dan ekonomi juga sangat penting untuk dihindarkan. Untuk itu, masyarakat sangat penting untuk mendapatkan akses penuh untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan AMDAL, terutama ketika RKL dan RPL disusun. Dalam hal ini, masih sangat banyak hal yang harus dilakukan, karena hingga sekarang partisipasi masyarakat dalam AMDAL sangatlah terbatas.

Di luar dua hal di atas, masyarakat sekitar memiliki hak tertinggi—dibandingkan pemangku kepentingan lain—untuk mendapatkan dukungan pengembangan masyarakat. Biasanya, ada tiga hal yang masuk ke dalam kategori pengembangan masyarakat, yaitu kesempatan kerja, peluang berusaha dan projek untuk komunitas. Dalam hal kesempatan kerja dan peluang berusaha, masyarakat setempat tidak saja harus diprioritaskan—misalnya dengan diberi kuota serta mendapat diskriminasi positif, yaitu mereka didahulukan apabila ada kandidat yang memiliki kualifikasi yang sama—namun juga harus mendapatkan peningkatan kapasitas. Peningkatan kapasitas bukan saja akan memampukan masyarakat untuk bekerja dan berusaha di perusahaan yang memberikan peningkatan kapasitas itu, melainkan juga peluang ke perusahaan lain, atau bahkan berwirausaha. Sementara, projek untuk komunitas harus diberikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada di masyarakat namun belum cukup terpenuhi lantaran ada sumberdaya yang belum cukup dimiliki masyarakat. Perusahaan bisa membantu dengan membantu memberikan atau mencarikan sumberdaya yang kurang tersebut serta melaksanakan projek hingga masyarakat mencapai kemandiriannya. Yang sangat penting diingat adalah bahwa projek untuk komunitas tidak dimaksudkan untuk membuat mereka tergantung, melainkan agar mereka menjadi mandiri.

*****

Hal yang sangat penting diingat dari CSR industri

pulp and paper adalah

bahwa terdapat masalah besar dalam sumber bahan baku produksinya. Sampai hal ini bisa dibuktikan membaik dan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, sangatlah sulit bagi industri ini untuk menyatakan dirinya sebagai industri dengan kinerja CSR yang baik. Kabar baiknya, para pakar yang pendapatnya dihimpun dalam The Sustainability Survey 2011, Key Challenges and Industry

Performance (Sustainability dan GlobeScan, 2011) menyatakan bahwa industri hasil kehutanan,

termasuk pulp and paper tentunya, di seluruh dunia kini sedang menunjukkan perbaikan yang lumayan. Walau dinyatakan bahwa tidak ada sektor industri yang bisa dibanggakan, namun industri hasil kehutanan dipandang sebagai yang terbaik di antara yang sedang dan buruk kinerjanya. Ini tentu saja membuat peluang buat perusahaan kertas di Indonesia untuk unjuk kerja sebagaimana rekan-rekan globalnya. Kalau saja industri kertas bisa menunjukkan bahwa sumber bahan bakunya berasal dari hutan yang dikelola secara lestari, maka masalah CSR terberatnya sudah bisa dilampaui.

(6)

Ini tentu saja membuat peluang buat perusahaan kertas di Indonesia untuk unjuk kerja sebagaimana rekan-rekan globalnya.

Kedua, sama saja dengan industri lainnya, masalah pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan strategik, termasuk boleh tidaknya sebuat perusahaan beroperasi belum cukup mendapatkan tempat yang layak. Namun menyerahkan kekuasaan kepada masyarakat untuk memegang sepenuhnya social license to operate—yang memang seharusnya menjadi hal mereka— juga bukan tanpa tantangan. Sama saja dengan lembaga pemerintahan dan perusahaan, di mana selalu ada yang baik dan jahat, berbagai kejadian mutakhir di Indonesia juga menunjukkan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang mementingkan keuntungan untuk diri sendiri dan kelompok kecilnya, hanya mempertimbangkan keuntungan jangka pendek dan sebagainya. Sebelum nilai-nilai pembangunan berkelanjutan dipegang teguh, tampaknya pertimbangan masyarakat juga tidak bisa dipandang bijak dan bebas kepentingan di luar pembangunan berkelanjutan. Apalagi kalau sudah ada penunggangan dari kelompok elit, yang jelas bias kepentingan ekonomi dan politik.

Ketiga dan terakhir, walaupun ada banyak subjek yang harus dikelola agar perusahaan kertas bisa dinyatakan bertanggung jawab sosial, namun pengembangan masyarakat tetaplah menjadi hal yang sangat penting di Indonesia. Dalam hal ini perusahaan kertas penting untuk benar-benar sampai pada kesimpulan kokoh soal apa saja kebutuhan masyarakat yang bisa dibantu pemenuhannya, dan hasil akhirnya adalah kemandirian, bukan ketergantungan. Oleh karena itu, yang sangat penting dilakukan perusahaan kertas adalah melakukan community needs assessment untuk memutuskan apa yang penting dilaksanakan. Begitu telah diputuskan, perusahaan kertas sebaiknya membuat baseline study, sehingga kelak akan dengan mudah diketahui apakah memang projek/program yang dijalankan itu membawa pada peningkatan kesejahteraan. Tentu saja, untuk mengetahuinya diperlukan upaya community impact asseessment, yang secara objektif seharusnya dilakukan oleh para peneliti independen yang mumpuni.

Bogor, 6 November 2011

Jalal, Lingkar Studi CSR

Lingkar Studi CSR

Jln. Danau Sentani Blok C VII No.9 Kompleks Duta Pakuan Bogor 16144 Indonesia

Telp. (0251) 336349, Fax. (0251) 336349

www.csrindonesia.com, e-mail:office@csrindonesia.co

Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama menyebarluaskan pengetahuan mengenai CSR kepada seluruh pemangku kepentingan. Silakan mengutip dan menyebarluaskan tulisan ini apabila Anda mempunyai tujuan yang sama. Kami berharap agar sumber tulisan bisa diberitahukan sejelas mungkin kepada pihak lain yang menerima kutipan sebagian atau seluruh isi tulisan. Terima kasih.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengungkapkan struktur populasi, keragaman fenotipe kualitatif, dan keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur (sebagai

Titrasi Asidimetri adalah titrasi netralisasi dengan menggunakan larutan standar asam terhadap basa bebas atau basa yang terbentuk dari hidrolisis garam yang berasal dari basa

menunjukan bahwa pada pengujian organoleptik emulgel kombinasi ekstrak jahe merah dan minyak peppermint F1, F2, F3, F4 pada minggu ke-0 menunjukan bahwa keempat

Menjabat di beberapa posisi di unit usaha lainnya di Grup Jaya, termasuk sebagai Komisaris PT Jaya Beton Indonesia dan PT Jaya Trade Indonesia sejak tahun 2009, sebagai Direktur

Sama dengan sebelumnya, hasil yang didapat ini menjadi data input untuk analisis keuntungan dan kerugian pada pekerjaan AC, masing-masing keuntungan diberikan nilai sesuai bobot

Rekomendasi Rincian Kewenangan klinis untuk dokter dalam menjalankan prosedur tindakan medis di Rumah Sakit Umum Aulia diberikan dalam rangka peningkatan kualitas

Melihat permasalahan yang ada dengan melakukan pendekatan diri sebagai pelajar, bahwa materi pertumbuhan dan perkembangan di tingkat Sekolah Menengah Atas tidak pernah dibahas

Kemudian dari hasil penerimaan pajak tersebut, sebagian akan diserahkan kepada Daerah Dati II (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan, yaitu sebesar 70% untuk Pajak