TPA/TPST
2.1. Permasalahan Sampah Perkotaan
Penanganan sampah sebagai pelayanan dasar pada banyak kota-kota di negara miskin dan di negara berkembang belum dapat ditanggulangi dengan baik. Pembuangan sampah yang tidak dikelola dengan baik, akan mengakibatkan masalah besar, karena penumpukan atau pembuangan sampah
secara sembarangan ke lahan terbuka (open dumping) mengakibatkan
pencemaran lahan, air dan udara. Pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara, sedangkan pembuangan sampah ke sungai akan mengakibatkan pencemaran air, kerusakan saluran drainase dan bahkan seringkali mengakibatkan banjir.
Terjadinya eksternalitas negatif pada lingkungan disebabkan karena dalam kenyataan masyarakat tidak hanya memproduksi barang dan jasa yang bersifat positif, tetapi juga barang negatif, yaitu barang dan jasa yang keberadaannya justru menimbulkan kerusakan. Ketidaknyamanan dan kerusakan yang menimpa lingkungan dan sumberdaya alam di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, terjadi karena adanya barang negatif (bads) yang diproduksi oleh manusia bersama dengan produksi barang positif dan jasa (Tietenberg, 1992). Barang negatif dapat berupa barang dan atau jasa yang keberadaannya justru menimbulkan kerusakan. Barang negatif tersebut dikenal dengan istilah sampah yang menyebabkan pemandangan tidak sedap, bau busuk dan menjadi media perkembangan penyakit menular/patogen. Sampah merupakan suatu masalah yang rumit untuk dipecahkan dan mempunyai dampak yang luas, terutama dalam kaitannya dengan masalah lingkungan. Jumlah timbulan sampah yang semakin lama semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah aktivitas manusia, memerlukan penanganan yang terpadu.
Sampah terutama dihasilkan oleh kegiatan manusia, juga kegiatan lain seperti industri, pertanian, pertambangan, perumahan, kontruksi, kawasan komersial dan kegiatan pembongkaran (Tchobanaglous et al., 1977). Pendapat lain mengemukakan, bahwa sampah bersumber dari kegiatan domestik, pertanian dan industri. Sampah domestik dan pertanian mempunyai jenis yang hampir sama, sementara sampah industri bergantung pada jenis industrinya (Saeni, 2003).
Sumber, jenis dan komposisi sampah merupakan elemen penting dalam
merancang dan melaksanakan pengelolaan sampah (Tchobanoglous et al,
1977). Saeni (2003) menyatakan bahwa pengelolaan sampah bertujuan mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak mengganggu dan menekan volume sehingga mudah diatur. Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak sangat serius, seperti : 1) Dampak buruk bagi kesehatan, 2) Kebakaran dan peledakan, 3) Kerusakan pada tanaman, 4) Bau yang tidak enak, 5) Pencemaran air tanah, udara dan pemanasan global.
Umumnya masyarakat tidak menghendaki lokasi penimbunan sampah dibuat dekat dengan tempat tinggal mereka, karena hal ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan warga setempat. Pencemaran sekunder yang ditimbulkan di lokasi penimbunan sampah adalah pencemaran air oleh lindi (leachate), gas yang ditimbulkan seperti metan, amonium, hidrogen sulfida dan karbon dioksida, bau yang tak sedap seperti bau sampah itu sendiri dan bau gas yang ditimbulkan dari proses dekomposisi, sebagai tempat hama dan vektor, adanya kebisingan dan getaran serta rentan terhadap kebakaran (Hadi, 2004).
Sampah padat perkotaan di seluruh dunia menimbulkan masalah terhadap lingkungan baik lokal maupun global. Tingginya pertumbuhan penduduk merupakan indikator meningkatnya jumlah sampah yang dihasilkan dalam suatu wilayah, terutama di perkotaan. Indonesia, khususnya Jakarta juga menghadapi masalah dalam menangani sampah perkotaan. Hal tersebut disebabkan kurangnya biaya untuk menerapkan sistem pengelolaan sampah, karena kebanyakan jalan keluar yang ditawarkan menggunakan teknologi tinggi dengan biaya yang besar (Bebassari, 2004).
Reduce (mengurangi), Reuse (penggunaan kembali) dan Recycle (daur ulang) adalah model yang relatif aplikatif dan dapat bernilai ekonomis
(Bebassari, 2004). Selain itu, konsep Replace (mengganti bahan baku produk
yang lebih ramah lingkungan) merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan dalam menghimbau industri untuk turut berperan dalam pengelolaan sampah (Rusmendro, 2003). Ketiga sistem pertama dapat diterapkan pada skala kawasan sehingga memperkecil kuantitas dan kompleksitas sampah. Model tersebut akan dapat memangkas rantai transportasi yang panjang dan beban anggaran yang berat. Selain itu, masyarakat secara bersama diikutsertakan dalam pengelolaan sampah yang sekaligus dapat menjadi salah satu kegiatan
ekonomi untuk mengatasi pengangguran. Konsep di atas memerlukan waktu panjang, dan tingkat kesulitannya lebih besar. Namun bila partisipasi masyarakat dioptimalkan, maka efektivitas pengelolaan sampah akan dapat dicapai.
Apabila sampah menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, maka penanganannya akan menjadi lebih ringan daripada hanya bertumpu pada pemerintah. Pemberian tanggung jawab pada struktur masyarakat untuk dapat menangani sampah secara terpadu akan mengurangi beban biaya, waktu dan pencemaran lingkungan. Jika masyarakat telah terlibat dalam pengelolaan sampah di lingkungannya, maka penerapan peraturan dalam pengelolaan sampah dan instrumen ekonomi dapat diberlakukan secara efektif. Besarnya retribusi misalnya, dapat dijadikan instrumen ekonomi melalui penerapan insentif apabila masyarakat memilah dan mendaur ulang sampah, atau berlaku sebagai disinsentif bagi yang tidak melakukan pemilahan dan daur ulang sampah.
Pengomposan sampah organik baik secara individual maupun kolektif, hasilnya (kompos) dapat dijadikan sebagai pupuk untuk pertanian hortikultura, terutama tanaman hias di wilayah perkotaan (city farming) atau dikembalikan ke wilayah pertanian di pedesaan (rural) maupun di wilayah pinggiran kota (peri urban). Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Departemen
Pekerjaan Umum di Bandung telah mengembangkan sistem individual
composting yang sangat baik dan efektif. Bila sampah organik dari satu keluarga yang terdiri dari lima jiwa dimasukkan ke dalam individual composting yang volumenya hanya 100 liter, maka dalam enam bulan tong pengomposan tersebut baru penuh. Bila sampah organik dipisahkan dan dikomposkan, maka tingkat reduksi (penurunan volume) akibat proses dekomposisi dapat mencapai 90 persen, padahal selama ini diduga bahwa tingkat reduksi hanya sekitar 40 persen (Utami, 2004).
Pengomposan sampah organik merupakan prioritas utama dalam pengelolaan sampah permukiman. Melalui kegiatan pengomposan tersebut diharapkan tidak hanya mengatasi masalah pencemaran lingkungan dan mengurangi beban pemerintah daerah, tetapi juga memberikan nilai ekonomi. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengembangan program pertanian perkotaan, atau alternatif lainnya adalah kompos tersebut dikembalikan ke wilayah peri-urban di sekeliling Jakarta yang merupakan
pemasok produk pertanian, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Untuk kawasan kota yang padat dan tidak tersedia lagi lahan, maka sistem pengomposan dapat dilakukan secara kolektif.
Pengelolaan sampah skala kawasan dapat juga menghasilkan industri rumah tangga, berupa kompos, kaleng atau plastik daur ulang, batako, pengisi plywood atau multipleks, kertas daur ulang dan sebagainya yang memiliki nilai ekonomi (BPPT, 2004). Pada dasarnya, teknologi daur ulang untuk produk-produk tersebut sudah tersedia, seperti teknologi yang telah dikembangkan oleh BPPT untuk skala industri kecil. Selanjutnya yang diperlukan adalah kajian
kelayakan dan pembentukan kelembagaan masyarakat (social institusion)
sebagai pelaku daur ulang sampah. Dalam hal ini, pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator yang memberikan akses informasi dan pembinaan terhadap masyarakat, atau sebagai stimulator yang memberikan bantuan untuk mendorong kegiatan daur ulang. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif dan disinsentif untuk mendorong percepatan daur ulang oleh masyarakat melalui peraturan atau kebijakan.
Di Indonesia, peran pemulung dalam daur ulang sampah sudah berlangsung sejak lama. Setiap pagi para pemulung keluar masuk daerah permukiman untuk mengambil barang-barang bekas yang dapat dimanfaatkan kembali. Di TPA Bantar Gebang Bekasi, ribuan pemulung mengambil sampah. Indonesia bahkan sering menjadi sasaran pembuangan barang bekas (sampah) dari negara industri maju. Dengan kondisi tersebut sebenarnya Indonesia sudah memiliki infrastruktur daur ulang sampah, hanya selama ini sistemnya kurang terorganisasi dengan baik dan kurang manusiawi. Bila sampah organik dipisahkan dan dikompos tersendiri maka sisanya yang terdiri atas sampah plastik, kertas, gelas, besi dan lain-lain, dapat dikumpulkan secara terorganisasi rapi dan barang-barang tersebut dapat dijadikan bahan baku industri. Agar pemulung tidak menjadi penganggur, tapi malah sebaliknya martabatnya meningkat, maka para pemulung perlu diwadahi melalui sistem organisasi yang sesuai, melalui pendekatan sosial sehingga mereka dapat bekerja lebih terorganisasi, sehat dan terhomat (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2004).
Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility/
EPR) sangat terkait dengan konsep Replace (Rusmendro, 2003). EPR adalah
suatu pendekatan kebijakan yang dapat diterapkan untuk mendorong daur ulang sampah, dengan meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan
kemasannya. Kebijakan di atas memberikan insentif kepada mereka untuk mendesain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Meskipun demikian, EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau diimplementasikan, sebab sampai saat ini baru diprioritaskan untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun serta produk yang bermasalah. Manajemen ekoefisiensi perlu diterapkan pada industri dengan Manajemen Faktor Empat, yaitu bahan baku yang bersumber dari alam dikurangi setengahnya (faktor nilai manfaat adalah dua kali) dan mentransformasikan bahan-bahan baku tersebut menjadi produk dengan nilai tambah dua kalinya (faktor nilai tambah dua kali). Dengan demikian, nilai tambah manfaat selanjutnya adalah empat kalinya (Gumbira-Sa’id, 2003). Salah satu bentuk transformasi adalah daur ulang, dan apabila produsen telah menerapkan hal tersebut, maka industri tersebut telah berperan dalam EPR melalui manajemen ekoefisiensi.
Pengelolaan sampah yang tidak terpusat, melainkan tersebar di setiap wilayah, dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain: (a) jenis kegiatan daur ulang disesuaikan dengan potensi wilayah; (b) biaya transportasi dan pengumpulan sampah rendah; (c) pemerataan kegiatan ekonomi untuk mengatasi pengangguran; dan (d) pencemaran akibat air sampah dan bau pun dapat ditekan ke titik yang terendah, karena kuantitas sampah pada kawasan yang lebih sempit, relatif kecil dan komposisinya belum kompleks.