• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipologi Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat

DKI Jakarta (%)

5.4. Tipologi Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat

Partisipasi dalam pengelolaan sampah di permukiman memiliki dimensi yang luas. Pada komunitas di permukiman lapisan atas, umumnya motivasi dalam berpartisipasi berkaitan dengan kebutuhan akan lingkungan yang nyaman, segar, asri, serta untuk mempertahankan nilai properti itu sendiri, meskipun bentuknya adalah kesediaan membayar retribusi dalam jumlah yang relatif tinggi untuk mengelola sampah di permukiman tersebut. Dalam hal ini berlaku teori Maslow bahwa kebutuhan akan kenyamanan lingkungan dan

5

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hendra Seraja, Ketua Program Lingkungan Wilayah DKI

berperan dalam upaya pelestarian lingkungan merupakan bagian dari aktualisasi diri setelah kebutuhan mendasar lainnya terpenuhi. Pada komunitas di permukiman lapisan menengah, umumnya motivasi dalam berpartisipasi berkaitan dengan tumbuhnya kesadaran untuk berperan dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan, yang dalam pelaksanaannya masih memerlukan dukungan sehingga dapat menjembatani aktualisasi dari tumbuhnya kesadaran tersebut. Pada komunitas di permukiman lapisan bawah, umumnya sumberdaya relatif terbatas dan tidak adanya otoritas, sehingga mengakibatkan kepedulian masyarakat kurang terhadap kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Oleh sebab itu, motivasi perlu ditumbuhkan melalui pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Pendekatan melalui tawaran kegiatan ekonomi merupakan pendekatan yang sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat di permukiman lapisan bawah.

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan partisipasi dari Etzioni (1964) melalui tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pelancaran pengaruh merupakan konsep yang relevan untuk menyusun tipologi partisipasi. Selain itu, pada pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, setiap komunitas atau masyarakat dalam suatu wilayah permukiman dan kelembagaannya dapat disetarakan dengan sebuah organisasi, sebab sistem pemilahan sampah memerlukan peran block leader dan kebersamaan seluruh anggota masyarakat dalam wilayah atau komunitas tersebut. Pertimbangan lainnya adalah bahwa kelompok-kelompok masyarakat sebagai penggerak sistem pengelolaan sampah merupakan suatu bentuk kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang memiliki struktur dan fungsi tertentu, sehingga pendekatan komunitas permukiman tersebut sebagai sebuah organisasi sangat relevan. Untuk itu, dalam melakukan analisis tipologi partisipasi masyarakat, digunakan adaptasi teori Organisasi Kompleks dari Etzioni (1964) yang mengkaji partisipasi dari dua aspek, yaitu tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pelancaran pengaruhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari lima tipe permukiman yang diidentifikasi dan memiliki karakteristik tertentu, dapat dipetakan beberapa karakteristik yang merujuk pada pola partisipasi tertentu, seperti terlihat pada Tabel 21 berikut,

Tabel 21. Tipologi Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat berdasarkan Tipe Keterlibatan dan Pelancaran Pengaruh pada Beberapa Tipe Permukiman

Tipe Pelancaran Pengaruh Tipe

Keterlibatan Normatif Remuneratif Koersif

Jumlah f (%) f (%) f (%) f (%) Moral 15 8,9 19 11,2 0 0 34 20,1 Kalkulatif 38 22,5 92 54,4 3 1,8 133 78,7 Alienatif 0 0 2 1,2 0 0 2 1,2 Jumlah 53 31,4 113 66,8 3 1,8 169 100,0 Keterangan : f = frekuensi

Dari Tabel 21 terlihat bahwa tipe keterlibatan kalkulatif dan moral merupakan dasar dalam peran serta masyarakat untuk mengelola sampah di lingkungan permukiman. Sejalan dengan penelitian Johnston dan Snizek (2007), melalui pendekatan kalkulatif dan moral, komitmen dan kinerja masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah akan meningkat, meskipun penekanannya bergantung pada tipe permukiman. Dari aspek pelancaran pengaruh, pendekatan remuneratif antara lain dengan tersedianya infrastruktur yang memadai atau insentif tertentu, merupakan tipe pendekatan yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman. Secara umum, dari tipe keterlibatan masyarakat yang bersifat kalkulatif dengan tipe pelancaran pengaruh remuneratif yang dominan dalam pengelolaan sampah permukiman, maka sistem yang tepat untuk diimplementasikan adalah merit system.

Merit system merupakan sistem penilaian atas jasa atau hasil kerja, baik

perseorangan, maupun lembaga. Oleh sebab itu, dalam merit system dikenal

adanya reward atau penghargaan dan punishment atau hukuman. Bentuk

penghargaan dalam pengelolaan sampah dapat berupa insentif, antara lain dengan penurunan atau bahkan penghapusan retribusi sampah, juga penghargaan dalam bentuk peringkat dalam pengelolaan sampah di lingkungan permukiman. Program peringkat tersebut sudah mulai diperkenalkan di DKI Jakarta melalui kompetisi lingkungan ”Jakarta Green and Clean” yang pada

tahun 2007 memasuki tahun kedua. Bentuk punishment dalam pengelolaan

sampah di permukiman sampai saat ini belum ada. Yang telah berlaku adalah denda bagi orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya, terutama di

jalan-jalan dan tempat publik lainnya. Meskipun demikian, penegakan hukumnya masih jauh dari harapan. Kebijakan disinsentif di DKI Jakarta sampai saat ini

masih merupakan wacana. Kebijakan disinsentif sebagai bentuk punishment

dalam pengelolaan sampah tidak selalu berupa denda, tetapi dapat pula berupa tidak diangkutnya sampah apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan.

Secara garis besar, sebaran populasi tipologi partisipasi berdasarkan tipe keterlibatan dan tipe pelancaran pengaruhnya terlihat pada Gambar 35 berikut,

Gambar 35. Sebaran Populasi dalam Tipologi Partisipasi

Dari Gambar 35 terlihat bahwa tipe partisipasi yang dominan adalah kalkulatif dengan tipe pelancaran pengaruh yang dominan adalah pendekatan remuneratif. Secara garis besar, posisi masing-masing tipe partisipasi yang dominan pada setiap tipe permukiman terlihat pada Tabel 22 berikut,

Tabel 22. Tipe Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan sampah Permukiman

Tipe Partisipasi Jumlah

Tipe Permukiman Moral-Normatif Moral-Remuneratif Kalkulatif-Normatif Kalkulatif-Remuneratif Kalkulatif-Koersif f (%) f (%) f (%) f (%) f (%) f (%) Menengah Bawah 3 4,4 3 4,4 16 23,5 45 66,2 1 1,5 68 100 Menengah 7 8,9 9 11,4 17 21,5 44 55,7 2 2,5 79 100 Menengah Atas 0 0 5 41,7 4 33,3 3 25 0 0 12 100 Atas 5 62,5 2 25 1 12,5 0 0 0 0 8 100 Keterangan : f = frekuensi 0 2 4 6 0 2 4 6

Tipe Keterlibatan Masyarakat

Alienatif Normatif Moral Kuadran II Kuadran I Kuadran IV Kuadran III Koersif Ti pe P el an ca ra n P en ga ru h

Pada permukiman lapisan bawah, menengah bawah dan menengah, pola partisipasi yang sesuai adalah melalui pendekatan kalkulatif-remuneratif, dengan titik masuk yang berbeda dalam menjadikan kegiatan pengelolaan sampah sebagai kegiatan ekonomi. Secara umum, pendekatan kalkulatif-remuneratif pada permukiman lapisan bawah dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat, yang dapat dikaitkan dengan kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility), serta program pemerintah dalam pengadaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Pada lapisan menengah bawah, pendekatan partisipatif dalam arti sebenarnya dapat dilakukan, yaitu pendekatan kalkulatif-remuneratif, yang menekankan pada perhitungan secara ekonomi bagi masyarakat dengan tawaran fasilitas tertentu dari pemerintah. Pada permukiman lapisan menengah, umumnya wawasan dan kesadaran pada masyarakat lapisan tersebut telah cukup baik dan melalui motivasi dari block leader yang tepat, maka kegiatan partisipatif dapat berjalan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Meneses dan Palacio (2004) yang menyatakan bahwa peran block leader merupakan faktor yang determinan dalam mendukung partisipasi masyarakat dalam program pemilahan dan daur ulang sampah di permukiman.

Pada permukiman lapisan menengah atas, pendekatan yang tepat adalah moral-remuneratif dengan titik masuk (entry point) pendekatan moral, sebab pada dasarnya mereka telah memiliki wawasan dan persepsi yang cukup, tetapi dalam batas tertentu masih memerlukan dukungan atau fasilitasi dari pemerintah daerah, baik dalam bentuk infrastruktur yang menunjang upaya pengelolaan sampah secara mandiri, maupun penguatan kelembagaan lokal berkaitan dengan upaya tersebut.

Pada permukiman lapisan lapisan atas, pendekatan moral-normatif sangat sesuai dalam mewujudkan partisipasi masyarakat. Pengelolaan sampah

dapat didekati dengan pendekatan gaya hidup (life style) yang merupakan

bagian dari wawasan dan tanggung jawab masyarakat dalam peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam. Gambaran lengkap setiap tipe partisipasi, tercantum dalam hasil analisis karakteristik dari kelima tipe dalam tipologi partisipasi tersebut seperti dapat dilihat pada Tabel 23 berikut,

Tabel 23. Karakteristik Tipologi Partisipasi

Karakteristik Tipologi Partisipasi berdasarkan Tipe Keterlibatan dan Tipe Pelancaran Pengaruh Normatif

Moral-Renumeratif

Kalkulatif-Normatif/ Remuneratif

Kalkulatif-Koersif

Moral dan tingkat kesadaran tinggi, dengan WTP tinggi dan tahu manfaatnya

Moral dan tingkat kesadaran cukup tinggi, tetapi perlu fasilitasi dalam implementasinya

Pendekatan ekonomi/insentif merupakan tawaran yang tepat untuk mengelola sampah disertai dengan fasilitasi dalam implementasinya Tingkat kesadaran rendah, memerlukan pendekatan khusus, tetapi tetap dengan tawaran kegiatan ekonomi Keterangan : WTP adalah Willingness to Pay atau kesediaan untuk membayar, dalam

hal ini retribusi sampah

Pengelolaan sampah permukiman yang dikaitkan dengan program CD perusahaan, dapat diarahkan pada kegiatan ekonomi masyarakat yang berbasis pada kegiatan daur ulang sampah. Sampah dapat dijadikan sebagai bahan baku kegiatan ekonomi, yang dikembangkan sesuai dengan potensi dan kapabilitas masyarakat tersebut. Menggaet perusahaan atau organisasi sebagai mitra dalam pengelolaan sampah permukiman di permukiman lapisan bawah selain mengatasi permasalahan sampah yang umumnya tidak terkelola dengan baik, juga sekaligus berfungsi sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat itu sendiri. Masyarakat akan mengembangkan partisipasinya secara kalkulatif dengan pertimbangan peningkatan ekonominya, tetapi memerlukan upaya khusus untuk proses penataan lingkungan dan sistem pengelolaan sampah. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar masyarakat pada lapisan bawah relatif lebih sulit diminta berperan dalam penataan lingkungan dan infrastruktur pengelolaan sampah karena alasan ekonomi. Pada permukiman lapisan bawah, perubahan sosial dalam pengelolaan sampah dapat dilakukan oleh pemerintah atau bekerjasama dengan pihak swasta melalui program CD perusahaan.

Program CD tersebut dilakukan dengan pola Development for Community

sejalan dengan pendekatan Lippitt et al. (1958) melalui change agents dan client system.

CSR adalah konsep moral dan etis yang berciri umum, oleh karena itu pada tataran praktisnya harus dialirkan ke dalam program-program konkrit, dan salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah Pengembangan Masyarakat atau Community Development (CD). Program-program Community Development

(CD), dapat dilakukan perusahaan-perusahaan atas dasar sikap dan pandangan yang umumnya telah ada (inheren) dalam dirinya, yaitu sikap dan pandangan filantropis (kedermaan). Perusahaan umumnya memiliki sikap tersebut yang didasarkan atas dua motif sekaligus, yakni altruisme dan self interest (Achda,

2006). Melalui CSR, pemerintah dan swasta dapat bergandeng tangan untuk

menjalankan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di wilayah permukiman lapisan bawah, sekaligus sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah perlu menjadikan pendekatan altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain) sebagai mainstream bagi perusahaan, sehingga mereka dapat berperan optimal dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas lingkungan melalui pendekatan ekonomi dengan meengembangkan industri daur ulang sampah yang dimulai dari sumbernya. Jika kemitraan ini terjalin baik, dapat dipastikan bahwa perusahaan dan masyarakat dapat berhubungan secara co-eksistensial, simbiosis-mutualistik dan kekeluargaan. Hal tersebut terbukti dalam program CSR PT. Unilever Indonesia, Tbk melalui Yayasan Unilever Indonesia, yang menginisiasi dan mengembangkan program pengelolaan sampah secara mandiri di perkotaan. Di DKI Jakarta, melalui program CSR dari PT. Unilever Indonesia, saat ini telah terbentuk wilayah binaan di 264 RT yang berada di 30 kelurahan, dengan 1.200 orang kader. Apabila sebagian besar perusahaan mengambil peran dalam pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut, maka akan terjadi percepatan yang signifikan dalam implementasinya di seluruh wilayah DKI Jakarta. Meskipun upaya PT. Unilever Indonesia relatif besar, tetapi dengan jumlah kelurahan di DKI Jakarta yang mencapai 2.600 kelurahan, maka perluasan gerakan mengelola sampah secara mandiri di permukiman akan berjalan lambat (Yayasan Unilever Peduli, 2007). Secara garis besar, perkembangan jumlah kader lingkungan dan wilayah binaan di tingkat RT dalam implementasi pengelolaan sampah melalui partisipasi masyarakat, diperlihatkan pada Gambar 36 berikut,

70

Keterangan : Q 1,..4 06 : Kuartal 1,..4 tahun 2006 Q1 07 : Kuartal 1 tahun 2007

Gambar 36. Perkembangan Jumlah Kader Lingkungan dan Jumlah RT sebagai Wilayah Binaan Program “Jakarta Green and Clean”

Selain Unilever, perusahaan lain yang mengambil peran dalam mengurangi jumlah sampah adalah perusahaan kosmetik The Body Shop Indonesia. Pada awalnya perusahaan tersebut melaksanakan program isi ulang (refill) kemasan kosmetik, tetapi program tersebut tidak efektif karena hanya 3% pelanggan yang melakukan isi ulang. Signifikansi program isi ulang pun dinilai rendah terhadap pengurangan pencemaran lingkungan, sehingga pada tahun 2003 program tersebut dihentikan. Sejak tahun 2004 kemudian diluncurkan program daur ulang botol kemasan mereka dengan menyediakan tempat sampah khusus di setiap gerai, dan pelanggan yang mengembalikan kemasan bekas dipersilahkan untuk membuang pada tempat sampah tersebut dengan diberikan cindera mata dan penjelasan kampanye lingkungan lainnya. Sampai saat ini, setiap bulan The body Shop Indonesia mendaur ulang 50 kg botol kemasan di samping kampanye lingkungan lainnya. Dalam skala internasional,

melalui program daur ulang kemasan plastik PET (Polyethilene Taraphlete),

setiap tahunnya perusahaan tersebut telah menghemat 70 ton bijih plastik murni melalui menggunaan 30% bahan kemasan berasal dari plastik daur ulang (Hutomo, 2006). Upaya yang dilakukan oleh perusahaan tersebut merupakan

bagian dari extended producers responsibility (EPR) yang pada hakikatnya

dapat diatur melalui kebijakan pemerintah, tetapi saat ini program-program EPR

0

200

400

600

800

1000

1200

Or a n g Q1 06 Q2 06 Q3 06 Q4 06 Q1 07 Tahun Jumlah Kader

0

50

100

150

200

250

300

RT Q1 06 Q2 06 Q3 06 Q4 06 Q1 07 Tahun Jumlah RT 70 120 17 250 1100 1200 27 200 46 260

masih bersifat voluntary dengan inisiatif yang berasal dari perusahaan itu sendiri.

5.5. Strategi Perencanaan Sosial dalam Pengelolaan Sampah Permukiman