• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

5.1. Tipologi Permukiman sebagai Dasar dalam Implementasi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat

Setiap kawasan permukiman memiliki karakteristik tertentu, yang dapat memberikan implikasi pada pola hubungan dan partisipasi dalam pengelolaan sampah, baik dalam sistem yang sedang berjalan, maupun potensi partisipasinya dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Ruang sebagai faktor lingkungan fisik, tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kemasyarakatan dan interaksi sosial sebab ruang itu sendiri merupakan manifestasi dari masyarakat. Dari sudut pandang teori sosial, ruang adalah materi pendukung kegiatan kemasyarakatan yang selalu memiliki arti simbolik. Secara simultan seiring dengan berjalannya waktu, ruang membawa serta seluruh kegiatan tersebut, sehingga memberi warna pada ruang dan dengan itulah ruang menjadi gambaran sesungguhnya dari masyarakat. Berangkat dari hal tersebut, maka penyusunan tipologi permukiman sebagai bagian dari kajian ruang, sangat berkaitan erat dengan upaya mengembangkan partisipasi masyarakat yang sejalan dengan karakteristik dan bentuk interaksi sosial masyarakat dalam lingkungan permukiman. Melalui pendekatan yang spesifik berdasarkan ciri-ciri ruang dan pola interaksi masyarakat, diharapkan tingkat penerimaan masyarakat (social acceptability) dapat lebih baik dan kegiatan pengelolaan sampah yang berbasis pada partisipasi masyarakat, dapat berhasil diimplementasikan.

Analisis spasial sebagai bagian dari penyusunan tipologi permukiman dimaksudkan untuk menggolongkan permukiman ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki kisaran karakteristik yang sama. Hal ini dilakukan untuk memudahkan para pengambil keputusan dalam menetapkan program-program partisipatif yang sesuai dengan karakteristik permukiman. Aspek-aspek yang ditengarai mempengaruhi terbentuknya tipologi permukiman berkaitan dengan pola partisipasi dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah luas bangunan, keteraturan kawasan dan kepadatan ruang, infrastruktur pengelolaan sampah dan aspek partisipasi dalam pengelolaan sampah. Aspek lain yang penting adalah interaksi sosial yang merupakan faktor yang paling mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman,

(2)

74 sebab partisipasi dalam mengelola sampah permukiman merupakan kegiatan bersama, bukan bersifat individual, dan memerlukan jalinan komunikasi yang berkesinambungan. Keseluruhan faktor tersebut membentuk suatu tipologi tertentu yang menjadi ciri atau karakter pada masing-masing permukiman, khususnya potensi untuk mengembangkan sistem tertentu dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

5.1.1. Tipologi Permukiman Berdasarkan Luas Bangunan

Luas bangunan dapat menjadi salah satu indikator lapisan permukiman, yang menunjukkan permukiman lapisan bawah, lapisan menengah atau lapisan atas. Luas bangunan tertentu yang mendominasi suatu kawasan permukiman merupakan indikator yang kuat untuk menentukan lapisan permukiman tersebut. Hasil pemetaan berdasarkan luas bangunan di Kelurahan Pondok Kelapa, terlihat pada Gambar 10 berikut,

Gambar 10. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di Kelurahan Pondok Kelapa

Di Kelurahan Pondok Kelapa, terdapat empat tipe permukiman berdasarkan luas bangunan yang dominan pada satuan wilayah RW. Kawasan permukiman dengan luas bangunan 80m2-165m2 merupakan kawasan

(3)

permukiman yang dominan di kelurahan Pondok Kelapa, di samping luas bangunan 165m2-250m2. Secara keseluruhan, wilayah Kelurahan Pondok

Kelapa sebagian besar merupakan permukiman dengan luas bangunan sedang sampai tinggi. Permukiman dengan luas bangunan 250m2-300m2 sebagian

besar berada pada komplek perumahan yang dibangun oleh perusahaan pengembang (real estate), seperti komplek perumahan Pondok Kelapa Indah, sedangkan permukiman dengan luas bangunan 80m2-165m2 berada pada

perkampungan atau permukiman yang tidak teratur, dan sebagian berada pada komplek perumahan yang teratur tetapi relatif lebih padat. Pada Kelurahan Kramat Jati, perbedaan rata-rata luas bangunan di masing-masing RW tidak terlalu besar, sebab sebagian besar wilayahnya merupakan perumahan umum atau perkampungan. Hasil pemetaan berdasarkan luas bangunan di Kelurahan Kramat Jati, terlihat pada Gambar 11 berikut,

Gambar 11. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di Kelurahan Kramat Jati

Di Kelurahan Kramat Jati, hanya terdapat dua tipe permukiman berdasarkan luas bangunan yang dominan pada satuan wilayah RW. Kawasan permukiman dengan luas bangunan 80m2-165m2 merupakan kawasan

(4)

76 bangunan 165m2-250m2. Secara keseluruhan, wilayah Kelurahan Kramat Jati

sebagian besar merupakan perkampungan serta hanya sedikit yang merupakan komplek perumahan teratur. Sebagian besar permukiman di Kelurahan Kramat Jati merupakan permukiman yang padat dengan jalan lingkungan yang sempit. Menelusuri perkampungan di kelurahan tersebut dapat dilakukan dengan berjalan di gang-gang sempit. Beberapa jalan utama dari permukiman dapat dilalui dengan mobil, tetapi apabila berpapasan menjadi sangat sulit. Meskipun sebagian besar merupakan bangunan permanen, rumah-rumah dibangun mengikuti jalan sempit bahkan beberapa tidak memiliki akses jalan. Berlainan dengan Kelurahan Kramat Jati, pada Kelurahan Cibubur yang juga sebagian besar merupakan perumahan umum atau perkampungan, jalan lingkungan relatif lebih lebar dan ruang terbuka masih tersedia cukup banyak. Hasil pemetaan berdasarkan luas bangunan di Kelurahan Cibubur, terlihat pada Gambar 12 berikut,

Gambar 12. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di Kelurahan Cibubur

Di Kelurahan Cibubur, terdapat tiga tipe permukiman berdasarkan luas bangunan yang dominan pada satuan wilayah RW. Kawasan permukiman dengan luas bangunan 80m2-165m2 merupakan kawasan permukiman yang

(5)

165m2-250m2. Selain itu, di Kelurahan Cibubur juga terdapat permukiman

dengan luas bangunan besar yang berada di kompleks perumahan Bukit Permai di RW 011, tetapi karena tidak mencakup wilayah satu RW, maka setelah dirata-ratakan luas bangunannya berada dalam kisaran 165m2-250m2. Secara

keseluruhan, wilayah Kelurahan Cibubur sebagian besar merupakan perkampungan dan hanya sebagian kecil yang merupakan komplek perumahan.

5.1.2. Tipologi Permukiman Berdasarkan Keteraturan Kawasan

Keteraturan Kawasan merupakan suatu parameter yang didasarkan pada analisis visual dari data SIG, dengan mencermati tingkat keteraturan perumahan dengan tingkat aksesibilitasnya, yang digambarkan melalui lebar jalan di wilayah permukiman tersebut. Hasil penentuan tingkat keteraturan kawasan di Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 13 berikut,

Gambar 13. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di Kelurahan Pondok Kelapa

Berdasarkan tingkat keteraturan kawasan yang dianalisis secara visual dari data spasial serta lebar jalan lingkungan yang dominan, di Kelurahan Pondok Kelapa terdapat seluruh tipe dari enam tipe permukiman berdasarkan keteraturan kawasan, mulai dengan lingkungan yang tidak teratur dengan lebar

(6)

78 jalan kurang dari 1,5 m yang umumnya berupa gang sampai dengan permukiman lapisan atas yang teratur dengan lebar jalan lingkungan di atas tujuh meter, tertata baik dengan ruang terbuka hijau yang memadai. Tipe yang paling dominan adalah permukiman tidak teratur dengan lebar jalan lingkungan 2-5 m, yang umumnya merupakan perkampungan atau komplek perumahan yang relatif lebih padat dibandingkan dengan komplek perumahan lainnya.

Berdasarkan tingkat keteraturan kawasan yang dianalisis secara visual dari data spasial serta lebar jalan lingkungan yang dominan, di Kelurahan Kramat Jati terdapat satu tipe yang dominan dari empat tipe permukiman berdasarkan keteraturan kawasan, permukiman tidak teratur dengan lebar jalan lingkungan 2-5 m, yang umumnya merupakan perkampungan padat. Hasil penentuan tingkat keteraturan kawasan Kelurahan Kramat Jati dapat dilihat pada Gambar 14 berikut,

Gambar 14. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di Kelurahan Kramat Jati

Berdasarkan tingkat keteraturan kawasan yang dianalisis secara visual dari data spasial serta lebar jalan lingkungan yang dominan, di Kelurahan Cibubur terdapat satu tipe yang dominan dari enam tipe permukiman berdasarkan keteraturan kawasan, permukiman tidak teratur dengan lebar jalan lingkungan 2-5 m, yang umumnya merupakan perkampungan yang relatif padat.

(7)

Hasil penentuan tingkat keteraturan kawasan di Kelurahan Cibubur dapat dilihat pada Gambar 15 berikut,

Gambar 15. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di Kelurahan Cibubur

5.1.3. Tipologi Permukiman Berdasarkan Kepadatan Ruang

Rasio Kepadatan Penduduk dengan Ruang merupakan suatu parameter yang didasarkan pada rasio antara jumlah penduduk/ha dengan luas wilayah. Berdasarkan rasio jumlah penduduk terhadap luas ruang atau luas wilayah, maka di Kelurahan Pondok Kelapa rata-rata kepadatan penduduk kurang dari 200 jiwa/ha sehingga tergolong tingkat kepadatan rendah-sedang. Rasio Kepadatan Bangunan dengan Ruang merupakan suatu parameter yang didasarkan pada rasio antara luas bangunan dengan luas wilayah. Berdasarkan rasio luas bangunan terhadap luas ruang atau luas wilayah, sebagian besar wilayah permukiman di Kelurahan Pondok Kelapa memiliki rasio 1:2 sampai 1:4. Hal ini berarti di wilayah permukiman tersebut relatif masih cukup ruang, baik untuk ruang terbuka hijau, maupun pekarangan. Hasil penentuan tingkat kepadatan ruang di Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 16 berikut,

(8)

80

Gambar 16. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di Kelurahan Pondok Kelapa

Berdasarkan rasio jumlah penduduk terhadap luas ruang atau luas wilayah, maka di Kelurahan Kramat Jati rata-rata kepadatan penduduk 200-400 jiwa/hasehingga tergolong tingkat kepadatan cukup tinggi. Di wilayah Kelurahan Kramat Jati, rasio luas bangunan terhadap luas ruang atau luas wilayah sebagian besar memiliki rasio 1:1 sampai 1:3. Hal ini berarti di wilayah permukiman tersebut cukup padat sehingga baik untuk ruang terbuka hijau, maupun pekarangan, relatif terbatas. Hasil penentuan tingkat kepadatan ruang Kelurahan Kramat Jati dapat dilihat pada Gambar 17 berikut,

(9)

Gambar 17. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di Kelurahan Kramat Jati

Berdasarkan rasio jumlah penduduk terhadap luas ruang atau luas wilayah, maka di Kelurahan Cibubur rata-rata kepadatan penduduk kurang dari 200 jiwa/hasehingga tergolong tingkat kepadatan sedang. Berdasarkan rasio luas bangunan terhadap luas ruang atau luas wilayah, sebagian besar wilayah permukiman di Kelurahan Cibubur memiliki rasio 1:2 sampai 1:4. Hal tersebut berarti di wilayah permukiman tersebut relatif masih cukup ruang, baik untuk ruang terbuka hijau, maupun pekarangan. Hasil penentuan tingkat kepadatan ruang di Kelurahan Cibubur dapat dilihat pada Gambar 18 berikut,

(10)

82

Gambar 18. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di Kelurahan Cibubur

5.1.4. Tipologi Permukiman Berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah

Infrastruktur pengelolaan sampah terdiri atas fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Kebersihan baik di tingkat Provinsi DKI Jakarta maupun di setiap wilayah. Keberadaan TPS dan truk pengangkut sampai merupakan hal yang paling pokok untuk sistem pengelolaan yang berjalan saat ini. Secara umum, mekanisme pengelolaan sampah di DKI Jakarta masih menggunakan sistem pengumpulan-pengangkutan-pembuangan, sehingga peran TPS dan armada pengangkutan sampah semakin besar. Sebagian besar permukiman masih mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah dengan gerobak oleh petugas sampah yang dikelola RT/RW. Sampah tersebut kemudian dikumpulkan di TPS yang dapat berupa Depo dan Transito dengan kapasitas 30 m3, Kontainer dengan kapasitas 10 m3,

pool gerobak sampah dengan kapasitas 12 m3, bak terbuka dengan kapasitas 6 m3 dan

galvanis, sejenis kontainer kecil dengan kapasitas 9 m3 tetapi jumlahnya sudah

sangat sedikit di DKI Jakarta karena tidak dibuat lagi. Dari TPS tersebut, baru tanggung jawab penuh beralih kepada Dinas Kebersihan untuk mengangkutnya

(11)

ke TPA. Jenis TPS sebagai salah satu infrastruktur dalam pengelolaan sampah sangat bergantung pada lokasi permukiman. Depo dan Transito umumnya berada di jalan raya sebab digunakan untuk radius pelayanan yang lebih luas dibandingkan dengan kontainer dan bak terbuka yang umumnya berada di dalam wilayah permukiman. Pada permukiman yang padat dengan gang-gang sempit, selain menggunakan bak terbuka, juga terdapat pool gerobak sampah yang memiliki jadwal khusus untuk dilewati truk pengangkut sampah. Pada wilayah tertentu, pool gerobak sampah tersebut tidak berupa tempat khusus, tetapi areal di pinggir jalan tempat berkumpulnya gerobak para pengangkut sampah dari rumah ke rumah, yang menunggu datangnya truk pengangkut sampah. Setelah sampah diangkut, gerobak-gerobak pun disimpan di tempat masing-masing, yang umumnya berada di wilayah setiap RT. Secara garis besar, mekanisme pengangkutan sampah permukiman di wilayah Jakarta Timur diperlihatkan pada Gambar 19 berikut,

Gambar 19. Infrastruktur dan Mekanisme Pengangkutan Sampah Permukiman di Jakarta Timur

Di Kelurahan Pondok Kelapa terdapat empat depo, lima kontainer dan dua pool gerobak sampah sehingga totalnya berjumlah 11 TPS dengan total kapasitas 194m3 dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah yang hanya

mencapai 110m3. Meskipun ada RW yang masih kurang optimal pengumpulan

dan pengangkutan sampahnya, tetapi secara umum pengelolaan sampah di Rumah Tinggal Gerobak Sampah TPS : • Depo • Transito • Kontainer • Galvanis • Bak Terbuka Pool Gerobak Sampah Delay Truk Pengangkut Sampah Dinas Kebersihan TPA

(12)

84 wilayah Pondok Kelapa cukup baik dan terkoordinasi. Hal ini tidak lepas dari tipe permukiman yang sebagian besar merupakan permukiman yang teratur. Truk yang beroperasi sebanyak dua buah yang berukuran besar dan tiga buah yang berukuran kecil, sehingga total kapasitas truk 38m3 (truk besar = 10m3 dan truk

kecil = 6m3). Hal ini berarti ritasi atau jadwal truk pulang pergi harus lebih dari

dua kali sehari. Secara garis besar, tipe infrastruktur pengelolaan sampah di Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 20 berikut,

Gambar 20. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah di Kelurahan Pondok Kelapa

Di wilayah Kelurahan Pondok Kelapa, pada permukiman yang teratur (real estate), hampir seluruhnya memiliki TPS dengan pengambilan sampah cukup memadai, yaitu dua hari sekali oleh armada truk sampah dari Sub Dinas Kebersihan Jakarta Timur, sedangkan pengangkutan dari rumah ke rumah dilakukan setiap pagi yang dikoordinasikan oleh pengurus RW dengan menggunakan gerobak. Pada permukiman yang tidak teratur (perkampungan), sebagian besar tidak memiliki TPS atau menggunakan fasilitas TPS di wilayah lain sehingga jaraknya relatif jauh. Kondisi tersebut menimbulkan berbagai alternatif yang dilakukan oleh warga terhadap sampah yang dihasilkannya, sehingga kurang terkoordinasi. Pada permukiman yang tidak teratur, sebagian warga membayar secara sukarela petugas sampah yang mengambil sampah

(13)

dengan gerobak, sebagian warga lainnya membuang sendiri sampah di TPS, lahan kosong atau dibakar.

Di Kelurahan Kramat Jati terdapat lima kontainer dan sepuluh bak terbuka sehingga totalnya berjumlah 15 TPS dengan total kapasitas 110m3

dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah yang hanya mencapai 82m3.

Meskipun dari kapasitas jumlah TPS terlalu banyak, tetapi sebenarnya jumlah tersebut dinilai mencukupi sebab setiap RW memiliki TPS sendiri dan terdapat pasar serta sejumlah pertokoan yang berada di wilayah tersebut. Truk yang beroperasi hanya satu buah yang berukuran besar dan tiga buah yang berukuran kecil sehingga total kapasitas truk 28m3 (truk besar = 10m3 dan truk

kecil = 6m3). Hal ini berarti ritasi atau jumlah pengangkutan truk pulang pergi,

harus lebih dari dua kali sehari. Secara garis besar, tipe infrastruktur pengelolaan sampah di Kelurahan Kramat Jati dapat dilihat pada Gambar 21 berikut,

Gambar 21. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah di Kelurahan Kramat Jati

Di wilayah RW 04 Kelurahan Kramat Jati terdapat bak terbuka yang berada di jalan sempit sehingga menyulitkan truk sampah untuk mengangkut sampahnya. Hal ini menyebabkan sampah bertumpuk sampai keluar bak, sehingga mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar bak sampah tersebut.

(14)

86 Masyarakat melalui pengurus RW sudah melakukan berbagai upaya, antara lain melapor pada petugas Dinas Kebersihan DKI Jakarta, melarang warga RW lain untuk membuang sampah di sana dan menjajaki program pengomposan, tetapi sampai saat ini belum membuahkan hasil. Pada wilayah lain, rata-rata telah terkoordinasi cukup baik, bahkan untuk wilayah sepanjang Jalan Raya Bogor, setiap hari Lurah dan aparatnya terjun langsung untuk mengawasi pengangkutan sampah dan kebersihan khususnya di daerah pasar dan pusat pertokoan. Selain karena wilayah jalan raya tersebut merupakan jalan utama yang membatasi wilayah kelurahan, juga dalam rangka penilaian Adipura.

Di Kelurahan Cibubur terdapat satu depo, empat kontainer dan satu bak terbuka sehingga totalnya berjumlah enam TPS dengan total kapasitas 76m3

dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah yang mencapai 175m3. Kondisi

inilah yang menimbulkan adanya kawasan danau atau ”situ” yang menjadi tempat pembuangan sampah, padahal sangat potensial sebagai daerah resapan air. Selain itu, danau tersebut juga potensial untuk dijadikan tempat rekreasi sebab sampai saat ini telah dikenal dengan sebutan Kampung Air meskipun terlantar pengelolaannya.

Cara lain yang ditempuh warga dalam mengelola sampah adalah menggunakan lahan-lahan kosong yang dijadikan tempat pembuangan sampah. Lahan kosong tersebut digunakan ada yang tanpa sepengetahuan pemiliknya, ada pula pemilik lahan yang sengaja menyewakan lahannya untuk ditimbun dengan sampah sebagai pengganti tanah urug. Di wilayah Kelurahan Cibubur masih banyak perkampungan yang memiliki pekarangan atau lahan kosong, sehingga sebagian masyarakat ada yang masih membakar sampah-sampah mereka. Jumlah kendaraan angkut pun tidak memadai, yaitu hanya satu buah truk berukuran besar dan satu buah truk berukuran kecil. Secara garis besar, tipe infrastruktur pengelolaan sampah di Kelurahan Cibubur dapat dilihat pada Gambar 22 berikut,

(15)

Gambar 22. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah di Kelurahan Cibubur

5.1.5. Tipologi Permukiman Berdasarkan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan sistem yang berjalan saat ini, dapat dikaji dalam dua aspek, yaitu besarnya retribusi sampah yang bersedia dikeluarkan oleh warga dan tipe partisipasi warga dalam pengelolaan sampah yang sedang berjalan. Tingkat retribusi sampah merupakan karakteristik yang menjadi ciri suatu kawasan, khususnya tingkat RW dalam pengelolaan sampah. Parameter tersebut juga sekaligus menunjukkan kondisi ekonomi masyarakat secara umum dalam kawasan permukiman tersebut. Pengelolaan sampah di tingkat RW menunjukkan pola-pola tertentu yang secara umum ada dalam setiap wilayah permukiman di DKI Jakarta. Parameter tersebut juga sekaligus menunjukkan kondisi sosial masyarakat yang tercermin melalui bentuk partisipasi masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sampah.

Di Kelurahan Pondok Kelapa terdapat seluruh kisaran tingkat retribusi sampah yang berbeda-beda. Pada permukiman tidak teratur, umumnya tingkat

(16)

88 retribusi sampah antara Rp. 1.000,- sampai Rp. 10.000,- perbulan, sedangkan pada permukiman teratur, kisaran retribusi sampah antara Rp. 15.000,- sampai Rp. 25.000,- perbulan dan pada perumahan teratur (real estate) yang lebih besar, tingkat retribusi sampah di atas Rp. 25.000,- setiap bulannya. Di Kelurahan Pondok Kelapa, pada komplek perumahan menengah, pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah telah terkoordinasi dengan baik dan relatif mudah digerakkan menuju pemilahan dan daur ulang sampah. Hal ini antara lain disebabkan karena interaksi sosial yang relatif masih kuat dan tingkat pengetahuan serta tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Hal tersebut tercermin pula pada dua kelurahan lainnya. Hasil penentuan pola partisipasi di Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 23 berikut,

Gambar 23. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Pondok Kelapa

Pada Kelurahan Kramat Jati, karena sebagian besar merupakan perumahan tidak teratur dan karena lokasi TPS yang relatif dekat, maka partisipasi masyarakat sangat terbatas pada pembuangan sampah secara individu ke TPS dan koordinasinya rendah. Sebagian masyarakat membuang sendiri sampah mereka ke TPS terdekat pada saat keluar rumah, berangkat ke tempat bekerja, dan pada waktu lainnya. Hal tersebut terutama terjadi di permukiman yang dekat dengan jalan raya atau berada di belakang jalan raya, sebab lokasi TPS berada di sepanjang Jalan Raya Bogor. Pada permukiman

(17)

yang lokasinya lebih masuk ke dalam, pengangkut sampah dengan gerobak sampah mulai berperan. Meskipun demikian, warga yang membuang sampah sendiri umumnya tidak mau membayar petugas pengangkut sampah tersebut. Secara garis besar, pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kelurahan Kramat Jati dapat dilihat pada Gambar 24 berikut,

Gambar 24. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Kramat Jati

Di Kelurahan Cibubur, terjadi hal yang sama pada perumahan tidak teratur atau perkampungan, tetapi umumnya bukan karena lokasi TPS yang dekat, melainkan karena masih banyaknya lahan kosong sebagai tempat pembuangan dan pembakaran sampah. Pada daerah tersebut, besar retribusi sampah perbulan sangat bervariasi dan sering bersifat sukarela dengan cara memberikan secara langsung kepada petugas sampah yang mengangkut sampah dengan menggunakan gerobak sampah. Warga yang membuang sendiri sampahnya atau membakar sampah di lahan kosong, umumnya tidak membayar retribusi sampah. Oleh sebab itu, pada wilayah tersebut, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan partisipasi terbatas. Secara garis besar, pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kelurahan Cibubur dapat dilihat pada Gambar 25 berikut,

(18)

90

Gambar 25. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Cibubur

5.1.6. Tipologi Permukiman Berdasarkan Seluruh Parameter

Berdasarkan hasil overlay dari keseluruhan parameter yang diuji dalam menentukan tipologi permukiman, terdapat empat tipe yang dapat dibedakan dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Permukiman padat tidak teratur dengan luas bangunan kurang dari 40m2,

dengan infrastruktur pengelolaan sampah minimal dan tidak ada koordinasi, yang umumnya merupakan permukiman lapisan bawah.

2. Permukiman padat tidak teratur dengan luas bangunan 40m2-80m2, dengan

infrastruktur pengelolaan sampah yang kurang memadai dan tidak terkoordinasi dengan baik, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah bawah.

3. Permukiman padat teratur dengan luas bangunan 80m2-165m2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah yang cukup memadai dan telah terkoordinasi dengan baik serta mudah digerakkan untuk pemilahan sampah karena persepsi masyarakat telah cukup baik, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah.

(19)

4. Permukiman sedang teratur dengan luas bangunan 165m2-250m2, dengan

infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai dan telah terkoordinasi dengan baik serta mudah digerakkan untuk pemilahan sampah karena persepsi masyarakat cukup baik dengan tingkat pendidikan relatif tinggi, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah atas.

5. Permukiman tertata baik dengan ruang publik yang cukup dan luas bangunan di atas 250m2 serta infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai.

Meskipun demikian, partisipasi dalam pengelolaan sampah umumnya hanya sebatas kesediaan membayar retribusi sampah dalam jumlah yang relatif besar. Permukiman tersebut umumnya merupakan permukiman lapisan atas.

Pada lokasi penelitian hanya terdapat empat tipologi permukiman selain permukiman lapisan bawah seperti disebutkan di atas. Meskipun demikian, kajian secara kualitatif pada permukiman lapisan bawah dilakukan di dalam wilayah RW yang didalamnya terdapat kelompok rumah lapisan bawah, tetapi tidak memungkinkan untuk dilakukan analisis spasial sebab satuan terkecil untuk analisis spasial adalah RW. Lapisan permukiman seperti tersebut di atas mengacu pada pendapat Wirutomo et al. (2004) yang penekanannya pada luas bangunan, keteraturan wilayah permukiman dan tingkat pendapatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pemerintah Daerah Kotamadya Jakarta Timur, tidak ada permukiman elit kota yang berada di wilayah tersebut, hanya beberapa permukiman lapisan atas, antara lain di Cibubur dan Pondok Kelapa, sedangkan untuk permukiman lapisan bawah, terdapat di beberapa tempat, antara lain Malaka Sari, Klender dan Cipinang Muara.

Penentuan nilai penting dari setiap parameter dalam penyusunan tipologi permukiman dapat dilakukan dengan Multicriteria Decision Analysis, yang antara lain dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process/AHP (Malczewski, 2001). Hasil wawancara pakar dengan metode AHP yang menggunakan software Criterium Decision Plus, digunakan untuk menunjukkan nilai penting dari masing-masing parameter dalam menentukan tipologi permukiman berkaitan dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Hirarki dalam penentuan nilai penting tersebut dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek sosial sebagai level, sedangkan alternatifnya adalah kelima faktor analisis yang akan ditentukan nilai pentingnya. Hirarki tersebut dapat dilihat pada Gambar 26 sebagai berikut,

(20)

92

Gambar 26. Hirarki Nilai Penting dari Faktor Analisis pada Penentuan Tipologi Permukiman dalam Pengelolaan Sampah

Penentuan nilai penting kelima parameter tersebut, yaitu (1) Keteraturan kawasan; (2) Kepadatan ruang; (3) Infrastruktur pengelolaan sampah; (4) Luas bangunan dan (5) Partisipasi masyarakat, berdasarkan hasil wawancara pakar dengan metode AHP diperlihatkan pada Gambar 27 berikut,

Nilai Penting Parameter Tipologi Permukiman

0,433 0,279 0,134 0,091 0,063 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 1 2 3 4 5 Pa ra m e te r Nilai Penting Keterangan :

Parameter : (1) Keteraturan kawasan (2) Kepadatan ruang

(3) Infrastruktur pengelolaan sampah (4) Luas bangunan

(5) Partisipasi masyarakat

Gambar 27. Nilai Penting untuk setiap Parameter dalam Tipologi Permukiman Berdasarkan nilai penting tersebut, maka dapat dibuat model matematika sederhana dengan mengasumsikan nilai penting tersebut sebagai gradien dari

(21)

masing-masing parameter (Martin, 1991; Malczewski, 2001), sehingga bentuk persamaan matematikanya sebagai berikut,

Dengan : Y = Bobot Tipologi Permukiman dalam Pengelolaan Sampah X1 = Bobot Keteraturan kawasan

X2 = Bobot Kepadatan ruang

X3 = Bobot Infrastruktur pengelolaan sampah

X4 = Bobot Luas bangunan

X5 = Bobot Partisipasi masyarakat

Dari persamaan di atas terlihat bahwa dalam penentuan tipe permukiman, aspek partisipasi mempunyai nilai yang paling rendah, sebab sampai saat ini belum ada karakteristik partisipasi tertentu yang mencirikan suatu tipe permukiman tertentu. Dalam penentuan tipe permukiman, keteraturan kawasan dan kepadatan ruang masih menjadi faktor yang determinan. Penggolongan tipe permukiman dari seluruh parameter, dibuat berdasarkan nilai bobot Y minimum dan Y maksimum yang kemudian dikategorikan menjadi lima kelas dengan jarak yang sama pada rentang tersebut. Penetapan lima kelas merujuk pada pelapisan permukiman dalam masyarakat perkotaan (Wirutomo et al., 2004) dan pengamatan di lapangan. Hasil penghitungan rentang nilai, ditetapkan dari nilai terendah sampai dengan nilai tertinggi (1,34 sampai 6,54) yang kemudian dibagi menjadi lima kategori kelas tipe permukiman, seperti diperlihatkan pada Tabel 18 berikut,

Tabel 18. Rentang Nilai dalam Penentuan Tipologi Permukiman

No. Kelas Rentang Nilai Skor

1 Permukiman Lapisan Bawah 1,34 ≤ x < 2,38 1 2 Permukiman Lapisan Menengah Bawah 2,38 ≤ x < 3,42 2 3 Permukiman Lapisan Menengah 3,42 ≤ x < 4,46 3 4 Permukiman Lapisan Menengah Atas 4,46 ≤ x < 5,50 4 5 Permukiman Lapisan Atas 5,50 ≤ x < 6,54 5

Berdasarkan hasil akhir dari perhitungan di atas, maka penggolongan tipe permukiman pada Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 28 berikut,

(22)

94

Gambar 28. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Pondok Kelapa Pada Kelurahan Pondok Kelapa, terdapat empat tipe dari lima klasifikasi dalam tipologi permukiman, tanpa permukiman lapisan bawah. Permukiman lapisan atas terdapat pada perumahan real estate Pondok Kelapa Indah yang merupakan perumahan tertata baik dengan lebar jalan lebih dari tujuh meter dan memiliki ruang terbuka hijau berupa lapangan dan taman yang memadai. Permukiman lapisan menengah atas sebagian besar terdapat di komplek perumahan, baik kavling Pemerintah DKI Jakarta, komplek Bina Marga, maupun komplek perumahan lainnya. Permukiman lapisan menengah dan menengah bawah sebagian besar merupakan perkampungan yang tidak teratur yang berada di sekitar wilayah Kelurahan Pondok Kelapa. Meskipun pada permukiman yang tidak teratur juga terdapat rumah-rumah besar atau mewah, tetapi jumlahnya relatif kecil dan tersebar di wilayah perkampungan tersebut, bahkan dengan akses jalan yang kurang memadai.

Sebagian besar tipe permukiman di Kelurahan Kramat jati adalah permukiman lapisan menengah bawah, sebab sebagian besar wilayah kelurahan tersebut merupakan perkampungan yang tidak teratur, cukup padat dengan lebar jalan di dalam permukiman yang relatif sempit. Pada wilayah Kelurahan Kramat Jati, umumnya ruang terbuka hijau hampir tidak ada. Hal

(23)

tersebut merupakan hasil dari perkembangan perumahan yang pesat, sehingga hampir tidak ada lahan kosong yang tidak dimanfaatkan untuk membangun rumah tinggal. Hasil akhir overlay dari keempat faktor analisis di Kelurahan Kramat Jati terlihat pada Gambar 29 berikut,

Gambar 29. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Kramat Jati

Permukiman di Kelurahan Cibubur sebagian besar merupakan permukiman lapisan menengah dan menengah atas, sebab meskipun terdapat di permukiman yang bukan komplek perumahan, tetapi kondisi perumahan relatif lebih tertata dengan jalan di dalam permukiman yang cukup lebar dan ruang terbuka yang cukup luas. Pada kelurahan Cibubur juga terdapat permukiman lapisan atas yang sebagian besar berada di perumahan Bukit Permai yang juga merupakan perumahan mewah di wilayah Jakarta Timur. Hasil akhir overlay dari keempat faktor analisis untuk Kelurahan Cibubur terlihat pada Gambar 30 berikut,

(24)

96

Gambar 30. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Cibubur

Dari keempat tipe tersebut, terlihat bahwa aspek lingkungan fisik berkaitan erat dengan pola interaksi sosial yang secara tidak langsung membentuk pola partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah permukimannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat La Barre (1954) dan Hall (1966) bahwa manusia dengan lingkungan fisiknya, dalam hal ini lingkungan tempat tinggalnya, membentuk suatu lingkungan sosial budaya tertentu termasuk dalam perilaku terhadap sampah dan pengelolaan sampah permukiman. Demikian pula pendapat Castells (1997), yang menyatakan bahwa ruang bukan semata-mata gambaran dari suatu masyarakat, tetapi ruang adalah masyarakat itu sendiri. Interaksi sosial dalam suatu komunitas akan merujuk pada kepadatan ruang yang memungkinkan anggota dari komunitas tersebut untuk saling bertemu dan berinteraksi.

Pada kawasan permukiman lapisan atas, interaksi sosial relatif rendah dengan ciri bangunan fisik yang eksklusif dan lebih individualistik. Hal tersebut dicirikan dengan bentuk partisipasi yang hanya berupa pembayaran retribusi sampah saja, meskipun dengan nominal yang cukup besar. Partisipasi melalui retribusi sampah menunjukkan bentuk pengertian terhadap partisipasi yang amat sempit dan bersifat individualistik, tetapi kenyataan tersebut muncul pada

(25)

permukiman lapisan atas. Untuk bentuk partisipasi langsung, sebagian besar merasa bahwa hal tersebut tidak diperlukan dan telah cukup dengan membayar retribusi sebab selama ini tidak terjadi masalah yang berarti dan sampah terangkut dari lokasi permukiman tersebut. Kondisi kawasan yang tertata baik dan dilalui jalur jalan utama, menjadikan wilayah permukiman lapisan atas mendapat perhatian lebih dari petugas kebersihan. Secara visual, permukiman lapisan atas terlihat berbeda jauh dibandingkan dengan permukiman lapisan menengah, seperti terlihat pada Gambar 31 berikut,

Gambar 31. Permukiman Lapisan Atas di Sekitar Danau RW 011 Cibubur yang Berdampingan dengan Permukiman Lapisan Menengah di RW 09 Cibubur (Google Earth, 2007)

Pada kawasan permukiman lapisan menengah dan menengah atas, interaksi sosial relatif masih tinggi, sebab jarak antar rumah masih cukup dekat dan berjalannya forum-forum komunikasi dalam masyarakat, seperti pertemuan bulanan warga, PKK dan majlis ta’lim. Umumnya masyarakat pada permukiman lapisan menengah atas telah memiliki persepsi yang cukup tentang pengelolaan sampah dan berminat untuk berpartisipasi. Kendala terbesar pada permukiman lapisan menengah atas adalah bagaimana memulai program pemilahan dan penyesuaian sistem pengelolaan sampah dengan yang sudah berjalan saat ini.

(26)

98 Secara visual, permukiman lapisan menengah atas dapat dilihat pada Gambar 32 berikut,

Gambar 32. Permukiman Lapisan Menengah Atas di RW 04 Pondok Kelapa (Google Earth, 2007)

Pada kawasan permukiman lapisan bawah, interaksi sosial sangat tinggi dengan ciri bangunan yang padat, terbuka dan memiliki kebersamaan yang tinggi karena adanya perasaan senasib. Forum-forum komunikasi dalam masyarakat berjalan baik, tetapi yang menjadi kendala adalah pengetahuan yang terbatas tentang pengelolaan sampah yang baik, dan kemampuan ekonomi yang rendah, sehingga mereka mencari alternatif yang paling murah dalam mengelola sampah. Apabila tempat tinggal berdekatan TPS, mereka membuang sendiri sampahnya dan tidak membayar retribusi sampah. Demikian pula apabila masih ada lahan kosong untuk membuang dan atau membakar sampah. Pada kawasan permukiman yang merupakan kombinasi lapisan menengah bawah, maka golongan bawah menjadi penghubung interaksi sosial yang terjadi. Meskipun demikian, umumnya block leader berada pada lapisan yang lebih tinggi, dalam hal ini lapisan menengah, sehingga inisiatif untuk berpartisipasi dapat berasal dari lapisan tersebut. Secara visual, pada permukiman lapisan menengah bawah tampak terbatasnya ruang terbuka hijau dan padatnya permukiman, seperti dapat dilihat pada Gambar 33 berikut,

(27)

Gambar 33. Permukiman Lapisan Menengah Bawah yang Padat dan Tidak Teratur di RW 03 Kelurahan Kramat Jati (Google Earth, 2007) Kajian tipologi permukiman yang dikaitkan dengan pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman penting untuk mendukung pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Salah satu faktor penting dalam pengembangan partisipasi masyarakat adalah pola pendekatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Penyeragaman cara pengelolaan hanya akan menimbulkan kegagalan dalam implementasi program, seperti yang sering terjadi sampai saat ini. Oleh karena itu, melalui tipologi permukiman dan pola partisipasi masyarakat, diharapkan pemerintah daerah dapat memfasilitasi program yang lebih dapat diterima oleh masyarakat (social acceptability). Di samping itu, rumusan strategi dan mekanisme perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman dapat membantu penyusunan program secara partisipatif dengan melibatkan stakeholders yang sekaligus dapat berperan sebagai agents of change di masing-masing kawasan permukiman.

Dari kelima tipe permukiman tersebut, yang terdapat di wilayah kajian hanya empat tipe saja, yaitu tanpa permukiman Lapisan Bawah. Permukiman lapisan bawah secara spesifik dikaji di wilayah RW 01 Kelurahan Pondok Kelapa-Duren Sawit Jakarta Timur, dengan melakukan kajian kualitatif, sebab hanya sebagian kecil saja dari wilayah RW 01, bahkan tidak mencapai satu RT.

(28)

100 Keempat tipe permukiman tersebut menunjukkan karakteristik yang cukup spesifik, baik dari aspek fisik maupun pola interaksi sosial di dalam pengelolaan sampah permukiman. Permukiman lapisan menengah bawah yang ditandai dengan permukiman tidak teratur, cukup padat dan lebar jalan dalam permukiman sempit, menunjukkan tingkat partisipasi dalam bentuk retribusi yang sangat rendah dalam pengelolaan sampah permukiman. Pada tipe permukiman lapisan menengah bawah, koordinasi dalam pengelolaan sampah sangat rendah dan pada beberapa RT bahkan tidak ada. Umumnya masyarakat melakukan pembuangan sendiri, baik ke TPS terdekat, pinggir sungai atau danau, lahan kosong, dan melakukan pembakaran sendiri sampah yang dihasilkannya. Salah satu aspek positif pada tipe permukiman tersebut adalah mereka mau berpartisipasi dalam pemilahan sampah untuk sampah yang memiliki nilai ekonomi. Selain koran, kertas dan dus, beberapa wilayah dengan tipe permukiman Menengah Bawah, bahkan sudah mulai memilah kaleng bekas dan kemasan minuman karena memiliki nilai jual dan ada pemulung yang mengumpulkannya, atau mereka mengetahui lokasi lapak terdekat. Pada tipe tersebut, respon untuk melakukan upaya pemilahan dan daur ulang sampah dapat muncul apabila terdapat nilai ekonomi dari kegiatan pengelolaan sampah dan adanya satu atau beberapa orang block leader yang mampu memotivasi masyarakat untuk memulai upaya tersebut.

Pada permukiman lapisan menengah yang ditandai dengan permukiman yang sudah teratur dan tertata, lebar jalan di dalam permukiman sedang dan dapat dilalui oleh dua mobil berpapasan, dengan tingkat pendidikan Kepala Keluarga (KK) yang cukup tinggi, memperlihatkan partisipasi yang cukup tinggi dan lebih terkoordinasi dalam pengelolaan sampah serta memberikan respon yang positif terhadap rencana pemilahan dan daur ulang yang dimulai di tingkat rumah tangga. Oleh sebab itu, pada tipe permukiman lapisan menengah, masyarakat relatif mudah digerakkan siapapun pemimpin (Ketua RW dan perangkatnya) yang dipilih, sebab dasar partisipasi mereka adalah wawasan dan kepedulian terhadap lingkungan. Meskipun demikian, adanya block leader atau pemimpin/motivator dalam satu lingkungan kecil, tetap diperlukan untuk memberi motivasi dan menjaga agar kegiatan dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Pada permukiman lapisan menengah atas yang merupakan transisi ke arah permukiman lapisan atas, umumnya ditandai dengan lingkungan yang

(29)

sudah tertata baik dengan jalan yang lebar dan luas bangunan antara 165-250m2 masih menunjukkan tingkat partisipasi yang relatif tinggi, dengan

bertumpu pada keterlibatan para petugas kebersihan lingkungan untuk mengelola sampah. Meskipun tingkat pengetahuan, akses terhadap informasi, tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan mereka relatif tinggi, tetapi karena interaksi sosial di antara anggota masyarakat dalam permukiman tersebut relatif rendah, maka kemampuan dan motivasi mereka untuk turut memilah dan mendaur ulang sampah, relatif terbatas.

Pada permukiman lapisan atas, partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah lebih pada kesediaan mereka untuk membayar retribusi sampah dalam jumlah yang relatif tinggi, yaitu rata-rata di atas Rp. 25.000,- perbulan dibandingkan dengan permukiman menengah bawah yang retribusinya berkisar antara Rp. 2.000 – Rp. 5.000,- perbulan. Dengan permukiman yang memiliki jalan utama lebar, taman-taman lingkungan yang tertata dan ada pengelola yang bertugas khusus untuk itu, maka masyarakat lapisan atas umumnya hanya mengetahui hasil akhir proses karena telah membayar relatif besar untuk hal tersebut. Meskipun wawasan dan kepedulian mereka cukup tinggi, tetapi umumnya sangat rendah keterlibatan mereka secara langsung dalam pengelolaan sampah.

5.2. Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat

Persepsi dan sikap masyarakat terhadap sampah dan pengelolaan sampah permukiman sangat mempengaruhi perilaku dan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah di lingkungan masing-masing. Dari 170 responden yang diwawancarai dan mengisi kuesioner, terlihat bahwa tipe permukiman dan ketersediaan infrastruktur sampah sangat mempengaruhi perilaku responden dalam membuang sampah. Hal tersebut tergambar dari masih adanya pembuangan sampah ke lahan kosong, danau/situ dan saluran air, di samping pembakaran sampah akibat minimnya fasilitas tempat pengumpulan sampah sementara (TPS). Di samping itu, pola partisipasi yang terbentuk dan dikembangkan di setiap wilayah permukiman, sangat bergantung pada tipe permukimannya. Pada permukiman yang teratur, partisipasi dalam pengelolaan sampah lebih terkoordinasi dibandingkan dengan permukiman tidak teratur.

(30)

102

Hampir seluruh permukiman yang tidak teratur umumnya masih memiliki lahan kosong yang cukup luas, kecuali di Kelurahan Kramat Jati. Di samping itu, kemampuan ekonomi masyarakat relatif beragam. Hal tersebut terlihat pada rendahnya retribusi sampah perbulan yang dapat ditarik dari warga, yaitu berkisar antara Rp. 1.000,- sampai dengan Rp. 10.000,- bahkan sebagian besar warga yang membuang sampah sendiri karena lokasinya berdekatan dengan TPS, atau membakar sendiri sampahnya karena memiliki lahan kosong, tidak mau membayar retribusi sampah. Pada permukiman yang teratur, meskipun termasuk lapisan menengah-bawah, menengah, atau menengah atas, umumnya pengelolaan sampah sudah terkoordinasi dengan cukup baik dengan tingkat retribusi yang beragam per wilayah (RW) sesuai dengan kesepakatan dan tingkat pendapatan warganya.

Secara garis besar, hasil penelitian kuantitatif digambarkan oleh model persepsi, sikap, perilaku dan partisipasi melalui Path Analysis sesuai dengan teori awal yang dibangun. Path analysis yang dilakukan menggunakan delapan variabel bebas dan empat variabel terikat, hasilnya tidak diperoleh model yang cocok jika berdasarkan pada model dasar penelitian. Hal ini terindikasi dari nilai p-value yang sangat kecil yaitu sebesar 0,000. Nilai tersebut berada di bawah nilai minimal yang dipersyaratkan sebagai ukuran kecocokan model yaitu sebesar 0,050. Pada model pertama tersebut, nilai galat sangat besar (RMSEA=0,138), dan sebagian besar nilai korelasi antar variabel tidak berbeda nyata. Untuk itu dilakukan perubahan model sesuai dengan tahapan prosedur dalam software tersebut, sehingga terbentuk model kedua dan ketiga (Lampiran 2). Pada Model Kedua terdapat beberapa jalur yang dihilangkan sehingga model yang terbentuk menjadi lebih sederhana. tersebut mendapatkan nilai p-value sebesar 0,24232 dan nilai galat yang rendah yaitu 0,032. Masih pada model kedua terdapat beberapa variabel bebas, yang setelah dilakukan modifikasi, tidak memiliki garis pengaruh (jalur) ke variabel terikat manapun. Variabel Lingkungan Sosial (X5) ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Persepsi, demikian pula variabel Status Sosial (X7) yang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap Sikap. Oleh sebab itu, variabel-variabel tersebut dihilangkan untuk memperoleh model yang lebih mudah dan lebih sederhana, sehingga terbentuk model ketiga.

Model ketiga menampilkan delapan buah koefisien jalur yang diestimasi dalam model tersebut, dan keseluruhan koefisien memiliki nilai t-hitung yang

(31)

cukup tinggi, yaitu berada di atas nilai 1,96 yang menjadi batasan minimal signifikansi dari masing-masing nilai t-hitung. Model ketiga merupakan model yang paling baik dengan nilai galat sangat kecil (RMSEA = 0,000) dan nilai P sebesar 0,96490 yang jauh melebihi batas minimal yang dipersyaratkan, yaitu 0,050. Model tersebut sebenarnya sudah memiliki kesesuaian yang optimal dengan data, tetapi untuk memperjelas hubungan dan korelasi antar variabel, beberapa korelasi yang tidak signifikan dibuang dan tampilan bagan diperbaiki, sehingga hasilnya terlihat pada Gambar 34 sebagai berikut,

Keterangan : AI : Akses terhadap Informasi KY : Keyakinan PGT : Pengetahuan P : Persepsi PD : Pendidikan PR : Perilaku INC : Pendapatan S : Sikap PGL : Pengalaman PTS : Partisipasi

Gambar 34. Model Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman

Pada model di atas, terlihat bahwa faktor keyakinan memberikan kontribusi terbesar terhadap partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan secara signifikan memberikan kontribusi terhadap perilaku dalam mengelola sampah, sedangkan sikap seseorang terhadap pengelolaan sampah dipengaruhi oleh pengalaman individu

(32)

104

tersebut dalam merespon permasalahan pengelolaan sampah di lingkungannya. Pada model akhir tersebut, terlihat bahwa tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan secara signifikan dapat mempengaruhi perilaku dalam mengelola sampah, sedangkan sikap seseorang terhadap pengelolaan sampah dipengaruhi oleh pengalaman individu tersebut dalam merespon permasalahan pengelolaan sampah di lingkungannya. Tingkat pengetahuan dan aksesibilitas terhadap informasi, khususnya mengenai pemilahan sampah, secara signifikan mempengaruhi persepsi individu terhadap pengelolaan sampah. Tingkat pengetahuan dan akses terhadap informasi berkorelasi dengan keyakinan individu, dan faktor keyakinan kemudian secara signifikan memberikan kontribusi terhadap tingkat partisipasi individu.

Tingkat pengetahuan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap terbentuknya persepsi individu, sedangkan aksesibilitas terhadap informasi, khususnya mengenai pemilahan dan daur ulang sampah, secara signifikan memberikan kontribusi terhadap persepsi individu dan partisipasi dalam pengelolaan sampah. Persepsi ternyata tidak secara langsung berkontribusi terhadap partisipasi, tetapi mempengaruhi perilaku, baru kemudian perilaku berkontribusi terhadap partisipasi. Untuk itu, sejalan dengan penelitian Chu et al. (2004), salah satu faktor penting dalam mewujudkan partisipasi masyarakat adalah memperkuat keyakinan melalui sistem pengelolaan yang jelas dan dukungan penuh dari pemerintah daerah. Selain itu, diperlukan pula informasi yang memadai dan peningkatan pengetahuan masyarakat dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan sampah.

Sejalan dengan model tersebut, masyarakat berpendapat bahwa faktor persepsi dan sikap memegang peran penting sebagai kendala dalam meningkatkan partisipasi. Hal tersebut tergambar dari tingginya pendapat yang menyatakan bahwa faktor kurangnya kesadaran warga (56,47%) yang menjadi kendala utama, disamping faktor infrastruktur yang belum memadai dalam pengelolaan sampah seperti terlihat pada Tabel 19 berikut,

(33)

Tabel 19. Kendala Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Permukiman

No. Kendala dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat

Frekuensi Persentase (%)

1 Infrastruktur 3 1,76

2 Kesadaran warga kurang 96 56,47

3 Saat ini sudah cukup baik 28 16,47

4 Lainnya 19 11,18

5 Tidak tahu 24 14,12

Jumlah 170 100,00

Untuk itu, upaya yang paling penting dilakukan adalah penyuluhan mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang dilakukan secara rutin dan terus-menerus, disertai dengan pertemuan-pertemuan untuk selalu mengingatkan masyarakat dalam memilah sampah. Hal tersebut terlihat pada Tabel 20 berikut, Tabel 20. Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilahan Sampah

Permukiman

No. Upaya dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat

Frekuensi Persentase (%)

1 Penyuluhan Rutin 67 39,41

2 Pertemuan untuk selalu mengingatkan 54 31,76

3 Lainnya 26 15,29

4 Tidak tahu 23 13,53

Jumlah 170 100,00

Penyuluhan mengenai pemilahan dan daur ulang sampah sebagai suatu bentuk pemberian informasi yang lebih cenderung bersifat searah, ternyata masih menjadi terminologi yang umum di masyarakat. Meskipun demikian, yang dimaksud oleh masyarakat sebagai penyuluhan pada dasarnya memiliki arti yang lebih luas dan bentuknya tidak selalu merupakan pemberian informasi satu arah. Hal tersebut terungkap dari penilaian masyarakat bahwa yang dimaksud penyuluhan adalah penjelasan langsung maupun tidak langsung, diskusi, pelatihan dan lain-lain. Pertemuan rutin untuk mengingatkan warga dalam implementasi pemilahan dan daur ulang sampah merupakan bentuk motivasi yang harus secara intensif dan berkesinambungan dilakukan oleh block leader. Oleh sebab itu, informasi dan motivasi merupakan dua faktor yang sangat penting yang disadari oleh sebagian besar masyarakat sebagai prioritas utama upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah permukiman.

(34)

106

Informasi merupakan bagian penting untuk membentuk persepsi yang pada akhirnya akan membentuk perilaku tertentu, sebab persepsi merupakan faktor antara dalam mempengaruhi perilaku. Informasi mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang tepat sasaran adalah informasi yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat, bukan informasi yang bersifat umum dengan format yang umum pula, seperti bentuk iklan layanan masyarakat di media elektronik. Informasi mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang bersifat umum hanya diperlukan dalam proses sosialisasi program atau kebijakan yang akan diberlakukan, tetapi untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah, diperlukan bentuk informasi yang lebih khusus dan disesuaikan dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, sejalan dengan penentuan tipologi permukiman, maka perlu dirumuskan bagaimana bentuk informasi dan motivasi yang tepat untuk setiap tipe permukiman. Hal tersebut dapat melahirkan tipologi partisipasi yang relevan pada setiap tipe permukiman yang ada.

5.3. Studi Kasus Beberapa Kegiatan Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta

Pengelolaan sampah secara terpadu yang berbasis zero waste secara teoritis dapat mereduksi sampah sampai 97 persen, dengan sisa pembakaran berupa residu hanya tinggal tiga persen yang berbentuk abu dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (Bebassari, 2004). Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT telah melaksanakan pilot proyek di wilayah Kelurahan Rawasari, Jakarta Pusat. Dalam upaya penerapan sistem tersebut berbagai fasilitas disediakan, tetapi tidak melibatkan seluruh

stakeholders, sehingga pilot proyek tersebut tidak dapat berkembang dan tidak

bertahan lama karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat sekitarnya (Kholil, 2004). Saat ini, fasilitas tersebut hanya digunakan apabila ada kegiatan tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, seperti pelatihan dan

kunjungan1. Di setiap wilayah kotamadya di DKI Jakarta juga diimplementasikan

sistem pengelolaan sampah terpadu berbasis zero waste, yang merupakan

1

Berdasarkan wawancara dengan petugas Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat pada tanggal 20 April 2005. Pemilahan pun dilakukan di TPS dengan tenaga kerja yang dibayar dan selanjutnya dilakukan pengomposan, daur ulang dan pembakaran sampah dengan mini incinerator. Kegiatan ini hanya dilakukan pada waktu tertentu saja apabila diperlukan, misalnya pada saat kunjungan, pelatihan dan lain-lain.

(35)

program Pemerintah DKI Jakarta. Saat ini, program tersebut tidak berjalan efektif meskipun disertai dengan kegiatan penyuluhan dan program pendukung

lainnya2.

Di Kampung Banjarsari-Cilandak Barat, penerapan pemilahan dan daur ulang sampah memerlukan waktu 15 tahun sampai masyarakat mau terlibat dan terbiasa memilah sampah. Proses panjang tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai konsistensi dan partisipasi kognitif secara alamiah, diperlukan tahapan yang panjang mulai dari perubahan persepsi sampai berdampak pada perubahan perilaku dan terwujudnya partisipasi dalam bentuk kebersamaan dalam pengelolaan sampah permukiman. Meskipun demikian, pasang-surut motivasi masyarakat dialami di Kampung Banjarsari. Hal tersebut dapat diatasi karena adanya tokoh panutan yang secara sukarela terus memberikan motivasi

pada warga3. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wardhani (2004)

di Banjarsari yang menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam partisipasi masyarakat untuk memilah sampah adalah : 1) adanya tokoh panutan (block leaders atau informal leaders) yang melaksanakan ajakan secara langsung; 2) dukungan untuk komunitas dalam keikutsertaan pada program pengelolaan sampah; 3) adanya insentif berupa peralatan pengomposan dan pelatihan; 4) sikap atas masalah sampah dan pengelolaan sampah di lingkungan tempat tinggalnya. Hasil penelitian tersebut juga membuktikan pentingnya pemberian motivasi secara terus-menerus dan berkesinambungan. Oleh sebab itu, dalam merancang strategi partisipasi, perlu dirumuskan bagaimana pengelolaan kelembagaannya, terutama lembaga informal yang ada di masyarakat.

Berlainan dengan Kampung Banjarsari, kasus Kampung Rawajati sangat menarik berkaitan dengan peran block leader dan motivasi sebagian besar warganya, sehingga dalam waktu dua tahun mampu mewujudkan pemilahan sampah, padahal di Kampung Banjarsari hal tersebut dilakukan dalam waktu 15 tahun. Kenyataan ini telah memutus mata rantai opini yang selama ini tercipta, bahwa perubahan perilaku berkaitan dengan sampah dan pengelolaan sampah memerlukan proses yang lama layaknya perubahan sosial biasa. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa kondisi yang

2

Berdasarkan wawancara dengan petugas Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 29 Maret 2006.

(36)

108

menunjang perubahan yang relatif radikal tersebut, antara lain adalah sebagai

berikut4,

• Mereka memiliki impian (berupa sebuah gambar lingkungan suatu kota) yang dipajang untuk terus mengingatkan mereka akan impian tersebut.

• Adanya block leader yang menjaga dan memacu motivasi warga secara intensif dan berkesinambungan.

• Pada mulanya, memang bukan merupakan lingkungan yang individualistik, sehingga interaksi sosial relatif tinggi.

• Beberapa block leader memiliki waktu yang cukup untuk memberikan motivasi karena telah memasuki masa pensiun.

Faktor yang paling penting dalam pengelolaan sampah adalah kontinuitas dari mekanisme pengelolaan sampah serta adanya block leader yang berperan sebagai motivator. Kondisi yang kondusif tersebut terdapat di Kampung Rawajati, sehingga berhasil mewujudkan partisipasi warga untuk mengelola sampah secara mandiri. Hal tersebut terbukti dari berkurangnya jumlah TPS yang dioperasikan, yaitu dari delapan TPS menjadi hanya dua TPS saja, disamping berjalannya kegiatan pengomposan dan daur ulang kertas. Keberhasilan Rawajati terus berlanjut dan menjadi pusat pelatihan serta percontohan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Berbagai kalangan telah berkunjung ke sana, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Meskipun demikian, Pemerintah DKI Jakarta ternyata tidak mampu melakukan replikasi secara luas model tersebut dan umumnya hanya memberikan insentif bagi komunitas yang sudah berjalan, tetapi tidak mempersiapkan dan mendukung munculnya partisipasi pada komunitas-komunitas lainnya dalam jumlah banyak.

Secara umum, kisah keberhasilan beberapa wilayah di DKI Jakarta dalam pemilahan dan daur ulang sampah merupakan percontohan yang baik dalam menumbuhkan motivasi warga lainnya. Meskipun demikian, dilihat dari tingkat penambahan wilayah yang menerapkannya setiap tahun, maka keberhasilan tersebut hanya akan menjadi tempat percontohan dan studi banding bagi komunitas lainnya serta sulit direplikasi secara luas di tempat lain.

Rendahnya tingkat partisipasi sebagian besar masyarakat dalam pengelolaan sampah di perkotaan dapat terjadi sebagai hasil dari : a) kondisi

3

Berdasarkan wawancara dengan Harini Bambang Wahono pada tanggal 28 Maret 2006.

4

(37)

kemiskinan yang dimiliki warga; b) sikap masa bodoh; dan c) kombinasi dari keduanya. Kemiskinan dan sikap masa bodoh bila dilihat dari konteks corak kehidupan kota sebenarnya merupakan hasil dari kehidupan kota yang individualistik dan pentingnya peranan uang. Sebaliknya, kondisi kemiskinan dan sikap masa bodoh juga telah membantu memperkuat tradisi kehidupan kota yang bercorak individualistik, egosentrik, dan pentingnya peranan uang dalam kehidupan warga, sehingga pada dasarnya warga perkotaan terkotak-kotak dalam satuan individual rumah tangga (Suparlan, 2004). Meskipun analisis tersebut secara umum dianggap wajar, tetapi tidak selalu benar. Ada indikasi bahwa untuk permasalahan sampah, masyarakat lebih mudah untuk diajak berperan dalam mengatasi permasalahan sampah di lingkungannya, meskipun untuk golongan tertentu, perlu disertai dengan penyampaian aspek ekonomi atau keuntungan secara ekonomi sebagai bagian dari tawaran implementasi program. Hal tersebut sejalan dengan pengalaman salah satu perusahaan multinasional dalam memperkenalkan program pengelolaan sampah mandiri di DKI Jakarta, yang menilai bahwa dengan menyentuh rasa tanggung jawab dan keprihatinan warga terhadap kondisi lingkungan saat ini, ternyata respon mereka

cukup baik5. Meskipun demikian, dalam mewujudkan partisipasi masyarakat,

tidak cukup berhenti pada tahap menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab saja, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan dalam implementasinya.

5.4. Tipologi Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat

Partisipasi dalam pengelolaan sampah di permukiman memiliki dimensi yang luas. Pada komunitas di permukiman lapisan atas, umumnya motivasi dalam berpartisipasi berkaitan dengan kebutuhan akan lingkungan yang nyaman, segar, asri, serta untuk mempertahankan nilai properti itu sendiri, meskipun bentuknya adalah kesediaan membayar retribusi dalam jumlah yang relatif tinggi untuk mengelola sampah di permukiman tersebut. Dalam hal ini berlaku teori Maslow bahwa kebutuhan akan kenyamanan lingkungan dan

5

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hendra Seraja, Ketua Program Lingkungan Wilayah DKI

(38)

110

berperan dalam upaya pelestarian lingkungan merupakan bagian dari aktualisasi diri setelah kebutuhan mendasar lainnya terpenuhi. Pada komunitas di permukiman lapisan menengah, umumnya motivasi dalam berpartisipasi berkaitan dengan tumbuhnya kesadaran untuk berperan dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan, yang dalam pelaksanaannya masih memerlukan dukungan sehingga dapat menjembatani aktualisasi dari tumbuhnya kesadaran tersebut. Pada komunitas di permukiman lapisan bawah, umumnya sumberdaya relatif terbatas dan tidak adanya otoritas, sehingga mengakibatkan kepedulian masyarakat kurang terhadap kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Oleh sebab itu, motivasi perlu ditumbuhkan melalui pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Pendekatan melalui tawaran kegiatan ekonomi merupakan pendekatan yang sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat di permukiman lapisan bawah.

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan partisipasi dari Etzioni (1964) melalui tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pelancaran pengaruh merupakan konsep yang relevan untuk menyusun tipologi partisipasi. Selain itu, pada pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, setiap komunitas atau masyarakat dalam suatu wilayah permukiman dan kelembagaannya dapat disetarakan dengan sebuah organisasi, sebab sistem pemilahan sampah memerlukan peran block leader dan kebersamaan seluruh anggota masyarakat dalam wilayah atau komunitas tersebut. Pertimbangan lainnya adalah bahwa kelompok-kelompok masyarakat sebagai penggerak sistem pengelolaan sampah merupakan suatu bentuk kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang memiliki struktur dan fungsi tertentu, sehingga pendekatan komunitas permukiman tersebut sebagai sebuah organisasi sangat relevan. Untuk itu, dalam melakukan analisis tipologi partisipasi masyarakat, digunakan adaptasi teori Organisasi Kompleks dari Etzioni (1964) yang mengkaji partisipasi dari dua aspek, yaitu tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pelancaran pengaruhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari lima tipe permukiman yang diidentifikasi dan memiliki karakteristik tertentu, dapat dipetakan beberapa karakteristik yang merujuk pada pola partisipasi tertentu, seperti terlihat pada Tabel 21 berikut,

(39)

Tabel 21. Tipologi Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat berdasarkan Tipe Keterlibatan dan Pelancaran Pengaruh pada Beberapa Tipe Permukiman

Tipe Pelancaran Pengaruh

Tipe

Keterlibatan Normatif Remuneratif Koersif

Jumlah f (%) f (%) f (%) f (%) Moral 15 8,9 19 11,2 0 0 34 20,1 Kalkulatif 38 22,5 92 54,4 3 1,8 133 78,7 Alienatif 0 0 2 1,2 0 0 2 1,2 Jumlah 53 31,4 113 66,8 3 1,8 169 100,0 Keterangan : f = frekuensi

Dari Tabel 21 terlihat bahwa tipe keterlibatan kalkulatif dan moral merupakan dasar dalam peran serta masyarakat untuk mengelola sampah di lingkungan permukiman. Sejalan dengan penelitian Johnston dan Snizek (2007), melalui pendekatan kalkulatif dan moral, komitmen dan kinerja masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah akan meningkat, meskipun penekanannya bergantung pada tipe permukiman. Dari aspek pelancaran pengaruh, pendekatan remuneratif antara lain dengan tersedianya infrastruktur yang memadai atau insentif tertentu, merupakan tipe pendekatan yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman. Secara umum, dari tipe keterlibatan masyarakat yang bersifat kalkulatif dengan tipe pelancaran pengaruh remuneratif yang dominan dalam pengelolaan sampah permukiman, maka sistem yang tepat untuk diimplementasikan adalah

merit system.

Merit system merupakan sistem penilaian atas jasa atau hasil kerja, baik

perseorangan, maupun lembaga. Oleh sebab itu, dalam merit system dikenal adanya reward atau penghargaan dan punishment atau hukuman. Bentuk penghargaan dalam pengelolaan sampah dapat berupa insentif, antara lain dengan penurunan atau bahkan penghapusan retribusi sampah, juga penghargaan dalam bentuk peringkat dalam pengelolaan sampah di lingkungan permukiman. Program peringkat tersebut sudah mulai diperkenalkan di DKI Jakarta melalui kompetisi lingkungan ”Jakarta Green and Clean” yang pada tahun 2007 memasuki tahun kedua. Bentuk punishment dalam pengelolaan sampah di permukiman sampai saat ini belum ada. Yang telah berlaku adalah denda bagi orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya, terutama di

(40)

112

jalan-jalan dan tempat publik lainnya. Meskipun demikian, penegakan hukumnya masih jauh dari harapan. Kebijakan disinsentif di DKI Jakarta sampai saat ini masih merupakan wacana. Kebijakan disinsentif sebagai bentuk punishment dalam pengelolaan sampah tidak selalu berupa denda, tetapi dapat pula berupa tidak diangkutnya sampah apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan.

Secara garis besar, sebaran populasi tipologi partisipasi berdasarkan tipe keterlibatan dan tipe pelancaran pengaruhnya terlihat pada Gambar 35 berikut,

Gambar 35. Sebaran Populasi dalam Tipologi Partisipasi

Dari Gambar 35 terlihat bahwa tipe partisipasi yang dominan adalah kalkulatif dengan tipe pelancaran pengaruh yang dominan adalah pendekatan remuneratif. Secara garis besar, posisi masing-masing tipe partisipasi yang dominan pada setiap tipe permukiman terlihat pada Tabel 22 berikut,

Tabel 22. Tipe Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan sampah Permukiman

Tipe Partisipasi Jumlah

Tipe Permukiman Moral-Normatif Moral-Remuneratif Kalkulatif-Normatif Kalkulatif-Remuneratif Kalkulatif-Koersif f (%) f (%) f (%) f (%) f (%) f (%) Menengah Bawah 3 4,4 3 4,4 16 23,5 45 66,2 1 1,5 68 100 Menengah 7 8,9 9 11,4 17 21,5 44 55,7 2 2,5 79 100 Menengah Atas 0 0 5 41,7 4 33,3 3 25 0 0 12 100 Atas 5 62,5 2 25 1 12,5 0 0 0 0 8 100 Keterangan : f = frekuensi 0 2 4 6 0 2 4 6

Tipe Keterlibatan Masyarakat

Alienatif Normatif Moral Kuadran II Kuadran I Kuadran IV Kuadran III Koersif Ti pe P el an ca ra n P en ga ru h

(41)

Pada permukiman lapisan bawah, menengah bawah dan menengah, pola partisipasi yang sesuai adalah melalui pendekatan kalkulatif-remuneratif, dengan titik masuk yang berbeda dalam menjadikan kegiatan pengelolaan sampah sebagai kegiatan ekonomi. Secara umum, pendekatan kalkulatif-remuneratif pada permukiman lapisan bawah dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat, yang dapat dikaitkan dengan kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility), serta program pemerintah dalam pengadaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Pada lapisan menengah bawah, pendekatan partisipatif dalam arti sebenarnya dapat dilakukan, yaitu pendekatan kalkulatif-remuneratif, yang menekankan pada perhitungan secara ekonomi bagi masyarakat dengan tawaran fasilitas tertentu dari pemerintah. Pada permukiman lapisan menengah, umumnya wawasan dan kesadaran pada masyarakat lapisan tersebut telah cukup baik dan melalui motivasi dari block

leader yang tepat, maka kegiatan partisipatif dapat berjalan. Hal tersebut sejalan

dengan penelitian Meneses dan Palacio (2004) yang menyatakan bahwa peran

block leader merupakan faktor yang determinan dalam mendukung partisipasi

masyarakat dalam program pemilahan dan daur ulang sampah di permukiman. Pada permukiman lapisan menengah atas, pendekatan yang tepat adalah moral-remuneratif dengan titik masuk (entry point) pendekatan moral, sebab pada dasarnya mereka telah memiliki wawasan dan persepsi yang cukup, tetapi dalam batas tertentu masih memerlukan dukungan atau fasilitasi dari pemerintah daerah, baik dalam bentuk infrastruktur yang menunjang upaya pengelolaan sampah secara mandiri, maupun penguatan kelembagaan lokal berkaitan dengan upaya tersebut.

Pada permukiman lapisan lapisan atas, pendekatan moral-normatif sangat sesuai dalam mewujudkan partisipasi masyarakat. Pengelolaan sampah dapat didekati dengan pendekatan gaya hidup (life style) yang merupakan bagian dari wawasan dan tanggung jawab masyarakat dalam peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam. Gambaran lengkap setiap tipe partisipasi, tercantum dalam hasil analisis karakteristik dari kelima tipe dalam tipologi partisipasi tersebut seperti dapat dilihat pada Tabel 23 berikut,

(42)

114

Tabel 23. Karakteristik Tipologi Partisipasi

Karakteristik Tipologi Partisipasi berdasarkan Tipe Keterlibatan dan Tipe Pelancaran Pengaruh Normatif

Moral-Renumeratif

Kalkulatif-Normatif/ Remuneratif

Kalkulatif-Koersif

Moral dan tingkat kesadaran tinggi, dengan WTP tinggi dan tahu manfaatnya

Moral dan tingkat kesadaran cukup tinggi, tetapi perlu fasilitasi dalam implementasinya

Pendekatan ekonomi/insentif merupakan tawaran yang tepat untuk mengelola sampah disertai dengan fasilitasi dalam implementasinya Tingkat kesadaran rendah, memerlukan pendekatan khusus, tetapi tetap dengan tawaran kegiatan ekonomi

Keterangan : WTP adalah Willingness to Pay atau kesediaan untuk membayar, dalam hal ini retribusi sampah

Pengelolaan sampah permukiman yang dikaitkan dengan program CD perusahaan, dapat diarahkan pada kegiatan ekonomi masyarakat yang berbasis pada kegiatan daur ulang sampah. Sampah dapat dijadikan sebagai bahan baku kegiatan ekonomi, yang dikembangkan sesuai dengan potensi dan kapabilitas masyarakat tersebut. Menggaet perusahaan atau organisasi sebagai mitra dalam pengelolaan sampah permukiman di permukiman lapisan bawah selain mengatasi permasalahan sampah yang umumnya tidak terkelola dengan baik, juga sekaligus berfungsi sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat itu sendiri. Masyarakat akan mengembangkan partisipasinya secara kalkulatif dengan pertimbangan peningkatan ekonominya, tetapi memerlukan upaya khusus untuk proses penataan lingkungan dan sistem pengelolaan sampah. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar masyarakat pada lapisan bawah relatif lebih sulit diminta berperan dalam penataan lingkungan dan infrastruktur pengelolaan sampah karena alasan ekonomi. Pada permukiman lapisan bawah, perubahan sosial dalam pengelolaan sampah dapat dilakukan oleh pemerintah atau bekerjasama dengan pihak swasta melalui program CD perusahaan. Program CD tersebut dilakukan dengan pola Development for Community sejalan dengan pendekatan Lippitt et al. (1958) melalui change agents dan client

system.

CSR adalah konsep moral dan etis yang berciri umum, oleh karena itu pada tataran praktisnya harus dialirkan ke dalam program-program konkrit, dan salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah Pengembangan Masyarakat atau

(43)

(CD), dapat dilakukan perusahaan-perusahaan atas dasar sikap dan pandangan yang umumnya telah ada (inheren) dalam dirinya, yaitu sikap dan pandangan filantropis (kedermaan). Perusahaan umumnya memiliki sikap tersebut yang didasarkan atas dua motif sekaligus, yakni altruisme dan self interest (Achda, 2006). Melalui CSR, pemerintah dan swasta dapat bergandeng tangan untuk menjalankan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di wilayah permukiman lapisan bawah, sekaligus sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah perlu menjadikan pendekatan altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain) sebagai mainstream bagi perusahaan, sehingga mereka dapat berperan optimal dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas lingkungan melalui pendekatan ekonomi dengan meengembangkan industri daur ulang sampah yang dimulai dari sumbernya. Jika kemitraan ini terjalin baik, dapat dipastikan bahwa perusahaan dan masyarakat dapat berhubungan secara co-eksistensial, simbiosis-mutualistik dan kekeluargaan. Hal tersebut terbukti dalam program CSR PT. Unilever Indonesia, Tbk melalui Yayasan Unilever Indonesia, yang menginisiasi dan mengembangkan program pengelolaan sampah secara mandiri di perkotaan. Di DKI Jakarta, melalui program CSR dari PT. Unilever Indonesia, saat ini telah terbentuk wilayah binaan di 264 RT yang berada di 30 kelurahan, dengan 1.200 orang kader. Apabila sebagian besar perusahaan mengambil peran dalam pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut, maka akan terjadi percepatan yang signifikan dalam implementasinya di seluruh wilayah DKI Jakarta. Meskipun upaya PT. Unilever Indonesia relatif besar, tetapi dengan jumlah kelurahan di DKI Jakarta yang mencapai 2.600 kelurahan, maka perluasan gerakan mengelola sampah secara mandiri di permukiman akan berjalan lambat (Yayasan Unilever Peduli, 2007). Secara garis besar, perkembangan jumlah kader lingkungan dan wilayah binaan di tingkat RT dalam implementasi pengelolaan sampah melalui partisipasi masyarakat, diperlihatkan pada Gambar 36 berikut,

Gambar

Gambar 10. Peta Tipologi  Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di  Kelurahan Pondok Kelapa
Gambar 11. Peta Tipologi  Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di  Kelurahan Kramat Jati
Gambar 12. Peta Tipologi  Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di  Kelurahan Cibubur
Gambar 14. Peta Tipologi Permukiman  berdasarkan Keteraturan Kawasan di  Kelurahan Kramat Jati
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Kebutuhan system pencahayaan alami (matahari) dan buatan pada suatu ruangan harus di pertimbangkan karena berkaitan erat dengan kegiatan yang di

 Administrator melihat laporan (absensi) Menu laporan pada halaman registrasi Pilih menu dan klik laporan Aplikasi akan menampilkan

Penelitian ini akan menganalisis fungsi tari Keling dalam perayaan hari raya Idul Fitri di desa Singgahan dusun Mojo kecamatan Pulung kabupaten Ponorogo dengan menggunakan

Minyak kelapa murni, atau lebih dikenal dengan Virgin Coconut Oil (VCO), merupakan merupakan modifikasi proses pembuatan minyak kelapa sehingga

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penyajian laporan keuangan daerah, pemanfaatan sistem akuntansi daerah, aksesibilitas laporan keuangan daerah, dan penggunaan informasi

Setiap karya seni dan kebudayaan pada umumnya lahir dalam konteks tempat dan waktu tertentu yang diciptakan oleh individu-individu dalam suatu masyarakat. Sekalipun