Menyoal royalti, diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No. 72/2015 tentang imbalan yang berasal dari
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti paten kepada
inventor, seolah menjadi angin segar bagi dunia penelitian.
Belum lagi dengan adanya peraturan teranyar yang rilis di tahun
ini, yaitu PMK No 6/2016 tentang pedoman pemberian imbalan
yang berasal dari royalti hak Perlindungan Varietas Tanaman
(PVT) kepada pemulia tanaman. Terasa komplit sudah. Peneliti
dapat royalti, pemulia pun tak dilupakan.
Menengok Perjalanan Royalti
Perjuangan untuk mendapatkan royalti bagi inventor dimulai sejak tahun 2005. Kemudian, per-juangan itu mulai menunjukkan titik terang di tahun 2012, ketika Kementerian Perekonomian mengam-bil alih koordinasi. Sebagai hasilnya Kementerian Keuangan pun menyetujui imbalan bagi inventor paten. Hingga akhirnya, penantian selama hampir 10 tahun terbayar dengan terbitnya PMK No 72/2015.
Lalu, bagaimana dengan pemulia? Varietas yang sudah dilindungi dengan hak PVT dan sudah dilisensikan, juga
meng-hasilkan royalti. Kabar gembira pun datang di tahun ini, yaitu dengan terbitnya PMK No. 6/2016.
Seorang pemulia dari Balai Be-sar Penelitian Padi di Sukamandi, Satoto, mengungkapkan rasa syukur atas disahkannya royalti hak PVT. “Ya Alhamdulillah, itu adalah bentuk apre-siasi, bahwa kita sudah diperhatikan,” tuturnya. “Terbitnya PMK tersebut ten-tu akan memacu semangat bekerja un-tuk terus berinovasi dalam suasana yang kondusif,” lanjutnya.
Prof (Riset. Dr Ir Sri Widowati MAppSc.
ROYALTI:
MAGNET UNTUK BERINOVASI
Royalti untuk Penelitidi Balitbangtan
Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian (Balitbangtan) tercatat sudah mengim-plementasikan PMK No 72. Dilaporkan, hingga tahun 2015 sudah ditandatangani 140 perjan-jian lisensi dengan mitra swasta, 64 di antaranya merupakan paten. Tahun lalu, Balitbangtan juga telah membagikan royalti paten kepada 7 in-ventornya dengan besaran bervariasi, antara Rp 1.100.000 hingga Rp 30.700.000. Mereka adalah inventor Pupuk Mikroba Rhizo plus, Formula Pu-puk Hayati untuk Tanaman Padi, Feromon Exi, Penurunan Indeks Glikemik Beras, Indo Jarwo
Transplanter, Indo Combine Harvester, dan Alat
Perekam Data Stasiun Cuaca Otomatis (AWS). Dalam sebuah kesempatan menyerahkan royalti kepada beberapa peneliti/perekayasa beberapa waktu lalu, Kepala Balitbangtan ber-pesan agar sistem royalti yang sudah berlaku dapat semakin merangsang minat peneliti un-tuk menghasilkan paten lebih banyak lagi, wa-laupun tujuan utama penelitian bukan semata-mata untuk royalti. Namun royalti merupakan cerminan bahwa suatu teknologi telah berhasil dipasarkan dan digunakan oleh masyarakat luas.
Setali tiga uang, salah satu penerima ro-yalti paten, Sri Widowati, peneliti dari Balai Be-sar Litbang Pascapanen menuturkan, “Ini bukan semata-mata tentang imbalan, lebih dari itu, perolehan royalti menunjukkan bahwa perju-angan menghasilkan inovasi telah sampai pada
tahap hilirisasi, dimana hasil penelitian saya berguna bagi masyarakat, rakyat Indonesia”. Kebanggaan itu terlihat jelas menghiasi raut wajahnya. “Mendapatkan royalti paten atas penurunan indeks glike-mik beras ini membuat saya menjadi trend-setter bagi penelitian sejenis di masa mendatang,” ujarnya merefleksikan ke-banggaan itu.
Kebanggaan juga diungkapkan oleh manajemen Balai Besar Pengembangan Me-kanisasi Pertanian yang diwakili Agung Prabowo atas perolehan royalti paten oleh tim perekaya-sanya. Bahkan nominal yang diterima tergolong paling besar di antara penerima lainnya. “Tentu saja royalti itu menjadi motivasi bagi perekaya-sa lainnya untuk menghasilkan inovasi baru sekaligus menunjukkan kompetensi mereka di bidang perekayasa,” ujarnya mengakhiri perbin-cangan.
Memang, pencapaian royalti membawa
multiplier effects bagi lingkungan penerimanya.
Terbitnya dua peraturan tersebut hendaknya menjadi magnet bagi insan dunia riset untuk meningkatkan etos kerja, gairah dan semangat menghasilkan inovasi yang membawa maslahat bagi rakyat Indonesia, bahkan mungkin juga bagi umat di dunia. Salam inovasi! (VWH/IST/ MOR/RB) Kepala Balitbangtan menyerahkan royalti kepada Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
Suplemen Agrotek
Kasus kematian pedet (anak sapi) menjadi salah satu
momok yang dihadapi peternak. Salah satunya kematian
akibat diare yang disebabkan bakteri Eschericia coli. Namun,
sekarang peternak sapi sudah tidak perlu risau lagi, karena
Balai Besar Penelitian Veteriner, Balitbangtan, telah berhasil
memformulasikan vaksin yang efektif menanggulangi kasus
tersebut. Yaitu isolat lokal polivalen inaktif untuk sapi atau
lebih dikenal dengan “vaksin VTEC”.
F
aktanya, ketergantungan kita terhadap vaksin im-por masih tinggi sehingga tidak heran berdampak pada mahalnya biaya yang harus ditanggung pe-ternak, khususnya peternak rakyat. Sehinggapengembangan penelitian formulasi vaksin untuk ternak menjadi tumpuan bagi pemerintah untuk mensubstitusi vaksin-vaksin impor tersebut. Vaksin VTEC merupakan salah satu vaksin yang dikembangkan Balai Besar Penelitian Veteriner yang berkantor di kota Bo-gor. Vaksin ini dikembangkan oleh Prof Dr Drs Supar MS dalam bentuk inaktif dari bakteri enterotoksige-nik E coli dan verotoksigeenterotoksige-nik E coli yang telah terbukti ampuh untuk pengendalian kolibasilosis pada anak sapi.
Bicara keunggulan, formulasi vaksin ini sudah tidak diragukan lagi. Selain terbuat dari bakteri iso-lat lokal, juga mengandung semua jenis antigen imunoprotektif yang terdapat di lapangan. Yang tidak kalah penting adalah tidak toksik
Vaksin VTEC,
Sapi disuntik vaksin VTEC untuk menghindari kematian dini pedet.
dan tidak menimbulkan aborsi maupun efek samping lainnya. Bahkan vaksin ini mampu mencegah gejala diare dan menekan tingkat kematian anak sapi.
Aplikasinya pun relatif mudah, yaitu vaksinasi dilakukan pada induk sapi sebanyak lima ml secara subkutan pada leher di belakang telinga, saat kebuntingan tujuh bulan dan dua minggu sebelum beranak. Dapat menurunkan angka kematian anak sapi (pedet) dari 13% menjadi 0,7%.
Sebagai ilustrasi, 50 ekor induk sapi diperkirakan akan ber-anak sebanyak 50 ekor ber-anak sapi, maka kerugian yang berpotensi diderita akibat ancaman kematian anak sapi adalah sebanyak 6 ekor. Namun dengan aplikasi Vaksin VTEC sebanyak 2 dosis per ekor induk sapi dengan biaya sebesar Rp 2.000 per dosis, maka peternak cukup mengeluarkan biaya Rp 200.000 untuk kebutuh-an 50 ekor induk sapi ykebutuh-ang divaksinasi. Dengkebutuh-an asumsi kebutuh-angka ke-matian anak sapi dari induk yang sudah divaksin hanya sebanyak satu ekor, maka peternak sapi dapat terhindar dari risiko kerugian yang cukup besar. Bila seekor anak sapi dihargai Rp 4 juta, maka dengan penggunaan vaksin VTEC yang sangat terjangkau buat peternak ini akan dapat menyelamatkan penghasilan peternak sebanyak 20 juta rupiah.
Agar vaksin ini mudah diakses oleh peternak di seluruh pe-losok nusantara, maka Balitbangtan telah menggandeng salah satu perusahaan nasional, PT Caprifarmindo Laboratories, untuk bekerjasama dalam memproduksi vaksin ini secara massal. Vaksin ini diberi merek dagang CAPRIVAC VTEC. Semoga vaksin produksi anak bangsa ini dapat membantu peternak sapi kita, dan turut berkontribusi nyata dalam peningkatan produksi daging nasi-onal.
Suplemen Agrotek
C
ukup mengejutkan bahwa data menun-jukkan ternak babi merupakan salah satu komoditi ternak yang diekspor In-donesia dalam jumlah besar. Bahkan dipertegas data dari Kementerian Pertanian (2012) dimana volume impornya dapat dikatakan nol diban-dingkan dengan komoditi ternak lainnya yang juga diekspor.Jadi, ternak babi merupakan satu-satunya ternak yang kelebihan volume hasil ternaknya murni diekspor. Kondisi peternakan yang ter-batas ternyata tidak menjadi pemter-batas dalam perkembangan ternak babi. Tujuan ekspor un-tuk daging babi hasil ternak di Indonesia adalah negara-negara tetangga seperti Singapura, Ma-laysia dan Filipina dan pasar komoditi ternak babi masih terbuka untuk negara lainnya terma-suk Hongkong.
Vaksin ETEC,
Ternak Sehat, Keuntungan Meningkat
Namun, sama halnya dengan kondisi peter-nakan lainnya, bahwa tantangan terberat dalam beternak adalah berkaitan dengan kesehatan ternak. Kematian pada anak babi akibat diare yang disebabkan bakteri Eschericia coli, masih menjadi masalah. Namun sekarang sudah dite-mukan vaksin yang dapat menyelamatkan pe-ternak dari kerugian akibat kematian anak babi. Adalah Prof Dr Drs Supar MS, peneliti di Balai Besar Penelitian Veteriner, Balitbangtan, dengan formulasi vaksin inaktif yang dibuat dari sel bak-teria E coli yang mengandung antigen fimbriae (pili) K88; K99; F41, dan 987P, telah teruji dapat mengatasi masalah tersebut.
Penggunaan formulasi vaksin ini pada induk babi yang diinjeksikan sebanyak dua ml pada umur kebuntingan 70-75 hari dan di-booster de-ngan dosis yang sama pada umur kebuntide-ngan 100-105 hari, ternyata dapat menurunkan kasus diare dan mortalitas anak babi yang dilahirkan. Kasus diare rata-rata turun dari 14,3% menjadi 3,2%, sementara mortalitas rata-rata turun dari
Penyebarluasan
vaksin ini diharapkan
sekaligus menjadi
upaya pencegahan
penyebaran bakteri
E coli.
“
“
14,8% menjadi 3,1% sampai dengan umur dua minggu. Penggunaan vaksin yang juga dise-but sebagai Vaksin ETEC Multivalen pada induk babi di tingkat akhir kebuntingan merupakan metode alternatif yang efektif dalam pengenda-lian kolibasilosis neonatal pada anak babi.
Apa kelebihannya? selain mampu melindu-ngi anak babi dari infeksi kolibasilosis, teknologi ini menawarkan kemudahan dalam
mempro-Analisa Keuntungan dari Penggunaan Vaksin ETEC
Parameter
Jumlah Harga Satuan
(Rp)
Total
(Rp)
Asumsi 10 ekor induk babi melahirkan 80 ekor anak babi
A. Kematian anak babi (jika tidak divaksin
dengan Vaksin ETEC) 12 ekor 250.000 3.000.000
B. Pemakaian Vaksin ETEC (2 dosis untuk 1
ekor babi) 20 dosis 4.000 80.000
C. Kematian dengan vaksin ETEC 3 ekor 250.000 750.000
Keuntungan yang diperoleh (A-B-C) 2.170.000
antibodi maternal mampu bertahan selama 3-4 minggu setelah melahirkan, serta tidak menimbulkan nekrosis pada bekas suntikan sehingga tidak ada kecacatan tubuh
ter-nak. Diantara keunggulan terse-but yang paling penting
adalah kemanfaatan-nya bagi peternak un-tuk menyelamatkan
keuntungan yang se-harusnya diperoleh dengan menekan tingkat kematian. Ter-catat bahwa dari hasil analisa keuntungan dalam penggunaan vaksin ini, kerugian ekonomi yang dapat dicegah peternak pada skala usaha 10 ekor in-duk babi mencapai Rp 2.170.000.
Teknologi vaksin ini potensial untuk di-kerjasamakan dengan industri obat-obatan hewan/veteriner dan atau oleh peternak babi komersial. Adalah PT. Caprifarmindo Laborato-ries yang telah menyambut peluang tersebut, dengan merk dagang CAPRIVAC ETEC. Nantinya penyebarluasan vaksin ini diharapkan sekaligus menjadi upaya pencegahan penyebaran bakteri