• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENGUATAN NILAI-NILAI KEBANGSAAN 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENGUATAN NILAI-NILAI KEBANGSAAN 1"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENGUATAN

NILAI-NILAI KEBANGSAAN

1

Sjamsi Pasandaran

Dosen Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FIS UNIMA

Abstrak

Setiap negara dan pemerintahan mempuyai kepentingan nilai yang sangat mendasar yaitu memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Nilai-nilai kebangsaan itu akan menjadi landasan bagi bangunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apabila niai-nilai kebangsaan itu melemah, akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan bahkan terhadap kelangsungan hidup suatu bangsa ataupun negara. Menjelang pertengahan 2012, Indonesia sempat menjadi gempar ketika Lembaga The Fund for Peace (FFP) melaporkan bahwa Indonesia terancam menjadi negara “gagal” dan menempati posisi ke 63 dari 178 negara (Kompas.com, 21 Juni 2012). Dua tahun sebelumnya, Lembaga Transparency International Indonesia pada 2010 menurunkan laporan mengenai ancaman-ancaman menuju kehancuran yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tingkat ancaman-ancaman tersebut persentasenya secara berturut-turut adalah sebagai berikut: budaya korupsi merupakan ancaman yang sangat serius dan dipersepsi oleh 38.5% responden, kemudian diikuti oleh krisis ekonomi (15.1%), pengangguran (10.3%), terorisme dan keamanan (9.7%), konflik antara kelompok (9.3%), dan layanan birokrasi yang buruk (5.6%).

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Nilai-nilai Kebangsaan

1Tulisan ini merupakan pengembangan dari dua tulisan penulis yaitu Penguatan Wawasan Kebangsaan

Melalui Pendidikan Karakter dan Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Karakter yang diterbitkan di Majalah Dewan Pertimbangan Presiden, Edisi Desember Tahun 2011 dan Tahun 2012.

(2)

2

Pendahuluan

Kecenderungan melemahnya nilai-nilai kebangsaan teramati pula dalam sikap dan perilaku yang masih menjadi keprihatinan bersama hingga saat. Keprihatinan itu muncul ketika secara empirik teramati sikap dan perilaku kohesi sosial yang semakin melemah yang ditandai dengan semakin maraknya tawuran mulai dari elit terpelajar (mahasiswa-siswa) sampai ke tawuran antar warga di kota ataupun di desa-desa bahkan pada tataran atas nampak pada perseteruan yang berkelanjutan para elit politik yang tidak mendidik. Krisis keteladanan dimulai dari kehidupan keluarga, masyarakat, termasuk para pemimpin formal di berbagai institusi; baik pemerintahan, sosial, politik, maupun pendidikan. Perilaku koruptif yang sudah masuk kategori

extra ordinary crime. Untuk perilaku koruptif ini,

Transparency International menurunkan laporan 2011 yang menempatkan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada peringkat 100 dengan skor 3.00 dari 142 negara. Bahkan di antara negara-negara Asean Indonesia berada di bawah Singapore pada posisi ke-5 dengan skor 9.2, Brunei Darusalam posisi 44 dengan skor 5.2, Malaysia posisi 60 dengan skor 4.3, dan Thailand pada posisi 80 dengan skor 3.4.

Nilai-nilai kebangsaan menjadi semakin penting bagi bangsa Indonesia dalam membangun dan untuk memperkuat kehidupan masyarakat yang sangat pluralistik. Urgensi itu di satu sisi terkait dengan realitas kemajemukan masyarakat, dalam realtitas itu kita belum mampu

membangun kehidupan bersama yang

menghargai kemajemukan yang ada. Dalam kehidupan dan melalui laporan media masa baik cetak maupun elektronik masih teramati kecenderungan semakin meluasnya konflik horisontal, kesenjangan ekonomi masyarakat dan antar daerah yang masih dirasakan, pengabaian atas hak-hak asasi manusia, lemahnya jaminan terhadap kebebasan beragama kelompok-kelompok minoritas, rendahnya kesadaran dan penghormatan terhadap simbol-simbol negara, rasa keadilan masyarakat yang terusik, rasa ketenteraman masyarakat terusik dengan perilaku anarkistik ketika hendak berdemonstrasi. Di pihak lain, nilai-nilai kebangsaan ini mempunyai peran yang sangat besar karena terkait dengan identitas diri sebagai masyarakat, bangsa dan negara atau sebagai identitas kebangsaan.

Identitas kebangsaan yang berisi nilai-nilai kebangsaan itu harus mendorong tumbuhnya rasa kebanggaan diri sebagai suatu bangsa. Identitas kebangsaan akan mendorong sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan itu.

Dalam tatanan kehidupan masyarakat global sekarang ini, nilai-nilai kebangsaan hendaknya menjadi landasan dan memberi arah terhadap pembangunan bangsa dan negara sehingga kita tidak tercabut dari akar budaya, tetapi tumbuh kuat di atas nilai-nilai kebangsaan. Hal ini penting karena di era global persaingan akan semakin meningkat dan akan terjadi pergeseran-pergeseran nilai. Terdapat tiga arus kuat globalisasi yang harus disikapi dan dihadapi bersama yang dapat mempengaruhi nilai-nilai kebangsaan yaitu arus kuat teknologi informasi dan komunikasi, perkembangan ekonomi regional dan dunia, dan perkembangan di bidang politik. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia masuk dan menjadi bagian dari berbagai komunitas seperti ASEAN Community 2015 dalam membangun kehidupan bersama baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun social budaya. Dalam konteks ekonomi, Indonesia menjadi bagian dari ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan bersama-sama menyepakati General Agreement on Trade in Services (GATS). Nilai-nilai kebangsaan ini pun mejadi sangat penting ketika Indonesia menjadi salah satu anggota G-20. Perdebatan mengenai urgen tidaknya Indonesia bahkan berkembangnya pemikiran agar Indonesia keluar dari G-20 karena tidak menguntungkan memberi gambaran tentang adanya persoalan nilai-nilai kebangsaan yang masih terus harus diperjuangkan.

Permasalahan Penguatan Nilai-nilai

Kebangsaan

Berbicara tentang nilai-nilai kebangsaan, tidak hanya terbatas pada wacana, slogan, dan himbauan. Nilai-nilai kebangsaan harus nyata dalam sikap dan perilaku dan menjadi karakter. Karakter akan menjadi ciri identitas kebangsaan. Oleh sebab itu persoalan pokok ke depan adalah

bagaimana membangun dan memperkuat

pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan karakter. Sekalipun demikian terdapat beberapa masalah dalam upaya penguatan nilai-nilai kebangsaan melalui pendidikan karakter.

(3)

3 Masalah-masalah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Pendidikan karakter dipahami secara terbatas yaitu sebagai bagian dari program pendidikan formal di sekolah dalam arti civic education. Pendidikan karakter belum menjadi bagian dari citizenship education dimana semua lembaga atau institusi mempunyai peran dan tanggunjawab dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan sehingga menjadi karakter dan identitas bangsa. Institusi-institusi pemerintahan, politik, agama, social, budaya, pendidikan dan bahkan ekonomi memiliki tanggungjawab bersama dalam membangun karakter bangsa. Belum terbangun sinergitas yang kuat antar institusi bahkan kecenderungan yang ada menunjukkan lemahnya pendidikan karakter di banyak institusi. Praktik-praktik seperti korupsi, kolusi, nepotisme, menguatnya kepentingan kelompok, primordialisme baik karena suku,

agama, maupun aliran politik

mengekspresikan lemahnya upaya-upaya pembentukan karakter yang baik warganegara dan warga masyarakat. Anak-anak akan mengalami disonansi kognitif atau cognitive

dissonance ketika di sekolah mereka diajari

nilai-nilai kebangsaan yang baik tetapi di dalam kehidupan sehari-hari mereka

disuguhkan dengan perselisihan,

pertengkaran, dan perseteruan antar elit politik, praktik manipulatif para pemimpin, dan bahkan tindakan-tindakan anarkistik yang terjadi di masyarakat.

b. Kelemahan dalam proses internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai kebangsaan dari berbagai instrument nilai. Hampir semua pemimpin dan lembaga memiliki visi sebagai cita-cita yang menjadi standar nilai. Bahkan visi ini menjadi bagian penting dalam proses seseorang untuk menjadi pemimpin, dan menjadi keharusan bagi setiap lembaga untuk memiliki visi. Visi ini kemudian dijabarkan dalam berbagai instrument baik yang sifatnya programatik maupun yuridis. Namun demikian visi, misi, program dan berbagai instrument yuridis belum menjadi bagian dari sikap dan perilaku kita semua. Nilai-nilai itu belum menjadi karakter dan diperlukan suatu proses karakterisasi. Dua kelemahan yang teramati dalam proses karakterisasi nilai-nilai

kebangsaan adalah lemahnya proses internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai kebangsaan yang implicit dirumuskan dalam berbagai isntrumen. Nilai-nilai kebangsaan harus dihayati, dan sekaligus menjadi ciri karakter baik individu maupun lembaga. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai adanya lembaga-lembaga pemerintahan (kementerian atau non kemeneterian) yang dinilai tidak bersih menunjukkan bahwa secara kelembagaan proses internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai kenagsaan belum optimal.

c. Kelemahan dalam praksis pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Sekolah memang mempunyai tanggungjawab yang sangat besar dalam membangun, memperkuat nilai-nilai kebangsaan melalui pendidikan karakter. Kelemahan yang sangat mendasar dalam praksis pendidikan karakter di sekolah-sekolah praksis yang fragmentaristik dalam penyelenggaraan pendidikan karakter, dilaksanakan terpisah dan belum merupakan program utuh dalam keseluruhan proses pembelajaran. Pendidikan karakter seolah-olah hanya menjadi tanggungjawab guru mata pelajaran Pendidikan Agama dan atau Pendidikan Kewarganegaraan. Sekolah belum menjadi lingkungan belajar dalam pembentukan nilai-nilai kebangsaan, dan praktik pembelajaran sangat kuat pada pengembangan spek kognitif yang sehingga yang terjadi adalah proses transfer of

knowledge yaitu pembelajaran pengetahuan

mengenai nilai dan bukan pada proses yang mendorong terjadinya pembentukan sikap dan perilaku moral yang baik.

Pembahasan.

1. Nilai-nilai Kebangsaan

Berbicara tentang nilai-nilai kebangsaan memerlukan pemahaman bersama mengenai nilai. Nilai selalu akan menunjuk pada kualitas atau standar yang menjadi acuan untuk menyatakam sesuatu bernilai baik sikap, perilaku, ide ataupun gagasan, benda, peristiwa, ataupun produk. Nilai-nilai tersebut memiliki fungsi untuk memberikan arah baik bagi individu, masyarakat, bangsa dan negara dan ataupun institusi. Shalom Schwartz mendfinisikan nilai dan fungsi nilai sebagai berikut:

(4)

4 ...values as conceptions of the desirable

that guide the way social actors (e.g. organisational leaders, policy-makers, individual persons) select actions, evaluate people and events, and explain their actions and evaluations. In this view, values are trans-situational criteria or goals (e.g. security, hedonism), ordered by importance as guiding principles in life2

Nilai-nilai kebangsaan merupakan standar etik yang diakui, diterima, dan diyakini sebagai suatu yang baik dan benar oleh suatu masyarakat bangsa, dan negara. Nilai-nilai itu tumbuh, berkembang dan menjadi a common spiritual and

psychological sentiment3 sebagai ciri kebangsaan.

Sebagai ciri kebangsaan, maka nilai-nilai kebangsaan akan mencerminkan jati diri, identitas bangsa atau nation identity. Nilai-nilai kebangsaan ini akan menjadi kekuatan motivasional bagi perilaku baik individu maupun sosial. Nilai-nilai kebangsaan yang kuat di dalam diri seorang atlit misalnya akan menjadi kekuatan motivasional untuk berprestasi, menjadi kekuatan motivasional untuk berkorban bagi bangsa dan negara. Nilai-nilai kebangsaan dengan demikian akan menjadi kekuatan suatu bangsa untuk memperkuat ketahanan, pembelaan dan pembangunan bangsa dan negara.

Nilai-nilai kebangsaan dilandasi oleh sistem nilai yang dipercayai, yang telah teruji kebenarannya melalui perjalanan sejarah suatu bangsa, negara, dan masyarakat. Nilai-nilai itu apabila terinternalisasi melalui proses karakterisasi, akan menjadi karakter seseorang, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai bangsa secara normatif, sosiologis, politis, dan kultural kita memiliki nilai-nilai kebangsaan yang tercermin di dalam nilai-nilai Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Binneka Tunggal Ika. Nilai-nilai kebangsaan itu tersebut berisi nilai-nilai dasar yang diharapkan akan menjadi ciri karakter kehidupan berbangsa, bernegara, dan

2 Shalom Schwartz, 1999, A Theory of Cultural Values and

Some Implications for Work. P. 24

http://wwwkrcmar.in.tum.de/lehre%5Clv_materialien.nsf/i ntern01/ (diakses 20 Nopember 2014)

3 Nation and Nationality, p. 2.,

http://www.newagepublishers.com/ (diakses, 20 Nopember 2014).

bermasyarakat. Nilai-nilai itu secara sosiologis dan kultural tumbuh dan berkembangan melalui sejarah perjalanan bangsa Indonesia, dan terkristalisasi sebagai norma dalam bangunan kehidupan NKRI. Menjadi imperatif bahwa nilai-nilai kebangsaan yang hendak dibangun, hendaknya mencirikan cara pandang yang dilandasi, dijiwai, dan disemangati oleh nilai-nilai dasar dan kebangsaan itu. Penguatan nilai-niai kebangsaan akan sangat dipengaruhi oleh preferensi nilai yang dimiliki baik individu maupun institusi. Preferensi nilai pada gilirannya akan menjadi kekuatan motivasional bagi perilaku individu, sosial, ataupun institusi.

Pancasila merupakan kristalisasi nilai dari sistem nilai kemasyarakatan Indonesia yang sangat majemuk, Nilai-nilai Pancasila digali dari sistem nilai yang telah hidup di sepajang sejarah bangsa Indonesia. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai dasar universal yang tumbuh dari sistem nilai kemasyarakatan dari berbagai lingkungan masyarakat adat, tradisi, agama, maupun sistem kepercayaan. Akar budaya nilai-nilai Pancasila tersebut, memperkokoh kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup, filosofi, ideologi, dan dasar negara dalam bangunan ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian Pancasila memuat nilai-nilai dasar kebangsaan Indonesia yang mendasari keseluruhan bangunan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Undang-undang Dasar 1945 memuat nilai-nilai kebangsaan yang menjadi landasan

konstitusional pembangunan hukum

ketenegaraan. Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di dalam UUD 1945 adalah (1) jaminan kebebasan beragama terhadap setiap warganegara, (2) kedaulatan berada di tangan rakyat, (3) supremasi hukum dan kesamaan kedudukan warganegara di dalam hukum dan pemerintahan, dan hak atas kehidupan yang layak,serta dalam pembelaan negara, (4) jaminan perlingungan hak asasi manusia, (5) kedaulatan rakyat, (6) Negara Kesatuan Republik Indonesia, (7) nilai-nilai demokrasi, (8) perekonomian bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, (9) Menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bendera merah putih sebagai bendera negara, Garuda Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai lambang negara, dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, dan

(5)

5 (10) pendidikan dan kebudayaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesepuluh nilai-nilai kebangsaan ini merupakan core values dalam menjamin konstitusionalitas pengelolaan dan penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan, ketatanegaraan dan kehidupan kebangsaan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan nilai kebangsaan yang menempatkan dan menjadikan Indonesia dalam satu wadah negara yang tidak dipisahkan oleh kondisi geograifs yang terdri dari puluhan ribu pulau. NKRI menjamin keutuhan wilayah negara Indonesia sebagai suatu bangsa, menjembatani dan menyatukan seluruh wilayah kepulauan Indonesia. NKRI juga memuat nilai-nilai kebangsaan yang menjamin pembangunan yang menjangkau keseluruhan wilayah NKRI sampai ke daerah-daerah tertinggal, terluar dan terkebelakang baik karena faktor geografis maupun karena factor kemiskinan. Dalam perspektif ini nilai-nilai kebangsaan justeru diukur pada jaminan keutuhan pembangunan yang menjangkau dan yang dapat dijangkau dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Keterbelakangan yang terjadi akan merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kebangsaan.

Bhineka Tunggal Ika merupakan

semboyang yang memuat nilai-nilai kebangsaan

dalam menjamin keharmonisan hidup

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di dalam semboyang Bhineka Tunggal Ika didorong pula oleh kesadaran kemanusiaan yaitu manusia sebagai makhluk social yang hidup dalam suatu komunitas sebagai masyarakat, bangsa, dan negara. Keharmonisian itu terjelma dalam praktik dan tradisi gotong royong dalam berbagai bentuk di masyarakat adat, saling menolong, saling menghormati tanpa membedakan suku, agama, dan bahasa. Kerukunan hidup antar umat beragama atau sikap toleransi menjadi ciri kehidupan masyarakat Indonesia, sekalipun saat ini terusik oleh kecenderungan gerakan fundamentalisme dan radikalisme.

2. Pendidikan Karakter sebagai Pilar Penguatan Nilai-nilai Kebangsaan

a. Hakikat Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menjadi media yang sangat strategis dalam rangka internalisasi dan

karakterisasi nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan karakter dalam konteks ini dipahami sebagai suatu proses internalisasi dan karakterisasi nilai-nilai dasar kebangsaan, sehingga nilai-nilai-nilai-nilai itu menjadi ciri perilaku dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara. Para ahli seperti Howard dan Berkowitz merumuskan fungsi dan peran pendidikan karakter sebagai berikut:

Character education is an attempt to prepare individuals to make ethical judgments and to act on them, that is, to do what one thinks ought to be done. … Character education, a vital tool for preparing our young people in our schools, has had to confront political issues and challenges of its own4

Dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Howard dan Berkowitz tersebut tampak bahwa pendidikan karakter mempunyai tugas untuk mempersiapkan individu untuk dapat membuat pertimbangan etik dan melakukannya itu melalui tindakan. Oleh sebab itu pendidikan karakter selalu terkait dengan upaya mempersiapkan seseorang menjadi warganegara yang baik, melakukan apa secara etis harus dilakukannya. Tidak hanya memiliki pertimbangan etik atau moral yang baik, tetapi juga melakukannya itu sebagai suatu keharusan. Pendidikan karakter dengan demikian menjadi sangat penting untuk mempersiapkan seseorang menjadi warganegara yang baik.

Karakter yang baik, memiliki tiga komponen utama yaitu knowing the good, desire

the good, and doing the good 5. Seseorang

memiliki karakter yang baik pertama-tama mengetahui apa yang baik (knowing the good). Mengetahui apa yang baik belum cukup, tetapi harus memiliki kesukaan, kecintaan dan kehendak terhadap apa yang baik (desire the

good atau loving the good). Komponen ketiga

yang sangatpenting ialah melakukan apa yang baik atau doing the good. Ketiga komponen tersebut secara utuh melibatkan aspk-aspek

4 Robert Howard, Marvin Berkowitz, and Esther Schaeffer,

2004, Politcs of Character Education, Educational Policy, Vol. 18 No. 1, January and March 2004, p. 189. http://www.fresnostate.edu/

5 Kevin Ryan and Karen E. Bohlin, 1999, Building

(6)

6 kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh sebab itu pendidikan karakter harus pula mencakup ketiga komponen karakter itu. Artinya pendidikan karakter harus membelajarkan kepada anak mengenai apa yang baik sehingga mengetahui apa yang baik atau knowing the good. Membelajarkan apa yang baik tidaklah terlalu sulit. Kesulitan akan muncul ketika hendak membentuk sikap dan konasi anak untuk menyukai dan mencintai yang baik. Pembelajaran pendidikan karakter harus mampu membentuk sikap yang baik di dalam diri anak. Komponen yang sesungguhnya harus menjadi ultimate goal pendidikan karakter adalah perilaku atau tindak moral yang melakukan apa yang baik atau doing the good. Keutuhan ketiga komponen ini sudah harus terinternalisasi dan menjadi suatu kebiasaan. Kevin Ryan dan Karen Bohlin mengemukakannya sebagai habits of the

head, the heart and the hand6 .

Kebiasaan-kebiasaan itu terintegrasi sebagai ciri kepribadian seseorang yang memiliki karakter yang baik.

Dalam perspektif penguataan nilai-nilai kebangsaan, pendidikan karakter memiliki fungsi yaitu membelajarkan dan mempersiapkan warganegara untuk memiliki pengetahuan nilai-nilai dasar kebangsaan baik yang terkandung di dalam Pancasila, UUD 1945, NKRI, maupun Bhineka Tunggal Ika. Dalam konteks ini pendidikan karakter harus dilihat sebagai suatu proses pewarisan nilai-nilai kebangsaan. Pewarisan nilai-nilai kebangsaan itu harus diikuti dengan menumbuhkan sikap, keinginan, dan kecintaan terhadap nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Pengetahuan tentang nilai-nilai

kebangsaan diperlukan dalam rangka

pembentukan sikap kebangsaan seperti kebanggaan berbangsa dan bertanah air Indonesia, demokratis dan memiliki sikap kepedulian terhadap nilai-nilai kebangsaan itu. Pengetahuan dan sikap itu pada gilirannya diharapkan akan menumbuhkan perilaku etik sebagai warganegara negara yang baik. Perilaku etikdalam mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan itu harus menjadi bagian dari ciri kepribadian setiap warganegara, dan sebagai suatu bangsa hal itu akan menjadi identitas bangsa atau nation identity sebagai bangsa Indonesia.

6 Ibid., p. 7

Pendidikan karakter memiliki perspektif yang sangat dimulai karena dimulai keluarga, lingkungan sekolah, masyarakat, dan bahkan negara. Oleh sebab itu pendidikan karakter menjadi tanggungjawab bersama. Diperlukan gerakan bersama oleh semua komponen bangsa melalui keterlibatan semua institusi. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam meletakkan dan membentuk dasar-dasar kehidupan berkarakter. Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk menjamin pengembangan dan keterlaksanaan pendidikan karakter secara efektif. Lembaga-lembaga lain seperti lembaga keagamaan, politik, dan sosial kemasyarakatan ikut mempunyai tanggungjawab dalam membangun karakter berwawasan kebangsaan. Institusi peradilan dan penegak

hukum pun mempunyai kewajiban dan

tanggungjawab merepresentasi tentang nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Akhirnya lembaga pendidikan sebagai lembaga formal menyelenggarakan pendidikan karakter mempunyai tanggungjawab mengembangkan proses pendidikan yang tidak terjebak dalam proses indoktrinasi.

b. Internalisasi dan Institusionalisasi Nilai-Nilai Kebangsaan

Keteladan dan habituasi merupakan praktik metodologis yang efektif dalam proses karakterisasi nilai-nilai kebangsaan. Guru, orang tua, dan para pemimpin di berbagai institusi harus menjadi contoh dan teladan bagi sesamanya baik

dalam hal kejujuran, kedisiplinan,

tanggungjawab, dan atau kepedulian terhadap kehidupan dan masalah bersama. Keteladanan dan penerusan nilai-nilai dapat dikemas melalui interaksi edukatif dan kegiatan pembelajaran yang memberi ruang bagi berkembangnya kreativitas, keterbukaan, toleran terhadap keragaman, kejujuran, obyektivitas, kritis konstruktif, dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban sebagai warganegara. Habituasi dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, lingkungan kerja dan ruang dimana terjadi interaksi edukatif.

Internalisasi nilai-nilai kebangsaan adalah suatu proses pembelajaran dan habituasi sehingga terjadi penghayatan nilai-nilai kebangsaan. Proses internalisasi ini penting sehingga nilai itu terinternalisasi di dalam hati dan diri seseorang

(7)

7 yang ditandai oleh penerimaan terhadap nilai-nilai itu sendiri. Penerimaan ini akan mendorong seseorang untuk merespons dalam bentuk tanggapan dan sikap terhadap nilai. Proses lebih jauh ialah melalu internalisasi yang baik dan kuat, akan menjadi landasan yang kuat bagi individu untuk melakukan penilaian dalam mengambil keputusan etik, dalam menentukan mana yang baik dan benar. Dalam mengambil keputusan etik ini, seseorang akan diperhadapkan kepada pilihan-pilihan nilai, dan internalisasi nilai yang kuat akan memperkuat landasan pengambilan keputusan etik tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil dalam situasi dilematik umumnya dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan etik hasil dari penghayatan atas suatu nilai atau atas nilai-nilai tertentu yang menjadi rujukan.

Institusionalisasi adalah suatu proses pelembagaan nilai sehingga menjadi preferensi nilai institusi baik insitutsi pemerintahan, politik, pendidikan, social, agama, budaya, ekonomi dan berbagai institusi yang ada. Institusionalisasi ini penting untuk memperkuat preferensi nilai lembaga, memperkuat pengorganisasian lembaga, dan bahkan meningkatkan kinerja kelembagaan. Nilai-nilai kelembagaan itu akan menjadi landasan etik bagi perilaku semua unsur yang terkait dengan suatu lembaga. Oleh sebab itu institusionalisasi nilai seringkali disebut sebagai institusionalisasi etik. Institusionalisasi nilai ini mempunyai peran dalam proses pengembalian keputusan suatu lembaga, sebab nilai yang terinstitusi itu akan merupakan seperangkat nilai yang secara konsisten akan memberi arah, dorongan, dan kekuatan bagi swetiap individu untuk bersikap dan berperilaku7.

c. Penguatan Praksis Pendidikan Karakter Disadari bahwa internalisasi dan karakterisasi nilai membutuhkan suatu proses, dan proses itu terjadi melalui pendidikan. Namun demikian, problem yang mendasar ialah pendidikan seperti apa yang diperlukan? Apakah praksis pendidikan selama ini “gagal”, sehingga

7 Zaleha Othman and Rashidah Abd Rahman, Recognising

Value Based Approach In Corporate Governance: Institutionalization Of Ethics, http://www.wbiconpro.com/

berimplikasi pada berbagai fakta perilaku moral dan karakter yang memprihatinkan?

Tampaknya dunia pendidikan Indonesia berada dalam pilihan-pilihan mengenai aspek penting yang harus dibentuk. Problem itu nampak ketika Konvensi Nasional pendidikan Indonesia (Konaspi) VII yang dilaksanakan di Univeritas

Yogyakarta (UNY) menetapkan tema

“Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045”. Melalui Konvensi tersebut disadari bahwa paradigma selama ini yang menempatkan kecerdasan terutama Intelligence

Quotient (IQ) sebagai indikator penting untuk

sukses seseorang belumlah cukup. Aspek penting lainnya ialah Emotional Quotient ((EQ). Para ahli seperti Larry Greider melihat EQ sebagai seperangkat keterampilan yang sangat diperlukan dalam rangka interpersonal relationship, karena kecerdasan emosi mencerminkan kompetensi sosial dan empati seseorang. Kedua aspek tersebut pun belum cukup kuat. Aspek penting lainnya yang justeru kurang mendapatkan perhatian dalam proses pendidikan adalah

Spiritual Quotient (SQ) yang justeru berbicara

tentang “the meaning of life and ultimate values” (Larry Greider, 2012). Proses pendidikan tidak cukup membekali anak bangsa dengan kecerdasan baik IQ maupun EQ. Setiap anak bangsa perlu dibekali dengan makna hidup dan nilai-nilai utama dalam hidup, sehingga didalam kehidupannya dia menemukan kehidupan yang sungguh sangat bermakna (meaningfull life) baik sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Proses pendidikan kita memerlukan penguatan aspek SQ seiring dengan kebutuhan penguatan IQ dan EQ. Dalam perspektif ini, kita didorong kembali untuk menempatkan proses pendidikan secara utuh mulai dari keluarga sebagai lembaga utama dan pertama pendidikan, dan seterusnya ke lembaga-lembaga formal pendidikan dan non formal, dan juga berbagai lembaga lainnya baik keagamaan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Nilai-nilai utama dan kebermaknaan hidup tidak dapat diceramahkan, tetapi internalisasi dan karakterisasinya terbentuk melalui proses interaksi mulai dari kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penguatan SQ bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Sebagai bangsa dan negara kita

(8)

8 memiliki ultimate values mengenai makna hidup yang terkristalisasi di dalam nilai-nilai Pancasila. Masyarakat kita adalah masyarakat yang religius, memiliki nilai-nilai keagamaan yang sangat penting dan proses religisitas itu diharapkan terbentuk terutama melalui kehidupan keluarga, dan praktik-praktik kehidupan keberagamaan selama ini. Dalam rangka penguatan SQ,

Ultimate values hendaknya menjadi moral

pendidikan, menjiwai dan menginspirasi keseluruhan praksis pendidikan baik pada tataran konseptual, kebijakan, maupun praktik pendidikan. Internalisasi dan karakterisasi nilai-nilai utama sangat memerlukan keteladanan. Dalam konteks ini, peran orang tua, guru-guru, dosen, pemimpinan formal dan informal menjadi sangat penting. Proses habituasi nilai-nilai utama di dalam diri, masyarakat ataupun lembaga perlu terus dikembangkan dalam keseluruhan aktivitas dan interaksi baik pribadi, masyarakat maupun berbagai lembaga. Lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal tentunya sudah harus berperan aktif dan efektif dalam menanamkan dan mengembangkan kecerdasan spiritual, seiring dengan pengembangan kecerdasan emosi dan intelektual.

Simpulan

1. Pendidikan karakter dalam rangka penguatan nilai-nilai kebangsaan mempunyai peranan yang sangat penting. Melalui pendidikan karakter yang efektif akan terjadi proses internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai kebangsaan, sehingga nilai-nilai itu menjadi preferensi nilai baik individu maupun institusi yang menjadi kekuatan motivasional dan yang memberi arah bagi pembangunan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.

2. Terdapat nilai-nilai kebangsaan yang harus terus diperkuat melalui pendidikan karakter, yaitu nilai-nilai dasar filosofis dan ideologis Pancasila, nilai-nilai dasar konstitusional yang termaktub di dalam UUD 1945, nilai dasar politik kebangsaan sebagai nilai-nilai yang terkandung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan nilai-nilai

dasar sebagai bangunan kehidupan masyarakat multicultural Indonesia melalui pengakuan terhadap Bhinena Tunggal Ika dalam membangun keharmonisan dalam keragaman (hamony in diversity).

3. Diperlukan sinergitas dalam praksis pendidikan karakter oleh semua komponen baik lembaga pendidikan formal, maupun lembaga-lembaga pemerintahan, politik, ekonomi, social, dan budaya. Berbagai institusi tersebut mempunyai peranan penting sebagai media pendidikan karakter yang dapat memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Grand

design penguatan sinergitas praksis

pendidikan karakter hendaknya mencakup landasan etik, tujuan dan arah pengembangan, jalur dan keterkaitan antar lembaga, muatan atau domain pendidikan yang mencakup aspek-aspek intelektif, sikap, dan perilaku etik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, Nation and Nationality,

http://www.newagepublishers.com/ (diakses, 20 Nopember 2014)

Kevin Ryan and Karen E. Bohlin, 1999, Building Character In Schools, Jossey Bass, San Fransisco

Robert Howard, Marvin Berkowitz, and Esther Schaeffer,2004, Politcs of Character Education, Educational Policy, Vol. 18 No.

1, January and March 2004,

http://www.fresnostate.edu/

Shalom Schwartz, 1999, A Theory of Cultural Values and Some Implications for Work. P. 24

http://wwwkrcmar.in.tum.de/lehre%5Clv_ma terialien.nsf/intern01/ (diakses 20 Nopember 2014

Thomas Lickona, 1992, Educating For Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, Bantam Books, New York. Zaleha Othman and Rashidah Abd Rahman,

Recognising Value Based Approach In Corporate Governance: Institutionalization Of Ethics, http://www.wbiconpro.com/

(9)

9

PENILAIAN KOMPETENSI SIKAP

PADA MAHASISWA JURUSAN PPKN FIS UNIMA

Jan A. Rattu

Dosen Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FIS UNIMA

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang: (1) Pentingnya penilaian kompetensi sikap, (2) Implementasi penilaian kompetensi sikap pada Mahasiswa Jurusan PPKn FIS Unima.

Berdasarkan hasil kajian berbagai literatur penulis menyimpulkan bahwa: a) Penilaian kompetensi sikap dalam pembelajaran PPKn merupakan hal yang patut dilaksanakan karena amanat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Permendikbud RI Nomor: 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi pasal 6:1, pasal 20:3, dan Panduan Akademik Universitas Negeri Manado edisi 2014 pasal 38 dan 39; b) Mahasiswa Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan sumberdaya manusia yang perlu dibekali dengan prilaku dan akhlak mulia sebagaimana diarahkan oleh falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila, sehingga dapat berperan sebagai warganegara yang efektif dan bertanggung jawab melalui mekanisme penilaian sikap; c) Implementasi penilaian sikap dalam bentuk observasi/pengamatan langsung dengan menggunakan program aplikasi. dan; d) Indikator penilaian sikap minimal meliputi: (1) Kompetensi spiritual, (2) Kompetensi kejujuran, (3) Kompetensi tanggung Jawab, (4) Kompetensi kerjasama, (5) Kompetensi Kesantunan dan (6) Kompetensi kepercayaan diri.

(10)

10

A. Pendahuluan

Penilaian sikap dalam proses

pembelajaran merupakan bagian yang tidak kala pentingnya dalam mengimplementasikan pendidikan karakter sebagai salah satu isyu sentral dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia, penilaian sikap menjadi hal yang penting ketika kita diperhadapkan pada kenyataan bahwa sebagai bangsa Indonesia kita telah memiliki sistem nilai luhur dalam Pancasila yang harus di implementasikan dalam

sendi-sendi kehidupan berbangsa,

bermasyarakat dan bernegara, artinya bahwa Pancasila telah disepakati menjadi sistem nilai, ideology, dasar Negara, pandangan hidup bahkan menjadi kepribadian bangsa, disamping itu Pancasila telah menjadi nilai-bilai relegi bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban, dan mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa, menghormati dan menjujung

tinggi kedaulatan rakyat dengan

mengembangkan kehidupan demokrasi serta menjunjung tinggi rasa keadilan dengan tidak membeda-bedakan suku, agama ras.

Di sisi yang lain dalam kasat mata kita diperhadapkan dengan kondisi nyata yang sangat memprihatinkan bahkan dapat mengarah pada terganggunya sendi-sendi kehidupan bangsa, masyarakat dan negara, terindikasi perilaku sebagian manusia Indonesia yang cendrung mengabaikan nilai-nilai; persatuan, kesatuan, kebersaman, cinta tanah air, hormati

menghormati, menghargai perbedaan,

menghargai hak-hak orang lain,

Kondisi-kondisi yang memprihatinkan ini semakin parah manakala dilakukan oleh

orang-orang-orang yang mengenyam dunia

pendidikan formal apalagi sudah memperoleh gelar strata 1, strata 2, dan strata 3, seperti yang dapat kita lihat prilaku oleh sebagian anggota DPRI melalui layar kaca TV, termasuk perilaku orang-orang yang berpredikat siswa, mahasiswa dalam melakukan aksi demonstrasi akhir-akhir ini yang mengarah pada tindakan anarkis, pemaksaan kehendak, dan tidak segan-segan merusak barang milik iorang lain sarana prasarana kepentingan umum bahkan tindakan yang mengarah pada menghilangkan nyawa orang lain.

Detik News, Empat hal yang membuat Indonesia terancam jadi Negara gagal, 21 Juni 2012 dalam Syamsi Pasandaran “Paper seminar nasional penguatan pendidikan karakter melalui PPKn dalam mempersiapkan generasi tahun 2045, AP3KnI, Unima 17 Oktober 2014. “Kondisi-kondisi yang memprihatinkan ini, menempatkan Indonesia pada posisi yang mengkuatirkan. Pada Juli 2012 The Fund for

Peace merilis indeks Negara terancam gagal

tahun 2012. Indonesia menjadi salah satu Negara terancam gagal dengan total indeks 80,6 dan berada pada peringkat 63 dari 177 negara. Terdapat 4 (empat) indicator yang menempatkan Indonesia menjadi Negara terancam gagal yaitu; demografi, ketidak merataan pembangunan ekonomi, kekerasan terhadap minoritas serta ketidak mampuan Negara melindungi kelompok rentan, dan lemahnya aparat keamanan. Dijelaskan pula bahwa kondisi-kondisi seperti ini tentunya berimplikasi terhadap kurikulum program studi pendidikan kewarganegaraan di lembaga LPTK. Upaya untuk meningkatkan relevansi kurikulum PPKn di perguruan tinggi sudah harus dilakukan secara terus menerus. Upaya peningkatan relevansi itu mencakup relevansi materi dan bahan ajar, proses pembelajaran yang telah banyak mengalami pergeseran teori-teori belajar yang melatarinya. Penilaian hasil belajar yang secara spesifik mengukur perilaku etis dan sikap moral tentunya berbeda dengan penilaian terhadap aspek-aspek kognitif yang selama ini banyak mendominasi cara penilaian pendidikan karakter. (Syamsi Pasandaran 2014:3 “Paper seminar nasional penguatan pendidikan karakter melalui PPKn dalam mempersiapkan generasi tahun 2045, AP3KnI, Unima 17 Oktober 2014).

B. Hakekat Penilaian Sikap 1. Pengertian Sikap

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 49 tahun 2014 pasal 6 ayat 1 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi; menjelaskan Sikap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) merupakan perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari internalisasi dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam

(11)

11 kehidupan spiritual dan sosial melalui proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran. Teknik penilaian sikap terdiri atas observasi, partisipasi, unjuk kerja, tes tertulis, tes lisan, dan angket. (Permendikbud RI No 49 Tahun 2014 pasal 20:1).

Penilaian kompetensi Afektif

berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat membentuk tanggungjawab, kerjasama, disiplin, komitmen, dan percaya diri.

Sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu (Calhoun & Acocella, 1995). Menurut Sarwono (2002), sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Ajzen (1988) mendefinisikan sikap sebagai predisposisi yang dipelajari individu untuk memberikan respon suka atau tidak suka secara konsisten terhadap objek sikap. Respon suka atau tidak suka itu adalah hasil proses evaluasi terhadap keyakinan-keyakinan (beliefs) individu terhadap objek sikap (Fishbein & Ajzen, 1975).

Baron dan Byrne (1997) mendefinisikan sikap sebagai penilaian subjektif seseorang terhadap suatu objek. Sikap adalah respon evaluative yang diarahkan seseorang terhadap orang, benda, peristiwa, dan perilaku sebagai objek sikap. Sikap melibatkan kecenderungan respon yang bersifat preferensial. Sikap sebagai respon evaluatif menunjukkan ekspresi suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, mendekati atau menghindari, dan tertarik atau tidak tertarik terhadap objek sikap.

Cacioppo dkk (1986) berpendapat bahwa sikap adalah suatu evaluasi atau penilaian seseorang terhadap obyek sikap yang tercermin dalam bentuk perasaan setuju–tidak setuju, mendukung-tidak mendukung, sebagai potensi reaksi terhadap suatu obyek sikap. Sears dkk (1999) berpendapat bahwa sikap merupakan orientasi yang bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif dan perilaku. Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu berupa fakta,

pengetahuan dan keyakinan tentang objek. Sedangkan Komponen afektif menurut Stephan dan Stephan (1985) adalah komponen yang berkaitan dengan perasaan dan emosi seseorang terhadap objek sikap. Dan komponen perilaku merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan sikap yang ada pada dirinya.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa sikap merupakan

pandangan, perasaan dan kecenderungan seseorang bertindak terhadap objek sikap. (http://www.vedcmalang.com/pppptkboemlg/in dex.php/artikel-coba 2/edukasi/488-teori-teori sikap), diakses 19 Nopember 2014).

2. Aspek-aspek Sikap

Menurut Fishben & Ajzen (1975), terdapat dua aspek pokok dalam hubungan antara sikap dengan perilaku, yaitu: 1). Aspek keyakinan terhadap perilaku. Keyakinan terhadap perilaku merupakan keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu. Aspek ini merupakan aspek pengetahuan individu tentang objek sikap. Pengetahuan individu tentang objek sikap dapat pula berupa opini individu tentang hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu objek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap objek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya. 2). Aspek evaluasi akan akibat perilaku. Evaluasi akan akibat perilaku merupakan penilaian yang diberikan oleh individu terhadap tiap akibat atau hasil yang dapat diperoleh apabila menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Evaluasi atau penilaian ini dapat bersifat menguntungkan dapat juga merugikan, berharga atau tidak berharga, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Semakin positif evaluasi individu akan akibat dari suatu objek sikap, maka akan semakin positif pula sikap terhadap objek tersebut, demikian pula sebaliknya.

(12)

12 dex.php/artikel-coba 2/edukasi/488-teori-teori sikap, diakses 19 Nopember 2014).

3. Implementasi Penilaian Sikap

Penguatan proses pembelajaran dan komitmen melaksanakan penilaian sikap harus menjadi kebutuhan semua pihak baik sebagai dosen atau pun sebagai mahasiswa di lingkup jurusan PPKn FIS Unima dan menjadikan penilaian sikap sebagai suatu kebutuhan dalam proses penyiapan sumber daya manusia yang berdaya saing yang memiliki kecerdasan intelektual, sosial, spiritual maupun kinestetik,. menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kecerdasan sosial dan spiritual inilah yang menjadi sasaran dalam pelaksanaan penilaian sikap.

Djahiri sebagaimana dikutip Dr. Apeles. Lexi Lonto, M.Si dan Theodorus Pangalila, S.Fil, M.Pd “Etika Kewarganegaraan” (2013:24) menyatakan bahwa nilai atau value berada dalam diri manusia (suara atau lubuk hati manusia), dengan acuan landasan atau tuntutan nilai moral tertentu yang ada dalam sistem nilai dan sistem keyakinan yang bersangkutan. Oleh karena itu nilai diartikan

sebagai harga yang diberikan

seseorang/sekelompok orang terhadap sesuatu. Harga ini menyangkut dunia afektif manusia.

Dr. Apeles. Lexi Lonto, M.Si dan Theodorus Pangalila, S.Fil, M.Pd “Etika Kewarganegaraan” (2013:25) menyatakan nilai merupakan suatu ide, konsep dan kepercayaan yang dijadikan patokan untuk menentukan pilihan dalam berfikir dan bertindak tentang sesuatu yang pantas atau tidak pantas

Menurut Adi Suryanto, dkk (2009:3.46) menyatakan bahwa ranah sikap yang perlu dikembangkan disekolah antara lain sikap siswa terhadap guru, mata pelajaran, dan sekolah. proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila pihak sekolah mampu mengubah sikap siswa dari negative menjadi sikap positif.

Penilaian sikap yang objektif memang terasa sulit hal ini sebagaimana yang menjadi pengakuan dari guru-guru yang mengajar PPKn pada 12 (dua belas) sekolah yang menjadi lokasi observasi mahasiswa jurusan PPKn semester VII pada tanggal 14 Nopember 2014

di Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon, dan Kota Manado, penilaian sikap menurut pengakuan guru-guru penilaian tersebut hanya di dasarkan pada ingatan mereka tentang sikap siswa tersebut hal ini disebabkan mereka sulit merumuskan indikatornya dan dari pengakuan mereka juga menunjukkan ketidak pahaman mereka terhadap penilaian sikap sebagimana tuntutan kurikulum tahun 2013. Tindakan seperti ini tentu sangat tidak efektif dalam menggambarkan kemampuan seseorang. Telah banyak penelitian tentang penilaian diranah afektif/sikap ini, namun kebanyakan menitik beratkan masalahnya pada penyiapan perangkat/instrument penilaian afektif tersebut. Sedangkan pada proses pelaksanaannya dilapangan belum terlihat adanya sistem untuk membantu memberikan nilai afektif secara objektif dan proporsional.

Berkaitan dengan itu Drs. Gembong Sumadiyono, M.Pd. merumuskan model penilaian sikap dalam bentuk aplikasi yang dapat memudahkan dalam pelaksanaannya sebagai berikut:

Prog. KeahlianTEKNIK PEMESINAN

Semester :

Jurusan :

Tahun akademik :

Kuliah :

Nama Dosen :

NO NIM Nama Mahasiswa INSTRMN

1 1) Isikan data sisw a!

2 Isikan pada bagian berw arna/bertinta merah! 3 2) Isikan data penilaian sisw a pada lembar 4 Instrumen dengan meng-"klik" kotak biru. 5 Untuk kembali dg meng-"klik" kotak orange.

6 3) Untuk melihat hasil sementara atau akhir

7 Pengamatan dengan meng-"klik" hasil

8 Observ asi / pengamatan.

9 10 11 12 13 14 15 16 Data Mahasiswa HASIL OBSERVASI / PENGAMATA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Nama Mahasiswa : Semester : Mata Kuliah : Nama Dosen : PEDOMAN PENILAIAN 1 2 34

1Berdoa sebelum dan sesudah

melakukan sesuatu. 4 = Selalu 2Mengucapkan rasa syukur atas karunia

Tuhan sesuai agama yang dianutnya. 3 = Sering

3

Memberi salam sesuai agama masing-masing sebelum dan sesudah menyampaikan pendapat/presentasi.

2 = Kadang-kadang

4 Mengucapkan keagungan Tuhan apabila melihat kebesaran Tuhan sesuai agama masing-masing.

1 = Tidak Pernah

5 Menambah rasa keimanan akan keberadaan dan kebesaran Tuhan saat mempelajari ilmu pengetahuan.

JUMLAH SKOR 0Nilai Konversi0

Baik Sekali : Skor 16 - 20, Baik : Skor 11 - 15, Cukup : Skor 6 - 10, Kurang : Skor 1 - 5

INSTRUMEN / LEMBAR OBSERVASI / PENGAMATAN DAN PENGOLAHANNNYA

1. OBSERVASI SIKAP SPIRITUAL

(Selalu = 4 ; Sering = 3 ; Kadang-kadang = 2 ; Tidak Pernah = 1)

NO ASPEK PENGAMATAN SKOR KETERANGAN SKOR

(13)

RKAP-13 1 2 3 4

1 Tidak mencontek dalam mengerjakan

ujian/ulangan. 4 = Selalu

2

Tidak melakukan plagiat (mengambil/ menyalin karya orang lain tanpa menyebutkan sumber) dalam mengerjakan tugas.

3 = Sering

3 Mengemukakan perasaan terhadap

sesuatu apa adanya. 2 = Kadang-kadang

4 Melaporkan data atau informasi apa

adanya. 1 = Tidak Pernah

5 Mengakui kesalahan atau kekurangan yang dimiliki.

JUMLAH SKOR 0 Nilai Konversi 0

Baik Sekali : Skor 16 - 20, Baik : Skor 11 - 15, Cukup : Skor 6 - 10, Kurang : Skor 1 - 5

1 2 3 4

1 Masuk kelas tepat waktu. 4 = Selalu 2 Mengumpulkan tugas tepat waktu. 3 = Sering 3 Memakai seragam sesuai tata tertib. 2 = Kadang-kadang 4 Mengerjakan tugas yang diberikan. 1 = Tidak Pernah 5 Tertib dalam mengikuti pembelajaran.

6 Mengikuti praktikum sesuai dengan langkah yang ditetapkan. 7 Membawa buku tulis sesuai mata

pelajaran.

8 Membawa buku teks mata pelajaran.

JUMLAH 0 Nilai Konversi 0

Baik Sekali : 25 - 32, Baik : 17 - 24, Cukup : 9 - 16, Kurang : 1 - 8 3. OBSERVASI SIKAP DISIPLIN

NO ASPEK PENGAMATAN SKOR KETERANGAN SKOR 2. OBSERVASI SIKAP JUJUR

NO ASPEK PENGAMATAN SKOR KETERANGAN SKOR 1 2 3 4

1 Melaksanakan tugas individu dengan

baik. 4 = Selalu

2 Menerima resiko dari tindakan yang

dilakukan. 3 = Sering

3 Tidak menuduh orang lain tanpa bukti

yang akurat. 2 = Kadang-kadang

4 Mengembalikan barang yang dipinjam. 1 = Tidak Pernah

5 Meminta maaf atas kesalahan yang

dilakukan.

JUMLAH SKOR 0Nilai Konversi 0

1 2 3 4

1 Menghormati pendapat teman. 4 = Selalu

2 Menghormati teman yang berbeda suku,

agama, ras, budaya dan gender. 3 = Sering

3 Menerima kesepakatan meskipun

berbeda dengan pendapatnya. 2 = Kadang-kadang

4 Menerima kekurangan orang lain. 1 = Tidak Pernah

5 Memaafkan kesalahan orang lain.

JUMLAH SKOR

0Nilai Konversi 0

Baik Sekali : Skor 16 - 20, Baik : Skor 11 - 15, Cukup : Skor 6 - 10, Kurang : Skor 1 - 5

NO ASPEK PENGAMATAN SKOR KETERANGAN SKOR

4. OBSERVASI SIKAP TANGGUNG JAWAB

NO ASPEK PENGAMATAN SKOR KETERANGAN SKOR

5. OBSERVASI SIKAP TOLERANSI

1 2 3 4

1 Aktif dalam kerja kelompok. 4 = Selalu

2 Suka menolong teman/orang lain. 3 = Sering

3 Kesediaan melakukan tugas sesuai

kesepakatan. 2 = Kadang-kadang

4 Rela berkorban untuk orang lain. 1 = Tidak Pernah

JUMLAH SKOR 0 Nilai Konversi 0

Baik Sekali : Skor 13 - 16, Baik : Skor 9 - 12, Cukup : Skor 5 - 8, Kurang : Skor 1 - 4

1 2 3 4

1 Menghormati orang yang lebih tua. 4 = Selalu

2 Mengucapkan terima kasih setelah menerima

bantuan orang lain. 3 = Sering

3 Menggunakan bahasa santun saat

menyampaikan pendapat. 2 = Kadang-kadang

4 Menggunakan bahasa santun saat mengkritik

pendapat teman. 1 = Tidak Pernah

5 Bersikap 3S (Salam, Senyum, Sapa) saat

bertemu orang lain.

JUMLAH SKOR

0Nilai Konversi 0

Baik Sekali : Skor 16 - 20, Baik : Skor 11 - 15, Cukup : Skor 6 - 10, Kurang : Skor 1 - 5

1 2 3 4

1 Berani presentasi di depan kelas. 4 = Selalu

2 Berani berpendapat, bertanya, atau menjawab

pertanyaan. 3 = Sering

3 Berpendapat atau melakukan kegiatan tanpa ragu-ragu. 2 = Kadang-kadang

4 Mampu membuat keputusan dengan cepat. 1 = Tidak Pernah

5 Tidak mudah putus asa/pantang menyerah.

JUMLAH SKOR 0 Nilai Konversi 0

Baik Sekali : Skor 16 - 20, Baik : Skor 11 - 15, Cukup : Skor 6 - 10, Kurang : Skor 1 - 5 NO ASPEK PENGAMATAN SKOR KETERANGAN SKOR

8. OBSERVASI SIKAP PERCAYA DIRI

NO ASPEK PENGAMATAN SKOR KETERANGAN SKOR 6. OBSERVASI SIKAP KERJASAMA

NO ASPEK PENGAMATAN SKOR KETERANGAN SKOR

(14)

14

PENILAIAN SIKAP

JURNAL Indikator Kekuatan dan Kelemahan

A. Prilaku di dalam kelas

Semester : B. Prilaku di luar kelas

Mata Kuliah : C. Prilaku secara umum

Tahun akademik :

PEDOMAN PENILAIAN

(Selalu konsisten = 4 ; Konsisiten = 3 ; Mulai Konsisten = 2 ; Kurang konsisten = 1)

A B C

Rata-rata

Nama Dosen,

Indikator Kekuatan dan Kelemahan peserta didik:

1. Prilaku dan aktifitas di dalam kelas

2. Prilaku dan aktifitas di luar kelas

3. Prilaku dan aktifitas secara umum

Predikat No. Nama Mahasiswa Penilaian Jurnal Jumlah Nilai

Ratusan Cerminan Prilaku PENILAIAN SIKAP Penilaian: Semester A. Observasi

Mata Kuliah B. Jurnal

Tahun Akademik

Nilai Sikap dengan Skala Ratusan (50-100)

A B 1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata Kelas Nama Dosen Kualifikasi OBSERVASI, JURNAL No . Nama Siswa Penilaian Rata-rata Kriteria Penilaian : < 60 Kurang 61 - 69 Cukup 70 - 79 Baik 80 - 100 Sangat Baik RKAP HASIL

Model penilaian sikap sebagaimana tersebut diatas tentu sangat diharapkan akan mempermudah dalam implementasi penilaian sikap oleh guru ataupun dosen terutama guru yang mengajar PPKn ataupun dosen yang mengajar pada mahasiswa jurusan PPKn oleh karena format-format tersebut sudah dirancang dalam bentuk aplikasi.

C. Penutup

Kunci keberhasilan dalam pelaksanaan penilaian sikap sangat tergantung dari komitmen dan rasa tanggungjawab semua pihak sebagai guru ataupun dosen, yang dilandasi oleh adanya kesadaran bahwa sumber daya manusia yang berdaya saing tidak sekedar memilki kompetensi kognitif tapi lebih dari pada itu juga memiliki kompetensi sikap, perilaku yang baik.

Kesulitan dalam mengimplementasikan penilaian sikap terutama dalam penyiapan format dan pengisiannya solusinya adalah

melalaui pemahaman dan pengembangan program aplikasi penilaian sikap sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya yang pada prinsipnya hanya ditekankan pada kegiatan pengisian data pada table observasi dan Jurnal sedangkan penentuan rata-rata dan kualifikasi dalam bentuk aplikasi.

Daftar Pustaka

Apeles Lexi Lontoh, dan Theodorus Pangalila,

2013 “Etika Kewarganegaraan.

Yogyakarta, Ombak

Adi Suryanto. Dkk.2009. Evaluasi

Pembelajaran, Universitas Terbuka Jakarta.

Gembong Sumadiyono, 2014. “File Prrogram Aplikasi Penilaian Sikap, Pengetahuan dan Ketrampilan dalam rangka sosialisasi kurikulum tahun 2013 lingkup pengawas sekolah, Jakarta,

http://www.vedcmalang.com/pppptkboemlg/ind ex.php/artikel-coba 2/edukasi/488-teori-teori sikap, diakses 19 Nopember 2014. Laporan hasil observasi dokumen pembelajaran

guru PPKn, mahasiswa jurusan PPKn FIS Unima pada 12 (dua belas) Sekolah di Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon dan Manado 14 Nopember 2014

Pasandaran Syamsi, 2014 Paper seminar nasional pendidikan karakter melalui PKn dalam mempersipakan generasi emas

tahun 2045, AP3KnI, Unima.

hhtp//news.detik.com/read. detik news

empat hal yang membuat Indonesia terancam jadi Negara gagal, 21 Juni 2012, dalam Pasandaran Syamsi Paper seminar nasional pendidikan karakter melalui PKn dalam mempersipakan generasi emas tahun 2045, AP3KnI, Unima.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi pasal 6 ayat 1

(15)

15

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR BIDANG STUDI

PPKn MELALUI PENERAPAN METODE DIALOG PADA SISWA DI

SMK WONOKROMO SURABAYA

Drs. Lukman Hakim. S.Pd.SH.SE.MM.M.Si

Dosen UNITAS/STKIP Tribhuana Surabaya

Abstrak

Masalah pokok penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan siswa belajar PKn dan upaya-upaya apa saja yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar PKn. Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah penerapan metode dialog pada mata pelajaran PKn. 2. Meningkatkan kemampuan belajar bidang studi PKn dengan menerapkan metode dialog. 3. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi guru dalam menerapkan metode dialog pada mata pelajaran PKn. kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada perbedaan nilai PKn sebelum dan setelah penerapan metode dialog pada mata pelajaran PKn signifikan. 2. Penerapan metode dialog dalam pembelajaran PKn berhasil meningkatkan kemampuan belajar PKn siswa kelas XI di SMK Wonokromo Surabaya. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan, antara lain: Dengan metode, Pembelajaran ini lebih efisien dan etektif jika diterapkan dengan baik, terutama pada mata pelajaran PKn yang ruang lingkup pengajarannya mempunyai tujuan agar siswa terampil dalam hal menyimak, berbicara, membaca, memahami dan mengerjakan soal. 3. Kendala-kendala yang dihadapi guru dalam menerapkan prinsip pembelajaran integratif pada siswa kelas XI di SMK Wonokromo Surabaya adalah: a. Siswa kurang percaya diri dalam menyelesaikan setiap kegiatan yang dibebankan. b. Hasil observasi peneliti di kelas memperlihatkan adanya beberapa ciri siswa yang memiliki cara berpikir yang berbeda-beda yaitu ada yang mampu menyesuaikan diri, menyukai tantangan, bertanggungjawab, mandiri, dan ada pula yang cenderung kurang aktif. Kondisi ini membutuhkan keaktifan guru dalam mengajar, sehingga kegiatan belajar mengajar tetap dapat berjalan dengan baik.

Penelitian ini menyarankan: 1. adanya penerapan metode dialog dapat mempengaruhi tingkat prestasi siswa dalam belajar. 2. direkomendasikan kepada berbagai pihak untuk meningkatkan pengelolaan fasilitas sekolah agar layanan pembelajaran lebih bermutu yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas mutu siswa-siswinya dan juga para pengajar atau guru. 3. Pembelajaran lebih diarahkan pada cara membaca, memahami dan berdiskusi, menggunakan komunikasi lisan dan tata bahasa dengan baik. Keberhasilan penerapan pembelajaran dengan metode dialog perlu melibatkan berbagai pihak.

(16)

16

Pendahuluan

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkan kembangkan potensi sumber daya manusia melalui kegiatan pengajaran. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, menyatakan, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, perlu ditingkatkan terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstitusi Negara Republik Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai generasi penerus.

Indonesia harus menghindari sistem pemerintahan yang memasung hak-hak asasi manusia, hak-hak warganegara untuk dapat menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Kehidupan yang demokratis didalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non pemeritahan perlu dikenal, dipahami, diinternalisasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi serta demi peningkatan martabat kemanusian, kesejahteraan, kebahagiaan, kecerdasan dan keadilan.

Mata Pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran

yang memfokuskan pada pembentukan

warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga Negara yang baik, yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education)

merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi

agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar, ditegaskan bahwa: Tujuan Pendidikan Dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Standar isi Pendidikan Kewarganegaraan

adalah sebagai berikut: 1. Menguasai materi keilmuan yang meliputi

dimensi pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku yang mendukung kegiatan pembelajaran PKn.

2. Menguasai konsep dan prinsip kepribadian nasional dan demokrasi konstitusional Indonesia, semangat kebangsaan dan cinta tanah air serta bela Negara.

3. Menguasai konsep dan prinsip perlindungan, kemajuan HAM, serta penegakan hukum secara adil dan benar.

Dari Standar Isi dan Standar Kompetensi tersebut diatas, penulis memilih butir ketiga yaitu tentang Hak Asasi Manusia, serta penegakan hukum secara adil dan benar, sebagai landasan judul penelitian ini.

Pengajaran PKn untuk siswa Sekolah Menengah Pertama perlu mendapat perhatian, hal ini dikarenakan dengan pembelajaran atau pemberian bekal ilmu mengenai PKn akan dapat

mempermudah bagi siswa untuk

mengadaptasikan atau mengkomunikasikan bahasa yang akan mereka ungkapkan dengan benar, jelas, dan baik. Melalui pengajaran PKn, anak-anak berlatih membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan dalam PPKn. PPKn diajarkan sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi.

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman selama ini, siswa kurang aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Anak cenderung tidak begitu tertarik dengan pelajaran PKn karena selama ini pelajaran PKn dianggap sebagai pelajaran yang hanya mementingkan hafalan semata, kurang menekankan aspek penalaran sehingga menyebabkan rendahnya minat belajar PKn siswa di sekolah.

Banyak faktor yang menyebabkan hasil belajar PKn siswa rendah yaitu faktor internal dan eksternal dari siswa. Faktor internal antara

(17)

17 lain: motivasi belajar, intelegensi, kebiasan dan rasa percaya diri. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang terdapat di luar siswa, seperti; guru sebagai Pembina kegiatan belajar, startegi pembelajaran, sarana dan prasarana, kurikulum dan lingkungan.

Dari masalah-masalah yang dikemukakan diatas, perlu dicari strategi baru dalam pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran yang mengutamakan penguasaan kompetensi harus berpusat pada siswa (Focus on Learners), memberikan pembelajaran dan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual dalam kehidupan nyata (provide relevant and contextualized subject

matter) dan mengembangkan mental yang kaya

dan kuat pada siswa.

Disinilah guru dituntut untuk merancang

kegiatan pembelajaran yang mampu

mengembangkan kompetensi, baik dalam ranah kognitif, ranah afektif maupun psikomotorik siswa. Strategi pembelajaran yang berpusat pada

siswa dan peciptaan suasana yang

menyenangkan sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran PKn. Dalam hal ini penulis memilih model “pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dalam meningkatkan kemampuan memecahkan masalah HAM dalam mata pelajaran PKn”.

Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu proses belajar mengajar didalam kelas dimana siswa terlebih dahulu diminta mengobservasi suatu fenomena. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul, setelah itu tugas guru adalah merangsang untuk berfikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan persfektif yang berbeda diantara mereka.

Pembelajaran PPKn harus bersifat aktual, fleksibel, dinamis, kontekstual, dan lebih mengutamakan metode dialog dan diskusi daripada ceramah. Aktual berarti nyata dan masih hangat dalam kehidupan sehari-hari, bukan suatu pengandaian. Bersifat fleksibel, maksudnya tidak terlalu tegang, terpancang pada satu metode dan satu sumber buku. Dinamis, artinya sesuai dengan perkembangan

jaman. Bersifat kontekstual, berarti sesesuai dengan konteks lingkungan dan sistem sosial yang berlaku.

Dari gambaran kondisi di atas, sebagai guru PKn harus mengupayakan peningkatan kemampuan belajar siswa terhadap pelajaran PKn dengan menerapkan metode dialog daripada ceramah. Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah melatih siswa membaca, mendengarkan, dan berdiskusi sebanyak-banyaknya. Dengan pelaksanaan pembelajaran yang tepat ini akan meningkatkan kompetensi siswa.

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui seberapa jauh kemampuan siswa belajar PKn dan upaya-upaya apa saja yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar PKn.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan secara umum dalam suatu penelitian di dalam kelas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah penerapan metode dialog pada mata pelajaran PKn?

2. Apakah dengan penerapan metode dialog, kemampuan belajar PKn dapat ditingkatkan? 3. Kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi

guru dalam menerapkan metode dialog pada mata pelajaran PKn?

Landasan Teori Pengertian Belajar

Belajar adalah merupakan suatu aktifitas yang dilakukan oleh murid / manusia dengan tujuan untuk dapat melaksanakan atau melakukan sesuatu yang baru. Manusia atau individu telah melakukan perbuatan belajar di dalam dirinya berarti pula bahwa telah terjadi perubahan, baik berupa pengetahuan, sikap, ketrampilan yang sebelumnya belum pernah dimiliki. Sedangkan menurut Winarno Surachmad dikatakan bahwa belajar: Proses perubahan yang terjadi pada/dalam diri manusia yaitu tidak tahu kearah mengetahui dan berlangsung secara berencana dan bertujuan.

Dengan begitu belajar adalah suatu aktifitas yang dilakukan seseorang sehingga terjadi perubahan pada dirinya baik dalam bentuk ketrampilan, sikap, pengetahuan,

(18)

18 kebiasaan dan lain-lain yang berlangsung secara berencana dan tujuan. Prestasi belajar merupakan bukti utama dari suatu keberhasilan dari seseorang siswa di dalam menuntut ilmu baik dengan jalan melalui pendidikan formal maupun informal. Di dalam pendidikan formal dituntut suatu peraturan atau kedisiplinan yang ketat dan umumnya keberhasilan seseorang siswa dinyatakan dalam prestasi tersebut, diukur dengan menggunakan lambang nilai suatu misal ada yang menggunakan angka-angka 1-10 atau

angka puluhan 10-100 adapun yang

menggunakan abjad A,B,C dan D atau angka-angka kurang, cukup, memuaskan dan sangat memuaskan. Menurut W.J.S. Poerwodarminta (th 1977, hal.768) yang dimaksud dengan prestasi adalah hasil yang telah dicapai atau dilaksanakan atau dikerjakan.

Macam-macam Teori Belajar

Teori belajar yang oleh para ahli menurut Singgih D. Gunarso (th. 1973, hal. 25) antara lain sebagai berikut:

a. Belajar Secara Assosiatif.

Cara belajar menurut teori ini adalah merupakan proses belajar yang sederhana, karena hanya menyangkut soal assosiatif antara suatu rangsang dengan respon atau suatu cara adanya rangsang yang menyebabkan timbulnya assosiatif dengan respon.

b. Belajar menurut Hukum Pertautan (teori

Consotions)

Hukum ini berlandaskan suatu pendapat bahwa hal belajar sebenarnya merupakan suatu rangkaian hubungan antara rangsangan dan liku-liku (perbuatan-perbuatan) yang diperhatikan hokum ini dikemukakan oleh Thorndiks.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Proses Belajar

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar itu sebanyak ragam diantaranya:

1. Kondisi belajar

Untuk dapat belajar dengan efektif dan efisien tergantung pada kondisi fisik orang yang belajar.

2. Situasi Belajar

Maksudnya kondisi yang baik belajar akan besar sekali pengaruhnya terhadap proses belajar misalnya kesehatan badan, keadaan. Keadaan fisik yang baik motif yang murni dalam bentuk tujuan yang benar-benar di idam-idamkan pelajar belajar akan efektif apabila keadaan jiwa anak tidak mengalami gangguan-gangguan, misalnya adanya gangguan oleh suatu hal atau pemusatan minat terhadap yang lain.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Pendidikan Pancasila dan

Kewaarganegaraan sudah sejak tahun 1976 dan mulai diajarkan mulai TK sampai perguruan tinggi. Disamping itu dengan adanya bidang

studi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial, kedua bidang ini obyeknya sama yaitu masyarakat, warga Negara yang baik, tetapi perbedaannya terletak dalam penelitian dan sasarannya saja. Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan penekanannya pada

pembinaan sikap warga Negara yang sesuai dengan Pancasila sebagai filsafat bangsa.

Sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial

menekankan ketrampilan warga Negara dalam menghadapi dan memecahkan masalah sosial masyarakat. Sedangkan S. Brojonegoro merumuskan pengertian pendidikan adalah sebagai berikut:

“ Pendidikan merupakan tuntutan kepada manusia yang belum dewasa untuk menyiapkan agar dapat memenuhi sendiri tugas hidupnya atau secara singkat pendidikan adalah tuntunan kepada perkembangan manusia mulai lahir sampai tercapainya kedewasaan dalam arti jasmani dan rokhaniah”

Dalam artian khusus untuk Indonesia, sesuai dengan ketetapan MPR No. I/MPR/1973 pengertian pendidikan dirumuskan sebagai berikut:

“Pendidikan pada hakekatnya adalha usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”

Gambar

Gambar Unsur-Unsur Inkuiri

Referensi

Dokumen terkait

Lama Rawatan Rata-rata Bayi dengan Kelainan Kongenital Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr..

rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul PENGGUNAAN POLIMER KARBOHIDRAT AMYLUM DAN BAHAN TAMBAH MADU UNTUK MENINGKATKAN KUAT TEKAN MORTAR

dan eigen-vector melalui suatu vektor tak nol yang telah ditentukan sebelumnya secara sebarang. Dalam Tugas Akhir ini, akan diturunkan suatu teorema secara

Hal tersebut berdasarkan Perbup Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Sragen Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pembentukan Unit Perlayanan Terpadu Penanggulangan

Secara teologis, Allah SWT menunjukkan bahwa tujuan pengutusan Nabi adalah “sebagai belas kasih bagi siapa saja di antara kaum yang beriman.” 6 Dalam ayat lain ditegaskan

Sebuah modul panel depan pada umumnya terdiri dari sakelar daya, sakelar reset, lampu LED daya, lampu LED aktifitas penggerak depan (hard drive), pengeras suara dan lain-lain. Ketika

proxy yaitu sebuah komputer server yang bertindak sebagai komputer lainnya untuk menerima / melakukan request terhadap kontent dari sebuah jaringan

SATUAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR NEGERI KURIPAN DAFTAR DANA CADANGAN TAHUN ANGGARAN 2014/2015 NO TUJUAN PEMBENTUKA N DANA CADANGAN DASAR HUKUM PEMBENTUK AN DANA CADANGAN JUMLAH