• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris di mana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto), perolehan devisa melalui ekspor-impor, dan penekanan inflasi.

Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia ADHK 2000 pada Tahun 2011-2014 (Triliyun Rupiah)

Lapangan Usaha 2011 2012 2013 2014

Pertanian

Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan

Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan

Perdagangan, Hotel-Restoran Pengangkutan dan

Komunikasi

Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa 993,85 748,95 1.607,45 76,67 683,42 1.013,20 265,77 256,44 108,24 1.039,44 771,56 1.697,78 84,39 728,22 1.067,91 284,66 280,90 116,29 1.083,14 785,01 1.744,09 88,80 772,71 1.118,21 308,52 306,43 125,49 1.128,44 789.32 1.856,31 93,75 826,61 1.172,36 333,19 321,53 137,80 Sumber : Statistik Indonesia 2015 (diolah)

Sektor pertanian merupakan sektor kedua setelah sektor industri yang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) Indonesia. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara. Tabel 1. menunjukkan bahwa sektor pertanian pada tahun 2011 menyumbangkan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) sebesar Rp 993,85 triliyun sedangkan tahun 2014 Rp 1.128,44 triliyun. Sumbangan sektor pertanian naik sebesar Rp 134,59 triliyun. PDRB (Peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto) di sektor

(2)

pertanian menunjukkan bahwa sektor pertanian masih memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan di Indonesia.

Di era pembangunan, terdapat beberapa permasalahan di sektor pertanian yang harus diselesaikan. Salah satu permasalahan tersebut adalah alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non sawah yang saat ini terus mengalami peningkatan. Menurut Utomo dalam Lestari (2009) alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah perubahan suatu penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah faktor internal seperti umur petani, pendidikan, dan harga lahan sawah dan faktor eksternal, yaitu pertumbuhan ekonomi, keaadan demografi, serta kebijakan pemerintah.

Pertumbuhan penduduk yang pesat akan berdampak pada peningkatan kebutuhan ruang untuk mewadahi aktifitas setiap penduduk dalam suatu wilayah yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk lahan. Di atas lahan penduduk melakukan berbagai aktifitas, baik secara individual maupun berkelompok. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat berbanding lurus dengan peningkatan jumlah permintaan akan lahan. Suatu kota atau wilayah memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam memenuhi permintaan lahan, baik secara fisik dan geografis maupun kemampuan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur dan pelayanan kota atau wilayah. Usaha untuk memenuhi kebutuhan akan lahan dilakukan dengan mentransformasikan lahan di sektor pertanian menjadi lahan di luar sektor pertanian, seperti penggunaan untuk sektor industri, perumahan, dan komplek perkantoran pemerintahan.

Alih fungsi lahan pertanian merupakan dampak dari transformasi struktur ekonomi (pertanian ke industri), dan demografi (pedesaan ke perkotaan) yang pada akhirnya mendorong transformasi sumber daya lahan dari sektor pertanian ke non pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke sektor non pertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam konteks ekonomika lahan yang menempatkan sumberdaya lahan sebagai faktor produksi, kemudian secara alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk aktifitas pertanian dan aktifitas

(3)

industri. Gejala alih fungsi lahan dari lahan sawah menjadi lahan non sawah semakin meningkat, khususnya bagi suatu kota atau wilayah yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa. Gejala ini cenderung terjadi di desa-desa di wilayah pinggiran kota di mana lahan persawahan masih tersedia cukup luas (Bachriadi, 1997).

Fenomena alih fungsi lahan sawah terjadi sangat pesat di beberapa wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa sebesar 54 persen lebih tinggi dibandingkan Pulau Sumatera dan beberapa daerah di seluruh Indonesia sebesar 38 persen (Anugrah, 2005). Salah satu wilayah di Pulau Jawa yang mengalami alih fungsi lahan yakni Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri yang ada di Pulau Jawa. Permintaan terhadap sumber daya lahan sawah yang tinggi menyebabkan penurunan lahan sawah menjadi 55,02 juta hektar di tahun 2012 dari 55,33 juta hektar pada tahun 2008. Tingginya alih fungsi lahan di Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan untuk kepentingan di luar pertanian, seperti jalan tol, industri, perumahan, residential, dan pusat perbelanjaan (BPS, 2015).

Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan sawah berlangsung cepat dan nyata. Menurut Irawan (2005), Semakin sedikit lahan sawah maka semakin sedikit ketersediaan bahan pangan. Di sisi lain tiap tahun pertumbuhan penduduk semakin meningkat. Pembukaan lahan sawah baru pun belum bisa menggantikan jumlah produksi akibat alih fungsi lahan pertanian. Jika ini terus berlanjut maka akan mengganggu swasembada beras yang berdampak pada ketahanan pangan. Dampak yang timbul dari adanya alih fungsi lahan menyebabkan perlu dilakukan penelitian ini guna mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Sleman.

B. Rumusan Masalah

(4)

1. Bagaimana perkembangan alih fungsi lahan sawah ke non sawah tahun 1984-2013 di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta?

2. Bagaimana pertumbuhan luas lahan sawah tahun 1984-2013 di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah tahun 1984-2013 di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta?

C. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Menganalisis perkembangan alih fungsi lahan sawah ke non sawah tahun 1984-2013 di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Menganalisis pertumbuhan luas lahan sawah tahun 1984-2013 di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

c. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah tahun 1984-2013 di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini:

1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti terkait dengan bahan yang dikaji dan merupakan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran dan dasar dalam penyusunan kebijakan terkait pengembangan wilayah Kabupaten Sleman.

3. Bagi Pembaca, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan kajian mengenai alih fungsi lahan pertanian.

(5)
(6)

II. LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu

Penelitian Sumaryanto et al. (2001) yang berjudul Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian dan Dampak Negatifnya di Pulau Jawa, menyatakan bahwa secara langsung maupun tidak langsung konversi lahan sawah memiliki potensi ancaman yang nyata terhadap kapasitas nasional dalam mewujudkan pasokan pangan yang aman untuk mendukung ketahanan pangan yang mantap. Kebijakan mengenai alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lahan lain sangat dirasakan urgensinya. Tujuan Kebijakan alih fungsi lahan adalah agar implementasi kebijakan dapat efektif, sistem perhitungan mengenai kerugian akibat alih fungsi lahan sawah harus komperhensif dan pada saat yang sama diperlukan perbaikan dalam sistem pemantauan, pendataan, dan dokumentasi mutasi lahan.

Penelitian Ilham et al. (2004) yang berjudul Perkembangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonomi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa harga lahan, aktifitas ekonomi suatu wilayah, pengembangan pemukiman, dan daya saing produk pertanian merupakan faktor-faktor ekonomi yang menentukan konversi lahan sawah. Sementara itu, dalam lingkup makro, konversi lahan sawah berkorelasi positif dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik regional Bruto (PDRB), sedangkan konversi lahan sawah berkorelasi negatif dengan nilai tukar petani. Kedua hal ini sejalan dengan temuan pada lingkup mikro. Secara mikro, berkembangnya pemukiman mempengaruhi konversi lahan sawah, namun secara makro pengembangan pemukiman yang diproksi dengan peningkatan jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan yang positif. Hal ini mengindikasikan adanya trend pemilikan rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi sebagai investasi.

(7)

Penelitian Irawan (2005) yang berjudul Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfataanya, dan Faktor Determinan di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian konversi lahan di masa yang akan datang perlu diarahkan untuk mencapai tiga sasaran, yaitu 1) menekan intensitas faktor sosial dan ekonomi yang dapat merangsang konversi lahan sawah, 2) mengendalikan luas, lokasi, dan jenis lahan sawah yang dikonversi dalam rangka memperkecil potensi dampak negatif yang ditimbulkan, dan 3) menetralisir dampak negatif konversi lahan sawah melalui kegiatan investasi.

Penelitian Wani dan Khairkar (2011) yang berjudul Mengukur Penggunaan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kota Srinagar, Jammu, dan Kashmir di India memaparkan studi mengenai perubahan penggunaan lahan atau perubahan tutupan lahan merupakan aspek penting di dalam studi pembelajaran mengenai database sumber daya alam. Pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan tutupan lahan adalah hal penting bagi kegiatan perencanaan dan pengelolaan serta salah satu bagian penting untuk pembuatan model dan pemahaman bumi di masa depan. Peningkatan urbanisasi di Kota Srinagar menyebabkan terjadi perubahan area. Pada tahun 1901 Kota Srinagar memiliki luas 12,8 km2 meningkat menjadi 82,88 km2 pada tahun 1971 dan 270 km2 pada tahun 2001. Studi ini menyelidiki perubahan lahan Kota Srinagar yang terletak di lembah Khasmir jantung Pegunungan Himalaya. Perluasan perkotaan disebabkan oleh pertambahan penduduk yang mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan dengan pusat perkotaan Anantnag. Alih fungsi lahan parah yang terjadi meneyebabkan hilangnya lahan pertanian, lahan peraiaran dan rawa.

Penelitian Uchyani dan Ani (2012) yang berjudul Tren Alih Fungsi Lahan Pertanian di Klaten menunjukkan bahwa luas lahan sawah di Kabupaten Klaten cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun dengan tingkat pertumbuhan 0,53% per tahun. Terdapat 3 kecamatan dengan

(8)

tingkat pertumbuhan positif yaitu Kecamatan Kemalang, Ngawen, dan Wonosari. Luas lahan tegal di Kabupaten Klaten cenderung bertambah dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan 0,47% per tahun. Kecamatan Kemalang merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Klaten yang mengalami penyusutan lahan tegalan.

Penelitian Carolina et al. (2014) yang berjudul Implementasi Kebijakan Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Kawasan Perumahan di Sidoarjo meneliti tentang kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan di Kabupaten Sidoarjo berpedoman pada Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009-2029. Pemanfaatan lahan pertanian untuk kawasan perumahan di Kabupaten Sidoarjo telah diatur dalam penetapan pola ruang yang meliputi kawasan perumahan dan kawasan pertanian. Pelaksana kebijakan yang berkoordinasi dalam kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan terdiri dari pemerintah, developer, dan masyarakat. Faktor penghambat dalam implementasi kebijakan alih fungsi lahan menjadi kawasan perumahan adalah keterbatasan pemerintah pada lahan yang melalui proses perijinan dan keterbatasan aparatur pengawasan lapangan. Faktor pendukung implementasi kebijakan alih fungsi lahan menjadi kawasan perumahan adalah bahwa setiap pelaksana kebijakan menentukan kelayakan alih fungsi melalui sebuah rapat bersama. Faktor yang lain yang juga menjadi pendukung adalah sumber daya non manusia yang dimiliki oleh Kabupaten Sidoarjo yaitu terkait dengan jumlah penduduk dan tingkat kemudahan aksesibilitas.

Kesimpulan dari penelitian terdahulu adalah alih fungsi lahan sawah ke non sawah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Aktifitas ekonomi suatu wilayah, pengembangan pemukiman, daya saing produk pertanian, dan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) merupakan faktor-faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Jumlah

(9)

penduduk yang semakin meningkat berpengaruh pada peningkatan jumlah pemukiman, sehingga mempengaruhi alih fungsi lahan sawah ke non sawah.

B. Tinjauan Pustaka

1. Lahan (Land)

Pengertian lahan (land) berbeda dengan tanah, di mana tanah merupakan salah satu aspek dari lahan. Sumberdaya lahan dapat diartikan sebagai sumberdaya fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi, dan vegetasi di mana batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan (FAO dalam Rayes, 2007), sedangkan menurut the Random House Dictionary of the English Language dalam Davis (1976) bahwa land is any part of the earth, surface wich can be owned as property, and everything annexed to it, weither by nature or by hand of man. Lahan menurut Davis adalah bagian permukaan bumi yang dapat dimiliki sebagai properti dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu baik secara alami maupun buatan manusia.

Jayadinata (1986) mengemukakan bahwa lahan adalah sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dari seluruh permukaan bumi yang dihuni hanya sekitar 25% merupakan daratan yang dapat digunakan manusia untuk hidup dan 75% adalah perairan. Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang mempunyai ciri-ciri, yakni mempunyai luas yang relatif tetap dan mempunyai sifat fisik, kimia dan biologi serta jenis batuan, kandungan mineral, topografi, serta iklim. Lahan memerlukan arahan dalam penggunaannya dengan aktifitas yang paling sesuai dengan sifat fisik yang dipunyai, kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa lahan merupakan bagian dari bentang alam di mana lingkungan fisik seperti iklim, topografi, tanah, hidrologi, dan keadaan vegetasi alami yang terdapat secara potensial dapat mempengaruhi penggunaan lahan. Penggunaan lahan merupakan bentuk campur tangan manusia terhadap

(10)

suatu lahan dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik material maupun spiritual.

2. Lahan Pertanian

Sumber daya lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai tempat hidup dan tempat mencari nafkah. Lahan merupakan sumber daya alam strategis yang digunakan untuk pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.

Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukkan untuk kegiatan pertanian. Sumber daya lahan pertanian memiliki banyak manfaat bagi manusia. Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan bahwa manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini.

Masyarakat memanfaatkan lahan sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber penghidupan dan tempat untuk memproduksi bahan pangan. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyat. Tumpang tindih kepentingan antar pelaksana kebijakan terjadi karena banyak kepentingan terkait dalam penggunaan lahan.

3. Teori Lokasi

Berdasarkan teori lokasi Von Thunen dalam Tarigan (2012), surplus ekonomi suatu lahan banyak ditentukan oleh lokasi ekonomi (jarak ke

(11)

kota). Menurut Von Thunen biaya transportasi dari lokasi suatu lahan ke kota (pasar) merupakan input produksi yang penting, makin dekat lokasi suatu lahan ke kota maka makin tinggi aksesibilitasnya atau biaya transport semakin mahal berbanding terbalik dengan jarak. Semakin jauh jarak ke pusat pasar maka biaya transportasi semakin mahal sehingga land rent semakin turun sejalan dengan semakin meningkatnya biaya transportasi.

Dasar konsep Von Thunen menjelaskan bahwa penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang pada akhirnya menentukan sewa tanah (land rent). Teori ini juga relevan untuk sewa atau penggunaan lahan di perkotaan dengan menambahkan aspek tertentu, misalnya aspek kenyamanan dan penggunaan lahan di masa lalu. Penggunaan lahan antara kota satu dengan yang lain memang berbeda, namun kecenderungan saat ini adalah pusat kota secara umum didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa, sedikit ke arah luar diisi oleh kegiatan industri kerajinan (home industry) bercampur dengan perumahan sedang atau kumuh. Perumahan elit justru mengambil lokasi ke arah luar lagi (mengutamakan kenyamanan). Industri besar umumnya berada di luar kota karena banyak pemerintah kota yang melarang industri besar dan berpolusi mengambil lokasi di dalam kota.

Perkembangan dari Teori Von Thunen adalah harga tanah yang tinggi di pusat kota, begitu pula untuk harga tanah yang terletak di pinggir jalan utama mempunyai harga lebih tinggi. Semakin tinggi kelas jalan utama tersebut maka harga sewa tanah akan makin mahal. Lahan sawah mayoritas berada jauh dari pusat kota tentu saja memiliki harga sewa tanah (land rent) yang relatif lebih rendah. Harga sewa tanah lahan sawah yang relatif rendah memberikan kemudahan bagi pelaku alih fungsi lahan untuk merubah kegunaan lahan sawah. Rendahnya harga sewa tanah lahan sawah juga membuat investor tertarik untuk mebeli lahan sawah yang biasanya dialihfungsikan untuk lahan non sawah.

(12)

4. Alih Fungsi Lahan Sawah

Alih fungsi lahan pertanian sudah dilakukan sejak dulu. Taraf hidup yang semakin meningkat menyebabkan kesempatan untuk menciptakan peluang kerja semakin terbuka. Hal ini, ditandai dengan semakin banyak investor ataupun masyarakat dan pemerintahan dalam melakukan pembangunan, maka makin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Di sisi lain jumlah lahan terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan pertanian beralih ke penggunaan non pertanian.

Konversi lahan (land conversion) atau alih fungsi lahan dapat didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi pada suatu penggunaan lahan ke penggunaan lain, sehingga permasalahan yang terjadi akibat konversi lahan sering dikaitkan dengan kebijakan tata guna lahan (Ruswandi, 2005). Secara umum, alih fungsi lahan atau konversi lahan menyangkut perubahan dalam pengalokasian sumber daya lahan dari suatu pemanfaatan ke pemanfaatan lain. Alih fungsi lahan banyak terjadi di daerah sekitar perkotaan, karena lahan memiliki potensi tinggi mendukung perkembangan sektor industri dan jasa.

Kegiatan alih fungsi lahan berkaitan erat dengan permintaan dan penawaran lahan. Ketidakseimbangan antara permintaaan dan penawaran lahan menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan, di mana penawaran terbatas sedangkan permintaan tak terbatas. Menurut Barlowe (dalam Puspasari, 2012), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap, dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.

Alih fungsi lahan sawah ke non sawah merupakan hal yang perlu diperhatikan karena ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian yang tinggi. Proses alih fungsi lahan pada dasarnya dapat dipandang

(13)

sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan yang dimaksud tercermin dengan adanya 2 hal yakni, pertumbuhan akitvitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya jumah penduduk serta kebutuhan perkapita dan pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam ke aktifitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Menurut hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung sebagai nilai keuntungan bersih dari aktifitas pemanfaatan lahan persatuan luas lahan dan waktu (Rustiadi dalam Iqbal dan Sumaryanto, 2007).

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah

Menurut Fortunata et al. (2011) pertumbuhan penduduk, meningkatnya perekonomian, dan urbanisasi di suatu daerah merupakan faktor-faktor penting dalam perencanaan penggunaan lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa disebabkan meningkatnya pembangunan, baik pembangunan perumahan maupun industri. Permasalahan alih fungsi lahan ini memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi alih fungsi lahan merugikan sektor pertanian dan mengancam ketahanan pangan. Di sisi lain alih fungsi lahan menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non pertanian seperti sektor jasa, konstruksi, dan industri.

Peningkatan pendapatan yang diperoleh para pengkonversi lahan berpengaruh pada terjadinya alih fungsi lahan (Setyoko dan Santosa, 2014). Peningkatan pendapatan yang diperoleh masyarakat cenderung dimanfaatkan untuk membangun atau merenovasi rumah. Selain itu, pendapatan yang meningkat digunakan untuk berinvestasi, tetapi investasi yang dilakukan bukan pada sektor pertanian melainkan pada sektor non pertanian.

Menurut Setyoko dan Santosa (2014) faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan.

(14)

Faktor ekonomi berkaitan erat dengan kelangsungan hidup pelaku alih fungsi lahan dalam hal ini petani. Upah di sektor pertanian yang cenderung rendah menyebabkan petani beralih pekerjaan yang dianggap memberikan pendapatan yang lebih baik. Petani lebih memilih berinvestasi di bidang lain seperti perdagangan dengan membuka toko atau pun memilih untuk menjual lahan sawah yang dimiliki karena dianggap dapat menghasilkan pendapatan yang lebih menjanjikan.

6. Regresi Linear Berganda

Regresi yang berarti peramalan , penaksiran, atau pendugaan pertama kali diperkenalkan pada tahun 1877 oleh SirFrancis Galton. Analisis regresi digunakan untuk menentukan bentuk dari hubungan antarvariabel. Tujuan utama dalam penggunaan analisis regresi linear adalah untuk meramalkan atau memperkirakan nilaidari satu variable dalam hubungannya dengan variabel lain yang diketahui melalui persamaan garis regresinya (Hasan, 2003).

Menurut Gujarati (2007), analisis regresi menyangkut studi tentang hubungan antara satu variable yang disebut variabel dependen atau variabel yang dijelaskan dan satu atau lebih variabel independen atau variabel penjelas. Regresi linear berganda merupakan regresi di mana lebih dari satu variabel independen digunakan untuk menjelaskan perilaku variabel dependen. Analisis regresi bisa memiliki salah satu dari beberapa tujuan di bawah ini:

a. Untuk menaksir nilai rata-rata dari variabel tak bebas berdasarkan nilai-nilai variable bebas yang ada.

b. Untuk menguji hipotesis tentang sifat ketergantungan antar variabel c. Untuk memprediksi atau meramalkan, nilai rata-rata dari variabel

dependen berdasarka nilai variable independen yang berada di luar rentang sampel.

(15)

Model log-linear dapat dengan mudah digeneralisir menjadi model yang memuat lebih dari satu variabel penjelas. Model log-linear dapat dinyatakan sebagai berikut:

LnYi = B1 + B2LnX2i +B3LnX3i + ui

Dalam model ini, koefisien kemiringan parsial B2 dan B3 juga disebut

sebagai koefisien elastisitas parsial. Jadi B2 mengukur elastisitas Y

terhadap X2, dengan mempertahankan pengaruh X3 pada tingkat yang

konstan. Dalam hal ini B2 mengukur persentase perubahan Y untuk setiap

persen perubahan X2, dengan mempertahankan pengaruh X3 pada tingkat

yang konstan. Karena pengaruh X3 dipertahankan konstan, maka B2 disebut

elastisitas parsial. Demikian pula, B3 mengukur elastisitas (parsial) dari Y

terhadap X3, dengan mepertahankan pengaruh X2 pada tingkat yang

konstan. Model berganda log-linear tiap koefisien kemiringan parsial mengukur elastisitas parsial dari variable tak bebas dari variable dependen terhadap variable independen yang bersangkutan dengan mempertahankan semua variabel lain pada tingkat yang konstan (Gujarati, 2007).

Permasalahan yang sering dihadapi adalah adanya variabel independen yang berskala ukuran non-metrik atau kategori. Jika variabel independen berukuran kategori atau dikotomi, maka dalam model regresi variabel tersebut harus dinyatakan sebagai variabel dummy dengan memberi kode nol (0) atau satu (1). Setiap variabel dummy menyatakan satu kategori variabel independen non-metrik dengan kategori dapat

dinyatakan dalam k-1 variabel dummy

(Ghozali, 2011).

Uji signifikansi merupakan pendekatan alternatif, bersifat melengkapi dan merupakan pendekatan yang lebih singkat dalam pengujian hipotesis. Uji hipotesis menggunakan uji signifikansi dapat dilakukan dengan melakukan uji koefisien determinasi (R2), uji F, dan uji t. Uji koefisien detrminasi merupakan pengujian yang berguna untuk mengukur besarnya

(16)

kontribusi variabel independen secara keseluruhan terhadap variabel dependen. Uji F digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan. Uji t digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial (Gujarati, 2007).

Tiap koefisien regresi yang ditaksir dengan menggunakan metode OLS bersifat linear dan tak bias. Metode OLS (Ordinary Least Square) merupakan metode yang memilki beberapa sifat teoritis yang kokoh, yang diringkas dalam Teorema Gauss-Markov. Berdasarkan asumsi-asumsi dari model regresi linear klasik, penaksir OLS memiliki varians yang terendah di antara penaksir-penaksir linear yang lain. Dalam hal ini penaksir OLS disebut penaksir tak bias linear terbaik (BLUE/Best Linear Unbiased Estimator). Koefisien yang ditaksir menggunakan penaksir OLS tepat sama dengan nilai yang sebenarnya dan bersifat efisien.

BLUE dapat tercapai dengan uji asumsi klasik. Ada 4 uji asumsi klasik, yaitu:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah nilai residual yang telah distandarisasi pada model regresi terdistribusi normal atau tidak. Nilai residual dikatakan berdistribusi normal jika nilai residual erstandarisai tersebut sebagian besar mendekati nilai rata-ratanya. Data berdistribusi normal digambarkan dengan bentuk kurva yang berbentuk gambar lonceng yang kedua sisinya melebar sampai tak terhingga. b. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas diartikan terjadi korelasi linear yang mendekati sempurna antara lebih dari dua variabel independen . uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi yang terbentuk terdapat korelasi yang tinggi atau sempurna diantara variabel independen atau tidak. Jika dalam model regresi yang

(17)

terbentuk korelasi yang tinggi atau sempurna di antara variabel independen maka model regresi dinyatakan mengandung multikolinearitas.

c. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas baerarti ada varian variable pada model regresi yang tidak sama , sebaliknya jika varian variable pada model regresi memiliki nilai yang sama maka disebut dengan homoskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas. Masalah heteroskedastisitas sering terjasi pada penelitian yang menggunakan data cross section.

d. Uji Otokorelasi

Uji otokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara angoota seragkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang cross section. Beberapa penyebab munculnya masalah otokorelasi dalam analisi regresi adalah adanya kelembaman, bias spesifikasi model kasus variable yang dimasukkan, adanya fenomena laba-laba, dan manipulasi data. Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya otokorelasi, yaitu menggunakan metode grafik, metode Durbin Watson, dan metode Run Test.

7. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah

Sumber daya lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Menurut Irawan et. al. dalam Irawan (2005) secara nasional sumber daya lahan sawah memiliki peranan penting dalam memproduksi bahan pangan. Sekitar 90 persen produksi padi nasional dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya dari lahan kering. Lahan sawah juga memiliki peranan besar dalam memproduksi sayuran dan palawija seperti jagung, kedelai, dan kacang tanah yang ditanam pada musim kemarau. Oleh karena itu, hilangnya lahan sawah akibat dialihfungsikan ke penggunaan lahan non pertanian akan menimbulkan

(18)

dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan. Dampak negatif dapat terjadi dalam jangka waktu pendek atau pun panjang.

Widjanarko et al. dalam Puspasari (2012) berpendapat bahwa dampak negatif yang dapat ditimbulkan dengan adanya alih fungsi lahan, antara lain:

a. Luas sawah yang semakin sempit menyebabkan pergeseran lapangan pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Jika ini terjadi dan tenaga kerja lokal tidak dapat terserap semua maka yang terjadi adalah jumlah pengangguran semakin meningkat.

b. Penurunan jumlah luas lahan mengakibatkan produksi padi yang menurun, sehingga dapat mengganggu swasembada pangan.

c. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri, menyebabkan luas lahan tidur semakin meningkat. Peningkatan lahan tidur dapat menimbulkan konflik sosial, seperti penjarahan tanah. Kegagalan investor terjadi sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan yang berakibat tidak dapat memanfaatkan tanah yang telah diperoleh.

d. Ekosistem sawah yang berada di jalur utara Pulau Jawa semakin menyempit. Padahal, ekositem sawah di utara Pulau Jawa adalah lahan sawah terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar di Kalimatan tengah tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Alih fungsi lahan sawah untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi terkhusus di wilayah urban tidak dapat dihindari di Pulau Jawa yang memang padat penduduk. Keadaan demikian dapat memicu alih fungsi lahan yang lebih luas lagi, karena pembangunan pemukiman tersebut akan diikuti oleh pembangunan prasarana ekonomi. Dari sisi pertanian hal tersebut akan mengganggu ekosistem sawah berupa gangguan hama, kurang penyinaran, dan gangguan tata air.

(19)

Menurut Irawan (2005), salah satu dampak alih fungsi lahan yang sering mendapat sorotan masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan sosial. Semakin sedikit lahan sawah maka semakin sedikit ketersediaan bahan pangan. Di sisi lain tiap tahun pertumbuhan penduduk semakin meningkat. Pembukaan lahan sawah baru pun belum bisa menggantikan jumlah produksi akibat alih fungsi lahan pertanian. Jika ini terus berlanjut maka swasembada beras bisa dikatakan hanya tinggal angan-angan.

C. Kerangka Berpikir

Kabupaten Sleman adalah salah satu kabupaten yang terus mengalami alih fungsi lahan yang mengakibatkan luas lahan pertanian di Kabupaten Sleman mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak beralihfungsi adalah lahan sawah. Lahan sawah bertransformasi menjadi lahan kering serta lahan non pertanian. Laju alih fungsi lahan dilihat berdasarkan data yang didapat dari BPS.

Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi pertanian. Luasan lahan pertanian khususnya lahan sawah terus mengalami penurunan. Berkurangnya jumlah lahan sawah ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat sehingga timbul alih fungsi lahan sawah ke non sawah seperti residential, industri, dan infrastruktur untuk memenuhi permintaan yang ada. Alih fungsi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintahan, swasta, dan komunitas (masyarakat).

Alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Masalah alih fungsi lahan sawah terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Laju alih fungsi lahan yang

(20)

tinggi pada daerah pusat perekonomian ataupun yang berada disekitar pusat perekonomian menyebabkan tekanan terhadap lahan sawah pada penggunan non sawah. Tekanan terhadap lahan sawah tersebut berwujud terhadap penyempitan rata-rata penguasan lahan oleh petani. Pembukaan areal baru yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk yang terus meningkat juga menjadi factor pendorong semakin meningkatnya laju alih fungsi lahan.

Alih fungsi lahan dari lahan sawah ke non sawah dipengaruhi oleh eksternal dan kebijakan pemerintah. Faktor eksternal atau wilayah merupakan faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah residential, panjang jalan, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan kebijakan pemerintah. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah ke non sawah di Kabupaten Sleman dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan regresi linear berganda berbasis OLS (Ordinary Least Square).

(21)

Gambar 1. Kerangka Berpikir

D. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari sebuah penelitian yang akan dilakukan. Hipotesis di dalam penelitian ini adalah diduga faktor jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah residential, panjang jalan, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap alih fungsi lahan sawah ke lahan non sawah di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

E. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: Kabupaten Sleman

Lahan Sawah Lahan Non Sawah

Alih Fungsi Lahan

Pertumbuhan Luas Lahan Sawah

Faktor-faktor yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah - Jumlah Penduduk - Jumlah Industri - Jumlah Residential - Panjang Jalan - PDRB - Kebijakan Pemerintah Perkembangan Alih

(22)

1. Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menggunakan data sekunder dalam kurun waktu 1984-2013.

2. Penelitian ini terbatas pada beberapa variabel yaitu luas lahan sawah, jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah residential, panjang jalan, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan kebijakan pemerintah.

F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional dan pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten yang ada di Daerah

Istimewa Yogyakarta.

2. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang atau galengan, saluran untuk menahan atau menyalurkan air tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut. Satuan yang digunakan adalah hektar (Ha).

3. Lahan non sawah adalah lahan kering yang digunakan atau dimanfaatkan baik untuk sektor pertanian maupun di luar sektor pertanian. Satuan yang digunakan adalah hektar (Ha).

4. Alih fungsi lahan merupakan perubahan luas lahan sawah yang beralih fungsi ke penggunaan lahan non sawah. Satuan yang digunakan adalah hektar (Ha).

5. Perkembangan alih fungsi lahan adalah luas lahan sawah dari tahun ke tahun. Satuan yang digunakan adalah hektar (Ha).

6. Pertumbuhan luas lahan sawah adalah perubahan luas lahan sawah di Kabupaten Sleman tiap tahun. Satuan yang digunakan adalah persen (%). 7. Regresi linear berganda adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk

mendefinisikan hubungan antara variabel dependen (luas lahan sawah) dengan satu atau beberapa variabel independen (jumlah penduduk, jumlah

(23)

industri, jumlah residential, panjang jalan, PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto, dan kebijakan pemerintah).

8. OLS (ordinary Least Square) adalah metode yang digunakan untuk mengestimasi parameter model regresi linear berganda.

9. Faktor alih fungsi lahan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah yang meliputi jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah residential, panjang jalan, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan kebijakan pemerintah.

10. Jumlah penduduk merupakan banyaknya penduduk yang tinggal dan menetap di Kabupaten Sleman. Jumlah ini terdiri dari gabungan antara penduduk laki-laki dan perempuan yang sudah tercatat oleh pemerintah setempat. Satuan yang digunakan adalah orang atau jiwa.

11. Jumlah industri merupakan jumlah industri yang tercatat di dinas perindustrian, perdagangan dan koperasi Kabupaten Sleman (Disperindagkop) yang dipublikasikan oleh BPS. Industri tersebut terdiri dari industri rumah tangga (jumlah tenaga kerja<5 orang), industri kecil (jumlah tenaga kerja antara 6 sampai 19 orang), industri menengah (tenaga kerja anatara 20 sampai 99 orang), serta industri besar (jumah tenaga kerja >100 orang). Satuan yang digunakan adalah buah.

12. Jumlah residential merupakan penjumlahan antara jumlah hotel dan jumlah perumahan. Satuan yang digunakan adalah unit.

13. Panjang jalan adalah total panjang jalan yang tercatat di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kabupaten Sleman yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik. Jalan tersebut terdiri dari jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Satuan yang digunakan adalah kilometer (km).

14. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan banyaknya pendapatan Kabupaten Sleman yang terdiri dari berbagai sektor yang ada, baik itu sektor pertanian, industri, maupun sektor lainnya pada tiap tahunnya. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang digunakan

(24)

yakni PDRB dengan Angka Dasar Harga Konstan tahun 2000. Satuan yang digunakan adalah jutaan rupiah.

15. Kebijakan pemerintah adalah kebijakan yang dibuat dan diaplikasikan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah yang digunakan, yaitu UU No. 16 Tahun 2004.

(25)

III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2003), metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analitis merupakan salah satu cara pemecahan masalah dengan melakukan pengumpulan data yang mula-mula disusun, dijelaskan, dan kemudian dianalisa (Surakhmad, 2004).

B. Metode Pengambilan Lokasi Penelitian

Lokasi tempat penelitian dipilih secara sengaja (purposive), yaitu memilih objek karena alasan-alasan tertentu yang telah diketahui (Surakhmad, 2004). Penelitian ini dilakukan di 17 kecamatan yang berada di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Sleman memiliki PDRB tertinggi disbanding Kabupaten lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbandingan PDRB Kabupaten Sleman dibandingkan dengan Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, serta Kota Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. PDRB menurut ADHK Tahun 2000 Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012-2013 (Juta Rupiah)

No Kabupaten/Kota 2012 2013 1. 2. 3. 4. 5. Sleman Yogyakarta Bantul Gunung Kidul Kulon Progo 7.069.229 6.151.679 4.400.319 3.642.562 1.963.028 7.471.898 6.498.900 4.645.182 3.852.350 2.062.182 Sumber : Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka, 2012-2013

(26)

Tabel 2. menunjukkan bahwa Kabupaten Sleman merupakan

Kabupaten yang memiliki PDRB paling tinggi pada tahun 2012 dan 2013 yaitu sebesar Rp 7.069.229 juta dan Rp 7.471.898 juta. Kabupaten Sleman memiliki keunggulan dalam hal kelengkapan infrastruktur dan letak geografis, seperti kelebihan sumber daya alam dengan mempunyai lahan subur, dan mempunyai banyak situs peninggalan sejarah yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata. Kabupaten Sleman juga dikenal sebagai pusat fasilitas pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat Universitas. Kondisi ini mendukung pergerakan ekonomi di sektor-sektor perhotelan, perdagangan, restoran, konstruksi dan sektor yang lainnya.

Tabel 3. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta

No Kabupaten/Kota Luas Wilayah (km2) Jumlah Penduduk (jiwa) 1. 2. 3. 4. 5. Gunungkidul Kulonprogo Sleman Bantul Yogyakarta 1.485,36 586,27 574,82 506,85 32,50 698.825 405.222 1.163.970 968.632 400.467 Sumber: Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka, 2014

Tabel 3. menunjukkan bahwa Kabupaten Sleman memiliki luas wilayah terluas ketiga dengan luas 574,82 km2 setelah Kabupaten Gunungkidul 1.485,36 km2 dan Kabupaten Kulonprogo 586,27 km2, namun memiliki jumlah penduduk paling tinggi 1.163.970 jiwa di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kabupaten Sleman yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta masih memiliki banyak lahan pertanian khususnya di bagian utara dan barat. Kecamatan yang masih memiliki banyak lahan pertanian, yaitu Kecamatan Tempel, Turi, Minggir, Pakem, Cangkringan, dan Moyudan (RTRW Sleman,

(27)

2015). Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian daerah dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama peran terhadap pendapatan daerah, penyediaan lapangan kerja, dan penyediaan pangan.

Tabel 4. Jumlah Industri di Kabupaten Sleman Tahun 2011-2013 (buah)

No Tahun Jumlah Industri

1. 2. 3. 2011 2012 2013 15.563 15.835 15.986 Sumber: Kabupaten Sleman dalam Angka, 2014

Sektor ekonomi di Kabupaten Sleman juga mengalami peningkatan. Peningkatan di sektor ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah industri yang ada. Tabel 4. menunjukkan jumlah industri di Kabupaten Sleman yang meningkat dari tahun ke tahun. Pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Sleman dikarenakan alasan-alasan tersebut di atas. Semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sleman menuntut tersedianya lahan untuk digunakan sebagai infrastruktur pendukung. Jumlah permintaan lahan yang terus menerus dibandingkan dengan ketersediaan lahan di Kabupaten Sleman yang relatif tetap menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non sawah.

C. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi data kuantitatif . Data sekunder adalah yang diambil secara langsung dari lapangan, yaitu data yang telah diolah dan dipublikasikan oleh instansi yang berkompeten (Iqbal, 2002). Jenis data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) berupa data tahunan dari tahun 1984 hingga 2013. Jenis data yang digunakan meliputi data luas lahan sawah, jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah residential, panjang jalan, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan kebijakan pemerintah.

(28)

Data bersumber dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, Badan Pertanahan Negara Kabupaten Sleman, Badan Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) serta data penunjang berupa informasi dan keterangan-keterangan diperoleh dari beberapa literatur seperti buku, jurnal, hasil penelitian, dan data penunjang lainnya.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian adalah: 1. Observasi

Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data. Pada penelitian kali ini peneliti mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti, sehingga didapatkan informasi yang dibutuhkan.

2. Wawancara

Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan langsung oleh pewawancara kepada narasumber yang dianggap penting. Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang dianggap penting yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

3. Pencatatan

Pencatatan digunakan untuk mengumpulkan data sekunder, yaitu dengan mencatat data yang ada pada instansi pemerintah atau lembaga yang terkait dengan pnelitian ini. Pencatatan adalah menyalin data sekunder yang relevan dengan penelitian yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Badan Pertanahan Negara, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan, serta Badan Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (Iqbal, 2002).

(29)

E. Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitan ini adalah menggunakan analisis deskriptif, pendekatan pertumbuhan luas lahan sawah dan regresi linear berganda. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui perkembangan alih fungsi lahan sawah dari tahun ke tahun. Pendekatan pertumbuhan luas lahan sawah untuk menjelaskan bagaimana pertumbuhan luas lahan sawah dari tahun ke tahun. Metode regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

1. Perkembangan Alih Fungsi Lahan Sawah

Perkembangan alih fungsi lahan sawah dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Metode deskriptif merupakan suatu metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi suatu pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2003). Alat yang digunakan adalah tabel atau chart. Tabel atau chart disusun dari data-data luas lahan sawah yang disusun dari tahun ke tahun yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan. Analisis deskriptif ini dapat menghasilkan gambaran mengenai perkembangan alih fungsi lahan sawah ke non sawah di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun ke tahun.

2. Pertumbuhan Luas Lahan Sawah

Analisis dengan persamaan ini dapat melihat persentase pertumbuhan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Sleman setiap tahunnya dari tahun 1984 hingga 2013. Menurut Sjafrizal (2014), pertumbuhan luas lahan sawah dapat dihitung menggunakan:

Lt – Lt-1

Pertumbuhan Lahan Sawah = x 100%

Lt

Keterangan:

(30)

Lt-1 = Luas lahan sawah tahun sebelumnya (Ha)

Pertumbuhan luas lahan sawah dapat ditentukan melalui selisih antara luas lahan sawah tahun ke-t dengan luas lahan sawah tahun sebelumnya (t-1). Kemudian dibagi dengan luas lahan sawah tahun ke-t dan dikalikan 100 dengan satuan persen (%).

3. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah a. Regresi Linear Berganda

Regresi linear merupakan salah satu teknik atau alat yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (independen) terhadap variabel tak bebas (dependen). Manfaat penggunaan analisis regresi adalah untuk membuat keputusan apakah naik dan turunnya variabel dependen dapat dilakukan melalui peningkatan variabel independen atau tidak.

Slope pada model log-linear dapat mengukur elastisitas variabel dependen terhadap variabel independen, yaitu mengkur persentase perubahan dalam variabel dependen yang disebabkan oleh perubahan persentase variabel independen. Model ini mengasumsikan bahwa koefisien elastisitas antara variabel dependen dan variabel independen tetap konstan.

Menurut Gujarati dalam Ghozali (2011) untuk menghasilkan model yang sahih secara teoritis, maka model regresi harus memenuhi asumsi klasik. Asusmsi utama yang mendasari model regresi linear klasik dengan menggunakan model OLS (ordinary Least Square), teknik esimasi variabel dependen yang melandasi analisis regresi adalah:

1) Model regresi linear merupakan linear dalam parameter, seperti dalam persamaan berikut ini: Yi = b1 + b2 Xi + µi.

2) Nilai X diasumsikan non-stokastik, artinya nilai X danggap tetap dalam sampel yang berulang.

(31)

3) Nilai rata-rata kesalahan µi adalah nol atau E(µi/Xi) = 0.

4) Homoskedastisitas artinya varian kesalahan sama untuk setiap periode (Homo = sama, Skedastisitas = sebaran) dan dinyatakan dalam bentuk matematis Var (µi/xi) = σ2.

5) Tidak ada autokorelasi antar kesalahan (antara µi dan µj tidak ada korelasi) atau secara matematis Cov (µi, mj/Xi, Xj) = 0. 6) Antara µi dan µj saling bebas sehingga Cov (µi/Xi) = 0.

7) Jumlah observasi n harus lebih besar daripada jumlah perameter yang diestimasi (jumlah variabel independen).

8) Adanya variabilitas dalam Xi, artinya nilai Xi harus berbeda. 9) Model regresi telah dispesifikasikan secara benar, dengan kata

lain tidak ada bias (kesalahan) spesifikasi dalam model yang digunakan dalam analitis empirik.

10) Tidak ada multikolinearitas yang sempurna antar variabel independen.

11) Nilai kesalahan µi terdisribusi secara normal.

Analisis regresi berganda digunakan untuk meramalkan bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel dependen, bila dua atau lebih variabel independen sebagai faktor prediktor dimanipulasi (dinaikkan atau diturunkan).

1) Model Regresi

Hubungan antara alih fungsi lahan sawah dengan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi (jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah residential, panjang jalan, PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto), dan kebijakan pemerintah dapat dianalisis dengan menggunakan model regresi linear berganda. Penggunaan fungsi Ln adalah untuk memperhalus data. Setelah memasukkan variabel-variabel yang digunakan, maka bentuk persamaan dapat ditulis sebagai berikut:

(32)

LnYt = Lnβ+ β1tLnX1t + β2tLnX2t + β3tLnX3t + β4tLnX4t + β5tLnX5t + β6tDt

Keterangan:

Yt = Besarnya alih fungsi lahan (Ha)

β = Konstanta

β1t, β2t, β3t, …, β6t = Koefisien regresi

X1t = Jumlah penduduk (jiwa)

X2t = Jumlah industri (buah)

X3t = Jumlah residential (unit)

X4t = Panjang jalan (km)

X5t = PDRB ADHK Tahun 2000

(jutaan rupiah)

Dt = Kebijakan pemerintah (D: 0

sebelum dan D: 1 setelah) 2) Uji Hipotesis

a) Koefisien Determinasi

Uji koefisien determinasi (R2) merupakan pengujian yang berguna untuk mengukur besarnya sumbangan atau kontribusi variabel independen secara keseluruhan terhadap variabel dependen. R2 mempunyai nilai 0 sampai dengan 1. Semakin tinggi nilai R2 suatu regresi, yaitu semakin

mendekati 1, maka semakin besar nilai variasi variabel dependen yang dapat diterangkan secara bersama-sama oleh variabel independen. Adapun rumus R2 adalah :

R2 = 𝐸𝑆𝑆

𝑇𝑆𝑆

Keterangan :

(33)

TSS : Total Sum of Squares (jumlah kuadrat total) (Gujarati, 2007)

b) Uji F

Uji F ini digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y) secara simultan atau bersama-sama. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

R2(k-1)

F hitung =

(1-R2)/(n-1) Keterangan:

F = F hitung (yang dibandingkan dengan F tabel ) R2 = Koefisien determinasi yang ditemukan

K = Jumlah variabel independen n = Jumlah sampel

Hipotesis untuk pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah :

H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = b5 = 0

H1 : minimal salah satu bi ≠ 0

Kriteria pengujian yang digunakan dengan tingkat kepercayaan 95% adalah sebagai berikut:

1. Signifikansi < α = 0,05 maka H0 ditolak

2. Signifikansi > α = 0,05 maka H0 diterima

Jika H0 diterima berarti secara bersama-sama variabel

independen yang digunakan dalam model tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Sebaliknya apabila H0

ditolak berarti secara bersama-sama variabel independen yang digunakan dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel dependen pada tingkat kepercayaan 95% (Gujarati, 2007).

(34)

c) Uji t

Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial atau per variabel. Dengan rumus:

t hitung = 𝑏

𝑆𝑏

Keterangan:

b = koefisien regresi variabel independen ke-i Sb = standart deviasi dari variabel independen

Untuk pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah :

H0 : bi = 0

(35)

Kriteria pengujian yang digunakan dengan tingkat kepercayaan 95% adalah sebagai berikut :

1. Signifikansi > α = 0,05 maka H0 diterima

2. Signifikansi < α = 0,05 maka H0 ditolak

Jika H0 diterima berarti variabel independen tersebut

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Sebaliknya, apabila H0 ditolak berarti variabel indpenden

tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (Gujarati, 2007).

b. Uji Asumsi Klasik

Setelah model diperoleh maka harus dilakukan pengujian model apakah model tersebut sudah termasuk BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) atau tidak. Adapun model dikatakan BLUE bila memenuhi persyaratan berikut:

1) Uji Normalitas

Menurut Ghozali (2011) menyatakan bahwa uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Dalam uji t dan F diasumsikan bahwa residual mengikuti distribusi normal. Untuk mengetahui bahwa rseidual terdistribusi secara normal atau tidak yaitu dengan uji statistik Kolmogorov-Smirnov (K-S) (Suliyanto, 2011).

a. Jika nilai signifikansi variabel residual > α, maka data residual terdistribusi normal.

b. Jika nilai signifikansi variabel residual < α, maka data residual terdistribusi tidak normal.

2) Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji ada tidaknya multikolinearitas yang dapat dilihat pada nilai VIF. Bila

(36)

nilai VIF < 10 berarti antar variabel independen tidak terjadi multikolinearitas. Bila antar variabel indpenden terjadi korelasi atau multikolinearitas, maka variabel-variabel tersebut perlu dipertimbangkan digunakan atau tidak di dalam model (Gujarati, 2007).

3) Uji Heteroskedastisitas

Menurut Ghozali (2011) uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variasi dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Menurut Suliyanto (2011) Metode Glejser dilakukan dengan meregresikan semua variabel bebas terhadap nilai mutlak residualnya. Jika terdapat pengaruh variabel bebas yang signifikan terhadap nilai mutlak residualnya maka dalam model terdapat masalah heteroskedastisitas. Cara yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan metode glejser, jika terdapat pengaruh variabel bebas yang signifikan terhadap nilai Abres residual kuadrat maka dalam model terdapat masalah heteroskedastisitas.

4) Uji Autokorelasi

Kriteria asumsi klasik yang ketiga adalah tidak terjadi autokorelasi antara kesalahan pengganggu. Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series). Menurut Gujarati (2007), untuk menguji terdapat atau tidaknya autokorelasi maka dilakukan dengan uji statistik d Durbin Watson.

Dengan kriteria pengujian sebagai berikut : 1) 1,65 < DW < 2,35 berarti tidak terjadi autokorelasi

(37)

2) 1,21 < DW < 1,65 atau 2,35 < DW < 2,79 berarti tidak dapat disimpulkan (inconclusive).

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Berpikir  D.  Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

PERILAKU ASERTlF UNTUK KELUAR DARI SITUASI KEKERASAN PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DITINJAU DART PERAN GENDER FEMININ, MASKULIN, DAN

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat dapat diketahui bahwa Faktor Kebutuhan akan kekuasaan yang

Hal tersebut dapat diketahui melalui sintak model Predict, Observe and Explain (POE) yang dapat mendorong kemampuan berpikir kritis karena siswa dituntut

• Pihak yang bersedia bekerjasama dengan membiayai 30% dari seluruh dana kegiatan JALAN SEHAT yaitu sebesar Rp2.335.500,00. • Pada point ini masih terbuka adanya kerjasama dengan

Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa pemberian CMA dengan dosis 15 g/polybag dan 20 g/polybag lebih baik terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun bibit manggis dibanding

L.A.A Doumas &amp; Jonh E Hummel. “ Approaches to Moddeling Human Mental Representations: Wha t Works, Wath Doesn’t, and Why”. In Holyoak.K.J and Morrison. The

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang

Belajar bermufakat : dalam permainan tradisional samba lakon anak anak lebih dahulu melakukan mufakat untuk menetapkan permainan apa yang akan dimainkan bersama sama,