• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Masa tersebut ditandai oleh adanya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Masa tersebut ditandai oleh adanya"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Usia Madya

II.A.1. Definisi Usia Madya

Pada umumnya usia madya atau usia setengah baya dipandang sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Masa tersebut ditandai oleh adanya perubahan fisik, mental serta perubahan minat (Hurlock,1990).

Perubahan fisik yang dialami pada usia madya antara lain; perubahan dalam penampilan, perubahan dalam kemampuan indera, perubahan pada keberfungsian fisiologis, perubahan pada kesehatan dan perubahan seksual. Sedangkan perubahan minat yang dialami pada usia madya salah satunya adalah perubahan dalam minat keagamaan. Banyak orang yang berusia madya baik pria maupun wanita yang tertarik pada kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan daripada yang pernah mereka kerjakan pada waktu masih muda.

Keinginan untuk lebih terlibat dengan keagamaan biasanya dikarenakan mereka mempunyai banyak waktu luang sehingga kegiatan tersebut dianggap dapat memenuhi kebutuhannya dan keinginan tersebut akan semakin besar setelah seseorang kehilangan anggota keluarga atau teman dekatnya. Individu pada usia madya juga menemukan bahwa agama merupakan sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang pernah diperoleh dulu sewaktu usianya masih muda (Hurlock,1990).

(2)

II.A.2. Karakteristik Usia Madya

Seperti halnya setiap periode dalam rentang kehidupan, usia madya pun diasosiasikan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda dari tahap usia lainnya. Salah satu karakteristik usia madya adalah bahwa umumnya usia ini dianggap atau dipandang sebagai usia yang berbahaya dalam rentang kehidupan (Hurlock, 1990).

Usia madya merupakan masa di mana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku baru. Penyesuaian yang radikal terhadap peran, pola hidup dan berbagai perubahan fisik, akan cenderung merusak homeostasis fisik dan psikologis seseorang dan kemudian membawanya ke masa stres. Kekecewaan pada homeostasis fisik dan psikologis tersebut tidak hanya dapat mengganggu hubungan suami istri, yang kadang-kadang menuju pada perpisahan atau perceraian, tetapi juga lambat laun membawa pria dan wanita kepada gangguan jiwa, alkoholisme, pecandu obat dan bunuh diri. Hal inilah yang menyebabkan usia madya dianggap sebagai usia yang berbahaya (Hurlock, 1990).

II.A.3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Usia Madya

Ada beberapa tugas perkembangan pada usia madya yang dikemukakan oleh Havighurst (dalam Hurlock, 1990), salah satunya adalah menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada tahap ini. Perubahan fisik yang terpenting, yang terhadapnya orang berusia madya harus

(3)

menyesuaikan diri antara lain; perubahan dalam penampilan, perubahan dalam kemampuan indera, perubahan pada keberfungsian fisiologis, perubahan kesehatan, serta perubahan seksual.

Sejauh ini, penyesuaian fisik yang paling sulit dilakukan oleh pria maupun wanita pada usia madya terdapat pada perubahan-perubahan pada kemampuan seksual mereka. Wanita memasuki masa menopause, atau perubahan hidup, di mana masa menstruasi berhenti, dan mereka kehilangan kemampuan untuk memperoleh anak. Sedangkan pria mengalami masa klimaterik pria yang ditandai oleh rusaknya fungsi organ seksual, nafsu seksual menurun, penampilan kelelakian menurun, gelisah akan kepriaannya, ketidaknyamanan fisik, menurunnya kekuatan dan daya tahan tubuh, serta perubahan kepribadian (Hurlock, 1990).

Selain penyesuaian terhadap perubahan fisiologis, tugas penting yang perlu dikembangkan pada usia madya adalah usaha untuk menciptakan hubungan yang memuaskan dengan pasangan. Hal ini khususnya sulit bagi wanita karena masalah yang dihadapinya dalam melakukan penyesuaian yang memuaskan terhadap peran baru yang harus ia mainkan sekarang di mana anak-anak telah meninggalkan rumah. Bahaya penyesuaian ini juga dialami oleh pria.

Banyak pria dan wanita dapat melakukan penyesuaian perkawinan ini dengan berhasil dan bahkan lebih bahagia dalam perkawinannya daripada yang dialaminya selama masih merawat anak-anak, tetapi bagi orang lain hal ini merupakan transisi yang membahayakan.

(4)

Kegagalan dalam mencapai tugas perkembangan ini mempunyai efek balik dalam penyesuaian seksual selama masa usia madya. Faktor tersebut membahayakan penyesuaian perkawinan dan sangat menambah kekecewaaan terhadap perkawinan selama periode tersebut. Oleh karena itu, perceraian atau ancaman perceraian adalah salah satu dari seluruh bahaya perkawinan yang paling serius pada usia madya (Hurlock, 1990).

II.B. Kepuasan Pernikahan II.B.1. Defenisi Pernikahan

Secara umum, pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan dengan menggunakan adat atau aturan tertentu, yang kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu. Sedangkan perkawinan, meskipun seringkali dibedakan dengan kata nikah, memiliki inti makna yang sama dengan pernikahan, yaitu upacara bersatunya pria dan wanita membentuk satu keluarga.

Menurut Domikus (1999), perkawinan merupakan salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia dan paripurna.

Di Indonesia, seluk beluk perkawinan diatur dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, yang mendefenisikan perkawinan sebagai:

(5)

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga yang bahagia dan kekal) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Domikus, 1999).

Bhrem (1992) menyatakan bahwa pernikahan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam ; dimana dua individu berikrar yang didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.

Dalam Islam, pernikahan adalah konsep sakral dari sebuah kontrak (ijab qobul) secara syah yang dilakukan oleh pasangan lelaki dan perempuan sesuai tata nilai hukum yang berlaku, baik hukum positif maupun hukum religius. Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi ijab qabul artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima (Taufik, 2004).

Dari beberapa definisi di atas, maka pernikahan dalam penelitian ini berarti ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan tata nilai hukum yang berlaku.

II.B.2. Pernikahan dalam Islam

Faktor yang sangat berpengaruh dalam pernikahan yang Islami adalah ajaran Islam itu sendiri. Ini berdasarkan ajaran Islam bahwa agama bukanlah kumpulan pikiran yang harus dijalankan atau yang harus mempengaruhi hanya bagian kehidupan manusia yang sakral. Setiap aspek kehidupan Islami harus

(6)

didasarkan pada ajaran Qur’an dan agama, maka pernikahan juga tidak kurang dipengaruhi oleh agama (Ahmad, 1997).

Hukum Islam menjelaskan bahwa jika akad nikah telah selesai diucapkan, maka akad tersebut akan menimbulkan kewajiban dan hak suami-istri (Sabiq, dalam Wahyuningsih, 2002). Kewajiban tersebut adalah sebagai konsekuensi logis dari berubahnya peran seseorang dari seorang bujangan menjadi seorang suami atau istri. Dengan ditunaikannya kewajiban, hak pasangannya telah terpenuhi. Jika masing-masing telah mendapatkan haknya, maka terciptalah hubungan yang saling menguntungkan.

Menurut Sabiq (dalam Wahyuningsih, 2002), dalam hukum Islam, kewajiban dan hak suami istri ada tiga macam, yaitu hak istri atas suami (kewajiban suami), hak suami atas istri (kewajiban istri), dan hak bersama (kewajiban suami istri). Syuqqoh (dalam Wahyuningsih, 2002) menjelaskan bahwa kewajiban suami yang utama adalah memimpin rumah tangga dan memberi nafkah, sedangkan kewajiban istri yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur urusan rumah tangga. Kemudian hak bersama suami istri dapat dirinci menjadi sepuluh, yaitu : kelemahlembutan; kasih sayang; reproduksi; kepercayaan dan baik sangka; berpartisipasi dalam cita-cita dan berbagai urusan umum maupun khusus; berhias; bergaul dan melakukan hubungan biologis; memperoleh hiburan; cemburu; dan berpisah secara ma’ruf (baik).

Berkaitan dengan hak bersama suami istri, Syuqqoh (dalam Wahyuningsih, 2002) menjelaskan bahwa hak-hak tersebut sekaligus juga kewajiban suami atau istri. Kesepuluh hak bersama suami istri yang telah

(7)

disebutkan di atas mengandung maksud bahwa suami istri harus berusaha menyesuaikan diri dengan pasangannya. Hal ini menandakan bahwa suami dan istri, kedua-duanya harus mampu mengakomodasi kebutuhan, keinginan dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan, dan harapan dari pasangannya.

Syuqqoh (dalam Wahyuningsih, 2002) juga mengemukakan bahwa dalam hukum Islam, ketika seseorang telah menikah ia terikat tanggungjawab untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya, suami istri perlu bekerjasama. Secara umum ada empat hal yang memerlukan kerjasama dalam penunaian kewajiban, yaitu dalam kaitannya dengan kepemimpinan suami (hal ini menunjukkan adanya kerjasama dalam hal-hal penting dalam perkawinan, seperti aktivitas keluarga), nafkah (keuangan), pengasuhan anak, dan urusan rumah tangga (pekerjaan rumah tangga).

Pentingnya pernikahan atau perkawinan dalam masyarakat Islam dan anjurannya oleh ajaran agama terletak pada tujuan yang diyakini akan dicapai. Tujuan tersebut antara lain :

1. Muslim menganggap pernikahan sebagai pencipta keseimbangan antara kebutuhan perseorangan dan kesejahteraan kelompok dimana seseorang itu

berasal. Dengan demikian pernikahan dianggap sebagai kebutuhan sosial dan psikologi untuk semua anggota masyarakat.

2. Pernikahan adalah mekanisme moral dan kontrol yang saling menguntungkan untuk tingkah laku seksual dan berketurunan. Kurangnya

(8)

kepuasan seksual dipercaya menyebabkan " personality maladjustment" dan berbahaya bagi kesehatan mental dan effisiensi masyarakat.

3. Pernikahan sebagai suatu syarat dari atmosfir yang stabil untuk perkembangan anak.

4. Pernikahan menjamin manfaat ekonomi yang penting pada perempuan saat ia harus membesarkan anak.

5. Hubungan yang erat diantara suami isteri memberikan kepuasan jiwa bagi laki-laki dan perempuan. Kepentingan dari tujuan perkawinan ini dalam Islam disebutkan dalam Hadith dan Al-Qur'an :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. “(QS. 30:21).

II.B.4. Definisi Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan merupakan persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu (Roach dkk, dalam Pujiastuti &Retnowaty, 2004). Senada dengan Roach dkk, Hawkins (dalam Pujiastuti & Retnowaty,2004) juga berpendapat bahwa kepuasan pernikahan merupakan perasaan subyektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu pernikahan seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangan yang bersifat individual.

(9)

Secara umum, Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuty &Retnowaty, 2004) menyebut kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.

Menurut Durodoye (dalam Domikus, 1999), kepuasan perkawinan merupakan kesan subyektif individu terhadap komponen spesifik dalam hubungan perkawinannya. Selanjutnya, Olson dan Hamilton (1983) juga mengemukakan definisi kepuasan perkawinan yaitu perasaan subjektif dari kebahagiaan, kepuasan dan kesenangan yang dialami oleh pasangan dengan menyadari seluruh aspek yang ada dalam perkawinan mereka.

Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tersebut tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Hughes & Noppe, 1985).

Jane (2006) menjelaskan ada tiga karakteristik yang merupakan kunci dalam mencapai perkawinan yang memuaskan. Karakteristik tersebut antara lain; pernikahan harus didasari dengan kasih sayang; kesetiaan; serta setiap pasangan harus mendapatkan kepuasan dalam hal agama dan perannya sebagai orangtua.

Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka kepuasan pernikahan dalam penelitian ini berarti apa yang dirasakan oleh suami atau istri terhadap kehidupan pernikahannya, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu pernikahan

(10)

seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangan yang bersifat individual

II.A.5. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan

Menurut Olson & Fowers (1993), kepuasan pernikahan terdiri dari 10 aspek yaitu:

1. Komunikasi (Communication)

Aspek ini merupakan aspek mengenai perasaan dan sifat individu dalam berkomunikasi dengan pasangan. Fokus dalam area ini adalah perasaan senang pasangan suami atau istri, berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya. Komunikasi yang baik dapat dicapai dengan cara meningkatkan intensitas komunikasi antara satu sama lain, menjadi pendengar yang baik, mendiskusikan masalah bersama (Henslin, 1985). Laswell (1991) membagi elemen dari komunikasi dalam perkawinan menjadi lima bagian, yaitu : opennes (keterbukaan di antara pasangan), honesty (kejujuran), ability to trust (kemampuan untuk saling percaya), emphaty (empati), dan listening skill (kemampuan mendengarkan). Peck (1991) menjelaskan bahwa komunikasi penting dalam suatu perkawinan, melalui suatu komunikasi yang terbuka dan saling menerima, pasangan dapat saling berbagi rasa, harapan dan kepuasan-kepuasan dapat tercapai serta melakukan penyesuaian dalam setiap area kehidupan rumah tangga.

(11)

Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang. Area ini dapat merefleksikan aktivitas yang dilakukan merupakan aktivitas personal atau aktivitas bersama, pilihan personal atau pilihan bersama dan harapan-harapan dalam mengisi waktu senggang bersama pasangan. Mengisi waktu bersama dilakukan dengan cara melakukan kegiatan bersama, perlu diperhatikan bahwa kebersamaan yang dimaksud adalah kebersamaan yang dinikmati secara alami bukan pura-pura menikmati kebersamaan. Kebersamaan ini tidak hadir begitu saja, namun setiap anggota keluarga harus menciptakan kebersamaan, misalnya : saat sarapan pagi, rekreasi, dll (Henslin, 1985).

3. Orientasi Keagamaan (Religius orientation)

Aspek ini merupakan aspek untuk melihat makna keyakinan beragama dan pelaksanaannya dalam kehidupan perkawinan. Skor yang tinggi mengindikasikan bahwa agama merupakan hal yang penting dalam perkawinan. Apabila seseorang kurang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikap yang kurang perduli terhadap pelaksanaan ibadah. Pada umumnya, setelah menikah orang akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya dengan membiasakan diri melakukan ibadah, pergi beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembahyang secara teratur dan ikut dalam kegiatan atau organisasi agama (Hurlock, 1990).

4. Resolusi konflik (Conflict resolution)

Aspek ini merupakan aspek untuk menilai persepsi suami atau istri terhadap konflik yang ada dan penyelesaiannya. Fokus perhatian dalam area ini adalah keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan persoalan serta

(12)

strategi yang digunakan untuk mengakhiri perbedaan pendapat. Kemampuan untuk mengatasi krisis bisa diwujudkan bila setiap anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah, mendiskusikan masalah dan membangun kepercayaan satu sama lain (Henslin, 1985). Kail dan Cavanaugh (2000) mengatakan bahwa kebahagiaan dalam perkawinan dapat terbina dengan melakukan komunikasi yang konstruktif dan positif mengenai masalah yang sedang dihadapi.

5. Manajemen keuangan (Financial management)

Aspek ini memperhatikan sikap dan cara mengatur keuangan dalam keluarga, menilai bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan tentang kemampuan keuangan untuk memiliki barang-barang yang dianggap penting dan ketidakmampuan untuk memenuhi biaya hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan (Hurlock, 1990). Henslin (1985) mengemukakan bahwa pasangan suami dan istri yang merasa senang dengan pemasukan yang mereka peroleh cenderung merasa puas terhadap perkawinan mereka dan sebaliknya, pasangan suami dan istri yang merasa tidak puas terhadap jumlah uang yang mereka miliki cenderung tidak merasa puas terhadap perkawinan mereka. Konflik mulai muncul bila dalam pengelolaan uang suami menunjukkan otoritasnya kepada istri dan meragukan kemampuan istri untuk mengelola uang.

6. Hubungan seksual (Sexual relationship)

Yaitu aspek untuk melihat bagaimana perasaan yang berhubungan dengan kasih sayang dan hubungan seksual dengan pasangannya. Area ini merefleksikan

(13)

sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual dan kesetiaan terhadap pasangan. Masalah mengenai penyesuaian seksual merupakan salah satu masalah yang dapat menyebabkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan (Landis, 1988). Kepuasan dalam hubungan seksual meningkat seiring dengan berjalannya waktu, dimana pasangan saling memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, semakin mampu untuk mengungkapkan hasrat mereka, memilih waktu yang tepat untuk melekukan hubungan seksual dan dapat membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga kesulitan dalam berhubungan seksual dapat diatasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas dan kuantitas hubungan seksual, kedua hal ini penting untuk kesejahteraan perkawinan (Ellen Frank & Carrol Anderson dalam Henslin, 1985).

7. Keluarga dan Teman (Family and friend)

Yaitu aspek untuk menilai perasaan dan perhatian terhadap hubungan dengan kerabat, mertua dan teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang dalam mengisi waktu bersama keluarga dan teman. Hubungan yang baik dengan mertua lebih terbina dengan menantu yang memiliki hobi dan kegiatan yang sama dengan mertua, menantu merasa bahagia dalam berhubungan dengan keluarga pasangan dan dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Perkawinan akan lebih sulit bila salah satu pasangan menggunakan lebih banyak waktu untuk keluarganya, mudah dipengaruhi oleh keluarganya, ada anggota keluarga yang datang berkunjung dalam waktu yang lama atau bahkan tinggal bersama. Hal yang menjadi masalah dengan keluarga

(14)

adalah bila ada anggota keluarga yang meminta bantuan keuangan sehingga menimbulkan perasaan tidak enak pada keluarga tersebut bila tidak dapat membantu (Hurlock, 1990).

8. Anak dan pengasuhan anak (Children and parenting)

Yaitu aspek untuk menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak. Area ini memperhatikan keputusan mengenai kedisiplinan terhadap anak, cita-cita terhadap anak dan dampak adanya anak dalam hubungan dengan pasangan. Hurlock (1990) mengatakan bahwa pada saat orangtua memiliki cita-cita yang tinggi terhadap anaknya akan menimbulkan kepuasan pribadi tetapi anak yang tidak dapat memenuhi cita-cita dan harapan orangtua akan menimbulkan kekecewaan dan kemarahan pada orangtua. Jumlah ideal anak dapat menjadi masalah dalam perkawinan, bila pasangan memiliki anak sebanyak yang diharapkan maka proses penyesuaian perkawinan akan jauh lebih baik daripada apabila salah satu anggota keluarga merasa bahwa mereka mempunyai terlalu banyak anak atau lingkungan mencegah mereka untuk mempunyai anak.

9. Masalah Kepribadian (Personality issue)

Yaitu aspek yang menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangan dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan. Area ini melihat penyesuaian diri dengan pasangan dan kepuasan terhadap tingkah laku, kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan pasangan. Matthews (1996) menjelaskan bahwa biasanya sebelum menikah seseorang berusaha untuk menarik perhatian pasangannya termasuk dengan cara berpura-pura menjadi orang

(15)

lain, tetapi setelah menikah sikap dan kepribadian yang sebenarnya ditunjukkan dan kenyataannya jauh dari yang dibayangkan selama ini. Pada dasarnya setiap orang memiliki kebiasaan yang berbeda, namun setelah menikah perbedaan kebiasaan tersebut dapat menjadi masalah. Persoalan tingkah laku dan kebiasaan pasangan yang buruk dapat menyebabkan kekecewaan terhadap pasangan namun bila tingkah laku pasangan ternyata sesuai dengan yang dibayangkan maka akan menimbulkan perasaan puas.

10. Peran egalitarian (Egalitarian role)

Yaitu aspek untuk menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Area ini berfokus pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Dalam kehidupan rumah tangga, pembagian peran seringkali menjadi masalah bagi wanita yang bekerja. Benin dan Agoestinelli (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) mengatakan bahwa wanita merasa puas bila pria mau melakukan pekerjaan tradisional wanita yaitu pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, memasak dan mengurus anak. Hurlock (1990) menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Dalam konsep ini suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis kelamin tertentu. Pria bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupuan di luar rumah. Suami tidak harus merasa malu bila istri memiliki pekerjaan yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebih besar. Wanita mendapat kesempatan untuk mengaktualisasikan

(16)

potensinya, tidak merasa bersalah apabila ia menggunakan kemampuan dan pendidikan yang ia miliki untuk kepuasan pribadi.

II.B.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang mempengaruhi kepuasan pernikahan (Billideau, 1997) yaitu :

1. Kepuasan saat ini dan di masa lalu terhadap kepribadian pasangan dan kondisi hidup sebagai pasangan, termasuk intimacy dan komunikasi dalam hubungan pernikahan.

2. Pengaruh autonomi dan relatedness dalam pernikahan, autonomi mengarah pada persepsi mengenai perasan bebas dan individualitas masing-masing, sedangkan relatedness mengarah pada persepsi suami atau istri terhadap jumlah kedekatan yang diberikan pasangannya.

3. The Empty Nest Syndrome, masa empty nest memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kebahagiaan perkawinan karena pada masa tersebut mereka dapat lebih menikmati sebagai pasangan tanpa kehadiran anak-anak dan terhindar dari stress sebagai orangtua.

4. Tipe hubungan pra-pernikahan. Ada empat tipe hubungan pra-pernikahan menurut Olson and Fower (dalam Billideau, 1997), yaitu, Vitalized, Harmonious, Tradisional, dan Conflicted. Pasangan pada tipe Vitalized akan memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang tinggi karena mereka memiliki kemampuan komunikasi yang kuat, dan kepuasan dalam hal perasaan, seksualitas, berbagi waktu, finansial, serta keyakinan kuat terhadap

(17)

pentingnya agama. Pasangan Harmonious memiliki tingkat kepuasan yang sedang terhadap pernikahan mereka. Pasangan ini saling berbagi dan memiliki hubungan yang baik antara satu sama lain, dengan anggota keluarga lain, serta dengan teman-teman. Kecendrungan untuk tidak puas pada tipe pasangan ini biasanya disebabkan oleh pandangan yang tidak realistis terhadap perkawinan mereka dan masalah-masalah yang berkaitan dengan anak. Pasangan tipe Tradisional juga memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang sedang, meskipun sangat jarang dari tipe pasangan ini yang memilih untuk bercerai, sedangkan pasangan tipe Conflicted menunjukkan distresss dan kecenderungan yang tinggi untuk bercerai.

Selain faktor tersebut di atas, faktor yang dianggap berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan seseorang adalah religiusitas. Religiusitas dianggap memiliki peranan penting dalam pernikahan karena tingkat religiusitas seseorang dapat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan pernikahan (Landis & Landis, dalam Wahyuningsih, 2002). Pendapat ini didukung oleh Jane (2006) yang menyatakan bahwa kepercayaan terhadap agama memiliki pengaruh yang besar terhadap kepuasan pernikahan jangka panjang. Menurut Jane (2006), komitmen terhadap agama dapat membentuk struktur keluarga yang sehat dalam kehidupan keluarga. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan sebagian besar didasarkan atas pentingnya kepercayaan penuh kepada Tuhan dan kepuasan terhadap peran keluarga dalam komunitas keagamaan mereka.

(18)

Lefrancois (1990) menambahkan, salah satu faktor sosial yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan adalah perbedaan jenis kelamin. Kepuasan yang dirasakan oleh pria dan wanita bisa berbeda. Hal yang penting bagi wanita adalah usia pada saat menikah, sedangkan bagi pria variabel yang mempengaruhi adalah status sosial ekonomi, dimana masalah pekerjaan lebih banyak memberikan konstribusi terhadap kepuasan pernikahannya. Pendapat ini didukung oleh Hollahan (dalam Lemme, 1995) yang menyatakan bahwa pria cenderung merasa lebih puas terhadap perkawinan mereka dibanding wanita pada semua tingkat usia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyebutkan bahwa pria yang menikah menyatakan tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada yang belum menikah, sedangkan wanita yang belum menikah menyatakan tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang menikah.

II.C. Religiusitas

II.C.1. Agama dan Religiusitas

Menurut Shadily (1989) ada tiga istilah yang menunjuk pada agama yaitu istilah agama itu sendiri, religi dan istilah din. Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah religiusitas. Religiusitas (keberagamaan) diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. dalam psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas. Hal ini perlu dibedakan dari agama, karena konotasi agama biasanya mengacu kepada kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis; aturan dan hukuman, sedangkan religiusitas lebih pada aspek ‘lubuk hati’ dan personalisasi dari kelembagaan tersebut

(19)

Senada dengan Shadily, Mangunwijaya (1982) juga membedakan istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk aspek formal, yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas mengacu pada aspek religi yang dihayati oleh individu di dalam hati.

Michel Meyer (dalam Rousydiy, 1986) berpendapat bahwa agama adalah sekumpulan kepercayaan dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan kita dalam tingkah laku kita terhadap Allah, terhadap sesama manusia dan terhadap diri kita sendiri.

Nasution (1986) juga menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.

Selanjutnya Elizabeth K. Nattingham (dalam Jalaluddin, 2001) mengatakan bahwa agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma tertentu dan norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku, agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya.

Lebih lanjut Singgih (dalam Jalaluddin, 2001) mengatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi kematangan

(20)

beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinan agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Sebaliknya, dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman agama serta tipe kepribadian masing-masing. Kondisi seperti itu menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian, pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.

Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2001) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinannya, seberapa tekun pelaksanaan ibadah, dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut oleh seseorang. Sedangkan pengertian religiusitas menurut Dister (dalam Jalaluddin, 1996) adalah suatu keadaan dimana individu merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia dan hanya kepada-Nya manusia merasa tergantung serta berserah diri. Semakin seseorang mengakui adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, maka semakin tinggi tingkat religiusitasnya

Dari beberapa defenisi tersebut diatas, maka religiusitas dalam penelitian ini berarti suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya

(21)

bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

II.C.2. Fungsi Agama Bagi Manusia

Menurut Jalaluddin (1996) agama memiliki fungsi sebagai berikut : a. Fungsi edukatif

Ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Dalam hal ini bersifat menyuruh dan melarang agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik.

b. Fungsi penyelamat

Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat.

c. Fungsi perdamaian

Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama.

d. Fungsi pengawasan sosial

Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagia norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan social secara individu maupun kelompok.

e. Fungsi pemupuk rasa solidaritas

Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam kesatuan : iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan

(22)

membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.

f. Fungsi transformatif

Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluk kadangkala mampu merubah kesetiannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.

g. Fungsi kreatif

Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.

h. Fungsi sublimatif

Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

II.C.3. Dimensi-dimensi Religiusitas

Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2001), ada 5 dimensi religiusitas (keagamaan), yaitu:

(23)

a. Dimensi keyakinan/ideologik

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surga dan neraka.

b. Dimensi praktik agama /peribadatan

Dimensi ini mencakup prilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:

a. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.

b. Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi.

c. Dimensi Pengalaman

Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh sesuatu kelompok keagamaan (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.

(24)

d. Dimensi Pengetahuan Agama

Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi. Dengan kata lain, dimensi ini mengukur seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya dan seberapa jauh aktivitasnya dalam menambah pengetahuan tentang agamanya.

a. Dimensi Konsekuensi

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Perspektif Islam tentang religiusitas dijelaskan pada surat Al-Baqarah : 208, yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh nyata bagimu”.

Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh tidak hanya pada satu aspek saja, melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan. Islam sebagai suatu system yang menyeluruh, terdiri dari beberapa aspek atau dimensi. Setiap muslim, baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak haruslah didasarkan pada Islam (Ahmad, 1997).

(25)

1. Dimensi Akidah (Ideologi)

Dimensi ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman, kebenaran agama dan masalah-masalah gaib yang diajarkan agama. Seorang muslim yang religius memiliki ciri utama yang melekat berupa akidah yang kuat. Inti dimensi ini adalah tauhid yaitu pengesahan Allah sebagai Yang Maha Esa.

2. Dimensi Ibadah

Dimensi ibadah ini dapat diketahui dari sejauh mana kepatuhan seseorang dalam melaksanakan ibadah. Dimensi ini berkaitan dengan frekuensi, intensitas, pelaksanaan ibadah.

3. Dimensi Amal (Pengamalan)

Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan seseorang dalam merealisasikan ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan, yang dapat diketahui dari perilaku sosialnya, seperti perilaku yang positif dan konstruktif kepada orang lain yang dimotivasi oleh ajaran agama. Dimensi ini menyangkut hubungan antara manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Dimensi ini dapat dimanifestasikan dengan berperilaku ramah dan baik terhadap orang lain, menolong sesama, bertanggungjawab, dan lain sebagainya.

4. Dimensi Ihsan (penghayatan)

Dimensi ini berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat dengan Allah SWT dalam kehidupannya. Dimensi ini mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Allah SWT dalam kehidupan, ketenangan

(26)

hidup, merasa khusyuk dalam beribadah, perasaan syukur atas segala karunia, dan lain sebagainya.

5. Dimensi Ilmu (pengetahuan)

Dimensi ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya mengenai dasar-dasar keyakinan, ritual-ritual, serta tradisi-tradisimya. Alqur’an merupakan pedoman hidup sekaligus sebagai sumber ilmu pengetahuan.

II.D. Hubungan Religiusitas dan Kepuasan Pernikahan

Seperti halnya setiap periode dalam rentang kehidupan, usia madya pun diasosiasikan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda dari tahap usia lainnya. Salah satu karakteristik usia madya adalah bahwa umumnya usia ini dianggap atau dipandang sebagai usia yang berbahaya dalam rentang kehidupan (Hurlock, 1990).

Dikatakan berbahaya karena pada usia tersebut individu mengalami perubahan-perubahan baik fisik dan psikologis yang dapat menimbulkan kekecewaan homeostasis fisik dan psikologis. Salah satu akibat dari kekecewaan tersebut adalah dapat menimbulkan gangguan hubungan suami istri yang menjadikan usia madya sangat rawan terhadap perpisahan atau percerain(Hurlock, 1990).

Selain penyesuaian terhadap perubahan fisiologis, menurut Hurlock (1999) tugas penting yang perlu dikembangkan pada usia madya adalah usaha untuk menciptakan hubungan yang memuaskan dengan pasangan. Kegagalan dalam

(27)

mencapai tugas ini serta kegagalan dalam penyesuaian fisik dan psikologis inilah yang dapat membahayakan perkawinan dan menyebabkan kekecewaan terhadap perkawinan selama periode tersebut. Dengan kata lain, individu tersebut merasa tidak puas terhadap kehidupan pernikahannya.

Kepuasan pernikahan itu sendiri diartikan sebagai persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu (Roach, dkk, dalam Pujiastuti &Retnowaty, 2004). Ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan seseorang, salah satunya adalah religiusitas. Religiusitas dianggap memiliki peran dalam kepuasan pernikahan karena religiusitas seseorang dapat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya dalam menjalani kehidupan pernikahan. Selain sebagai benteng moral, dalam setiap agama, ada hukum dan nilai-nilai yang mengatur tentang pernikahan bagi masing-masing penganutnya. Islam, sebagai salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia, memiliki hukum, nilai-nilai, dan ajaran-ajaran mengenai setiap aspek dalam kehidupan termasuk dalam pernikahan. Hukum-hukum yang terdapat dalam ajaran Islam itulah yang akan menuntun bagaimana individu menjalankan kehidupan pernikahannya. Dalam ajaran Islam, setiap aspek kehidupan manusia, termasuk pernikahan, harus didasarkan pada ajaran Quran dan agama. Setiap muslim, baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak haruslah didasarkan pada Islam (Ahmad, 1997).

Dalam Islam, pernikahan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak manfaat, oleh karena itu di dalam Al-Quran dan Hadis, pernikahan sangat ditekankan. Allah SWT menyatakan dalam Al-Quran :

(28)

”Dan di antara tanda-tanda Kekuasaan-Nya ialah Dia mencipatakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri (QS 30:21)

Rasulullah saw. bersabda :

”Tidak ada suatu bentuk yang lebih baik di dalam Islam daripada pernikahan.”

”Barangsiapa yang melaksanakan pernikahan maka ia telah melindungi sebagian dari agamanya.”

”Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku.” Membangun pernikahan menuju rumah tangga yang diliputi oleh ketenangan, cinta, dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, warahmah) bukanlah perkara yang mudah dan tidak bisa dianggap sepele. Dalam membangun rumah tangga, seluruh umat Islam diharapkan dapat bercermin pada keluarga Rasulullah saw. yang merupakan keluarga Islami yang benar-benar sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Ada beberapa bekal utama dalam membangun kehidupan pernikahan yang menjadi bagian penting dalam pondasi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah (Gymnastiar, 2006), yaitu :

1. Bekal Ilmu

Faktor yang pertama, sebuah pernikahan akan menjadi kokoh, kuat dan mantap kalau suami istri sama-sama mencintai ilmu. Rasulullah saw. pernah bersabda,

”Barangsiapa yang menginginkan dunia (mendapatkannya) harus memakai ilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat (mendapatkannya) harus memakai ilmu. Barangsiapa yang menginginkan dunia dan akhirat, (mendapatkan keduanya pun) harus dengan ilmunya.”

(29)

Artinya, bila ada yang bertanya, mengapa rumah tangga yang dijalaninya terasa berat, banyak kesulitan dan tidak menemukan kedamaian? Jawabannya karena ternyata ilmu tentang berumah tangga yang dimiliki tidak sebanding dengan masalah yang dihadapi.

Setiap hari akan selalu bertambah masalah, kebutuhan, maupun peluang munculnya konflik. Semua ini merupakan kenyataan hidup yang tidak akan pernah bisa dipungkiri. Bila pertambahan segala pernik kehidupan tidak diimbangi dengan pertambahan ilmu untuk menyiasatinya, maka pastilah sebuah keluarga tidak akan pernah mampu menghadapi hidup ini dengan baik. 2. Gemar Beramal

Ternyata, setiap ilmu itu tidak akan membawa manfaat, kecuali bila sudah terwujud dalam bentuk amal. Rumus kehidupan ini sebenarnya sederhana saja, yakni seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu dari apa yang ia inginkan, tetapi dari apa yang ia lakukan. Oleh karena itu, syarat kedua bagi tercapainya rumah tangga yang ideal setelah menguasai ilmu adalah gemar mengamalkannya.

Suami yang sibuk menyayangi dan membahagiakan istrinya lahir-batin, niscaya akan mendapatkan balasan yang amat mengesankan dari istri. Demikian pula kalau istri ingin disayangi dan dibahagiakan suami. Jawabannya hanya satu; barangsiapa bisa memuliakan suaminya dengan iklas, Allah pun akan melembutkan hati sang suami untuk menyayanginya dengan penuh keikhlasan pula.

(30)

3. Ikhlas

”Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji, apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (QS ali-imran [3]:154)

Ternyata, sehebat apa pun amal-amal kita, tidak akan bermanfaat di hadapan Allah, kecuali amal-amal yang dilakukan dengan iklas. Orang yang ikhlas adalah orang yang berbuat sesuatu tanpa berharap mendapatkan apa pun kecuali ingin disukai oleh Allah. Inilah bekal ketiga dalam rumah tangga.

Dalam mengarungi kehidupan ini, kita akan banyak berhadapan dengan aneka masalah. Kita pasti akan menemukan berbagai kesulitan, kesempitan, dan kesengsaraan lahir batin, kecuali kalau kita mendapat pertolongan-Nya. Allah tahu persis kebutuhan kita, lebih tahu dari kita sendiri. Dia tahu persis masalah yang akan menimpa kita, jauh lebih tahu dari diri kita sendiri.

Karenanya, Allah Menjanjikan,

”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS ath-thalaaq [65]: 2)

Rumah tangga yang terus menerus meningkatkan ketaatannya kepada Allah akan senantiasa dikaruniai oleh-Nya jalan keluar atas segala urusan dan maslah yang dihadapinya. Jadi, kebahagiaan rumah tangga itu akan dirasakan hanya oleh orang-orang yang berhati bersih dan iklas.

4. Bersih Hati

Setiap saat ujian dan aneka masalah bukan tidak mungkin akan datang mendera pernikahan seseorang. Setiap masalah bisa menjadi rumit dan bisa menjadi sederhana. Semuanya tergantung bagaimana kondisi hati yang kita

(31)

miliki, yang akhirnya membuat kita harus memutuskan bagaimana menyikapinya.

Oleh sebab itu, hati yang bersih adalah bekal utama keempat yang harus dimiliki oleh suatu pernikahan. Bersih hati, tidak bisa tidak, akan menjadi senjata pamungkas dalam menyiasati serumit dan sesulit apa pun masalah yang muncul.

Ujian dan masalah rumah tangga memang akan datang setiap saat, suka atau tidak suka. Namun bagi suami istri yang berhati bersih, semua itu akan disikapi sebagai nikmat dari Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena di balik setiap ujian dan masalah pasti terkandung hikmah yang akan semakin meningkatkan kedewasaan dan kearifan. Ujian tersebut justru akan membuat kita semakin merasakan indahnya hidup ini karena yakin bahwa semua itu merupakan perangkat kasih sayang Allah, yang membuat sebuah pernikahan tampak semakin bermutu.

Dari pernyataan yang dipaparkan di atas dapat kita ketahui bahwa pernikahan atau rumah tangga yang diliputi oleh ketenangan, cinta, dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, warahmah), memang hanya dapat diwujudkan oleh pasangan suami istri yang saleh dan salehah. Suami istri yang saleh dan salehah akan memahami betul kewajiban masing-masing untuk saling berbagi, mengokohkan kelebihan, dan menutupi segala kekurangan masing-masing, ikhlas menerima pasangan masing-masing apa adanya –baik itu fisik, intelektual, ekonomi, keturunan, dan lain-lain (Gymnastiar, 2006).

(32)

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa jika seorang muslim, dalam hal ini usia madya, dapat menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam agama Islam tersebut yang tampak dalam sikap dan perilakunya, maka dapat tercipta kepuasan pada masing-masing individu dan menjauhkan pasangan tersebut dari perceraian. Terlebih lagi, perceraian sangat dibenci oleh agama.

II.F. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah adanya Hubungan positif antara Religiusitas dengan Kepuasan Pernikahan pada Usia Madya. Jika tingkat religiusitas tinggi maka kepuasan pernikahannya tinggi atau jika tingkat religiusitas rendah maka kepuasan pernikahan juga rendah.

Referensi

Dokumen terkait

silang negara-negara ASEAN pada Gambar 2, kemudian menuliskan hasil pengamatannya dengan mengisi kolom seperti berikut. Negara-negara ASEAN terletak di antara Samudra ... 3)

Pada penelitian ini dirancang sebuah prototipe alat keseimbangan tubuh manusia dan membuat perangkat lunak yang akan menghasilkan informasi yang dapat membantu seorang dokter

sesuai PSAK 58, kembali dicatat dengan metode ekuitas sejak tanggal diklasifikasi sebagai dimiliki untuk dijual... Metode Pencatatan ƒ

PABU 1 dengan koordinat 3° 44' 22.358" LU dan 96° 37' 25.190" BT yang terletak di Gampong Gunung Samarinda Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya yang merupakan

Dalam penelitian ini akan dilakukan kegiatan evaluasi Usaha Kecil dan Menengah dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya berupa evaluasi kelengkapan

Oleh karena itu diperlukan perencanaan dan perancangan sebuah fasilitas olahraga yang berupa Gedung Olahraga dan Wisma Atlet di kawasan sport center Kabupaten Merangin dengan

Variabel faktor internal ini terdiri dari faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan faktor kelemahan yang mungkin dapat diatasi upaya Strategi Peningkatan Peranan PMUK

Kemudian setelah sampai di teras rumah saksi Boni Marpaung selanjutnya saksi Bahri Efendi Ritonga als Bahri, saksi Sanip Rambe, saksi Edlis Siregar als Edi dan Sdr Damri