• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH FOOD COPING STRATEGY TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN LEBAK BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENGARUH FOOD COPING STRATEGY TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN LEBAK BANTEN"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH FOOD COPING STRATEGY TERHADAP

KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

DI KABUPATEN LEBAK BANTEN

RIZKI RIZLIANA MANGKOETO

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ABSTRACT

RIZKI RIZLIANA MANGKOETO. Analysis Influence of Food Coping Strategy Toward Household Food Security in Kabupaten Lebak Banten. Supervised by IKEU TANZIHA.

The general objective of this research was to analyze the influence of score of food coping strategy toward household food security. The particular objectives of this research were to: 1) Identify household food security; 2) identify the characteristics food access of sample (size of family, father’s education, father’s occupation, family’s income, education and nutritional knowledge of the mothers, and social support); 3) Identify the food coping strategy in farmer’s household; 4) Identify the person who do the food coping strategy in farmer’s household; 5) Analyze the correlation between score of food coping strategy and household food security; 6) Analyze the influence factors of household food security.

The research was conducted by using cross sectional study design from April to May 2009 in Kabupaten Lebak Banten. Sample was chosen by purposive sampling resulting in 101 households.

The results show that 63.4% samples in household’s level were in food secure condition and 25.7% samples were in serious food insecure condition. Half of samples (49.5%) included in the small households (with 4 members of household or less). Generally, in age, most of the paterfamilias (57.4%) were in medium adult category (40 – 59 years). The dissemination of mother’s age were in the early adult category, that is 46.5% and 47.5% of mothers were in the medium adult category. Almost of all the mother (87.1%) included in low nutritional knowledge group.

Spearman Correlation Test shows that the score of coping strategy have no significant correlation with household food security and the size of household has negative significant correlation with household food security (r=-0.270; p<0.01). The number of farm areas that owned by the farmer’s households have positive significant correlation with their household food security (r=0.309; p<0.01). It means that larger farm area that owned by the farmer’s household implied the better condition of household food security. However, Pearson Correlation Test shows that consumption of energy has negative significant correlation with score of coping strategy (r=-0.208; p=<0.05). It means that the higher score of coping strategy implied little in consumption of energy. It shows the decrease of food security condition. Regretion Test shows the factors that influence the household food security, for instance, number of farm area that owned by farmer household, poverty status, size of household, score of coping strategy, and alocation of food expenditure.

Key words: Food coping strategy, household food security, farmer household

(3)

RINGKASAN

RIZKI RIZLIANA MANGKOETO. Analisis Pengaruh Food Coping Strategy terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Lebak Banten. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA.

Kemiskinan dan kelaparan merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang paling mendasar. Berdasarkan data World Food Summit (WFS) pada tahun 2002, sebanyak 815 juta penduduk di beberapa negara berkembang masih mengalami kelaparan, dan 300 juta diantaranya adalah anak-anak. Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Kemudian untuk mengatasi ketahanan pangan keluarga biasanya akan melakukan food coping strategy.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh skor food coping strategy terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Adapun tujuan khususnya adalah (1) Menganalisis ketahanan pangan rumahtangga Petani; (2) Mengidentifikasi karakteristik dan akses pangan (besar keluarga, pendidikan dan pekerjaan kepala rumahtangga, pendidikan ibu, pendapatan dan pengeluaran keluarga, dukungan sosial, dan pengetahuan gizi ibu, rumahtangga Petani; (3) Menganalisis food coping strategy yang dilakukan rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan pangan; (4) Mengidentifikasi pelaku food coping strategy dalam rumahtangga Petani; (5) Menganalisis hubungan skor food coping strategy dengan ketahanan pangan rumahtangga rumahtangga Petani; (6) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan.

Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study dan merupakan bagian dari penelitian “Model Penguatan Modal Komunitas Pertanian dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kelaparan”. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lebak Provinsi Banten pada bulan April sampai Mei 2009. Penarikan contoh dilakukan secara purposive, setelah dilakukan cleaning contoh yang dapat dipergunakan adalah 101 rumahtangga. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sosial demografi. Adapun data sekunder yang digunakan adalah gambaran umum lokasi penelitian serta data garis kemiskinan wilayah Kabupaten Lebak.

Hubungan antara karakteristik keluarga, status kemiskinan, skor food coping strategy dengan kondisi ketahanan pangan keluarga dianalisis dengan mengunakan uji korelasi spearman. Uji regresi digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kuantitatif dari keseluruhan contoh diketahui bahwa sebanyak 63.4% contoh merupakan rumahtangga tahan pangan. Sejumlah 25.7% contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, sebanyak 5% contoh merupakan rawan pangan sedang, sisanya 5.9% merupakan rawan pangan ringan. Rumahtangga contoh hampir setengahnya (49.5%) termasuk dalam kategori keluarga kecil. Sebagian besar kepala rumahtangga contoh (57.4%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun), sedangkan sebaran umur ibu rumahtangga sebesar 47.5% pada kelompok dewasa madya dan 46.5% pada kelompok dewasa awal. Lama pendidikan ayah (73.3%) maupun ibu (69.3%) umumnya kurang dari atau sama dengan 6 tahun. Sebagian besar (87.1%) ibu rumahtangga contoh memiliki pengetahuan gizi yang rendah. Sebagian besar (42%) rumahtangga contoh di Desa Pasindangan memiliki pekerjaan tambahan sebagai pedagang, sedangkan di Desa Banjarsari, pekerjaan tambahan yang paling banyak adalah sebagai buruh, sejumlah 39.2%. Sebagian besar rumahtangga contoh (84.2%) termasuk

(4)

rumahtangga berpendapatan rendah dengan pengeluaran perkapita rata-rata sebesar Rp 254.241 dan alokasi pengeluaran pangan berkisar 8.1% sampai dengan 84.26% terhadap pengeluaran total. Berdasarkan rata-rata pengeluaran perkapita sebanyak 31.7% merupakan rumahtangga miskin.

Perilaku food coping yang banyak dilakukan adalah beralih pada pangan yang lebih murah yaitu dilakukan oleh 77.2% rumahtangga contoh. Hampir pada setiap tindakan coping ibu menjadi pelaku paling dominan terutama pada tindakan-tindakan coping yang berhubungan dengan kontrol keuangan untuk pangan seperti mengurangi pembelian kebutuhan dan membeli pangan yang lebih murah, masing-masing tindakan tersebut sejumlah 98.4% dan 98.7% ibu menjadi pelakunya. Sebagian besar (53.5%) rumahtangga contoh tergolong memiliki skor coping yang rendah, sebanyak 41.6% rumahtangga contoh memiliki skor coping sedang dan hanya sebagian kecil (5.0%) yang memiliki skor coping yang tinggi. Jika dibedakan menurut status ketahanan pangan pada rumahtangga rawan pangan berat, sejumlah 50% memiliki skor coping rendah, sejumlah 42.3% memiliki skor coping sedang dan sisanya sejumlah 7.7% memiliki skor coping yang tinggi. Pada rumah tangga rawan pangan sedang masing-masing sebesar 40% memiliki skor coping rendah dan sedang, sebanyak 20% memiliki skor coping tinggi. Rumahtangga rawan pangan ringan setengahnya memiliki skor coping rendah, sebanyak 33.3% memiliki skor coping sedang dan sisanya (16.7%) memiliki skor coping yang tinggi. Untuk rumahtangga tahan pangan sebagian besar memiliki skor coping rendah, yaitu sebanyak 56.3%, kemudian sebanyak 42.2% memiliki skor coping sedang dan sebesar 1.6% saja yang memiliki skor coping tinggi.

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, antara skor coping dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai r=-0.098, p>0.05, namun terdapat hubungan signifikan negatif dengan nilai r=-0.270, p<0.01 antara jumlah anggota rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga, terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga (r= 0.309 dan p<0.01), hubungan antara kemiskinan dan ketahanan pangan mendapatkan hasil yang signifikan positif (r=0.293, p<0.01), alokasi pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi energi juga memiliki hubungan positif yang nyata dengan nilai r=0.202, p=<0.05 pada uji korelasi Pearson, berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, antar tingkat konsumsi energi sebagai indikator ketahanan pangan dengan skor coping menunjukan hubungan yang signifikan negatif dengan nilai r=-0.208, p<0.05.

Pada uji regresi nilai R square (r2) yang didapat adalah 0.262 hal ini menunjukan bahwa pengaruh semua variabel independen terhadap tingkat konsumsi energi sebesar 26.2% (r2×100%), sedang faktor-faktor diluar model berpengaruh sebesar 73.8% (100%-26.2%). Luas lahan berpengaruh meningkatkan tingkat konsumsi energi sebesar 0.006% untuk setiap kenaikan 1 m2 lahan yang dimiliki rumahtangga. Perbedaan rata-rata tingkat konsumsi energi pada keluarga miskin dan tidak miskin adalah sebesar 46.425%. Setiap penambahan 1 orang anggota rumahtangga akan menurunkan tingkat konsumsi energi sebesar 4.563%, sama halnya dengan pengaruh skor coping, untuk setiap kenaikan satu skor coping akan menurunkan tingkat konsumsi energi sebesar 1.030%. sedangkan untuk variabel alokasi pengeluaran pangan berpengaruh meningkatkan tingkat konsumsi energi sebesar 1.770% untuk setiap peningkatan 1% alokasi pengeluaran pangan rumahtangga.

(5)

ANALISIS PENGARUH FOOD COPING STRATEGY TERHADAP

KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

DI KABUPATEN LEBAK BANTEN

HALAMAN JUDUL

RIZKI RIZLIANA MANGKOETO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Food Coping Strategy Terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Lebak Banten Nama : Rizki Rizliana Mangkoeto

NRP : I14052150

Disetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS NIP 19611210 198603 2 002

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr.Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Food Coping Strategy terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Lebak Banten” dilakukan sebagai salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ikeu Tanziha, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabaran, waktu dan pikiran dalam memberikan arahan, masukan, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapa terimakasih juga penulis berikan kepada Ibu Leily Amalia Furkon S.TP. MSi selaku dosen pemandu seminar dan Bapak Drh. M. Rizal Damanik M, MRep. Sc, PhD selaku dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan. Seluruh badan, instansi dan semua pihak yang telah memberikan ijin dan mendukung dan membantu kelancaran penelitian.

Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Papa dan Mama, ketiga adik tersayang (Reza Fachrozi Mangkoeto, Riza Fauzan Mangkoeto dan Raiz Faidzal Mangkoeto), serta keluarga besar di Medan, Pematang Siantar, dan Magelang atas do’a, nasehat, semangat, cinta dan keceriaan yang telah diberikan. Selain itu terimakasih kepada saudari-saudari satu lingkaran, adik-adik Panti Asuhan Kosgoro dan tim pengajar Al Insan, tim dakwah FEMA, teman-teman FORSIA dan adik-adik binaan, teman-teman-teman-teman angkatan 42 terutama GM, teman-teman kosan Wisma Ayu, adik-adik Angkatan, Pak Karya dan Pak Ugan serta semua pihak yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi semua.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2009

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, puteri pasangan Bapak Ir. Syofanir Tanjung dan Ibu Endang Purwaningsih. Penulis dilahirkan di Kota Magelang pada tanggal 30 September 1987. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1994 sampai 1999 di SD Negeri Kedungsari 5 Magelang. Pada tahun 2000 sampai 2002 penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 1 Magelang dan pada tahun 2003-2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Magelang.

Pada tahun 2005, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Tahun kedua menjadi mahasiswa pada Fakultas Ekologi Manusia dengan Mayor Ilmu Gizi dan Minor Perkembangan Anak. Selama menjadi mahasiswa, penulis tercatat sebagai sekretaris divisi Infokom HIMAGITA Periode 2006/2007, anggota tim Formatur Kelembagaan FEMA, bendahara umum HIMAGIZI periode 2007/2008, Staf Keputrian FORSIA periode 2007/2008, Koordinator Akhowat FORSIA periode 2008/2009, asisten peneliti pada penelitian “Model Penguatan Modal Komunitas Pertanian dalam Upaya Pencegahan dan Penaggulangan Kelaparan” yang merupakan proyek dari Departemen Pertanian. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan.

Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Rawakalong dan Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan Internship di RSUD Cibinong Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009, penulis pernah mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan yang bejudul “BRAVE”(Brasillin Baverage) Minuman Kaya Antioksidan Berbasis Kayu Secang dan Upaya Menciptakan Peluang Usaha Baru. Penulis pernah menjadi asisten responsi Pendidikan Agama Islam Ajaran 2008/2009. Pada tahun 2006 sampai 2008 penulis juga memperoleh beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) dan pada tahun 2008 sampai 2009 memperoleh beasiswa Bank Indonesia.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1 Tujuan ... 2 Tujuan Khusus ... 2 Hipotesis ... 2 Kegunaan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Petani ... 3 Ketahanan Pangan ... 4

Ketahanan Pangan Rumahtangga ... 5

Pengukuran Ketahanan Pangan ... 6

Pengukuran Status Kelaparan ... 7

Food Coping Strategy ... 9

Kaitan Karakteristik Keluarga dengan Food Coping Strategy ... 12

Besar Keluarga ... 133

Pendidikan ... 13

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga ... 133

Pengeluaran Keluarga ... 133 Dukungan Sosial ... 14 Konsumsi Pangan ... 16 Kebiasaan Makan... 177 KERANGKA PEMIKIRAN ... 18 METODE PENELITIAN ... 20

Desain Tempat dan Waktu ... 20

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 20

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 20

Pengolahan dan Analisis Data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 24

Desa Pasindangan ... 24

Desa Banjarsari ... 27

Ketahanan Pangan ... 30

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga Petani ... 31

Umur Kepala Rumahtangga dan Ibu Rumahtangga ... 31

Besar Rumahtangga ... 34

Komposisi Rumahtangga ... 36

Tingkat Pendidikan ... 37

Pekerjaan dan Pendapatan ... 39

Luas Lahan yang Dimiliki ... 41

(10)

Pengetahuan Gizi ... 45

Dukungan Sosial ... 46

Food Coping ... 49

Sebaran Pelaku Food Coping ... 52

Skor Coping ... 54

Konsumsi ... 56

Analisis Regresi ... 59

KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

Kesimpulan ... 61

Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku ... 12

2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 20

3 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku ... 22

4 Pemanfaatan Lahan Desa Pasindangan ... 25

5 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Pasindangan ... 26

6 Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Pasindangan ... 26

7 Prasarana Pendidikan Desa Pasindangan ... 27

8 Prasarana Kesahatan Desa Pasindangan ... 27

9 Pemanfaatan Lahan Desa Banjarsari ... 28

10 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Banjarsari ... 28

11 Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Banjarsari ... 29

12 Status Ketahanan Pangan RT ... 30

13 Klasifikasi Umur KRT ... 31

14 Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Ketahanan Pangan dan Umur KRT Di Desa Pasindangan………... 32

15 Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Ketahanan Pangan dan Umur KRT Di Desa Banjarsari ... 33

16 Klasifikasi Umur IRT ... 33

17 Klasifikasi Besar Rumahtangga ... 35

18 Sebaran RT Berdasarkan Ketahanan Pangan dan Ukuran RT ... 35

19 Klasifikasi Komposisi Rumahtangga ... 36

20 Klasifikasi Pendidikan ART ... 37

21 Klasifikasi Pendidikan KRT ... 37

22 Klasifikasi Pendidikan IRT ... 38

23 Klasifikasi Pekerjaan KRT ... 39

24 Klasifikasi Pendapatan RT ... 40

25 Klasifikasi Pendapatan Perkapita perbulan ... 41

26 Klasifikasi Luas Lahan yang Dimiliki ... 42

27 Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Luas Lahan yang Dimiliki ... 42

28 Klasifikasi Kemiskinan Berdasarkan Pengeluaran Perkapita ... 43

29 Klasifikasi Pengetahuan Gizi Ibu Rumahtangga ... 45

30 Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Pengetahuan Gizi dan Ketahanan Pangan ... 46

(12)

31 Klasifikasi Tingkat Dukungan Sosial ... 47

32 Sebaran Sampel menurut Dukungan Sosial ... 48

33 Sebaran Rumahtangga yang Melakukan Tindakan Coping ... 51

34 Sebaran Pelaku Food Coping ... 53

35 Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Skor Food Coping Mechanism ... 54

36 Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Ketahanan Pangan dan Skor Food Coping Mechanism ... 55

37 Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Rumahtangga ... 56

38 Tingkat Kecukupan Vitamin dan Mineral Rumahtangga ... 56

39 Frekuensi Konsumsi Bahan Pangan ... 58

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Jalur Pangan dalam Rumahtangga (Usfar 2002) ... 6 2 Kerangka Pemikiran Hubungan Food Coping Strategy

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kuesioner ... 66

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan dan kelaparan merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang paling mendasar. Berdasarkan data World Food Summit (WFS) pada tahun 2002, sebanyak 815 juta penduduk di beberapa negara berkembang masih mengalami kelaparan, dan 300 juta diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia kelaparan ini menjadi salah satu masalah yang sampai hari ini belum dapat diselesaikan oleh pemerintah. Kelaparan masih banyak terjadi di pelosok-pelosok nusantara, kasus busung lapar dan gizi buruk khususnya pada anak-anak dan perempuan banyak ditemui di hampir seluruh pelosok nusantara (Siswono 2006 dalam Mutiara 2008).

Selain meningkatnya kemiskinan, kelaparan dan tingkat pengangguran timbul juga masalah pangan. Masalah pangan yang timbul di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia akan mengancam kesejahteraan hidup masyarakat khususnya masyarakat ekonomi lemah termasuk petani. Menurut Soetrisno (2002), pada era globalisasi ini merupakan abad yang tidak akan memberikan banyak harapan bagi para petani di negara-negara berkembang, termasuk petani-petani Indonesia yang kebanyakan adalah petani subsisten. Salah satu masalah yang sangat penting yang akan dihadapi oleh para petani di negara-negara berkembang adalah bagaimana mempertahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sendiri dan bangsa mereka.

Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Menurut UU No. 7 tahun 1996 mengenai pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi maka akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keadaan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi masyarakat.

Keluarga biasanya akan melakukan food coping strategy untuk mengatasi permasalahan ketersediaan panggan. Food coping strategy adalah bentuk perubahan dan upaya-upaya yang dilakukan rumahtangga untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan pangan (Setiawan 2004 dalam Polin 2005). Bentuk-bentuk food coping strategy yang sering dilakukan antara lain dengan

(16)

menurunkan kuantitas atau kualitas pangan yang dikonsumsi, perubahan kebiasaan makan, perubahan frekuensi makan, mencari tambahan penghasilan, atau menjual aset yang dimiliki.

Tingkat keparahan kondisi rawan pangan suatu rumahtangga dapat dilihat dari variasi dan kedalaman food coping strategy yang dilakukan. Informasi ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyusun program pangan dan gizi agar ketahanan rumahtangga dapat terjamin.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh skor food coping strategy terhadap ketahanan pangan rumahtangga.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain :

1. Mengidentifikasi ketahanan pangan rumahtangga petani

2. Mengidentifikasi karakteristik dan akses pangan (besar keluarga, pendidikan dan pekerjaan kepala rumahtangga, pendidikan ibu, pendapatan dan pengeluaran keluarga, dukungan sosial, dan pengetahuan gizi ibu) rumahtangga petani

3. Mengidentifikasi food coping strategy yang dilakukan rumahtangga petani 4. Mengidentifikasi pelaku food coping strategy dalam rumahtangga petani 5. Menganalisis hubungan skor food coping strategy dengan ketahanan pangan

rumahtangga rumahtangga petani

6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan. Hipotesis

Skor food coping strategy tidak berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga.

Kegunaan

Memberikan gambaran mengenai food coping strategy yang dilakukan oleh keluarga dan hubungannya dengan ketahanan pangan rumahtangga. Informasi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya pemerintahan daerah dalam merencanakan program pangan dan gizi sehingga ketahanan pangan rumahtangga khususnya di wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten dapat terjamin.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Petani

Penduduk-penduduk desa adalah bagian dari masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks. Diantara penduduk-penduduk desa tersebut terdapat beberapa fungsi masyarakat salah satunya adalah sebagai petani pedesaan. Menurut Wolf (1985) petani pedesaan adalah pencocok tanam pedesaan yang menyerahkan keuntungan mereka kepada golongan penguasa yang dominan untuk menunjang tingkat hidup mereka sendiri. Petani pedesaan tidak melakukan usaha dalam arti ekonomi tapi dapat dikatakan mereka mengelola sebuah rumahtangga.

Kurtz dalam Sajogyo (2002) dalam Kartika (2005) mendefinisikan petani sebagai pengolah tanah di pedesaan. Di Indonesia, kelompok masyarakat ini adalah salah satu kelompok masyarakat yang rata-rata berada dibawah garis kemiskinan. Dengan luasan lahan dan pendapatan rata-rata yang relatif kecil dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Penguasaan lahan pertanian didefinisikan oleh BPS (1996) sebagai lahan milik sendiri ditambah lahan yang berasal dari pihak lain, dikurangi lahan yang berada di pihak lain yang pernah dan sedang diusahakan untuk pertanian selama setahun terakhir.

Revolusi industri telah menggeser fungsi tenaga kerja manusia dengan mesin-mesin yang ada. Pada masyarakat yang telah mengalami revolusi industri ini petani hanya akan menjadi golongan sekunder dalam masyarakat dan fungsi mereka dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan bergeser digantikan oleh mesi-mesin pertanian. Hal ini akan mendatangkan ancaman bagi petani dan membuat petani tidak berguna lagi secara ekonomis (Wolf 1985).

Rumahtangga Petani

Rumahtangga petani adalah rumahtangga yang salah satu anggotanya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan, nelayan, melakukan perburuan, atau penagkapan satwa liar atau beternak atau berusaha dalam jasa pertanian. Rumahtangga ini memiliki tujuan untuk menjual seluruh atau sebagian produk pertanian mereka atau memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri (BPS 1996 dalam Kartika 2005). Ketahanan Pangan dan Pertanian

Menurut Soetrisno (2002), pada era globalisasi ini merupakan abad yang tidak akan memberikan banyak harapan bagi para petani di negara-negara

(18)

berkembang, termasuk petani-petani Indonesia yang kebanyakan adalah petani subsisten. Salah satu masalah yang sangat penting yang akan dihadapi oleh para petani di negara-negara berkembang adalah bagaimana mempertahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sendiri dan bangsa mereka. Jika para petani tidak mampu mempertahankan ketahanan pangan, maka ketahanan pangan negara juga akan terancam. Hal ini berarti negara harus menggantungkan kebutuhan pangan pada perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam sektor produksi pangan.

Ketahanan Pangan

Pangan yang cukup dapat diartikan sebagai level minimal dari konsumsi pangan. Selain itu dapat juga disebut sebagai level target kebutuhan pangan minimal atau sebagai pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi. (Maxwell & Marisol 1992). Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) muncul dan dibangkitkan kembali karena adanya krisis pangan dan kelaparan. Istilah ketahanan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara-negara berkembang dari krisis produksi dan suplai makanan pokok. Definisi ketahanan pangan menurut PBB adalah sebagai berikut : ‘Food security is availability to avoid acute food shortages in the event of wide spread coop failure or other disaster’ (UN 1973 dalam Syarief et al. 1999).

Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensional, yaitu adanya hubungan keterkaitan antara matarantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Ketahanan pangan rumahtangga dapat dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain: 1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan; 2) penurunan produksi pangan; 3) tingkat ketersediaan pangan di rumahtangga; 4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total; 5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumahtangga; 6) perubahan kehidupan sosial (migrasi, menjual/menggadaikan miliknya, peminjaman); 7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan) dan 8) status gizi (Suhardjo 1996 dalam Purlika 2004).

Menurut Tim Peneliti-LIPI (2004), berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan pangan; 2) stabilitas ketersediaan

(19)

pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta; 4) kualitas/keamanan pangan. Keempat komponen tersebut dapat digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Ketahanan pangan sendiri menurut UU No. 7 tahun 1996 mengenai pangan, merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Dalam Usfar (2002) juga disebutkan bahwa ketahanan pangan berhubungan dengan empat aspek yaitu: 1) ketersediaan (makanan yang cukup dan siap sedia digunakan); 2) akses (semua anggota dalam rumahtangga tersebut memiliki sumber yang cukup untuk memperoleh makanan yang sesuai); 3) utilisasi (kemampuan tubuh manusia untuk mencerna dan melakukan metabolisme terhadap makanan yang dikonsumsi dan fungsi sosial makanan dalam menjaga keluarga dan masyarakat); dan 4) keberlanjutan (ketersediaan makanan untuk jangka waktu yang lama). Keempat aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya.

Food coping strategy sangat berkaitan dengan ketahanan pangan. Hal ini disebabkan setiap tindakan food coping yang dilakukan harus mempertimbangkan ketahanan pangan rumahtangga suatu keluarga. Maxwell dan Frenkenberger (1992) dalam Widiyanti (2007) menyatakan bahwa untuk mengukur ketahanan pangan dapat dilakukan dengan bebeapa indikator. Indikator-indikator tersebut apat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menjelaskan situasi pangan yang ditunjukan dengan ketesediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung (konsumsi dan frekuensi pangan) dan indikator tak langsung (penyimpangan pangan dan status gizi).

Ketahanan Pangan Rumahtangga

Menurut Internasional Congres of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992, ketahanan pangan rumahtangga adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas dengan menambahkan persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat”, hal ini disampaikan dalam siding Committee on World Food Security tahun 1995 (Adi 1998).

(20)

Ketahanan pangan rumahtangga berhubungan dengan kemampuan rumahtangga tersebut untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya (Van Braun et al 1992 dalam Usfar 2002). Hal ini menyiratkan akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup dalam kuantitas dan kualitas gizi, aman, dan dapat diterima oleh budaya setempat untuk memeuhi kebutuhan tiap anggota keluarga. Menurut Usfar (2002) akses rumahtangga terhadap pangan merupakan strategi-strategi untuk mendapatkan makanan dari berbagai sumber. Makanan bagi suatu rumahtangga dapat berasal dari beberapa sumber antara lain: dengan memproduksi sendiri, membeli, atau berasal dari pemberian. Akses individu dalam menjangkau kebutuhan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli, tingkat pendapatan, harga pangan, proses distribusi pangan, kelembagaan ditingkat lokal dan faktor sosial lainnya.

INFLOW OUTFLOW

Gambar 1. Jalur Pangan dalam Rumahtangga (Usfar 2002)

Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumahtangga yaitu kronis dan transitory. Ketidaktahanan pangan kronis sifatnya menetap, merupakan ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidak mampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh kemiskinan. Ketidaktahanan pangan transitory adalah penurunan akses terhadap pangan yang sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang berakibat pada ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan pendapatan (Setiawan 2004 dalam Kartika 2005).

Pengukuran Ketahanan Pangan

Agar dapat mewaspadai masalah-masalah yang dapat mengancam ketahanan pangan atau timbulnya kerawanan pangan perlu dilakukan

• Purchased • Self-produced (field,garden) • Received (neighbor, relative) Household Food Availibility • Given away (neighbor, guest) • Farm animals • Thrown away Eaten outside home

(21)

pemantauan pola konsumsi dan persediaan pangan serta status gizi. Dalam pemantauan untuk menilai keadaan pangan diperlukan data perorangan, data keluarga, dan data masyarakat. Data perorangan meliputi data perubahan status gizi, dan pola konsumsi pangan baik kualitatif maupun kuantitatif. Data keluarga meliputi perubahan pola konsumsi pangan, persediaan pangan baik produksi sendiri maupun yang dibeli atau pemberian, dan perubahan lapangan kerja anggota keluarga. Data masyarakat dan desa meliputi curah hujan, perubahan hasil produksi pertanian, perubahan jumlah penduduk berdasarkan ada tidaknya sumber penghasilan, perubahan pola persediaan pangan di keluarga, perubahan pola migrasi penduduk, perubahan kepemilikan lahan dan aset lain dan sebagainya (Soekirman 2000).

Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan acuan Depkes (1996) dalam BKP (2008), tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein kurang dari 70% dikategorikan sebagai defisit energi atau protein tingkat berat, tingkat kecukupan konsumsi antara 70% sampai dengan kurang 80% sebagai defisit tingkat sedang, dan tingkat kecukupan konsumsi antara 80% hingga kurang dari 90% sebagai defisit tingkat ringan. Berdasarkan ukuran tersebut, akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan disertai dengan penurunan berat badan, dikatakan rawan pangan tingkat berat apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan tidak disertai penurunan berat badan, bila tingkat kecukupan energinya 70%-<80% maka dikatakan rawan pangan sedang, dan bila tingkat kecukupan energi lebih dari 80%-<90% maka dikatakan rawan pangan ringan dan 90% ke atas termasuk tahan pangan.

Pengukuran Status Kelaparan

Kelaparan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kerawanan pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui empat jenis keadaan, yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga; 2) tingkat ketidakcukupan energi; 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity); dan 4) persentase pengeluaran untuk pangan (% food expenditure). FAO (2002) menggunakan empat jenis

(22)

kondisi yang hampir sama untuk menilai kelaparan baik pada tingkat rumahtangga maupun individu yaitu: 1) Ketersediaan pangan (Dietary Energy Supply); 2) Konsumsi Energi; 3) Status Gizi Secara anthropometri; dan 4) Persentase pengeluaran untuk pangan (% Food Expenditure).

Di Indonesia, melalui Lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan pada bulan November 2002 dan telah disempurnakan melalui penelitian uji coba instrumen kelaparan tersebut pada tahun 2004, maka disepakati sepuluh pertanyaan yang mencerminkan perubahan jumlah dan frekuensi makan serta perubahan berat badan yang diteliti selama dua bulan terakhir, pertanyaannya adalah:

1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?... kali 2. Dalam dua bulan terakhir berapa kali sehari biasanya saudara makan? ... kali 3. Bila berkurang/menurun (Isian R.2 < R.1), mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa

5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya

4. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan semakin berkurang dibanding biasanya?

1. Ya

2. Tidak (Bila R.4 =2, Langsung ke R.6) 5. Bila “ya” mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa

5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya

6. Dalam dua bulan terakhir, apakah berat badan saudara semakin berkurang/kurus (pakaian/celana semakin longgar)?

1. Ya 2. Tidak 7. Bila “ya” (R.6=1), mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa

5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya

8. Menurut anda ukuran tubuh responden yang diamati tergolon 1. Gemuk 2. Normal (biasa) 3. Kurus/ kurang gizi

9. Jika tergolong kurus, tanyakan sejak berapa lama mempunyai ukuran tubuh sedemikian? ... bulan

(23)

10. Jika tergolong kurus, tanyakan kepada responden kemungkinan penyebab utamanya.

1. Sakit kronis

2. Kurang makan/tidakmampu beli makanan 3. Lainnya (...)

Berdasarkan pertanyaan diatas, seorang individu dikatakan lapar apabila terjadi penurunan frekuensi atau penurunan porsi disertai penurunan berat badan. Dikatakan rawan pangan apabila hanya terjadi penurunan frekuensi atau porsi makan, serta dikatakan tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan baik frekuensi maupun porsi konsumsi, karena alasan ekonomi atau ketersediaan.

Food Coping Strategy

Teori yang mendasari food coping strategy adalah teori perilaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia antara lain : Faktor-faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal terdiri dari faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis menekankan pada pengaruh struktur biologis terhadap perilaku manusia. Faktor biologis ini meliputi instink atau motif biologis. Beberapa hal yang dikelompokan sebagai motif biologis ini antara lain kebutuhan makan, minum dan lain-lain. Selain faktor biologis faktor sosiopsikologis juga termasuk faktor personal. Menurut pendekatan ini proses sosial seseorang akan membentuk beberapa karakter dari seseorang yang akhirnya akan mempengaruhi perilakunya. Karakter sendiri terdiri dari tiga komponen yaitu komponen afektif, kognitif dan konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Dalam komponen ini tercakup motif sosiogenesis, sikap dan emosi. Komponen kognitif berhubungan dengan aspek intelektual. Komponen kognitif yang merupakan faktor sosiopsikologis adalah kepercayaan. Komponen konatif berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan untuk bertindak. Selain faktor personal terdapat pula faktor situasional yang dapat mempenaruhi perilaku manusia. Faktor-faktor situasional ini berupa : faktor ekologis (kondisi alam atau iklim), faktor rancangan atau arsitektural (penataan ruang), faktor temporal (emosi, suasana perilaku, teknologi), faktor sosial (sistem peran, struktur sosial, karakteristik sosial individu) (Sofa 2008 dalam Mutiara 2008).

Secara umum coping strategy merupakan berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan

(24)

perkataan lain strategi coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stress yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Zainun 2002).

Menurut Sen (2003); Anonymous (2004); Davies (1993) diacu dalam Usfar (2002), coping strategy merupakan upaya yang dilkukan seseorang untuk mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan menurut kemampuan fisik, kemampuan biologi, maupun kemampuan material. Food coping strategy biasanya dilakukan untuk mendayagunakan alat tukar sebagai upaya meningkatkan kemampuan dalam mengakses pangan untuk menjamin kelangsungan hidup seseorang dan anggota keluarganya. Manifestasi food coping strategy setiap orang akan berbeda tergantung dari masalah yang mereka hadapi. Keberhasilan upaya ini bergantung pada sistem nilai yang mendukung dan berkembang dalam masyarakat (Sen 1982). Dalam Usfar (2002) dinyatakan bahwa tindakan food coping dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu: melakukan aktivitas yang mendatangkan pendapatan, melakukan perubahan diet (pola makan), berbagai cara untuk mendapatkan (mengakses) makanan, berbagai cara untuk mendapatkan (mengakses) uang (tunai), hingga cara yang paling drastis dengan melakukan migrasi atau mengurangi jumlah anggota keluarga.

Menurut Maxwell (2001), bentuk-bentuk food coping strategy yang dilakukan keluarga untuk memenuhi kebutuhannya akan pangan yaitu: 1) mengurangi makanan kesukaan dan membeli makanan yang lebih murah; 2) meminjam makanan atau uang untuk membeli pangan; 3) membeli makanan dengan berhutang; 4) meminta bantuan kepada sanak saudara atau teman; 5) membatasi dan membagi makanan pada waktu makan; 6) menyisishkan sedikit uang dari anggota keluarga untuk membeli makanan di jalan; 7) membatasi konsumsi pangan pribadi untuk memastikan anak-anak mendapat cukup makanan; 8) mengurangi jenis makanan pada satu hari; dan 9) menjalani hari tanpa makan. Masih menurut Maxwell (2001) terdapat empat kategori umum yang merupakan ukuran individu dari coping strategy yang ditetapkan berdasarkan lokasi dan budaya yaitu: 1) perubahan diet yaitu pengurangan pada makanan yang disukai dan berharga mahal; 2) penambahan akses pangan dalam jangka waktu pendek seperti peminjaman, bantuan, pencarian jenis pangan yang saat kondisi normal jarang dikonsumsi, dan penggunaan

(25)

persediaan pangan untuk dikonsumsi; 3) pengurangan jumlah anggota dalam pemberian makan (migrasi jangka pendek); 4) Perubahan distribusi makan (prioritas istri untuk anak-anak terutama yang laki-laki, pembatasan ukuran porsi makan, dan melewatkan waktu makan atau bahkan tidak makan seharian).

Berdasarkan golongan perilaku food coping strategy dibagi menjadi beberapa tingkatan dan digolongkan menjagi beberapa skala. Tabel di bawah ini menunjukan pembagian tersebut:

(26)

Tabel 1 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku

Tipe Skala Golongan perilaku Perilaku

Skala 1 A. Meningkatkan pendapatan 1. Mencari pekerjaan

sampingan 2. Menanam tanaman

yang dapat dimakan di kebun

3. Beternak ayam, dll B. Perubahan kebiasaan

makan

4. Membeli makanan yang lebih murah

5. Mengurangi jenis panan yang dikonsumsi 6. Ubah prioritas

pembelian makanan 7. Beli pangan yang

kualitasnya lebih rendah 8. Kurangi porsi makan 9. Kumpulkan makanan

liar C. Penambahan akses

dengan segera pada pangan

10. Menerima bantuan pangan pemerintah 11. Bantuan pangan dari

saudara

12. Food work pemerintah 13. Terima kupon raskin 14. Pertukaran pangan D. Perubahan distribusi dan

frekuensi pangan

15. Perubahan distribusi pangan

16. Kurangi frekuensi pangan

E. Menjalani hari-hari tanpa makan

17. Puasa

Skala 2 A. Penambahan akses

segera untuk beli pangan

1. Ambil uang tabungan untuk makan

2. Gadai asset untuk beli pangan

3. Menjual asset tidak produktif

4. Menjual asset produktif 5. Pinjam uang dari

saudara dekat 6. Pinjam uang dari

saudara jauh 7. Beli pangan dengan

berhutang

Skala 3 B. Langkah drastic 8. Migrasi ke kota/desa

9. Migrasi ke luar negeri 10. Memberikan anak pada

saudara 11. Bercerai

Kaitan Karakteristik Keluarga dengan Food Coping Strategy

Karakteristik rumahtangga sangat berpengaruh dengan kedalaman food coping strategy yang dilakukan oleh suatu rumahtangga. Hasil dari penelitian

(27)

Mutiara (2002) didapatkan kesimpulan bahwa semakin rendah pengeluaran per kapita, pendidikan kepala keluarga, pandidikan ibu dan semakin besar jumlah anggota keluarga, umur kepala keluarga, umur ibu, maka banyak tindakan dan kedalaman food coping strategy yang mereka lakukan.

Besar Keluarga

Jumlah anggota keluarga yang terlalu besar seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Menurut Sanjur (1982) besarnya atau banyaknya anggota keluarga mempengaruhi besarnya belanja keluarga. Kondisi ini menjadi suatu pertimbangan keluarga dalam melakukan food coping strategy. Hasil penelitian Chaudhury (1984) di Bangladesh dalam Mutiara (2008), menunjukan bahwa dengan bertambahnya besar keluarga maka akan timbul dampak yang merugikan terhadap status gizi, hal ini disebabkan oleh menurunnya alokasi terhadap makanan seiring dengan bertambahnya anggota keluarga.

Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan formal yang diterima seseorang maka akan semakin tinggi pula status ekonominya. Hal ini terjadi karena tingginya status ekonomi juga berhubungan dengan tingkat pendapatan, sehingga keluarga atau kepala keluarga yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maka akan memiliki lebih banyak uang yang dapat digunakan untuk pembelian pangan. Dalam hal ini peningkatan pendapatan dapat mengatasi masalah bila terjadi kekurangan dalam keluarga (Sanjur 1982).

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga

Jenis pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang diperolehnya. Kemampuan individu untuk melakuakan food coping strategy dipengaruhi oleh pekerjaan dan pendapatan yang dimilikinya. Perbedaan jenis pekerjaan, tempat bekerja dan jam kerja dapat mempengaruhi perilaku dari anggota keluarga (Martianto dan Ariani 2004 dalam Mutiara 2008). Pengeluaran Keluarga

Kebutuhan dasar manusia dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama adalah kebutuhan primer yang terdiri dari kebutuhan gizi, kebutuhan akan perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan dan kebutuhan akan sandang. Kebutuhan primer ini merupakan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi untuk

(28)

hidup yang layak. Kedua adalah kebutuhan sekunder yang terdiri dari waktu luang, ketenangan hidup dan lingkungan yang mendukung. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam keluarga dilakukan dengan menggunakan sumber daya yang ada dalam keluarga tersebut (Guhardja 1992 dalam Mutiara 2008).

Dalam Mutiara (2008) disebutkan bahwa pola pengeluaran suatu masyarakat dapat mencerminkan tingkat kehidupannya. Komposisi pengeluaran untuk makanan dan bukan untuk makanan dapat menjadi indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila komposisi pengeluaran untuk non makanan lebih besar daripada pengeluaran untuk makanan. Di negara-negara maju biasanya persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran adalah di bawah 50 persen. Namun di negara-negara berkembang persentase tersebut masih mencapai 50 persen bahkan lebih.

Menurut BPS (2006) pengeluaran konsumsi rumahtangga dibagi menjadi dua yaitu: 1) pengeluaran untuk makan dan 2) pengeluaran non makanan. Kedua pengeluaran tersebut merupakan pengeluaran untuk kebutuhan rumahtangga/rumahtangga saja. Pengeluaran rumahtangga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Secara naluriah rumahtangga akan memprioritaskan pengeluaran pangan terlebih dahulu kemudian pengeluaran non pangan. Namun perilaku ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, lokasi tempat tinggal dan musim (Mangkuprawira 2002 dalam Mutiara 2008).

Menurut Azwar (2004) dalam Kartika (2005), proporsi pengeluaran pangan dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga semakin rendah.

Dukungan Sosial

Manusia sebagai indvidu yang sekaligus sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri. Manusia akan memerlukan bantuan orang lain dan sumber-sumber dukungan sosial dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dukungan sosial ini dalam Mutiara (2008) disebutkan harus diperoleh dari orang lain seperti; keluarga, saudara, atau masyarakat dimana orang tersebut berada.

(29)

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan maupun kelompok (Sarafino 1996). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dari keluarga dan masyarakat dapat mempengaruhi cara mengatasi suatu masalah dalam rumahtangga dalam hal ini adalah masalah pemenuhan kebutuhan.

Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni rumahtangga (suami atau istri), saudara atau masyarakat (tetangga) dimana orang tersebut tinggal.

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga mencakup adanya interaksi di antara anggota dan saling membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang (Sarafino 1996).

Sarafino mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informasi. Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan ini biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti keluarga, tetangga, atau mungkin teman. Dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. Dukungan penghargaan melibatkan pengakuan dari orang lain atas kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain, atau mau menerima atas segala kekurangan pada diri orang lain. Dukungan informasi memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah

(30)

maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi ini, maka individu dapat menyelesaikan masalahnya atau menambah pengetahuan baru.

Konsumsi Pangan

Konsumsi Pangan adalah jumlah pangan tunggal atau beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan mendapatkan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Hasil penilaian terhadap konsumsi pangan ini dapat digunakan sebagai bukti awal akan adanya kemungkinan terjadinya kekurangan gizi pada seseorang. Sehingga dapat digunakan untuk menilai status gizi secara tidak langsung (Supriasa et al. 2002). Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: produksi pangan untuk keperluan keluarga, pengeluaran pangan untuk keluarga, pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan (Harper et al. 1998 dalam Mutiara 2008).

Pengukuran atau penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizinya. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi pangan secara kuantitatif antara lain: 1) recall 24 jam; 2) perkiraan makanan (estimated food records); 3) penimbangan makanan (food weighing); 4) metode food account; 5) metode inventaris; 6) pencatatan (household food records). Metode kualitatif biasanya digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis makanan, dan menggali informasi mengenai kebiasaan makan. Metode-metode yang biasa digunakan dalam penilaian konsumsi secara kualitatif antara lain: 1) metode frekuensi makanan (food frequency); 2) metode dietary history; 3) metode telepon; 4) metode pendaftaran makanan (food list). Pemilihan metode yang akan digunakan dalam suatu penelitian mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: tujuan penelitian, jumlah responden, ketersediaan dana dan tenaga, tingkat pendidikan responden, pertimbangan logistik pengumpulan data, dan presisi serta akurasi dari metode terpilih (Supriasa et al. 2002).

Penggunaan metode frekuensi makanan (food frequency) bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini juga dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara semi kuantitatif dengan memasukkan ukuran porsi makan. Dengan meode ini dapat dinilai juga frekuensi penggunaan pangan atau

(31)

kelompok pangan tertentu (misalnya: sumber lemak, sumber protein, sumber vitamin A) selama kurun waktu yang spesifik (misalnya: per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus memperkirakan konsumsi zat gizinya (Gibson 1993 dalam Mutiara 2008).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Menurut Almatsier (2004), kebiasaan makan suatu masyarakat salah satunya tergantung dari ketersediaan pangan di daerah tersebut yang pada umumnya berasal dari usaha tani. Selain faktor ketersediaan pangan faktor sosial ekonomi dari masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan mereka. Faktor sosial yang mempengaruhi antara lain: 1) keadaan penduduk suatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi jenis kelamin, dan geografis); 2) keadaan keluarga (besar keluarga, hubungan, jarak kelahiran); 3) pendidikan (tingkat pendidikan ibu/ayah). Faktor ekonomi yang mempengaruhi antara lain: 1) pekerjaan (pekerjaan utama, pekerjaan tambahan); 2) Pendapatan keluarga; 3) Pengeluaran; 4) Harga pangan yang tegantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa et al. 2002).

(32)

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik keluarga (besarnya keluarga, usia kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, dan lain-lain) sangat mempengaruhi akses keluarga tersebut dalam memenuhi kebutuhan termasuk kebutuhan akan pangan. Kemudahan dalam mengakses pangan akan secara langsung mempengaruhi ketersediaan pangan dalam suatu rumahtangga. Selain itu memiliki hubungan yang saling mempengaruhi terhadap food coping strategy yang dilakukan oleh rumahtangga.

Ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhannya akan pangan akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keputusan yang biasa diambil keluarga untuk tetap memenuhi kebutuhan pangan dan penaggulangan masalah kerawanan pangan yang dihadapi serta mempertahankan hidup anggota keluarga dikenal dengan istilah food coping strategy. Food coping strategies dapat diartikan pula sebagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan dalam hal pangan atau dilakukan saat akses terhadap pangan menurun.

Food coping strategy ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada faktor dari dalam rumahtangga maupun dari luar rumahtangga. Faktor dari dalam antara lain: struktur demografi rumahtangga tersebut, status sosial ekonomi, dukungan sosial dan dinamika dalam rumahtangga. Sedangkan faktor dari luar antara lain: tekanan politik dan ekonomi, iklim, konsisi ekonomi, institusi dan infrastruktur yang ada.

(33)

Gambar 2. Kerangka pemikiran Hubungan Food Coping Strategy dengan Ketahanan Pangan Rumahtangga

Keterangan gambar

: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti

:

hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti

Status gizi keluarga

Karakteristik Keluarga 1. Besar keluarga

2. Pendidikan kepala keluarga 3. Pendidikan ibu

4. Pekerjaan dan pendapatan KK 5. Pengeluaran keluarga

Ketahanan pangan rumahtangga Food Coping Strategy :

1. Perubahan kebiasaan makan

2. Penjualan aset RT yang dimiliki 3. Mencari pendapatan tambahan 4. Memanfaatkan SD yang tersedia Ketersediaan pangan keluarga Akses : • Ekonomi • Dukungan sosial

(34)

METODE PENELITIAN

Desain Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian “Model Penguatan Modal Komunitas Pertanian dalam Upaya Pencegahan dan Penaggulangan Kelaparan”. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lebak Provinsi Banten pada bulan April hingga Mei 2009.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Penarikan contoh dilakukan secara purposive, yaitu contoh merupakan rumahtangga petani di wilayah tipologi desa tipe 3 (tingkat kesejahteraan rendah, sector nonfarm rendah) dan tipe 2 (tingkat kesejahteraan tinggi, sektor nonfarm rendah). Contoh berjumlah 110 rumahtangga dengan kriteria: 1) pekerjaan utama kepala rumahtangga adalah petani; 2) mewakili populasi berdasarkan proporsi kepemilikian lahan lebih dari 10.000 m2, memiliki lahan 5.000-10.000 m2, memiliki lahan kurang dari 5.000 m2, dan tidak memiliki lahan. Setelah dilakukan cleaning contoh yang dapat dipergunakan adalah 101 rumahtangga.

Jenis danCara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sosial demografi keluarga meliputi, usia kepala keluarga, lama pendidikan formal kepala keluarga, lama pendidikan formal ibu, jumlah anggota keluarga, pengeluaran keluarga untuk pangan dan non pangan, ketersediaan pangan keluarga serta food coping strategy keluarga. Data primer diperoleh melalui wawancara kepada keluarga sasaran dengan menggunakan kuiseoner. Jenis data dan cara pengumpulannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

No Variabel Cara Pengumpulan

1 Data sosial demografi keluarga Wawancara dengan menggunakan

kuesioner

2 Data ekonomi keluarga (termasuk akses

pangan keluarga)

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

3 Food coping strategy Wawancara dengan menggunakan

kuesioner

4 Ketersediaan pangan keluarga Wawancara dengan menggunakan

kuesioner

(35)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan program computer Microsoft Excel dan SPSS 13,0 for Windows. Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis.

Penilaian skor food coping strategy dilakukan untuk mengetahui kategori tingkat coping keluarga. Berdasarkan Usfar (2002) rumus untuk menghitung food coping strategy keluarga adalah sebagai berikut :

Skor food coping strategy = (n1× 1) + (n2 × 2) + (n3 × 3) Keterangan :

n1 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala1 n2 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala2 n3 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala3

Hubungan antara karakteristik keluarga dengan miskin tidaknya suatu keluarga, dan kondisi ketahanan pangan keluarga dengan skor food coping strategy dianalisis dengan mengunakan uji korelasi spearman. Kemudian penaruhnya di analisis menggunakan analisis regresi linear dengan persamaan :

Y = a + b1X1 + b2X2 + ….+ bnXn

Keterangan :

Y = Variabel dependen

a = konstanta angka konstan koefisien regresi b = koefisien variabel independen

(36)

Tabel 3 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku

Tipe Skala Golongan perilaku Perilaku

Skala 1 A. Meningkatkan

pendapatan

1. Mencari pekerjaan sampingan

2. Menanam tanaman yang dapat dimakan di kebun 3. Beternak ayam, dll B. Perubahan kebiasaan

makan

4. Membeli makanan yang lebih murah

5. Mengurangi jenis panan yang dikonsumsi 6. Ubah prioritas pembelian

makanan 7. Beli pangan yang

kualitasnya lebih rendah 8. Kurangi porsi makan 9. Kumpulkan makanan liar C. Penambahan akses

dengan segera pada pangan

10. Menerima bantuan pangan pemerintah 11. Bantuan pangan dari

saudara

12. Food work pemerintah 13. Terima kupon raskin 14. Pertukaran pangan D. Perubahan distribusi dan

frekuensi pangan

15. Perubahan distribusi pangan

16. Kurangi frekuensi pangan E. Menjalani hari-hari tanpa

makan

17. Puasa

Skala 2 F. Penambahan akses

segera untuk beli pangan

18. Ambil uang tabungan untuk makan

19. Gadai asset untuk beli pangan

20. Menjual aset tidak produktif

21. Menjual aset produktif 22. Pinjam uang dari saudara

dekat

23. Pinjam uang dari saudara jauh

24. Beli pangan dengan berhutang

Skala 3 G. Langkah drastis 25. Migrasi ke kota/desa

26. Migrasi ke luar negeri 27. Memberikan anak pada

saudara 28. bercerai

(37)

Definisi Operasional

Food Coping Strategy adalah segala upaya yang dilakukan oleh suatu keluarga untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan sehingga tidak terjadi kondisi kerawanan pangan yang berkelanjutan.

Skor coping adalah banyaknya upaya coping yang dilakukan suatu keluarga dan telah dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi sehingga dapat menggambarkan keadaan keluarga contoh.

Pangan adalah semua bahan makanan pokok yang dibutuhkan oleh setiap individu sehingga kebutuhan akan zat gizinya dapat terpenuhi dan dapat melakukan aktivitasnya dengan baik.

Ketahanan Pangan adalah keadaan dimana setiap rumahtangga mempunyai konsumsi terhadap pangan yang cukup baik dari segi jumlah maupun mutu.

Akses pangan adalah proporsi dan jumlah pengeluaran per bulan yang dikeluarkan rumahtangga untuk kebutuhan pangan maupun non pangan. Jumlah anggota keluarga adalah besarnya anggota keluarga yang tinggal

dalam satu rumah.

Pendidikan adalah lamanya seseorang menempuh sekolah formal yang dihitung dengan satuan waktu.

Dukungan sosial adalah segala jenis bantuan baik emosi, instrumental, penghargaan, dan informasi yang diterima dari orang lain.

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua desa yang mewakili dua kecamatan yang berada di kabupaten Lebak Banten. Luas Wilayah Kabupaten Lebak adalah seluas 304.472 hektar, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Serang, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Jumlah penduduk di Kabupaten Lebak berjumlah 1.219.033 jiwa. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Lebak, yaitu sebanyak 41.64% atau sebanyak 186.634 jiwa adalah petani, 22.62% (101.379 jiwa) adalah buruh tani, sisanya bekerja di sektor lain seperti sebagai nelayan, PNS, bekerja di bidang industri dan perdagangan serta lainya.

Kabupaten Lebak memiliki 28 kecamatan, dua diantaranya adalah Kecamatan Cileles dan Kecamatan Warunggunung. Kecamatan Cileles memiliki luas wilayah 12.498 ha dengan jarak ke ibukota kabupaten sejauh 50 km, semantara Kecamatan Warunggunung memiliki luas wilayah 4.953 ha dan hanya berjarak 10 km dari ibukota kabupaten. Masing-masing kecamatan tempat penelitian ini memiliki 12 desa dengan jumlah penduduk masing-masing kecamatan, untuk Kecamatan Cileles adalah 48.139 jiwa dan Kecamatan Warunggunung 51.414 jiwa.

Desa Pasindangan

Desa Pasindangan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Cileles Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan luas wilayah 3.297.2 ha. Jarak Desa Pasindangan dari ibu kota kecamatan adalah tujuh km. Desa Pasindangan terbagi dalam tujuh kampung yang terdiri dari tujuh Rukun Warga (RW) dan 17 Rukun Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Pasindangan diantaranya sebelah utara berbatasan dengan Desa Bendungan, Desa Kumpai, dan Desa Cipadang. Sebelah timur dengan Desa Kujangsari, dan Desa Cikareo. Sedangkan di sebelah selatan dengan Desa Cinginggang, dan sebelah barat dengan Desa Mekarjaya. Desa Pasindangan termasuk desa yang luas dibandingkan dengan desa-desa di wilayah Kecamatan Cileles lainnya bahkan menjadi yang terluas diantara desa-desa disekitarnya yang berada dalam satu kecamatan, Desa Cipadang memiliki luas 1.388 ha, Desa Kujangsari 1.891 ha, dan Desa Cikareo

(39)

2.065 ha. Luas lahan yang cukup luas di Desa Pasindangan masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sendiri, sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai wilayah perkebunan oleh pihak swasta dan pemerintah, sebagian lainnya untuk perkebunan rakyat, pertanian, pemukiman, dan lain-lain. Pemanfaatan lahan di Desa Pasindangan ditunjukkan oleh tabel berikut:

Tabel 4 Pemanfaatan lahan Desa Pasindangan

No Pemanfaatan lahan Luas (ha) % Luas terhadap

luas wilayah

1 Pemukiman dan pekarangan 28.8 0.87

2 Sawah irigasi setengah teknis 20.0 0.61

3 Sawah tadah hujan 194.0 5.88

4 Ladang/huma 350.0 10.62

5 Perkebunan rakyat 388.5 11.78

6 Perkebunan swasta 1.414.0 42.88

7 Lapangan olah raga 2.0 0.06

8 Kas desa 2.5 0.08

9 Kantor pemerintahan 0.2 0.01

10 Tanah fasilitas umum lainnya 18.0 0.55

11 Hutan lindung 190.0 5.76

12 Hutan produksi 595.0 18.05

13 Hutan konversi 94.2 2.86

Total 3.297.2 100.00

Pemanfaatan lahan Pasindangan sebagian besar digunakan untuk perkebunan, yaitu sebesar 42.88% (1.414 Ha) untuk perkebunan swasta dan 11.78% (388,5 Ha) sebagai perkebunan rakyat. Jika dilihat dari pemanfaatan lahannya, Desa Pasindangan merupakan kawasan perkebunan.

Jumlah penduduk Desa Pasindangan pada tahun 2006 tercatat sebanyak 3.589 jiwa yang terdiri dari 835 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yaitu, 1.817 jiwa penduduk laki-laki dan 1.772 jiwa penduduk perempuan.

Berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan adalah sebagai berikut:

(40)

Tabel 5 Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan

No Tingkat Pendidikan n %

1 Tidak tamat SD/sederajat 245 17.7

2 Tamat SD/sederajat 655 47.4 3 Tamat SLTP/sederajat 305 22.0 4 Tamat SLTA/sederajat 147 10.6 5 Tamat D1 12 0.9 6 Tamat D2 9 0.6 7 Tamat D3 5 0.4

8 Tamat Perguruan Tinggi (S1) 5 0.4

Total 1.383 100.0

Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Pasindangan masih tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sebesar 47.4%. Sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi hanya sebagian kecil, yaitu hanya sebesar 0.4% saja. Kondisi ini akan memberikan dampak pada kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Tabel berikut menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan.

Tabel 6 Jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan

No Jenis Pekerjaan n % 1 Petani 416 47.9 2 Buruh tani 56 6.4 3 Buruh/swasta 77 8.9 4 PNS 27 3.1 5 Pengrajin 25 2.9 6 Pedagang 255 29.4 7 Bengkel/montir 12 1.4 Total 868 100.0

Sebagian besar jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan sebagai Petani, yang terdiri dari petani (47.9%) dan buruh tani (6.4%). Pekerjaan yang terbanyak ditekuni oleh penduduk Desa Pasindangan selain petani adalah pedagang, yaitu sejumlah 29.4%.

Tersedianyafasilitas pendidikan dan kesehatan sangat menunjang dalam terciptanya kesejahteraan dalam masyarakat. Prasarana pendidikan yang ada pada Desa Pasindangan dapat dilihat pada tabel berikut:

Gambar

Tabel 1 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku
Gambar  2.  Kerangka  pemikiran    Hubungan  Food  Coping  Strategy  dengan  Ketahanan Pangan Rumahtangga
Tabel 2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Tabel 3 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian ZPT NAA dan unsur mikro (Zn dan B) dengan teknik penyemprotan pada buah tidak dapat meningkatkan jumlah buah matang, jumlah biji per buah, berat biji kering per buah,

Pemanfaatan pupuk mikroba di samping pupuk organik dalam pengelolaan hara tanaman tampaknya merupakan suatu keharusan dalam usahatani kedelai dan sudah terbukti dapat memperbaiki

Penelitian ini dilakukan dengan membuat model pembelajaran elektronik dengan menggunakan E-Module untuk meningkatkan variasi model pembelajaran mata pelajaran muatan

Guru harus memiliki moral yang baik dan menunjukkan sikap disiplin yang tinggi agar dapat menjadi panutan bagi anak didiknya, sehingga proses pendidikan yang dilaksanakan

Pelaksanaan Sanksi Adat Ahli Waris (Purusa) Terhadap Negen Sanan Tua yang tidak melaksanakan Kewajiban Sosial Masyarakat Adat Menurut Awig-Awig Desa

Sinkopasi terjadi ketika aksen tidak jatuh pada ketukan berat ( upbeat ). Sinkopasi banyak ditemukan dalam musik Afrika dan Eropa. Learning Swing Feel.. merupakan ciri

Gambar 15BCD merupakan proses yang terjadi dimana asap dari pengelasan dihisap keluar oleh exhaust fan.untuk pola aliran yang dihasilakn tidak ada perbedaan yang

Untuk memenuhi jumlah kapasitas angkut BRT maka dapat diadakannya penambahan shelter BRT pada titik-titik baru seperti pemukiman atau daerah tidak padat pemukiman sekalipun