• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Perencanaan Sosial dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat berbasis Masyarakat

DKI Jakarta (%)

5.5. Strategi Perencanaan Sosial dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat berbasis Masyarakat

Perencanaan pengelolaan sampah di DKI Jakarta sepuluh tahun ke depan akan diarahkan pada konversi sampah menjadi energi listrik melalui proses anaerobik dari sampah organik menjadi gas metan, yang kemudian diubah menjadi karbondioksida. Sistem tersebut sebenarnya sangat potensial sebab disamping menghasilkan energi listrik, perubahan metan sampah menjadi

CO2 yang potensi pemanasan globalnya 1/20 dari metan, dapat dimanfaatkan

untuk melakukan perdagangan karbon dalam kerangka Protokol Kyoto (Soemarwoto, 2006). Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kelayakan dan efektivitas sistem tersebut memerlukan dukungan partisipasi masyarakat terutama dalam pemilahan sampah organik dan anorganik.

Kendala dalam mewujudkan partisipasi masyarakat untuk mengelola sampah mulai dari sumbernya adalah belum adanya persamaan persepsi dan sikap dalam pengelolaan sampah, sehingga perilaku yang muncul belum sesuai dengan model partisipasi yang akan diimplementasikan. Dalam persepsi masyarakat, kendala tersebut disebut sebagai ‘kesadaran warga kurang’.

Kesadaran (awareness) tersebut lebih merujuk pada persepsi dan sikap

masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Persepsi dan sikap merupakan dua variabel antara yang mempengaruhi perilaku, sehingga perubahan perilaku memerlukan upaya perubahan persepsi dan sikap terlebih dahulu. Perubahan perilaku memerlukan waktu dan upaya yang cukup intensif, sehingga untuk mencapainya dalam waktu yang lebih singkat diperlukan perencanaan yang sesuai. Perencanaan dalam perubahan sosial adalah persoalan yang sering

ditafsirkan juga sebagai proses perubahan yang direkayasa atau social

engineering. Namun, pemahaman social engineering yang sangat mendegradasi masyarakat sebagai obyek sering dihindari dalam konteks tersebut. Oleh karena itu, perubahan berencana perlu mendapatkan pemahaman yang proporsional dan kontekstual, mulai dari pengertiannya sendiri, bagaimana hal itu dilakukan dan falsafah-falsafah apa yang melandasi konsep tersebut.

Mengacu pada Lippitt et. al. (1958), perubahan berencana dalam mewujudkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan dalam dua fase, yaitu : 1) fase pengembangan kebutuhan untuk perubahan dan, 2)

fase pembentukan hubungan untuk perubahan (change agents and client

system). Strategi tersebut sesuai untuk permukiman lapisan bawah yang memerlukan bantuan dari luar dalam penataan lingkungan dan sistem pengelolaan sampahnya. Pada fase pertama, perlu diperhatikan lebih dulu dari mana kebutuhan untuk berubah itu berasal, karena hal tersebut menentukan terbentuknya titik awal asosiasi antara sistem klien dan agen peubahnya. Agen peubah dapat berasal dari pemerintah daerah, pihak swasta, perguruan tinggi atau LSM, sehingga proses tersebut harus menjadi bagian yang integral dengan program pemberdayaan masyarakat. Faktor yang perlu diperhatikan dalam fase kedua adalah analisis kapasitas klien untuk menerima dan menggunakan bantuan agen, apakah motivasi dibalik permintaan bantuan (untuk kepentingan pembentukan kekuasaan kelompok tertentu atau untuk kebaikan seluruh anggota kelompok), serta bagaimana kesiapan sumberdaya dan motivasi klien,

membentuk harapan yang sama atas hubungan perubahan tersebut (Lippitt et

al., 1958).

Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dapat ditentukan melalui pendekatan tipologi permukiman. Keberhasilan pengelolaan sampah permukiman tidak hanya ditentukan oleh kebijakan pemerintah saja, tetapi ditentukan juga oleh tingkat keterlibatan masyarakat dalam seluruh tahap

kegiatan. Meminjam istilah Wirutomo6, dalam konsep pemberdayaan

masyarakat, bukan masyarakat yang diberi penekanan harus berpartisipasi, tetapi bagaimana program pemberdayaan tersebut dapat beradaptasi dengan kondisi sosial masyarakat sehingga partisipasi masyarakat terwujud optimal. Oleh karena itu, dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, yang diperlukan adalah pola partisipasi yang sesuai dengan kondisi masyarakat,

sehingga dapat diterima (socially acceptable) dan diimplementasikan oleh

masyarakat itu sendiri.

Pada permukiman lapisan menengah dan lapisan atas, terdapat perbedaan pendekatan dengan permukiman lapisan bawah. Adanya agen

6

Pernyataan P. Wirutomo pada saat Ujian Terbuka Program Doktor PSIL UI, Jakarta 5 Agustus 2006.

peubah yang berasal dari luar semakin tidak diperlukan pada lapisan permukiman yang lebih tinggi. Pada permukiman lapisan menengah, umumnya telah memiliki persepsi yang baik terhadap pengelolaan sampah disertai dengan tingkat kesadaran yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, fasilitasi dari pemerintah daerah diperlukan untuk mendukung dan menumbuhkan partisipasi masyarakat sesuai dengan tujuan perubahan (paradigma baru) dalam pengelolaan sampah pada sumbernya, dalam hal ini permukiman.

5.5.1. Tipologi Otoritas dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat

Dalam setiap tipe partisipasi, peran pemerintah sangat besar sebagai fasilitator dan pengelola sampah kota. Meskipun demikian, peran pemerintah idealnya lebih cenderung pada penyiapan infrastruktur, landasan hukum dan pengelolaan sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dilihat pula tipologi otoritas sebagai bagian dari peran pemerintah dalam pengelolaan sampah kota. Tipologi otoritas diperlukan untuk menghindari generalisasi dalam kebijakan pengelolaan sampah, sebab setiap karakteristik kawasan memerlukan implementasi kebijakan yang berbeda (Fukuyama, 2007). Berkaitan dengan pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, peran pemerintah dalam pengelolaan kelembagaan sebagai pendukung pastisipasi masyarakat relatif rendah dibandingkan dengan peran pemerintah dalam pengembangan infrastruktur dan penegakan hukum. Peran negara, dalam hal ini pemerintah

daerah, masih dominan (intermediate function) sebagai pengelola sampah,

meskipun dalam implementasinya tetap perlu memberikan ruang bagi peran masyarakat, sehingga strateginya adalah penguatan kelembagaan (Fukuyama, 2004). Penguatan kelembagaan masyarakat pada dasarnya akan semakin meningkatkan kekuatan institusi negara dan semakin membatasi atau mengurangi fungsi negara. Kondisi umum yang terjadi di negara berkembang

memperlihatkan lingkup (scope) fungsi negara yang tinggi, ditandai dengan

diperlukannya peran yang besar dari aparat pemerintah untuk membuat dan menegakkan hukum dan kebijakan yang berlaku. Di sisi lain, kekuatan institusi negara relatif rendah dan tidak efektif, sehingga dalam bagan yang dikembangkan oleh Fukuyama (2004), negara berkembang termasuk Indonesia

berada padai kuadran IV. Upaya yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah mengarahkan otoritas negara, dalam hal ini pemerintah daerah, menjadi berada pada kuadran I, sehingga terjadi kondisi yang kondusif bagi pengembangan partisipasi masyarakat.

Pada setiap tipe permukiman, diperlukan penguatan kelembagaan masyarakat dan kebijakan yang spesifik sesuai dengan potensi dan karakteristik masing. Perbedaan bentuk penguatan kelembagaan pada masing-masing tipe permukiman secara garis besar didasarkan atas perbedaan mekanisme pengelolaan sampah dan jenis infrastruktur yang tersedia. Meskipun demikian, pada intinya adalah upaya mengurangi lingkup fungsi pemerintah daerah dengan memperbesar inisiatif dari masyarakat sendiri, dan upaya meningkatkan kekuatan institusi pemerintah daerah dengan menigkatkan koordinasi dan efektivitas dinas-dinas atau instansi yang berkaitan dengan pengelolaan sampah. Secara umum, arah strategi pengelolaan sampah berdasarkan tipologi otoritas, diperlihatkan pada Gambar 37 sebagai berikut,

Gambar 37. Arah Strategi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat sesuai

dengan Tipologi Otoritas

Pemerintah daerah harus dapat berperan sebagai agen peubah dalam pembangunan. Landasan utama bagi agen peubah adalah tanggung jawab bersama dalam mewujudkan pembangunan sebagai kebebasan dalam perspektif pembebasan dari kemiskinan dan hak berpendapat serta peningkatan kualitas hidup (Sen, 1999). Pengelolaan sampah merupakan bagian yang tidak