• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. KONDISI EKOLOGI, EKONOMI DAN SOSIAL EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Kondisi Vegetasi Mangrove di Kecamatan Seram Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. KONDISI EKOLOGI, EKONOMI DAN SOSIAL EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Kondisi Vegetasi Mangrove di Kecamatan Seram Barat"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

VI. KONDISI EKOLOGI, EKONOMI DAN SOSIAL EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

6.1. Kondisi Ekologi Ekosistem Hutan Mangrove

6.1.1. Kondisi Vegetasi Mangrove di Kecamatan Seram Barat

Luas ekosistem mangrove di Kecamatan Seram Barat sekitar 1427,2 ha atau 65,19 % dari luas ekosistem mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Ekosistem mangrove di Kecamatan Seram Barat terdiri dari 11 species mangrove, yaitu :

Rhizophora stylosa, R. apiculata, R. mucronata, Bruguierra gymnorrhiza, Ceriops tagal, Lumnitzera racemosa, Avicennia officinalis, Xylocarpus moluccensis, Osbornea octodonta, Heritiera littoralis, dan Aegiceras corniculatum. Kerapatan

jenis mangrove secara total untuk kategori pohon adalah 61 ind./ ha, kategori belta 236 ind./ha dan kategori semai 66 ind./ha (Tabel 6). Jenis R. apiculata, ditemukan mendominasi areal hutan mangrove dengan tingkat kerapatan tertinggi 21 ind/ha untuk kategori pohon. Jenis R. mucronata dan O. octodenta mempunyai tingkat kerapatan terendah 2 ind/ha. Selanjutnya untuk kategori belta jenis C. tagal mempunyai tingkat kerapatan tertinggi yaitu 97 ind./ha, diikuti R. apiculata 50 ind/ ha, sedangkan tingkat kerapatan terendah jenis R. mucronata 2 ind./ha. Kategori semai, jenis C. tagal mempunyai tingkat kerapatan tertinggi 26 ind./ha dan kerapatan terendah jenis A. corniculatum 1 ind./ha.

Peranan satu jenis mangrove terhadap jenis mangrove lainnya dapat dilihat dari indeks nilai penting (INP). Jika suatu jenis menunjukkan INP tinggi maka peranan jenis tersebut sangat besar terhadap jenis mangrove lainnya dalam ekosistem tersebut. Berdasarkan hasil analisis R. apiculata menunjukkan INP cukup tinggi sekitar 103,39 % untuk kategori pohon, sedangkan untuk kategori belta dan semai, jenis C. tagal mempunyai INP cukup tinggi masing-masing 104,68 % dan 110,46 % (Tabel 6). Jenis R. apiculata dan C. tagal menunjukkan nilai indeks penting cukup besar untuk kategori pohon, belta dan semai. Hal ini mengindikasikan bahwa R.

apiculata dan C. tagal mempunyai peranan besar terhadap ekosistem mangrove di

(2)

Tabel 6. Kerapatan, Frekwensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting Jenis Mangrove di Kecamatan Seram Barat

No Jenis Pohon Pancang Semai

K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) /Ha) K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) / Ha) K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) / Ha) 1 Rhizophora stylosa 10 0,3 0,19 38,36 9 0,2 0,03 11,30 9 0,5 0,45 39,68 2 Rhizophora apiculata 21 0,8 0,48 103,39 50 0,5 0,13 70,54 20 0,9 1,05 96,76 3 Rhizophora mucronata 2 0,1 0,02 7,59 2 0,1 0,01 4,25 - - - - 4 Bruguierra gymnorhiza 5 0,4 0,15 29,66 19 0,9 0,04 28,31 10 0,7 0,50 47,60 5 Ceriops tagal 11 0,8 0,21 53,82 97 0,9 0,18 104,68 26 0,9 1,20 110,46 6 Osbornea octodenta 2 0,1 0,05 9,44 17 0,4 0,04 18,31 - - - - 7 Xylocarpus moluccensis - - - - 4 0,5 0,01 8,93 - - - - 8 Lumnitzera racemosa 5 0,5 0,12 30,02 5 0,3 0,01 7,44 - - - - 9 Heritiera littoralis - - - - 8 0,5 0,01 10,77 - - - - 10 Aegiceras corniculatum - - - - 14 0,9 0,02 19,47 1` 0,1 0,05 5,5 11 Avicennia officinalis 5 0,4 0,13 27,71 11 0,7 0,02 15,37 - - - - Total 61 1,35 236 0,51 66 3,25

Sumber : Hasil analisis data primer (2008)

6.1.2. Kondisi Vegetasi Mangrove di Kecamatan Kairatu

Luas ekosistem di Kecamatan Kairatu sekitar 17 ha atau 0,78 ha dari luas ekosistem mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Ekosistem mangrove di Kecamatan Kairatu terdiri dari 10 jenis mangrove, yang terdiri dari 9 jenis mangrove untuk kategori pohon dan 1 jenis kategori semai. Jenis-jenis mangrove kategori pohon, terdiri dari : Rhizophora stylosa, R. apiculata, Bruguiera gymnorrhiza,

Ceriops tagal, Osbornea octodonta, Heritierra littoralis, Sonneratia alba, Xylocarpus moluccensis dan Avicennia officinalis. Sedangkan untuk kategori semai, ditemukan

jenis Bruguierra parviflora. Untuk kategori pohon dan belta jenis Xylocarpus

molucensis ditemukan mendominasi areal hutan mangrove dengan tingkat kerapatan

tertinggi 11 ind/ha dan 18 ind./ha, sedangkan untuk kategori semai didominasi

Ceriops tagal dengan nilai kerapatan 17 ind./ha (Tabel 7).

Berdasarkan hasil analisis, jenis Xylocarpus molucensis menunjukkan INP tertinggi untuk kategori pohon dan belta masing-masing 96,70 % dan 68,26 %,

(3)

sedangkan jenis Ceriops tagal menunjukkan INP tertinggi untuk kategori semai yaitu 123,66 % (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa jenis Xylocarpus molucensis dan

Ceriops tagal mempunyai peranan besar terhadap ekosistem mangrove di Kecamatan

Kairatu.

Tabel 7. Kerapatan, Frekwensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting Jenis Mangrove di Kecamatan Kairatu

No Jenis Pohon Pancang Semai

K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) / Ha) K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) / Ha) K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) /H a) 1 Rhizophora stylosa 5 0,3 0,03 27,16 9 0,9 0,03 58,61 9 0,3 0,55 63,83 2 Rhizophora apiculata - - - - 9 0,4 0,02 39,74 8 0,4 0,50 65,49 3 Bruguierra gymnorrhiza 5 0,3 0,08 34,60 6 0,6 0,02 34,24 - - - - 4 Ceriops tagal 4 0,3 0,04 34,46 4 0,6 0,02 36,06 17 0,7 0,90 123,66 5 Osbornea octodonta 3 0,2 0,07 23,88 5 0,4 0,01 23,25 - - - - 6 Heritierra littoralis 3 0,2 0,06 22,20 - - - - 7 Xylocarpus moluccensis 11 0,6 0,36 96,70 18 0,9 0,036 68,26 - - - - 8 Avicennia officinalis - - - - 3 0,2 0,01 15,95 - - - - 9 Sonneratia alba 9 0,5 0,16 61,53 6 0,3 0,01 23,89 - - - - 10 Bruguierra parviflora - - - - - - - - 1 0,1 0,15 14,61 Total 40 0,79 60 0,15 37 0,27

Sumber : Hasil analisis data primer (2008)

6.1.3. Kondisi Vegetasi Mangrove di Kecamatan Huamual Belakang

Luas ekosistem di Kecamatan Huamual Belakang sekitar 745,1 ha atau 34,03 ha dari luas ekosistem mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Ekosistem mangrove di Kecamatan Huamual Belakang terdiri dari 7 jenis mangrove, yaitu :

Rhizophora stylosa, R. apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Lumnitzera racemosa dan Osbornea octodonta. Jenis Rhizophora stylosa mendominasi areal hutan mangrove untuk kategori pohon, belta dan semai

masing-masing dengan tingkat kerapatan tertinggi 12 ind./ha; 25 ind./ha dan 13 ind./ha (Tabel 8).

(4)

Berdasarkan hasil penelitian, Rhizophora stylosa menunjukkan INP tertinggi untuk kategori pohon, belta dan semai, masing-masing 93,16 %; 103,93 % dan 83,96 % (Tabel 8). Jenis Rhizophora stylosa menunjukkan nilai indeks penting cukup besar untuk semua kategori, hal ini mengindikasikan bahwa Rhizophora

stylosa mempunyai peranan besar terhadap ekosistem mangrove di Kecamatan

Huamual Belakang.

Tabel 8. Kerapatan, Frekwensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting Jenis Mangrove di Kecamatan Huamual Belakang

No Jenis Pohon Belta Semai

K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) /Ha) K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) /Ha) K (ind/ Ha) F D (m2 INP (%) / Ha) 1 Rhizophora stylosa 12 0,6 0,2116 93,16 25 0,9 0,0836 103,93 13 0,7 0,65 83,96 2 Rhizophora apiculata 6 0,3 0,1164 48,20 10 0,9 0,0251 50,40 12 0,8 0,65 82,48 3 Bruguierra gymnorhiza 6 0,3 0,0951 44,96 3 0,3 0,0047 14,44 9 0,5 0,50 59,80 4 Ceriops tagal 5 0,5 0,0526 45,31 21 0,9 0,0451 78,48 11 0,7 0,55 73,77 5 Osbornea octodonta 4 0,2 0,1159 37,94 3 0,1 0,0113 12,60 - - - - 6 Lumnitzera racemosa - - - - 4 0,2 0,0055 13,59 - - - - 7 Xylocarpus moluccensis 4 0,2 0,0664 30,42 7 0,3 0,0175 26,56 - - - - Total 37 0,658 73 0,1928 45 2,35

Sumber : Hasil analisis data primer (2008)

Berdasarkan analisis data vegetasi pada ketiga kecamatan di Kabupaten Seram Bagian Barat, mangrove jenis R. apiculata, R. stylosa, X. moluccensis dan

C. tagal mempunyai INP tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis mangrove

ini mendominasi ekosistem hutan mangrove di kabupaten tersebut.

Kondisi ekosistem mangrove di setiap kecamatan memiliki ciri khas tertentu, baik dari species, luasan lahan maupun bentuk pemanfaatannya, namun secara keseluruhan jenis mangrove yang ditemukan pada setiap kecamatan hampir sama. Hal ini disebabkan lokasi penelitian pada tiap kecamatan merupakan wilayah yang berdekatan dan membentuk kesatuan vegetasi mangrove yang menyusun ekosistem mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Terdapat beberapa jenis pohon yang menunjukkan penyebaran dominan yakni jenis bakau (Rhizophora spp.), Ceriops

(5)

tagal dan Xylocarpus moluccensis. Ketiga jenis mangrove ini menunjukkan

pertumbuhan yang baik dengan tingkat penutupan tajuk yang cukup rapat. Hal ini menggambarkan bahwa jenis-jenis mangrove tersebut berpotensi dikembangkan di daerah penelitian.

Keberadaan ekosistem mangrove di wilayah penelitian umumnya cukup baik khususnya di dusun Pelita Jaya, Kotania dan Pohon Batu Kecamatan Seram Barat, serta Dusun Masika Jaya Kecamatan Huamual Belakang. Tekanan lingkungan terutama aktivitas manusia pada wilayah pesisir di Kabupaten Seram Bagian Barat telah menyebabkan komunitas mangrove pada beberapa areal mengalami tekanan. Kondisi ini terjadi karena masih kurangnya kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap peranan komunitas mangrove terhadap lingkungannya.

Di beberapa lokasi ditemui kondisi ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan, karena aktivitas beberapa pihak yang merubah ekosistem mangrove menjadi areal permukiman, pertambakan dan perkebunan, disamping itu adanya penebangan pohon mangrove untuk keperluan rumah tangga, kayu bakar, bahan bangunan dan lain-lain. Umumnya vegetasi mangrove yang berdekatan dengan perkampungan penduduk mengalami kerusakan baik dalam bentuk penebangan untuk kebutuhan kayu bakar maupun pemanfaatan kulit sebagai bahan penyamak jaring.

6.1.4. Kondisi Satwa Mangrove

Satwa mangrove yang ditemui umumnya meliputi : aves, mamalia, reptilia, ikan dan crustacea. Khususnya jenis aves, burung maleo memiliki nilai penting bagi masyarakat Maluku, karena selain memiliki ukuran telur yang besar, ternyata telurnya yang bernilai gizi tinggi itu menjadi bahan makanan penting bagi masyarakat. Akibat tekanan pemanfaatan telur tersebut, maka populasi burung maleo ini telah mengalami degradasi akibat kegagalan natalitasnya. Kondisi faktual tersebut menyebabkan burung maleo telah ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi melalui sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Jenis-jenis satwa lainnya memiliki penyebaran yang merata di wilayah perairan pesisir Kabupaten Seram Bagian Barat.

(6)

Aves

Kondisi satwa di wilayah pesisir Kabupaten Seram Bagian Barat yang ditemukan adalah burung maleo, burung baikole, burung pombo dan burung masariku, namun umumnya didominasi oleh burung maleo. Jenis burung yang ditemukan adalah

Megapodus fonstenii fonstenii, Megapodus fonstenii buruensis, dan Eulipoa wallacei

yang menyebar secara tumpang tindih dengan kedua spesies Megapodus itu. Areal sebaran dari ketiga spesies burung maleo itu adalah pesisir Teluk Piru, Teluk Kotania, pesisir selatan dan utara P. Kelang serta P. Manipa ( Huamual Belakang).

Mamalia

Umumnya mamalia mangrove yang ditemukan di Kabupaten Seram Bagian Barat meliputi : paus, lumba-lumba dan dugong (duyung).

a. Paus

Melalui hasil pengamatan lapangan dan informasi dari masyarakat, diketahui jenis-jenis paus yang melintasi wilayah perairan pesisir dan laut Kabupaten Seram Bagian Barat meliputi : Megaptera novaeangliae (Humpback whale), Balaenoplera

borealis (Sei whale), Balaenoplera musculatus (Blue whale), Balaenoplera physalis

(Fin whale), Physeter catodon (Sperm whale), dan Orcinus orca (Killer whale). Jenis paus pembunuh (Orcinus orca) muncul secara temporal di perairan pesisir dan laut Kabupaten Seram Bagian Barat pada musim tertentu. Kehadiran paus pembunuh ini bertepatan dengan kondisi suhu perairan agak dingin setelah upwelling di laut Banda dan juga bersamaan dengan musim dimana populasi cumi-cumi serta ikan pelagis kecil melimpah di perairan pesisir dan laut. (Rencana Tata Ruang Pesisir Seram Bagian Barat, 2006).

b. Lumba-Lumba

Lumba-lumba yang termasuk dalam kelompok mamalia laut ditemukan di hampir seluruh wilayah perairan pesisir dan laut Kabupaten Seram Bagian Barat. Setidaknya terdapat lima jenis lumba-lumba yang hadir di perairan pesisir dan laut ini yaitu Globicephala macrorhynchus, Pseudorca crassidens, Delphinus delphis dan

(7)

botol). Jenis lumba-lumba yang umum ditemukan di wilayah perairan pesisir dan laut kabupaten ini adalah lumba-lumba biasa dan lumba-lumba hidung botol. (Rencana Tata Ruang Pesisir Seram Bagian Barat, 2006)

c. Dugong (Duyung)

Selain paus dan lumba-lumba, maka salah satu jenis mamalia laut yang cukup penting dan umumnya hadir pada wilayah perairan pesisir yang relatif dangkal adalah

Dugong dugon (Dugong/Duyung). Melalui hasil pengamatan lapangan serta laporan

nelayan dan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir Kabupaten Seram Bagian Barat, diketahui Dugong hadir di beberapa bagian wilayah perairan pesisir tersebut. Hasil survey menunjukkan adanya Dugong mulai dari perairan pesisir bagian utara hingga ke selatan bagian barat P. Buano beberapa pulau kecil di Teluk Kotania, sekitar P. Kelang dan Manipa ( Huamual Belakang), Teluk Piru serta beberapa lokasi pesisir Kecamatan Kairatu (Selat Seram). Kehadiran Dugong yang tergolong luas pada perairan pesisir Seram Bagian Barat ini berkaitan sangat erat dengan kehadiran vegetasi lamun (padang lamun) yang merupakan sumber makanan utamanya. (Rencana Tata Ruang Pesisir Seram Bagian Barat, 2006)

Reptilia

Umumnya reptilia mangrove yang ditemukan di Kabupaten Seram Bagian Barat meliputi : penyu dan ular laut.

a. Penyu

Di wilayah pesisir Kabupaten Seram Bagian Barat ditemukan empat jenis penyu yaitu Eretmochelys imbricata (penyu sisik), Chelonia mydas (penyu hijau),

Dermochelys coriacea (penyu belimbing), dan Carretta careta (penyu tempayang).

Hasil pengamatan di lapangan serta spesimen yang ditangkap oleh nelayan menunjukkan penyu sisik dan penyu hijau yang menempati wilayah perairan pesisir ini termasuk ukuran penyu belum dewasa hingga dewasa. (Rencana Tata Ruang Pesisir Seram Bagian Barat, 2006).

b. Ular Laut.

Jenis ular laut yang ditemukan menempati perairan pesisir dan laut Kabupaten Seram Bagian Barat adalah sekitar 8 species. Jenis-jenis ular laut penghuni

(8)

ekosistem terumbu karang adalah Laticauda colubrina, Laticauda semifasciata,

Aipysurus laevis, Astoria stokesii dan Enhydrina schistosa. Jenis ular laut yang

ditemukan di luar perairan terumbu karang yaitu Hydrophis fasciatus, Hydrophis sp., dan Pelamis platurus. Dua jenis ular laut penghuni terumbu karang yaitu Laticauda

colubrine dan Laticauda semifasciata merupakan jenis ular laut yang umum

ditemukan di perairan pesisir dan laut Seram. (Rencana Tata Ruang Pesisir Seram Bagian Barat, 2006).

Ikan

a. Ikan Pelagis

Beberapa jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap di perairan wilayah Teluk Piru (berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan nelayan di lapangan) terdiri dari ikan komu/tongkol (Auxis thazard), momar/layang (Decapterus spp), kawalinya/selar (Selar spp.), lema/kembung (Rastrelliger spp.), make/sardin (Sardinela spp.), dan ikan puri (Stolephorus spp.). Di wilayah Huamual Belakang, jenis-jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap oleh nelayan adalah ikan kawalinya/selar (Selar spp.), lema/kembung (Rastrelliger spp.), momar/layang (Decapterus spp.) dan beberapa jenis lainnya.

Jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan wilayah ekologis Kotania terdiri dari ikan momar/layang (Decapterus spp.), kawalinya/selar (Selar spp.), lema/kembung (Rastrelliger spp.), komu/tongkol (Auxis thazard), dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan nelayan, diketahui bahwa jenis-jenis ikan pelagis yang sering tertangkap di perairan Seram Barat Utara terdiri dari ikan komu/tongkol (Auxis thazard), kawalinya/selar (Selar spp.), momar/layang (Decapterus spp.) dan beberapa jenis lainnya. Sedangkan jenis-jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap oleh nelayan terdiri dari ikan momar/layang (Decapterus spp.), kawalinya/selar (Selar spp.), komu/tongkol (Auxis

thazard), make/sardin (Sardinela spp.), lema/kembung (Rastrelliger spp.), terbang

(Cypsillurus spp.) dan lain-lain (Rencana Tata Ruang Pesisir Seram Bagian Barat, 2006).

b. Ikan Demersal

Jenis ikan demersal yang tertangkap di perairan Teluk Piru terdiri dari ikan garopa/kerapu (Epinephelus spp.), kakatua (Scarus spp.), salmaneti (Upeneus spp.),

(9)

samandar/baronang (Siganus lineatus, Siganus canaliculatus), silapa (Pristipomoides spp.), sikuda (Lethrinus spp.), bae (Etelis spp.), paperek (Leiognthua spp.), dan jenis-jenis lainnya. Di perairan Huamual Belakang, Jenis-jenis ikan demersal yang dominan ditangkap oleh nelayan di wilayah ini, terdiri dari ikan kakap (Lutjanus spp.), ikan kerapu (Epinephelus spp dan Cephalopholis spp), ikan kapas-kapas (Gerres spp.), dan ikan salmaneti/biji nangka (Parupeneus spp.). Terkadang juga di wilayah ini tertangkap ikan

napoleon (Cheilinus undulatus). Sedangkan di perairan Teluk Kotania, banyak jenis ikan

demersal yang biasanya ditangkap oleh nelayan. Jenis-jenis ikan demersal yang ditangkap oleh nelayan di wilayah ini terdiri dari ikan garopa/kerapu (Epinephelus spp), sikuda (Lethrinus spp.), samandar/baronang (Siganus lineatus, Siganus

canaliculatus), ikan gurara (Lutjanus spp.), biji nangka (Parupeneus spp.),

kapas-kapas (Gerres spp.), gaca (Lutjanus spp.), serta jenis-jenis lainnya.

Jenis-jenis ikan demersal yang tertangkap di perairan Selat Seram terdiri dari ikan garopa/kerapu (Epinephelus spp.), kulit pasir (Naso spp.), lalosi (Caesio spp.), sebelah (Psetoides erumei), bae (Etelis spp.), biji nangka (Parupeneus spp.), kapas-kapas (Gerres spp.), kerapu (Epinephelus spp.), gaca (Lethrinus spp.), bambangan (Lutjanus spp.), sikuda (Lethrinus spp.), ikan bae (Etelis spp.), dan lain-lain. (Rencana Tata Ruang Pesisir SBB, 2006).

Keanekaragaman ikan-ikan seperti di atas karena hutan mangrove mempunyai relung (niche) ekologis yang khas dan sangat cocok untuk kehidupan organisma lain termasuk ikan. Kekhasan lingkungan tersebut antara lain tersedianya unsur hara yang melimpah, penetrasi sinar matahari tidak terlalu kuat, salinitas air tidak terlalu tinggi, fluktuasi suhu air tidak terlalu besar, arus air relatif lemah dan memungkinkan untuk berlindung dari gangguan hama. Kondisi tersebut memberikan peluang bagi kegiatan perlindungan, mencari makan dan juga bagi pemijahan organisma termasuk ikan. Krustasea

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kelompok krustasea yang dijumpai di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah kepiting bakau yang ditemukan disekitar perairan hutan bakau Teluk Pelita Jaya (Seram Barat). Kepiting bakau yang ditemukan terdiri dari 3 species yaitu Scylla serrata dengan potensinya sebesar

(10)

3.850 ind./ha, kemudian S. tanquebarica (4.900 ind./ha) dan S. oceanica dengan nilai potensi sebesar 4.000 ind./ha.

6.1.5. Perubahan Penutupan Lahan (Land cover)

Perubahan lahan dapat dideteksi dengan melakukan pendekatan spasial menggunakan metoda perbandingan citra hasil klasifikasi antara dua citra yang direkam dalam dua waktu yang berbeda.

Berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM + liputan tanggal 20 Maret 2003 dan citra Landsat 7 ETM + liputan tanggal 19 Oktober 2005 diperoleh luasan dari penutupan lahan mangrove serta perubahannya pada rentang waktu 2 tahun di Kabupaten Seram Bagian Barat. Analisis perubahan penutupan lahan yang didasarkan pada overlay data citra Landsat 7 ETM + tahun 2003 dan tahun 2005 menunjukkan perbedaan penutupan lahan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat, dimana pada tahun 2003 luasan lahan mangrove sebesar 2363,3 Ha, sedangkan tahun 2005 luasan lahan mangrove menjadi 2189,3 Ha (Gambar 9-13).

(11)

Gambar 8. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat Sumber : Badan Planologi Dinas Kehutanan Propinsi Maluku (2008)

Gambar 9. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Sebagian Kabupaten Seram Bagian Barat

(12)

Gambar 10. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Sebagian Kecamatan Seram Barat dan Huamual Belakang

(13)

Gambar 11. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Sebagian Kecamatan Seram Barat

Sumber : Hasil analisis data sekunder (2008)

(14)

Gambar 9. Peta penyebaran hutan mangrove di sebagian Kecamatan Seram Barat

Sumber : Hasil analisis data sekunder (2008)

Gambar 12. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Sebagian Kecamatan Seram Barat

(15)

Gambar 13. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Kecamatan Kairatu

Sumber : Hasil analisis data sekunder (2008)

Luasan hutan mangrove di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat dalam waktu dua tahun terjadi penyusutan lahan mangrove sebesar 174 Ha atau sekitar 7,4 %, hal ini berdampak pada perubahan penutupan lahan mangrove, karena adanya eksploitasi mangrove oleh masyarakat lokal yang tidak terkendali, perluasan permukiman, perkebunan dan pembukaan tambak. Namun apabila dibandingkan tingkat penyusutan lahan mangrove dengan luasan mangrove yang ada tidak terlalu

(16)

besar kerusakannya. Dari hasil citra landsat, penyusutan lahan mangrove terbesar karena eksploitasi mangrove oleh masyarakat sekitar, akibatnya hutan mangrove menjadi rusak. Perkembangan penduduk yang bergerak cepat diikuti dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, menyebabkan aktifitas manusia memanfaatkan hutan mangrove untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga berdampak pada kerusakan hutan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2008) yang menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi serta konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.

Kerusakan hutan mangrove dapat mengurangi fungsi mangrove secara fisik, biologi maupun sosial ekonomi. Mengingat hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Pada daerah ini akan terdapat ekosistem-ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuari yang saling berpengaruh antara ekosistem yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem hutan mangrove tentu saja akan mengganggu keseimbangan ekosistem yang lain dan secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu kehidupan mahkluk hidup lainnya. Disamping itu kerusakan hutan mangrove dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat pesisir khususnya para nelayan, karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya. Kerusakan-kerusakan tersebut secara umum juga akan sangat berpengaruh pada perubahan iklim, terutama keselamatan penduduk di sepanjang pantai atau pesisir, karena potensi kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim akan mengancam kawasan pesisir.

6.2. Kondisi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

Dalam penelitian ini, valuasi ekonomi difokuskan pada nilai manfaat langsung (direct use value), mengingat tujuan dari valuasi ekonomi ini hanya untuk memenuhi

(17)

kriteria penyusunan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove, sehingga tidak mengevaluasi total nilai ekonomi hutan mangrove.

Manfaat langsung (Direct use value)

Manfaat langsung (direct use value) berhubungan dengan output langsung yang dapat dikonsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Manfaat langsung diperoleh melalui pendekatan nilai pasar dari berbagai produk komoditas hutan mangrove yang diliput di lokasi penelitian, yang meliputi: pemanfaatan hasil hutan (pengambilan kayu dan pembibitan mangrove); pemanfaatan hasil perikanan (penangkapan ikan, udang dan kepiting) ; pemanfaatan tambak (kepiting).

Nilai manfaat langsung (direct use value) yang diperoleh dari setiap kegiatan, berdasarkan analisis ekonomi menunjukkan nilai manfaat ekosistem hutan mangrove sebesar Rp 7.445.373,01 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional dari masyarakat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove sebesar Rp 4.348.114,94 per hektar per tahun, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 3.097.258,07 per hektar per tahun (Tabel 9).

Kayu bakar

Kayu mangrove di lokasi penelitian umumnya digunakan masyarakat untuk keperluan kayu bakar, bahan bangunan, pembuatan tiang pancang dan untuk pembuatan bagan. Menurut Anwar (2009), jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata,

R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena

menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 12.600,/m2 yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak melambung tinggi.

(18)

Tabel 9. Rekapitulasi Analisis Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Lokasi Studi

No. Jenis Pemanfaatan Biaya

(Rp/Ha/Th) Nilai Manfaat (Rp/Ha/Th) Keuntungan (Rp/Ha/Th) 1 2 3 4 5 Kayu bakar Bibit mangrove Ikan Kepiting Udang 491.685,36 2.031,06 2.226.801,51 1.053.272,97 574.324,04 646.892,06 642.639,53 3.027.641,44 2.052.638,26 1.075.561,72 155.206,70 640.608,47 800.839,93 999.365,29 501.237,68 Sumber : Hasil analisis data primer ( 2008)

Pengambilan dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai kayu bakar pada ekosistem hutan mangrove oleh masyarakat nelayan, setelah dilakukan valuasi ekonomi berdasarkan hasil pengambilan kayu dan harga di pasaran, diperoleh nilai manfaat kayu mangrove dengan periode pengambilan kurang lebih 17 kali per tahun, jumlah kayu yang diambil sekitar 104 meter kubik per tahun, harga rata-rata Rp 12.600 per meter kubik, rata-rata manfaat kayu bakar yang diperoleh sebesar Rp 21.840.000 per tahun. Analisis nilai manfaat langsung setelah dikuantifikasi dengan seluruh biaya pengeluaran diperoleh sebesar Rp 646.892,06 per hektar per tahun dengan keuntungan sebesar Rp 155.206,70/Ha/tahun (Lampiran 7).

Bibit Mangrove

Pengambilan bibit mangrove yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian dengan cara mengambil propagul yang telah jatuh di bawah pohon induk, bibit mangrove yang tumbuh secara alami dilakukan penjarangan untuk dipindahkan di polibag, dimana kantong yang telah berisi bibit ditempatkan di pinggir pantai sekitar vegetasi induknya, pengambilan bibit mangrove ini dilakukan pada hutan mangrove di dusun Pelita Jaya Kecamatan Seram Barat. Frekwensi pengambilan bibit mangrove dilakukan sekitar 2 sampai 4 kali per tahun, jumlah bibit yang dikumpulkan sekitar 2500 pohon per orang dengan harga Rp 1.350 per pohon. Sesuai hasil analisis valuasi ekonomi menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat dari pengambilan bibit mangrove, dengan menjumlahkan seluruh manfaat yaitu sekitar Rp 642.639,53 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 640.608,47 per hektar per tahun (Lampiran 8).

(19)

Ikan

Sebagian masyarakat pesisir yang ada di lokasi penelitian termasuk kelompok penangkapan tradisional, yaitu penangkapan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di lokasi penelitian, daerah penangkapan ikan dilakukan di sekitar hutan mangrove atau dengan jarak tertentu dari garis pantai, dengan menggunakan alat tangkap yang bervariasi seperti : jaring, bagan/perahu, serok dan pancing. Hasil tangkapan sebagian dipasarkan di luar dusun atau dijual sebagai umpan kepada nelayan penangkap kepiting bakau. Sarana yang digunakan sebagian besar adalah perahu kecil yang bermotor tempel (5 PK) atau perahu dayung dengan alat tangkap pancing. Jenis tangkapan ikan adalah ikan baronang, ikan selar, ikan kembung, ikan tenggiri dan ikan layang. Bagi nelayan dengan modal yang memadai biasanya mengkhususkan tangkapan pada ikan umpan seperti ikan teri, anak ikan kembung, ikan sarden dan lain-lain dengan alat tangkap bagan, sistem pemasarannya lebih mudah, karena akan langsung dibeli oleh kapal-kapal penangkap ikan tuna. Dari hasil wawancara dengan para nelayan di lokasi penelitian, harga ikan di pasaran adalah Rp 3.000 sampai Rp 45.000 per kg, frekuensi rata-rata pengambilan ikan oleh masyarakat 258 trip per tahun dan hasil tangkapan ikan rata-rata sekitar 1081,67 kilogram per tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang tertangkap sekitar Rp 3.027.641,44 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 800.839,93 per hektar per tahun (Lampiran 9).

Udang

Masyarakat wilayah pesisir di lokasi penelitian umumnya melakuka n penangkapan udang di sekitar ekosistem mangrove, dengan menggunakan jaring dan alat pancing sederhana. Harga jual udang di pasaran sekitar Rp 10.000 per kilogram, frekuensi penangkapan udang yang dilakukan masyarakat 190 trip per tahun dan hasil tangkapan rata-rata sekitar 691,67 kilogram per tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung udang yang tertangkap sekitar Rp 1.075.561,72 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 501.237,68 per hektar per tahun (Lampiran 10).

(20)

Kepiting

Sumberdaya kepiting bakau merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui dan berpeluang ekspor karena mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hasil tangkapan kepiting bakau cukup tinggi, khususnya di Kecamatan Huamual Belakang Dusun Maseka Jaya, hal ini terlihat dari ukuran panjang alat karapas yang digunakan yang sesuai untuk diekspor. Di kecamatan Seram Barat hasil tangkapan kepiting juga cukup tinggi, namun umumnya penangkapan kepiting dilakukan dengan menggunakan bubu. Jenis-jenis kepiting yang sering tertangkap adalah jenis Scylla

tranquebarica, Scylla serrata dan Scyla oceanica. Hasil tangkapan kepiting dalam

jumlah besar dijual ke pasar dan sering juga dipesan langsung oleh konsumen. Harga jual kepiting di pasaran adalah sekitar Rp 10.000 sampai Rp 45.000 per kilogram, frekuensi penangkapan kepiting yang dilakukan masyarakat sekitar 23 trip per tahun, hasil tangkapan rata-rata sekitar 600 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 33.000.000 per tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung kepiting yang tertangkap sekitar Rp 2.052.638,26 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 999.365,29 per hektar per tahun (Lampiran 11).

Pengelolaan ekosistem hutan mangrove bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga diperlukan adanya valuasi ekonomi yang tepat guna mengetahui nilai manfaat ekosistem hutan mangrove tersebut. Manfaat ekosistem hutan mangrove secara langsung berhubungan dengan output yang dapat dikonsumsi masyarakat, misalnya makanan, biomas, kesehatan dan rekreasi. Disamping itu ekosistem hutan mangrove memberikan manfaat tidak langsung bagi masyarakat yang diperoleh dari manfaat jasa-jasa lingkungan sebagai pendukung aliran produksi dan konsumsi, misalnya hutan mangrove sebagai pelindung dari badai, gelombang dan abrasi pantai.

Stakeholders diharapkan dapat memahami manfaat ekosistem hutan

mangrove, sehingga dalam pengelolaannya dapat menjaga fungsi keberlanjutan ekosistem, disamping tetap mengacu pada aturan konservasi dan kebijakan yang sudah ditetapkan. Valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Dengan valuasi ekonomi dapat memberikan nilai berdasarkan

(21)

asumsi-asumsi penilaian yang dianalisis guna mengetahui besarnya biaya pengelolaan dan manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan hutan mangrove, sehingga dapat memberikan informasi pengambilan kebijakan dalam pengelolaan seluruh sumberdaya secara optimal.

Valuasi ekonomi yang dilakukan untuk melihat manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya, meliputi hasil kayu bakar, bibit mangrove, ikan, udang dan kepiting. Secara keseluruhan keuntungan yang diperoleh masyarakat dari manfaat langsung hutan mangrove cukup tinggi bila dibandingkan dengan luasan mangrove di wilayah tersebut. Hasil wawancara dengan para responden, sebagian mengatakan mereka mendapatkan pendapatan yang cukup dari kegiatan pemanfaatan mangrove sebagai penghasil kayu dan hasil laut lainnya, sedangkan yang lainnya mengatakan pendapatan mereka masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari.

6.3. Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat

Analisis sosial masyarakat memberikan gambaran tentang ketersediaan tenaga kerja, pengembangan sumberdaya masyarakat dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Penyebaran penduduk di lokasi penelitian hampir merata dengan jumlah penduduk sebanyak 11.931 jiwa, masing-masing di Kecamatan Huamual Belakang 3.346 jiwa, Kecamatan Seram Barat 6.062 jiwa, dan Kecamatan Kairatu 2.523 jiwa (Tabel 10 dan Gambar 14).

Tabel 10 menunjukkan bahwa distribusi jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang seimbang, distribusi seperti ini menunjukkan bahwa secara gender tidak ada dominasi laki-laki ataupun perempuan.

Tabel 10. Jumlah Penduduk Menurut dan Jenis Kelamin di Setiap Kecamatan Lokasi Penelitian

Kecamatan Penduduk Jumlah

Laki-laki Perempuan

Huamual Belakang 1.707 1.639 3.346

Seram Barat 3.140 2.922 6.062

Kairatu 1.286 1.237 2.523

(22)

Jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat menunjukkan bahwa eksistensi laki-laki dan perempuan yang seimbang memberikan konsekuensi kuat peranan kedua kelompok jenis kelamin ini sama-sama memiliki potensi kuat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove.

Secara umum penduduk di lokasi penelitian bekerja sebagai nelayan dan petani. Kegiatan perikanan yang dilakukan adalah usaha penangkapan ikan dengan bagan, penangkapan ikan dengan jaring, serok maupun pancing, penangkapan kepiting, pengambilan moluska dan lain-lain, sedangkan kegiatan pertanian yang dilakukan adalah berkebun.

Tingkat pendidikan masyarakat yang menjadi responden pada penelitian, memperlihatkan data yang cukup bervariasi, yaitu tingkat pendidikan masyarakat yang tidak tamat sekolah sebanyak 63 responden (27,63 %), tamat sekolah dasar 76 responden (33,33 %), tamat sekolah lanjutan pertama 49 responden (21,49 %), tamat sekolah lanjutan atas 28 responden (12,28 %) dan tamat perguruan tinggi 12 responden (5,26 %) dengan total responden sebanyak 228 responden. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah di lokasi penelitian menjadi kendala utama dalam meningkatkan pengetahuan mereka tentang pentingnya ekosistem hutan mangrove. Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada kurangnya persepsi masyarakat terhadap pentingnya kelestarian mangrove sehingga mereka memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kegiatan pemanfaatan mangrove untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat walaupun tidak sesuai dengan peruntukannya, akibat dari rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang berkelanjutan, belum adanya kebijakan pemerintah daerah yang sepenuhnya mengatur prioritas kegiatan pengelolaan hutan mangrove. Oleh karena itu konsep kebijakan pembangunan untuk pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan seharusnya dapat diaplikasikan untuk menghindari kerusakan ekosistem hutan mangrove dan konflik kepentingan antar sektor.

Disamping itu program pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan mangrove melalui pendekatan dan penyuluhan dalam melakukan upaya penyadaran pentingnya hutan mangrove bagi masyarakat belum dilakukan oleh instansi terkait, sehingga

(23)

masyarakat kurang berpartisipasi dalam pengelolaan hutan mangrove, hal ini mengakibatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat dalam upaya melindungi kawasan hutan mangrove masih sangat rendah. Kondisi ini juga disebabkan belum adanya koordinasi antar stakeholders yang terkait dalam pengelolaan hutan mangrove. Struktur ekonomi sebagian masyarakat Seram Bagian Barat berada di sektor pertanian dan perikanan, hal ini dapat dilihat dari besarnya peranan sektor pertanian terhadap peningkatan PDRB. Pertumbuhan ekonomi wilayah sejak tahun 2002 sampai 2006, bila ditinjau dari kontribusi berbagai sektor terhadap peningkatan PDRB menunjukkan bahwa sektor pertanian dan perikanan menempati posisi pertama dengan kontribusi sekitar 38,12%, diikuti sektor perdagangan, restoran dan hotel dengan kontribusi 24,03%, selanjutnya sektor industri pengolahan 18,19% serta sektor jasa sekitar 10 %. Peranan sektor pertanian yang dominan tersebut dalam struktur perekonomian Seram Bagian Barat didukung oleh sub sektor kehutanan yang memberikan kontribusi sebesar 6,08%, sedangkan sektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 16,20% (BPS, 2008).

Kondisi ini memberikan motivasi bagi pemerintah kabupaten untuk dapat mengelola semua potensi sumberdaya alam pesisir secara optimal, mengingat sektor perikanan merupakan salah satu penunjang dalam peningkatan PDRB, sehingga diharapkan pemerintah dan stakeholders lainnya dapat menetapkan suatu kebijakan pemerintah tentang pengelolaan ekosistem hutan mangrove, hal ini disebabkan karena untuk mempertahankan sektor perikanan tetap berkelanjutan harus didukung oleh ekosistem mangrove yang mempunyai tingkat stabilitas yang tinggi.

Dinamika perekonomian di Kabupaten Seram Bagian Barat menunjukkan kontribusi yang berbeda dari setiap kecamatan. Kecamatan Kairatu memiliki kontribusi yang sangat tinggi terhadap PDRB Seram Bagian Barat yakni sebesar 61,44 %. Huamual Belakang dan Taniwel memberikan kontribusi masing-masing 9,40% dan 10,45 %. Untuk sub sektor perikanan kontribusi yang sangat besar ditemuka n di Kecamatan Seram Barat dan Huamual Belakang (BPS, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa hutan mangrove berperan dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi wilayah melalui sumbangan mangrove di sektor perikanan.

Gambar

Tabel 6.  Kerapatan, Frekwensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting Jenis Mangrove                  di Kecamatan Seram Barat
Tabel 7.  Kerapatan, Frekwensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting Jenis Mangrove                  di Kecamatan  Kairatu
Tabel 8.  Kerapatan, Frekwensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting Jenis Mangrove                  di Kecamatan   Huamual Belakang
Gambar 11. Peta Penyebaran Hutan Mangrove  di Sebagian Kecamatan  Seram Barat
+4

Referensi

Dokumen terkait

Edible coating pati ganyong dengan variasi konsentrasi bubuk kunyit putih (1, 2, dan 3 %) memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap masa simpan pada susut bobot,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa amilum umbi gadung, gembili dan porang memiliki bentuk bulat tidak beraturan serta tipe konsentris, sedangkan amilum umbi uwi

Menurut Mulyasa (2005a), implementasi kurikulum mencakup tiga.. kegiatan pokok yaitu pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. Berkenaan dengan pembuatan

Ketika liabilitas keuangan awal digantikan dengan liabilitas keuangan lain dari pemberi pinjaman yang sama dengan ketentuan yang berbeda secara substansial, atau

Subjek dalam makalah ini ialah orang pribumi yang mulai berdamai dengan kenyataan bahwa pengaruh bahasa asing sungguh luar biasa, tidak hanya menawarkan “rasa

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara

Enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri selain berperan dalam mendegradasi dinding sel patogen, protease dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk melakukan

IX/2011 TENTANG PENGAKUAN MODEL NOKEN DALAM PEMILUKADA KABUPATEN LANNY JAYA PAPUA PERSPEKTIF TEORI HUKUM MURNI