DKI Jakarta (%)
5.3. Studi Kasus Beberapa Kegiatan Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta
5.3. Studi Kasus Beberapa Kegiatan Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta
Pengelolaan sampah secara terpadu yang berbasis zero waste secara
teoritis dapat mereduksi sampah sampai 97 persen, dengan sisa pembakaran berupa residu hanya tinggal tiga persen yang berbentuk abu dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (Bebassari, 2004). Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT telah melaksanakan pilot proyek di wilayah Kelurahan Rawasari, Jakarta Pusat. Dalam upaya penerapan sistem tersebut berbagai fasilitas disediakan, tetapi tidak melibatkan seluruh stakeholders, sehingga pilot proyek tersebut tidak dapat berkembang dan tidak bertahan lama karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat sekitarnya (Kholil, 2004). Saat ini, fasilitas tersebut hanya digunakan apabila ada kegiatan tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, seperti pelatihan dan kunjungan1. Di setiap wilayah kotamadya di DKI Jakarta juga diimplementasikan
sistem pengelolaan sampah terpadu berbasis zero waste, yang merupakan
1
Berdasarkan wawancara dengan petugas Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat pada tanggal 20 April 2005. Pemilahan pun dilakukan di TPS dengan tenaga kerja yang dibayar dan selanjutnya dilakukan pengomposan, daur ulang dan pembakaran sampah dengan mini incinerator. Kegiatan ini hanya dilakukan pada waktu tertentu saja apabila diperlukan, misalnya pada saat kunjungan, pelatihan dan lain-lain.
program Pemerintah DKI Jakarta. Saat ini, program tersebut tidak berjalan efektif meskipun disertai dengan kegiatan penyuluhan dan program pendukung lainnya2.
Di Kampung Banjarsari-Cilandak Barat, penerapan pemilahan dan daur ulang sampah memerlukan waktu 15 tahun sampai masyarakat mau terlibat dan terbiasa memilah sampah. Proses panjang tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai konsistensi dan partisipasi kognitif secara alamiah, diperlukan tahapan yang panjang mulai dari perubahan persepsi sampai berdampak pada perubahan perilaku dan terwujudnya partisipasi dalam bentuk kebersamaan dalam pengelolaan sampah permukiman. Meskipun demikian, pasang-surut motivasi masyarakat dialami di Kampung Banjarsari. Hal tersebut dapat diatasi karena adanya tokoh panutan yang secara sukarela terus memberikan motivasi pada warga3. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wardhani (2004) di Banjarsari yang menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam partisipasi masyarakat untuk memilah sampah adalah : 1) adanya tokoh panutan (block leaders atau informal leaders) yang melaksanakan ajakan secara langsung; 2) dukungan untuk komunitas dalam keikutsertaan pada program pengelolaan sampah; 3) adanya insentif berupa peralatan pengomposan dan pelatihan; 4) sikap atas masalah sampah dan pengelolaan sampah di lingkungan tempat tinggalnya. Hasil penelitian tersebut juga membuktikan pentingnya pemberian motivasi secara terus-menerus dan berkesinambungan. Oleh sebab itu, dalam merancang strategi partisipasi, perlu dirumuskan bagaimana pengelolaan kelembagaannya, terutama lembaga informal yang ada di masyarakat.
Berlainan dengan Kampung Banjarsari, kasus Kampung Rawajati sangat
menarik berkaitan dengan peran block leader dan motivasi sebagian besar
warganya, sehingga dalam waktu dua tahun mampu mewujudkan pemilahan sampah, padahal di Kampung Banjarsari hal tersebut dilakukan dalam waktu 15 tahun. Kenyataan ini telah memutus mata rantai opini yang selama ini tercipta, bahwa perubahan perilaku berkaitan dengan sampah dan pengelolaan sampah memerlukan proses yang lama layaknya perubahan sosial biasa. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa kondisi yang
2
Berdasarkan wawancara dengan petugas Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 29 Maret 2006.
menunjang perubahan yang relatif radikal tersebut, antara lain adalah sebagai berikut4,
• Mereka memiliki impian (berupa sebuah gambar lingkungan suatu kota) yang dipajang untuk terus mengingatkan mereka akan impian tersebut.
• Adanya block leader yang menjaga dan memacu motivasi warga secara
intensif dan berkesinambungan.
• Pada mulanya, memang bukan merupakan lingkungan yang individualistik,
sehingga interaksi sosial relatif tinggi.
• Beberapa block leader memiliki waktu yang cukup untuk memberikan
motivasi karena telah memasuki masa pensiun.
Faktor yang paling penting dalam pengelolaan sampah adalah
kontinuitas dari mekanisme pengelolaan sampah serta adanya block leader
yang berperan sebagai motivator. Kondisi yang kondusif tersebut terdapat di Kampung Rawajati, sehingga berhasil mewujudkan partisipasi warga untuk mengelola sampah secara mandiri. Hal tersebut terbukti dari berkurangnya jumlah TPS yang dioperasikan, yaitu dari delapan TPS menjadi hanya dua TPS saja, disamping berjalannya kegiatan pengomposan dan daur ulang kertas. Keberhasilan Rawajati terus berlanjut dan menjadi pusat pelatihan serta percontohan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Berbagai kalangan telah berkunjung ke sana, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Meskipun demikian, Pemerintah DKI Jakarta ternyata tidak mampu melakukan replikasi secara luas model tersebut dan umumnya hanya memberikan insentif bagi komunitas yang sudah berjalan, tetapi tidak mempersiapkan dan mendukung munculnya partisipasi pada komunitas-komunitas lainnya dalam jumlah banyak.
Secara umum, kisah keberhasilan beberapa wilayah di DKI Jakarta dalam pemilahan dan daur ulang sampah merupakan percontohan yang baik dalam menumbuhkan motivasi warga lainnya. Meskipun demikian, dilihat dari tingkat penambahan wilayah yang menerapkannya setiap tahun, maka keberhasilan tersebut hanya akan menjadi tempat percontohan dan studi banding bagi komunitas lainnya serta sulit direplikasi secara luas di tempat lain.
Rendahnya tingkat partisipasi sebagian besar masyarakat dalam pengelolaan sampah di perkotaan dapat terjadi sebagai hasil dari : a) kondisi
3
Berdasarkan wawancara dengan Harini Bambang Wahono pada tanggal 28 Maret 2006.
4
kemiskinan yang dimiliki warga; b) sikap masa bodoh; dan c) kombinasi dari keduanya. Kemiskinan dan sikap masa bodoh bila dilihat dari konteks corak kehidupan kota sebenarnya merupakan hasil dari kehidupan kota yang individualistik dan pentingnya peranan uang. Sebaliknya, kondisi kemiskinan dan sikap masa bodoh juga telah membantu memperkuat tradisi kehidupan kota yang bercorak individualistik, egosentrik, dan pentingnya peranan uang dalam kehidupan warga, sehingga pada dasarnya warga perkotaan terkotak-kotak dalam satuan individual rumah tangga (Suparlan, 2004). Meskipun analisis tersebut secara umum dianggap wajar, tetapi tidak selalu benar. Ada indikasi bahwa untuk permasalahan sampah, masyarakat lebih mudah untuk diajak berperan dalam mengatasi permasalahan sampah di lingkungannya, meskipun untuk golongan tertentu, perlu disertai dengan penyampaian aspek ekonomi atau keuntungan secara ekonomi sebagai bagian dari tawaran implementasi program. Hal tersebut sejalan dengan pengalaman salah satu perusahaan multinasional dalam memperkenalkan program pengelolaan sampah mandiri di DKI Jakarta, yang menilai bahwa dengan menyentuh rasa tanggung jawab dan keprihatinan warga terhadap kondisi lingkungan saat ini, ternyata respon mereka
cukup baik5. Meskipun demikian, dalam mewujudkan partisipasi masyarakat,
tidak cukup berhenti pada tahap menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab saja, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan dalam implementasinya.
5.4. Tipologi Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman