• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFERAT Anemia Inflamasi Dan Penyakit Kronis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFERAT Anemia Inflamasi Dan Penyakit Kronis"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis

Pembimbing:

(2)

HALAMAN PENGESAHAN TUGAS REFERAT

Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis

Oleh

Disusun untuk memenuhi tugas

Diterima dan disahkan, Purwokerto, Mei 2016

(3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan Ciri khas anemia pada penyakit kronik adalah gangguan hemostasis besi yaitu meningkatnya uptake dan retensi besi dalam sel sel retikuloendotelial. Ini menimbulkan perpindahan besi dari sirkulasi kedalam tempat penyimpanan besi tubuh didalam sistem retikuloendotelial sehingga penyediaan besi untuk sel progenitor eritroid di sumsum tulang dalam proses eritropoisis akan berkurang dan terjadi eritropoisis dengan restriksi besi. Karakter biologik dan hematologik anemia yang berhubungan dengan kanker adalah sama dengan anemia pada penyakit kronik. Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk menentukan defisiensi besi akan menemui kesulitan bila berkaitan dengan anemia penyakit kronis. Pemeriksaan khusus seperti pengecatan sumsum tulang untuk menentukan cadangan besi.

(4)

II. Tujuan

1. Mengetahui penyebab Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis

2. Mengetahui mekanisme terjadinya Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis

3. Mengetahui gejala klinis dari Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis 4. Mengetahui terapi yang diberikan untuk pasien Anemia Pada Inflamasi dan

Penyakit Kronis

5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi akibat Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi

Anemia didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadinya penurunan konsentrasi eritrosit atau hemoglobin pada darah sampai dibawah normal (Patologi Klinik Undip, 2012). Hal ini terjadi apabila keseimbangan antara kehilangan darah (lewat perdarahan atau penghancuran sel) dan produksi darah terganggu. Dengan kata lain, anemia terjadi apabila kadar eritrosit atau hemoglobin dalam darah menurun dan mengakibatkan penurunan fungsi utamanya (Dorland, et al., 2008)

Tabel 1. Nilai Normal Hemoglobin (Patologi Klinik Undip, 2012)

Usia terhadap Anemia Usia memiliki keterkaitan dalam proses kejadian anemia. Dalam survey National Health And Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III), insidensi terjadinya anemia pada pria dan wanita berusia lebih dari 65 tahun sekitar 11 % dan 10%.9 Hal ini patut diperhatikan karena kejadian anemia pada usia senja akan memberikan efek lanjutan, diantaranya peningkatan resiko terjadinya sindroma geriatri seperti jatuh, demensia, komplikasi, dependensi, gangguan kardiovaskuler, bahkan kematian.

(6)

B. Epidemiologi

Anemia pada penyakit kronik adalah anemia paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi. Tidak ada data epidemiologis mengenai semua kondisi penyakit dasar yang berhubungan dengan anemia pada penyakit kronik. Prevalensi dan beratnya anemia berhubungan dengan stage penyakit dan kondisi penyakit dasar. Prevalensi anemia pada pasien kanker dipengaruhi prosedur terapi dan umur. Suatu studi melaporkan prevalensi tinggi yaitu 77% laki laki tua dan 68% perempuan tua dengan kanker menderita anemia. Studi lain menunjukkan anemia terjadi pada 41% pasien tumor solid. Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, penyebab tersering anemia pada penyakit kronik adalah tuberkulosis paru. Belum banyak data epidemiologis anemia pada penyakit kronik dipublikasikan di Indonesia (Wibawa & Bakta, 2008).

C. Etiologi

Secara garis besar, anemia pada penyakit kronik dibagi menjadi beberapa kategori yaitu (Litchman, et al., 2009):

1. Infeksi: AIDS/ HIV, tuberkulosis, malaria, osteomielitis, abses kronik, dan sepsis,

2. Inflamasi: arthritis rheumatoid, kelainan reumatologi, inflammatory bowel disease, sindrom respons inflamasi sistemik,

3. Keganasan: karsinoma, myeloma multipel, limfoma, 4. Disregulasi sitokin: anemia akibat penuaan.

Penyebab utama dari anemia pada penyakit kronik adalah ketidakmampuan tubuh meningkatkan produksi eritrosit (Litchman, et al., 2009). Ciri khas dari anemia pada penyakit kronik adalah disregulasi homeostasis besi dimana terjadi pengambilan dan penyimpanan besi melalui sistem retikuloendotelial. Dengan demikian, jumlah besi untuk sel progenitor eritroid dan eritropoeisis tidak memadai (Weiss & Goudnough, 2005).

(7)

Mekanisme pasti dari anemia pada penyakit kronik masih belum dimengerti. Dari beberapa penelitian, anemia pada penyakit kronik pada arthritis rheumatoid melibatkan banyak faktor seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem fagositik mononuklear, besi yang terikat kuat dengan protein, penurunan respons eritropoeitin, dan efek supresif interleukin dalam eritropoeisis (Djourban, 2010). Adapun patogenesis dari anemia apda penyakit kronik adalah (Litchman, et al., 2009):

1. Destruksi eritrosit yang disebabkan oleh aktivasi faktor pejamu seperti makrofag yang memfagosit yang eritrosit secara prematur. Hal ini ditandai dengan ditemukannya eritrosit muda dalam jumlah besar. Keterlibatan faktor ekstrinsik seperti toksin bakteri dan pengobatan belum diketahui.

2. Resistensi dan inadekuasi eritropoetin. Penurunan produksi eritropoetin disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti TNF alfa dan interleukin. Inhibisi ini diperantarai oleh GATA 1 pada promoter eritropoetin. Disamping itu, berdasarkan penelitian, terjadinya resistensi dibuktikan melalui pasien dengan kadar eritropoetin yang tinggi, memiliki hemoglobin yang rendah.

3. Keterbatasan besi sehingga menghambat eritropoeisis. Hal ini dapat disebabkan oleh :

a. Pengeluaran sitokin inflamasi yaitu IL-6 merangsang pengeluaran hepsidin . Hepsidin ini akan menginduksi internalisasi serta degradasi ferroportin, transpor keluar besi. Oleh karena itu, pengeluaran hepsidin akan menghambat pengeluaran besi dari makrofag, hepatosit, dan enterosit. Pada akhirnya, akan terjadi hipoferemia.

b. Inhibisi absorpsi besi pada usus oleh IL-6 dan hepsidin selama inflamasi. Setiap hari, 1-2 mg besi yang berasal dari makanan dibutuhkan untuk eritropoeisis.

c. Keterbatasan besi menyebabkan protoporfirin yang seharusnya berikatan dengan besi untuk membentuk heme, lebih cenderung mengikat zinc. Oleh

(8)

karena itu, kadar protoporfirin-zinc meningkat pada pasien anemia pada penyakit kronik

4. Kegagalan proliferasi sel progenitor eritroid terutama oleh efek inhibisi interferon gamma. Selain itu, sitokin seperti NO yang diproduksi oleh makrofag bersifat toksik terhadap sel progenitor.

D. Metabolisme Besi

Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari. Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2 mg, sebanyak itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin dan tinja. Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik sering diukur sebagai protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal 25–45% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi transferin.Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari total besi tubuh. Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di sumsum tulang yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4% digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim pernafasan seperti sitokrom C dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis. Sebanyak 80–90% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi, sedangkan transferin akan

(9)

kembali ke dalam sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses menjadi hem setelah bergabung dengan protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk feritin. Dalam keadaan normal 30– 50% prekursor eritrosit mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam peredaran darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan setelah proses hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi darah. Ketika eritrosit berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem retikuloendotelial terutama yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi hem dan globin. Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, yang selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Maka molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk disimpan oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke dalam sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower pathway). Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi melalui proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma. Reaksi oksidasi tersebut dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan besi ke dalam sirkulasi oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar besi plasma menunjukkan variasi diurnal (Muhammad & Sianipar, 2005).

(10)

E. Manifestasi Klinis

Gejala berupa pucat, sesak napas, dan sakit kepala.Namun, pada anemia moderat dengan Hb<10 g/dL akan menimbulkan gejala penyakit jantung iskemik atau penyakit respiratorik, kelelahan, dan intoleransi terhadap aktivitas berat. Namun, diagnosis baru dapat ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium (Litchman, et al., 2009).

F. Pemeriksaan Penunjang

Gambaran apus darah tepi menunjukkan sel yang normositik dan normokrom yang seiring keparahan penyakit menjadi mikrositik dan hipokrom. Selain itu, ditemukan pula (Litchman, et al., 2009) (Djourban, 2010). :

1. Hitung absolut retikulosit adalah normal atau sedikit meningkat,

2. Hipoferemia yaitu penurunan konsentrasi besi serum yang muncul beberapa jam dari onsetinfeksi atau inflamasi yang parah,

3. Penurunan konsentrasi transferin membedakan AI dengan anemia defisiensi besi. Hal ini berdampak pada penurunan TIBC (total iron binding capacity). Penurunan transferin ini terjadi lebih lama daripada konsentrasi besi serum karena perbedaan waktu paruh dimana besi 90 menit dan protein transferin 8-12 hari.

4. Peningkatan feritin serum membedakan AI dengan anemia defisiensi besi.

Feritin merupakan protein fase akut sehingga sintesisnya meningkat pada saat inflamasi atau infeksi. Apabila diagnosis anemia masih belum jelas, dapat dilakukan pemeriksaan reseptor transferin yang larut yang kadarnya menurun pada infeksi atau inflamasi.

5. Pewarnaan besi sumsum dengan prusian blue bertujuan untuk melihat

kandungan dan distribusi besi. Pewarnaan ini dapat mewarnai makrofag dan sideroblas, eritrosit berinti yang memiliki 1-4 badan inklusi berisi besi. Pada AI, besi di dalam sideroblas menurun sedangkan dalam makrofag meningkat.

(11)

Meskipun dapat dijadikan baku emas dalam membedakan anemia defisiensi besi dan anemia pada penyakit kronik, ketidaknyamanan pasien membuat pemeriksaan ini jarang digunakan

G. Patofisiologi

Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada tiga kelompok (Edmundson, 2013) :

1. Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal

Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit atau sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini terjadi akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau kekurangan mineral dan vitamin yang dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi kondisi yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell anemia, gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi, vitamin B12, dan Folat, serta gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan penurunan hormon yang diperlukan untuk proses eritropoesis.

2. Anemia akibat penghancuran sel darah merah

Anemia akibat penghancuran sel darah merah Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu bertahan terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat sehingga menimbulkan anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara lain:

a. Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia

b. Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau beberapa jenis makanan

c. Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis d. Autoimun

(12)

e. Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar, paparan kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan trombosis

f. Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel darah merah dan menghancurkannya sebelum sempat bersirkulasi.

3. Anemia akibat kehilangan darah Anemia Akibat Produksi Yang Berkurang Atau Gagal

Anemia Akibat Kehilangan Darah Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis umumnya muncul akibat gangguan gastrointestinal ( misal ulkus, hemoroid, gastritis, atau kanker saluran pencernaan ), penggunaan obat obatan yang 10 mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses kelahiran.

Patofisiologi terjadinya anemia pada pasien usia lanjut saat ini belum bisa dijelaskan dengan pasti. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa 1/3 dari kasus anemia pada pasien usia lanjut di Amerika merupakan anemia karena kekurangan nutrisi, berdasarkan studi kadar besi dalam darah 1/3 lainnya mengalami anemia karena inflamasi, dan 1/3 sisanya didiagnosis dengan anemia yang tak terjelaskan (unexplained anemia). (Vanesse, et al., 2010).

Anemia karena inflamasi lebih dikenal dengan anemia karena penyakit kronis. Anemia jenis ini diketahui banyak berkaitan dengan timbulnya infeksi, gangguan rheumatologi, keganasan, dan penyakit penyakit kronis lainnya. Ada 4 mekanisme inflamasi yang diduga menjadi penyebab timbulnya anemia (Ferruci, et al., 2008) :

a. Inflamasi menyebabkan eritropoesis menjadi tidak efektif dengan cara menghambat proliferasi dan diferensiasi prekursor eritroid dan / atau penurunan respons terhadap EPO (eritropoetin) sehingga timbul resistensi EPO

(13)

c. Inflamasi menyebabkan peningkatan kadar heptidin. Heptidin adalah peptida yang disintesis oleh hepar yang berfungsi untuk menghambat absorpsi zat besi, pelepasan besi dari makrofag, dan peningkatan proteolisis oleh ferroportin (Vanesse, et al., 2010).

d. Inflamasi akan memberikan efek negatif pada daya tahan eritrosit Pada proses penuaan, sitokin sitokin pro inflamator, IL – 6, dan protein fase akut akan mengalami peningkatan kadar, bahkan pada orang yang sehat. IL – 6 diketahui akan menginduksi pelepasan dari Heptidin. Oleh karena itu peningkatan usia akan meningkatkan angka kejadian anemia oleh karena proses inflamasi.

Anemia merupakan manifestasi klinik yang penyebabnya multifaktorial, salah satunya adalah masalah nutrisi. Seseorang dengan status gizi kurang akan memiliki kecendrungan menderita anemia. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa prevalensi anemia semakin meningkat dengan semakin memburuknya status gizi seseorang. Sementara itu penelitian lain mengemukakan tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan pengukuran IMT dengan kadar Hb. Status gizi kurang disebabkan oleh asupan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Berkurangnya asupan nutrisi bisa disebabkan berbagai sebab, diantaranya ada gangguan dalam absorpsi makanan yang dikonsumsi atau kurangnya konsumsi sumber makanan tertentu. Diet yang rendah zat besi, asam folat, atau vitamin B12 akan menyulitkan tubuh untuk memproduksi cukup sel darah merah karena zat zat tersebut diperlukan dalam proses pembuatannya sehingga timbul anemia. Konsumsi vitamin C yang cukup juga akan membantu penyerapan zat besi sehingga membantu pencegahan anemia. Dalam mengukur status nutrisi seseorang diperlukan metode dan ukuran yang objektif. Indeks Massa Tubuh (IMT) selain merupakan parameter status antropometri juga merupakan paramater status gizi (Ferruci, 2008).

(14)

H. Penatalaksanaan

Apabila diagnosis anemia pada penyakit kronik telah ditegakkan, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dapat mengatasi anemia. Namun, jika pengobatan tersebut tidak efektif, maka pengobatan spesifik untuk anemia dapat dilakukan. Transfusi darah baru dilakukan untuk kasus yang parah. Kini, diberikan pula kombinasi eritropoietin dengan besi. Tujuannya adalah peningkatan produksi eritrosit dapat diimbangi oleh kadar besi di dalam darah. Namun, pemberian besi sendiri dilakukan apabila kadar besi pasien rendah. Hal ini disebabkan oleh besi meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (Litchman, et al., 2009) (Gardner & Benz, 2008).

(15)

BAB III KESIMPULAN

1. Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan Ciri khas anemia pada penyakit kronik adalah gangguan hemostasis besi yaitu meningkatnya uptake dan retensi besi dalam sel sel retikuloendotelial. 2. Tidak ada data epidemiologis mengenai semua kondisi penyakit dasar yang

berhubungan dengan anemia pada penyakit kronik.

3. Anemia pada penyakit kronik dibagi menjadi beberapa kategori yaitu infeksi, inflamasi, keganasan, disregulasi sitokin

4. Pengobatan spesifik untuk anemia dapat dilakukan yransfusi darah baru dilakukan untuk kasus yang parah, eritropoietin dan besi.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Buku Ajar Patologi Klinik II. Semarang: Penerbit Diponegoro; 2012

Djoerban, Z. Kelainan hematologi pada lupus eritematosus sistemik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal.1178.

Dorland, W.A. Newman. Kamus Saku Kedokteran Dorland Ed.28. Jakarta: EGC; 2008

Edmundson, A. Understanding Anemia – The Basic. 2013. Available at:

http://www.webmd.com/a-to-z-guides/understanding-anemia-basics.

Ferucci, L & Balducci, L. Anemia Of Aging: The role of Chronic Inflamation and Cancer. National Institute on Aging. Baltimore, MD.USA. [internet] 2008 [cited on 12 December 2013]. 2008 October; 45(4): 242–249.Available on:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2645640/

Gardner & Benz Jr . Anemia of chronic diseases. In Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:chap 37.

Litchman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT. Anemia of chronic disease. In Williams Hematology. 7th ed. USA:

Mc.Graw-Hill: 2009, chapter 43.

Muhammad, A & Sianipar, O. 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Yogyakarta: Bagian Patologi Klinik FK UGM.

Vanasse GJ, et al. Anemia in elderly patients: an emerging problem for the 21st century. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. [internet] 2010 [cited on 23 November 2013]. 2010;2010:271-5. doi:

10.1182/asheducation-2010.1.271.

Weiss G & Goodnough LT. Anemia in chronic disease. N Engl J Med. 2005; 352:1011-1023.

Wibawa & Bakta, 2008. Hubungan Kadar Interleuikin 6 dengan kadar besi serum penderita anemia pada penyakit kronik. Vol. 9 No. 1. Bali: FK UNUD

Gambar

Tabel 1. Nilai Normal Hemoglobin (Patologi Klinik Undip, 2012)
Tabel 2. Pengobatan Anemia Inflamasi dan Penyakit Kronik (Litchman, et al., 2009)

Referensi

Dokumen terkait

&amp;. +uatu pedoman yang ditetapkan pimpinan rumah sakit sebagai auan dalam memberikan pelayanan makanan pada pasien dan karya%an yang sekurang8kurangnya menakup a) ketentuan

Etnografi Mengenai Tanggapan Masyarakat Desa Sopokomil Kecamatan Silima Punggapungga Dairi. Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat Atas

Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Pimpinan dan Anggota Komisi V yang saya hormati dan muliakan,.. Pak Sekjen, Pak Irjen dan Pak Kepala Badan SDM Kementerian

Forum for East Asia – Latin America Cooperation (FEALAC) dibentuk pada tahun 2001 atas prakarsa dari PM Singapura Goh Chok Tong yang dilatarbelakangi oleh peningkatan perhatian

Menurut penulis, setelah membaca beberapa teori tentang akad murabahah dan wakalah, serta memandang kemaslahatan yang dapat diambil dari pembiayaan ini, maka transaksi

DAFTAR PESERTA PROGRESS TEST II PERIODE OKTOBER - NOVEMBER 2013 SEMESTER GANJIL

 Instruksi untuk mendapatkan sejumlah Saham Baru hasil pelaksanaan HMETD ke dalam rekening khusus yang telah disediakan oleh KSEI. 4) Segera setelah BAE Perseroan