• Tidak ada hasil yang ditemukan

DKI Jakarta (%)

5.1. Tipologi Permukiman sebagai Dasar dalam Implementasi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat

5.1.6. Tipologi Permukiman Berdasarkan Seluruh Parameter

Berdasarkan hasil overlay dari keseluruhan parameter yang diuji dalam menentukan tipologi permukiman, terdapat empat tipe yang dapat dibedakan dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Permukiman padat tidak teratur dengan luas bangunan kurang dari 40m2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah minimal dan tidak ada koordinasi, yang umumnya merupakan permukiman lapisan bawah.

2. Permukiman padat tidak teratur dengan luas bangunan 40m2-80m2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah yang kurang memadai dan tidak terkoordinasi dengan baik, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah bawah.

3. Permukiman padat teratur dengan luas bangunan 80m2-165m2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah yang cukup memadai dan telah terkoordinasi dengan baik serta mudah digerakkan untuk pemilahan sampah karena persepsi masyarakat telah cukup baik, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah.

4. Permukiman sedang teratur dengan luas bangunan 165m2-250m2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai dan telah terkoordinasi dengan baik serta mudah digerakkan untuk pemilahan sampah karena persepsi masyarakat cukup baik dengan tingkat pendidikan relatif tinggi, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah atas.

5. Permukiman tertata baik dengan ruang publik yang cukup dan luas bangunan

di atas 250m2 serta infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai.

Meskipun demikian, partisipasi dalam pengelolaan sampah umumnya hanya sebatas kesediaan membayar retribusi sampah dalam jumlah yang relatif besar. Permukiman tersebut umumnya merupakan permukiman lapisan atas.

Pada lokasi penelitian hanya terdapat empat tipologi permukiman selain permukiman lapisan bawah seperti disebutkan di atas. Meskipun demikian, kajian secara kualitatif pada permukiman lapisan bawah dilakukan di dalam wilayah RW yang didalamnya terdapat kelompok rumah lapisan bawah, tetapi tidak memungkinkan untuk dilakukan analisis spasial sebab satuan terkecil untuk analisis spasial adalah RW. Lapisan permukiman seperti tersebut di atas mengacu pada pendapat Wirutomo et al. (2004) yang penekanannya pada luas bangunan, keteraturan wilayah permukiman dan tingkat pendapatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pemerintah Daerah Kotamadya Jakarta Timur, tidak ada permukiman elit kota yang berada di wilayah tersebut, hanya beberapa permukiman lapisan atas, antara lain di Cibubur dan Pondok Kelapa, sedangkan untuk permukiman lapisan bawah, terdapat di beberapa tempat, antara lain Malaka Sari, Klender dan Cipinang Muara.

Penentuan nilai penting dari setiap parameter dalam penyusunan tipologi permukiman dapat dilakukan dengan Multicriteria Decision Analysis, yang antara lain dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process/AHP (Malczewski, 2001). Hasil wawancara pakar dengan metode AHP yang menggunakan

software Criterium Decision Plus, digunakan untuk menunjukkan nilai penting dari masing-masing parameter dalam menentukan tipologi permukiman berkaitan dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Hirarki dalam penentuan nilai penting tersebut dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek sosial sebagai level, sedangkan alternatifnya adalah kelima faktor analisis yang akan ditentukan nilai pentingnya. Hirarki tersebut dapat dilihat pada Gambar 26 sebagai berikut,

Gambar 26. Hirarki Nilai Penting dari Faktor Analisis pada Penentuan Tipologi Permukiman dalam Pengelolaan Sampah

Penentuan nilai penting kelima parameter tersebut, yaitu (1) Keteraturan kawasan; (2) Kepadatan ruang; (3) Infrastruktur pengelolaan sampah; (4) Luas bangunan dan (5) Partisipasi masyarakat, berdasarkan hasil wawancara pakar dengan metode AHP diperlihatkan pada Gambar 27 berikut,

Nilai Penting Parameter Tipologi Permukiman

0,433 0,279 0,134 0,091 0,063 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 1 2 3 4 5 Pa ra m e te r Nilai Penting Keterangan :

Parameter : (1) Keteraturan kawasan (2) Kepadatan ruang

(3) Infrastruktur pengelolaan sampah (4) Luas bangunan

(5) Partisipasi masyarakat

Gambar 27. Nilai Penting untuk setiap Parameter dalam Tipologi Permukiman

Berdasarkan nilai penting tersebut, maka dapat dibuat model matematika sederhana dengan mengasumsikan nilai penting tersebut sebagai gradien dari

masing-masing parameter (Martin, 1991; Malczewski, 2001), sehingga bentuk persamaan matematikanya sebagai berikut,

Dengan : Y = Bobot Tipologi Permukiman dalam Pengelolaan Sampah X1 = Bobot Keteraturan kawasan

X2 = Bobot Kepadatan ruang

X3 = Bobot Infrastruktur pengelolaan sampah X4 = Bobot Luas bangunan

X5 = Bobot Partisipasi masyarakat

Dari persamaan di atas terlihat bahwa dalam penentuan tipe permukiman, aspek partisipasi mempunyai nilai yang paling rendah, sebab sampai saat ini belum ada karakteristik partisipasi tertentu yang mencirikan suatu tipe permukiman tertentu. Dalam penentuan tipe permukiman, keteraturan kawasan dan kepadatan ruang masih menjadi faktor yang determinan. Penggolongan tipe permukiman dari seluruh parameter, dibuat berdasarkan nilai bobot Y minimum dan Y maksimum yang kemudian dikategorikan menjadi lima kelas dengan jarak yang sama pada rentang tersebut. Penetapan lima kelas merujuk pada pelapisan permukiman dalam masyarakat perkotaan (Wirutomo et al., 2004) dan pengamatan di lapangan. Hasil penghitungan rentang nilai, ditetapkan dari nilai terendah sampai dengan nilai tertinggi (1,34 sampai 6,54) yang kemudian dibagi menjadi lima kategori kelas tipe permukiman, seperti diperlihatkan pada Tabel 18 berikut,

Tabel 18. Rentang Nilai dalam Penentuan Tipologi Permukiman

No. Kelas Rentang Nilai Skor

1 Permukiman Lapisan Bawah 1,34 ≤ x < 2,38 1

2 Permukiman Lapisan Menengah Bawah 2,38 ≤ x < 3,42 2

3 Permukiman Lapisan Menengah 3,42 ≤ x < 4,46 3

4 Permukiman Lapisan Menengah Atas 4,46 ≤ x < 5,50 4

5 Permukiman Lapisan Atas 5,50 ≤ x < 6,54 5

Berdasarkan hasil akhir dari perhitungan di atas, maka penggolongan tipe permukiman pada Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 28 berikut,

Gambar 28. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Pondok Kelapa Pada Kelurahan Pondok Kelapa, terdapat empat tipe dari lima klasifikasi dalam tipologi permukiman, tanpa permukiman lapisan bawah. Permukiman lapisan atas terdapat pada perumahan real estate Pondok Kelapa Indah yang merupakan perumahan tertata baik dengan lebar jalan lebih dari tujuh meter dan memiliki ruang terbuka hijau berupa lapangan dan taman yang memadai. Permukiman lapisan menengah atas sebagian besar terdapat di komplek perumahan, baik kavling Pemerintah DKI Jakarta, komplek Bina Marga, maupun komplek perumahan lainnya. Permukiman lapisan menengah dan menengah bawah sebagian besar merupakan perkampungan yang tidak teratur yang berada di sekitar wilayah Kelurahan Pondok Kelapa. Meskipun pada permukiman yang tidak teratur juga terdapat rumah-rumah besar atau mewah, tetapi jumlahnya relatif kecil dan tersebar di wilayah perkampungan tersebut, bahkan dengan akses jalan yang kurang memadai.

Sebagian besar tipe permukiman di Kelurahan Kramat jati adalah permukiman lapisan menengah bawah, sebab sebagian besar wilayah kelurahan tersebut merupakan perkampungan yang tidak teratur, cukup padat dengan lebar jalan di dalam permukiman yang relatif sempit. Pada wilayah Kelurahan Kramat Jati, umumnya ruang terbuka hijau hampir tidak ada. Hal

tersebut merupakan hasil dari perkembangan perumahan yang pesat, sehingga hampir tidak ada lahan kosong yang tidak dimanfaatkan untuk membangun rumah tinggal. Hasil akhir overlay dari keempat faktor analisis di Kelurahan Kramat Jati terlihat pada Gambar 29 berikut,

Gambar 29. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Kramat Jati

Permukiman di Kelurahan Cibubur sebagian besar merupakan permukiman lapisan menengah dan menengah atas, sebab meskipun terdapat di permukiman yang bukan komplek perumahan, tetapi kondisi perumahan relatif lebih tertata dengan jalan di dalam permukiman yang cukup lebar dan ruang terbuka yang cukup luas. Pada kelurahan Cibubur juga terdapat permukiman lapisan atas yang sebagian besar berada di perumahan Bukit Permai yang juga merupakan perumahan mewah di wilayah Jakarta Timur. Hasil akhir overlay dari keempat faktor analisis untuk Kelurahan Cibubur terlihat pada Gambar 30 berikut,

Gambar 30. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Cibubur

Dari keempat tipe tersebut, terlihat bahwa aspek lingkungan fisik berkaitan erat dengan pola interaksi sosial yang secara tidak langsung membentuk pola partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah permukimannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat La Barre (1954) dan Hall (1966) bahwa manusia dengan lingkungan fisiknya, dalam hal ini lingkungan tempat tinggalnya, membentuk suatu lingkungan sosial budaya tertentu termasuk dalam perilaku terhadap sampah dan pengelolaan sampah permukiman. Demikian pula pendapat Castells (1997), yang menyatakan bahwa ruang bukan semata-mata gambaran dari suatu masyarakat, tetapi ruang adalah masyarakat itu sendiri. Interaksi sosial dalam suatu komunitas akan merujuk pada kepadatan ruang yang memungkinkan anggota dari komunitas tersebut untuk saling bertemu dan berinteraksi.

Pada kawasan permukiman lapisan atas, interaksi sosial relatif rendah dengan ciri bangunan fisik yang eksklusif dan lebih individualistik. Hal tersebut dicirikan dengan bentuk partisipasi yang hanya berupa pembayaran retribusi sampah saja, meskipun dengan nominal yang cukup besar. Partisipasi melalui retribusi sampah menunjukkan bentuk pengertian terhadap partisipasi yang amat sempit dan bersifat individualistik, tetapi kenyataan tersebut muncul pada

permukiman lapisan atas. Untuk bentuk partisipasi langsung, sebagian besar merasa bahwa hal tersebut tidak diperlukan dan telah cukup dengan membayar retribusi sebab selama ini tidak terjadi masalah yang berarti dan sampah terangkut dari lokasi permukiman tersebut. Kondisi kawasan yang tertata baik dan dilalui jalur jalan utama, menjadikan wilayah permukiman lapisan atas mendapat perhatian lebih dari petugas kebersihan. Secara visual, permukiman lapisan atas terlihat berbeda jauh dibandingkan dengan permukiman lapisan menengah, seperti terlihat pada Gambar 31 berikut,

Gambar 31. Permukiman Lapisan Atas di Sekitar Danau RW 011 Cibubur yang Berdampingan dengan Permukiman Lapisan Menengah di RW 09 Cibubur (Google Earth, 2007)

Pada kawasan permukiman lapisan menengah dan menengah atas, interaksi sosial relatif masih tinggi, sebab jarak antar rumah masih cukup dekat dan berjalannya forum-forum komunikasi dalam masyarakat, seperti pertemuan bulanan warga, PKK dan majlis ta’lim. Umumnya masyarakat pada permukiman lapisan menengah atas telah memiliki persepsi yang cukup tentang pengelolaan sampah dan berminat untuk berpartisipasi. Kendala terbesar pada permukiman lapisan menengah atas adalah bagaimana memulai program pemilahan dan penyesuaian sistem pengelolaan sampah dengan yang sudah berjalan saat ini.

Secara visual, permukiman lapisan menengah atas dapat dilihat pada Gambar 32 berikut,

Gambar 32. Permukiman Lapisan Menengah Atas di RW 04 Pondok Kelapa (Google Earth, 2007)

Pada kawasan permukiman lapisan bawah, interaksi sosial sangat tinggi dengan ciri bangunan yang padat, terbuka dan memiliki kebersamaan yang tinggi karena adanya perasaan senasib. Forum-forum komunikasi dalam masyarakat berjalan baik, tetapi yang menjadi kendala adalah pengetahuan yang terbatas tentang pengelolaan sampah yang baik, dan kemampuan ekonomi yang rendah, sehingga mereka mencari alternatif yang paling murah dalam mengelola sampah. Apabila tempat tinggal berdekatan TPS, mereka membuang sendiri sampahnya dan tidak membayar retribusi sampah. Demikian pula apabila masih ada lahan kosong untuk membuang dan atau membakar sampah. Pada kawasan permukiman yang merupakan kombinasi lapisan menengah bawah, maka golongan bawah menjadi penghubung interaksi sosial yang terjadi. Meskipun demikian, umumnya block leader berada pada lapisan yang lebih tinggi, dalam hal ini lapisan menengah, sehingga inisiatif untuk berpartisipasi dapat berasal dari lapisan tersebut. Secara visual, pada permukiman lapisan menengah bawah tampak terbatasnya ruang terbuka hijau dan padatnya permukiman, seperti dapat dilihat pada Gambar 33 berikut,

Gambar 33. Permukiman Lapisan Menengah Bawah yang Padat dan Tidak Teratur di RW 03 Kelurahan Kramat Jati (Google Earth, 2007) Kajian tipologi permukiman yang dikaitkan dengan pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman penting untuk mendukung pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Salah satu faktor penting dalam pengembangan partisipasi masyarakat adalah pola pendekatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Penyeragaman cara pengelolaan hanya akan menimbulkan kegagalan dalam implementasi program, seperti yang sering terjadi sampai saat ini. Oleh karena itu, melalui tipologi permukiman dan pola partisipasi masyarakat, diharapkan pemerintah daerah dapat memfasilitasi program yang lebih dapat diterima oleh masyarakat (social acceptability). Di samping itu, rumusan strategi dan mekanisme perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman dapat membantu penyusunan program secara partisipatif dengan melibatkan stakeholders yang sekaligus dapat berperan sebagai agents of change di masing-masing kawasan permukiman.

Dari kelima tipe permukiman tersebut, yang terdapat di wilayah kajian hanya empat tipe saja, yaitu tanpa permukiman Lapisan Bawah. Permukiman lapisan bawah secara spesifik dikaji di wilayah RW 01 Kelurahan Pondok Kelapa-Duren Sawit Jakarta Timur, dengan melakukan kajian kualitatif, sebab hanya sebagian kecil saja dari wilayah RW 01, bahkan tidak mencapai satu RT.

Keempat tipe permukiman tersebut menunjukkan karakteristik yang cukup spesifik, baik dari aspek fisik maupun pola interaksi sosial di dalam pengelolaan sampah permukiman. Permukiman lapisan menengah bawah yang ditandai dengan permukiman tidak teratur, cukup padat dan lebar jalan dalam permukiman sempit, menunjukkan tingkat partisipasi dalam bentuk retribusi yang sangat rendah dalam pengelolaan sampah permukiman. Pada tipe permukiman lapisan menengah bawah, koordinasi dalam pengelolaan sampah sangat rendah dan pada beberapa RT bahkan tidak ada. Umumnya masyarakat melakukan pembuangan sendiri, baik ke TPS terdekat, pinggir sungai atau danau, lahan kosong, dan melakukan pembakaran sendiri sampah yang dihasilkannya. Salah satu aspek positif pada tipe permukiman tersebut adalah mereka mau berpartisipasi dalam pemilahan sampah untuk sampah yang memiliki nilai ekonomi. Selain koran, kertas dan dus, beberapa wilayah dengan tipe permukiman Menengah Bawah, bahkan sudah mulai memilah kaleng bekas dan kemasan minuman karena memiliki nilai jual dan ada pemulung yang mengumpulkannya, atau mereka mengetahui lokasi lapak terdekat. Pada tipe tersebut, respon untuk melakukan upaya pemilahan dan daur ulang sampah dapat muncul apabila terdapat nilai ekonomi dari kegiatan pengelolaan sampah dan adanya satu atau beberapa orang block leader yang mampu memotivasi masyarakat untuk memulai upaya tersebut.

Pada permukiman lapisan menengah yang ditandai dengan permukiman yang sudah teratur dan tertata, lebar jalan di dalam permukiman sedang dan dapat dilalui oleh dua mobil berpapasan, dengan tingkat pendidikan Kepala Keluarga (KK) yang cukup tinggi, memperlihatkan partisipasi yang cukup tinggi dan lebih terkoordinasi dalam pengelolaan sampah serta memberikan respon yang positif terhadap rencana pemilahan dan daur ulang yang dimulai di tingkat rumah tangga. Oleh sebab itu, pada tipe permukiman lapisan menengah, masyarakat relatif mudah digerakkan siapapun pemimpin (Ketua RW dan perangkatnya) yang dipilih, sebab dasar partisipasi mereka adalah wawasan dan kepedulian terhadap lingkungan. Meskipun demikian, adanya block leader

atau pemimpin/motivator dalam satu lingkungan kecil, tetap diperlukan untuk memberi motivasi dan menjaga agar kegiatan dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Pada permukiman lapisan menengah atas yang merupakan transisi ke arah permukiman lapisan atas, umumnya ditandai dengan lingkungan yang

sudah tertata baik dengan jalan yang lebar dan luas bangunan antara 165-250m2 masih menunjukkan tingkat partisipasi yang relatif tinggi, dengan bertumpu pada keterlibatan para petugas kebersihan lingkungan untuk mengelola sampah. Meskipun tingkat pengetahuan, akses terhadap informasi, tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan mereka relatif tinggi, tetapi karena interaksi sosial di antara anggota masyarakat dalam permukiman tersebut relatif rendah, maka kemampuan dan motivasi mereka untuk turut memilah dan mendaur ulang sampah, relatif terbatas.

Pada permukiman lapisan atas, partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah lebih pada kesediaan mereka untuk membayar retribusi sampah dalam jumlah yang relatif tinggi, yaitu rata-rata di atas Rp. 25.000,- perbulan dibandingkan dengan permukiman menengah bawah yang retribusinya berkisar antara Rp. 2.000 – Rp. 5.000,- perbulan. Dengan permukiman yang memiliki jalan utama lebar, taman-taman lingkungan yang tertata dan ada pengelola yang bertugas khusus untuk itu, maka masyarakat lapisan atas umumnya hanya mengetahui hasil akhir proses karena telah membayar relatif besar untuk hal tersebut. Meskipun wawasan dan kepedulian mereka cukup tinggi, tetapi umumnya sangat rendah keterlibatan mereka secara langsung dalam