• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Pengantar Perpajakan

II.1.1 Definisi Pajak

Ada berbagai definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli antara lain :

Menurut Feldmann seperti yang dikutip oleh Resmi,S (2005), Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.(h.1)

Soemitro seperti yang dikutip Mardiasmo (2008) mendefinisikan Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.(h.1)

Dari berbagai definisi diatas,dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut :

1. Pajak dipungut berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

2. Tidak dapat ditunjukan imbalan (kontraprestai) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak.

(2)

8 II.1.2 Pengelompokan Pajak

Mengacu pada Waluyo (2005), pajak dapat dikelompokan menjadi beberapa kelompok menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnya, klasifikasinya adalah sebagai berikut:

1. Menurut golongannya

a. Pajak Langsung,yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.contoh PPh

b. Pajak tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.contoh PPN

2. Menurut sifatnya

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya,dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.contoh PPh

b. Pajak Objektif,yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya,tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.contoh PPN dan PPnBM

3. Menurut lembaga pemungutnya

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. contoh Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.

(3)

9 b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Daerah. Pajak daerah terdiri atas pajak propinsi dan pajak kabupaten. Contoh Pajak Propinsi : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas air,Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.dan contoh Pajak Kabupaten : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan.

II.1.3 Tata Cara Pemungutan Pajak

Mengacu pada Mardiasmo (2008),tata cara pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan stelsel,asas dan sistem pemungutan pajak.

1. Stelsel Pajak

a. Stelsel nyata (riil stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata) sehinngga pemungutnya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.

b. Stelsel anggapan(fictive stelsel)

Pengenaan pajak didasrkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang

(4)

10 c. Stelsel campuran

stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.Pada awal tahun,besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

2. Asas Pemungutan Pajak

a. Asas domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal diwilayahnya,baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negri.Asas ini berlaku pada Wajib Pajak dalam negri.

b. Asas sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber diwilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

c. Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal diIndonesia.Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negri.

3. Sistem Pemungutan Pajak

(5)

11 suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dalam sistem ini.Wajib Pajak bersifat pasif dan utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

c. Self Assessment system

suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.Dalam sistem ini Wajib Pajak aktif mulai dari menghitung,menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dan fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

c. With Holding System

suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

II.2 Pajak Penghasilan

II.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan

Dasar Hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang No.7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.17 Tahun 2000, menyatakan Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun Pajak.

(6)

12 II.2.2 Subjek Pajak dan Bukan Subjek Pajak

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.yang menjadi Subjek Pajak adalah :

1. a.Orang Pribadi

b.Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

2. Badan

3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Dalam pasal 3 Undang-Undang PPh disebutkan yang tidak termasuk subjek pajak adalah :

1. Badan Perwakilan Negara Asing

2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing ,dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut,serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

3. Organisasi-organisasi international yang ditetapkan oleh menteri keuangan dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut,tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari

(7)

13 Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran pada anggota.

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi international yang ditetapkan oleh menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

II.2.3 Objek Pajak Dan Bukan Objek Pajak

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan.Yang termasuk penghasilan adalah :

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, bonus, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.

2. Penghasilan dari Usaha atau kegiatan

3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta sperti sewa, bunga, deviden, royalti dan sebagainya.

4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan diatas, seperti:

a. Keuntungan karena pembebasan utang

b. Keuntungan karena selisi kurs mata uang asing

(8)

14 d. Hadiah undian.

Yang bukan termasuk Objek Pajak adalah:

a. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang dterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.

b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat, dan oleh Badan keagamaan atau Badan pendidikan,atau Badan Sosial atau pengusaha kecil,termasuk koperasi yang ditetapkan oleh mentri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan ,kepemilikan,atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

1. Warisan

2. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh Badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dan diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah.

4. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan,asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.

(9)

15 II.3 Pajak Penghasilan Pasal 21

II.3.1 Pengertian PPh pasal 21

PPh pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,jasa dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 dan terakhir diubah menjadi Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008.

II.3.2 Wajib Pajak & Bukan Wajib Pajak PPh Pasal 21

Wajib Pajak yang menerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah :

1. Pejabat Negara, adalah:

a. Presiden dan Wakil Presiden

b. Ketua, Wakil Ketua.dan anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

c. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.

d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung.

e. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung.

f. Menteri dan Menteri Negara.

(10)

16 h. Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi.

i. Bupati dan Wakil Bupati Daerah Kabupaten .

j. Walikota dan Wakil Walikota Kepala Daerah Kota.

2. Pegawai Negeri Sipil(PNS), adalah PNS pusat, PNS daerah, dan PNS lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam UU nomor 8 tahun 1974.

3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD.

4. Pegawai tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur dan terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung.

5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan/atau imbalan lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan.

6. Tenaga Lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan kerja.

(11)

17 7. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.

8. Penerima Honorarium, adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.

9. Penerima Upah, adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.

Yang tidak termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:

1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing , dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:

- Bukan warga negara Indonesia, dan

- Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatannya di Indonesia.

- Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

2. Pejabat perwakilan organisasi international sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 601/KMK.03/2005 sepanjang :

(12)

18 - Bukan warga negara Indonesia,dan

- Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

II.3.3 Objek Pajak & Bukan Objek Pajak PPh Pasal 21

Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 adalah :

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan,uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.

3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku

(13)

19 harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai.

4. Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau jaminan hari tua, uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja.

5. Honorarium, uang saku, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak dalam negeri.

6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara dan PNS.

7. Uang Pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.

8. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan wajib pajak selain pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final dan yang dikenakan PPh berdasarkan norma perhitungan khusus.

(14)

20 Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah ;

1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan , asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.

2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah kecuali yang diberikan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus.

3. Iuran pensiun yag dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada Badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.

4. Zakat yang diterima oleh pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

II.3.4 Hak & Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21

Hak-hak Wajib Pajak PPh pasal 21 adalah :

1. Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong pajak .jumlah PPh pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari pajak penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan ,kecuali PPh pasal 21 yang bersifat final.

2. Wajib Pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak ,jika PPh pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan

(15)

21 peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam bahasa indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut penghitungan wajib pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Pengajuan surat keberatan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pemotongan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaanya.

3. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonanan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur jendral pajak.Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas ,dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima ,dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut .Apabila Badan peradilan Pajak belum terbentuk ,maka permohonan banding dapat diajukan kepada Badan Peradilan Pajak. Putusan Badan Peradilan Pajak Bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

Kewajiban Wajib Pajak PPh pasal 21 adalah :

1. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri. Surat pernyataan tersebut dibuat untuk mendapatkan pengurangan PTKP. Surat pernyataan tersebut harus diserahkan pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun.

(16)

22 2. Wajib Pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim.

3. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada:

a. Pemotong pajak kantor cabang baru dalam hal yang bersangkutan dipindah tugaskan.

b. Pemotong Pajak Tempat kerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja.

c. Pemotong pajak dana pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai menerima pensiun dalam tahun berjalan.

4. Wajib Pajak berkewajiban memasukkan SPT tahunan ,jika Wajib Pajak mempunyai NPWP.

II.3.5 Hak & Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21

Hak-hak Pemotong Pajak PPh pasal 21 adalah :

1. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT tahunan pasal 21 .Pengajuan permohonan dilakukan secara tertulis disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara pajak terutang dalam satu tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran

(17)

23 pajak yang terutang .Pengajuan permohonan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 31 maret tahun takwim berikutnya.

2. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.

3. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan kelebihan setoran pada SPT tahunan dengan PPh pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.

4. Pemotong Pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jendral Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

5. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak atas suatu surat ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil.

6. Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur

(18)

24 Jendral Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas,dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima ,dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut.

Kewajiban Pemotong Pajak PPh pasal 21 adalah :

1. Pemotong Pajak Wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

2. Pemotong Pajak wajib mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajaknnya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

3. Pemotong Pajak wajib menghitung,memotong,dan menyetor PPh pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank BUMN atau Bank BUMD atau Bank-Bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Anggaran,selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

4. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh pasal 21 sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya.

5. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang

(19)

25 pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima jaminan Hari Tua, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun.

6. Pemotong Pajak wajib memberikan bukti Pemotongan PPh pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jendral Pajak dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila pegawai tetap tersebut berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim ,maka bukti pemotongan diberikan selambat-lambatnya 1 bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.

7. Pemotong Pajak wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh pasal 21 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan dalam SPT Masa dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja tersebut selama sepuluh tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

8. Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir ,Pemotong Pajak wajib menghitung kembali jumlah PPh pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 17 tahun 2000.

9. Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.SPT tahunan PPh pasal 21 tersebut harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 maret tahun takwim berikutnya.Apabila Pemotong Pajak adalah badan,maka SPT Tahunan PPh pasal

(20)

26 21 harus ditanda tangani oleh pengurus atau Direksi. Apabila SPT Tahunan PPh pasal 21 ditanda tanganni dan diisi oleh orang selain Pemotong pajak terdaftar ,maka SPT tersebut harus dilampiri Surat Kuasa Khusus.

10. Pemotong Pajak wajib SPT Tahunan PPh pasal 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.

11. Pemotong Pajak wajib menyetor kekurangan PPh pasal 21 yang terutang apabila jumlah PPh pasal 21 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar daripada PPh pasal 21 yang telah disetor. Penyetoran tersebut harus dilakukan sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh pasal 21 selambat-lambatnya pada tanggal 25 maret tahun takwim berikutnya.

II. 3.6 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

Untuk menghitung PPh pasal 21 pada prinsipnya sama dengan cara perhitungan Pajak Penghasilan pada umumnya, tetapi dalam perhitungan PPh pasal 21 bagi penerima penghasilan tertentu sebagai Wajib Pajak dalam negri selain adanya pengurangan PTKP juga diberikan pengurangan-pengurangan seperti biaya jabatan, biaya pensiun, dan iuran pensiun. Tarif yang digunakan dalam PPh pasal 21

(21)

27 Tabel 2.1 Lapisan Penghasilan Kena Pajak  Tarif  Penghasilan Kena Pajak Rp.0 s/d Rp.25.000.000  5%  Diatas Rp.25.000.000 s/d Rp.50.000.000  10%  Diatas Rp.50.000.000 s/d Rp.100.000.000  15%  Diatas Rp.100.000.000 s/d Rp.200.000.000  25%  Diatas Rp.200.000.000  35% 

II.3.7 Tata cara perhitungan pemotongan PPh pasal 21

Dalam perhitungan pemotongan PPh pasal 21 dilihat dari penerimaan, penghasilan, maupun jenis penghasilannya.

1. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetap yang menerima gaji bulanan adalah sebagai berikut:

a. menghitung penghasilan bruto sebulan,terdiri dari gaji tetap sebulan ditambah dengan tunjangan-tunjangan lain termasuk premi jaminan kecelakaan kerja, premi jaminan kematian yang diberikan pemberi kerja.

b. menghitung penghasilan neto sebulan, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan pengurangan yang diperkenankan terdiri dari :

- Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan,menagih dan memelihara penghasilan sebesar 5 %(lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp.1.296.000 setahun atau Rp.108.000 sebulan.

(22)

28 - Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh menteri keuangan atau badan penyelenggara Tabungan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh menteri keuangan

c. Menghitung besarnya penghasilan setahun, yaitu penghasilan neto sebulan dikalikan dengan 12.

d. Menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) yaitu penghasilan neto setahun dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

II.4 Perencanaan Pajak

II.4.1 Definisi Perencanaan Pajak

Menurut Suandy,E (2006), Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak dengan melakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis penghematan pajak yang akan dilakukan.

Tujuan dari perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak, karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun diinvestasikan kembali (h.7).

Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, dan apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya (h.8)

(23)

29 II.4.2 Tahap Dalam Membuat Peencanaan Pajak

Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan juga harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifal lokal maupun international, maka agar tax planning tapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perencanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut :

1. Menganalisis informasi yang ada.

2. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.

3. Mengevaluasi pelaksanaan rencanaan pajak.

4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak.

5. Memutakhirkan rencana pajak.

II.4.3 Pengelolaan Efisiensi PPh dengan PPh dengan pemberian kesejahteraan.

Peluang melakukan efisiensi PPh badan sangat banyak yang dapat dilakukan pada biaya-biaya yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan. Strategi yang berkaitan dengan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan, sebagai berikut :

1. Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi diupayakan seminimal mungkin memberikan

(24)

30 kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.

2. Untuk perusahan yang PPh badannya dikenakan secara final, sebaiknya memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura, karena pemberian natura kepada karyawan tidak termasuk objek PPh pasal 21 dan tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan.

3. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian kenikmatan dan natura akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.

Referensi

Dokumen terkait

sebagai unit produksi, e) kemampuan mengelola sumberdaya petani yaitu melatih juru tanam dan merubah perilaku petani penerima program menjadi lebih semangat dan pantang

Berdasarkan perhitungan ES tersebut maka pembelajaran dengan menggunakan model make a match memberikan pengaruh yang tinggi terhadap hasil belajar siswa pada mata

Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang pelaku dan masing-masing perbuatan harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri, dna

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan profitabilitas perusahaan yang diukur oleh Return on Asset (ROA)

Pemakaian bahan pengawet menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan

Berdasarkan taraf integritas, terdapat 120 data tergolong pada kelompok pertama yaitu unsur asing yang belum sepenuhnya terserap kedalam bahasa Indonesia, dan 91

Analisis data hasil uji praktikalitas oleh guru kelas XI SMA menunjukkan bahwa modul bergambar yang dilengkapi peta konsep pada materi sistem regulasi manusia yang

Adapun masalah pengendalian yang terdapat dalam bagian Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di KPU Kota Magelang adalah membutuhkan waktu yang lama