commit to user
58 BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Wilayah Demak 1. Kondisi Geografis
Demak sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah terletak pada koordinat 6º43’26” – 7º09’43” Lintang Selatan dan 110º27’58” - 110º48’47” Bujur Timur. Jarak terjauh dari arah barat ke timur adalah sepanjang 49 km dan jarak dari arah utara ke selatan sepanjang 41 km. Wilayah Demak berbatasan dengan beberapa daerah antara lain, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobogan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang serta sebelah barat berbatasan dengan kota Semarang.
Demak merupakan kota di pesisir utara Jawa Tengah yang terletak pada pertengahan jalur jalan raya antara Semarang dan Kudus yang berjarak sekitar 26 km dari arah Semarang dan 25 km dari arah Kudus. Dilihat dari ketinggian permukaan tanahnya, wilayah Demak termasuk pada dataran rendah. Ketinggian tanah di wilayah Demak jika diukur dari permukaan laut terletak mulai 0 meter sampai dengan 100 meter dari permukaan laut yang dibatasi atas tiga region yaitu:
a. Region A merupakan daerah yang ketinggian permukaan tanahnya mulai 0 meter sampai dengan 3 meter dari permukaan laut. Wilayah yang termasuk pada region ini meliputi sebagian kecamatan Bonang, kecamatan Demak, kecamatan Karangtengah, kecamatan Mijen, kecamatan Sayung dan kecamatan Wedung.
b. Region B terbagi menjadi tiga yaitu:
1) Daerah yang ketinggian permukaan tanahnya mulai 3 meter sampai dengan 10 meter dari permukaan laut, meliputi sebagian besar dari tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Demak.
2) Daerah yang ketinggian permukaan tanahnya mulai 10 meter sampai dengan 25 meter dari permukaan laut, meliputi sebagian dari kecamatan Dempet, kecamatan Karangawen dan kecamatan Mranggen.
commit to user
3) Daerah yang ketinggian permukaan tanahnya mulai 25 meter sampai dengan 100 meter dari permukaan laut, meliputi sebagian kecil dari kecamatan Mranggen dan kecamatan Karangawen.
c. Region C merupakan daerah yang ketinggian tanahnya melebihi 100 meter dari permukaan laut. Wilayah yang termasuk pada region ini meliputi sebagian kecil dari kecamatan Karangawen dan kecamatan Mranggen.
Wilayah Demak memiliki tekstur tanah yang terdiri dari dua jenis, yaitu tekstur tanah halus atau tanah liat seluas 49.066 hektar yang meliputi hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Demak kecuali kecamatan Karangtengah dan tekstur tanah sedang atau tanah lempung seluas 40.677 hektar yang meliputi hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Demak kecuali kecamatan Dempet dan kecamatan Gajah.
Wilayah Demak pada jaman dahulu terkenal dengan daerah genangan air atau daerah banjir karena terletak pada dataran rendah. Selain terkenal dengan julukan itu, Demak juga terkenal sebagai kerajaan besar pada masa awal perkembangan Islam yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah Jepara, Kediri, Tabun, Madiun, Surabaya, Pasuruan dan Malang. Demak yang pada awalnya terkenal dengan daerah banjir, pada masa sekarang Demak merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang secara administratif memiliki luas wilayah sekitar 89.743 hektar dan memiliki batas alam yang berupa sungai Serang yang menjadi batasan antara Kabupaten Demak dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Kudus.
Kabupaten Demak terdiri atas 14 kecamatan, yaitu kecamatan Demak, kecamatan Wonosalam, kecamatan Karangtengah, kecamatan Bonang, kecamatan Wedung, kecamatan Mijen, kecamatan Karanganyar, kecamatan Gajah, kecamatan Dempet, kecamatan Guntur, kecamatan Sayung, kecamatan Mranggen, kecamatan Karangawen dan kecamatan Kebonagung. Dari 14 kecamatan tersebut dibagi lagi menjadi 243 desa dan 6 kelurahan dengan pusat pemerintahan berada di kecamatan Demak. Dari masing-masing kecamatan tersebut memiliki luas lahan atau luas daerah yang berbeda-beda seperti dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 1. Luas Daerah Kabupaten Demak Dirinci per Kecamatan Pada Tahun 2012
commit to user
No Kecamatan Luas Daerah (Ha) Presentase (%)
1 Mranggen 7.222 8,05 2 Karangawen 6.695 7,46 3 Guntur 5.753 6,41 4 Sayung 7.869 8,77 5 Karangtengah 5.155 5,74 6 Bonang 8.324 9,28 7 Demak 6.113 6,81 8 Wonosalam 5.788 6,45 9 Dempet 6.161 6,87 10 Gajah 4.783 5,33 11 Karanganyar 6.776 7,55 12 Mijen 5.029 5,60 13 Wedung 9.876 11,00 14 Kebonagung 4.199 4,68 Jumlah 89.743 100,00
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak, 2012) 2. Kondisi Alam Demak
Kabupaten Demak terletak di pesisir pantai utara Jawa Tengah, sehingga jenis tanah di kabupaten ini merupakan tanah aluvial. Secara umum benteng alamnya berupa dataran rendah tanah pesisir yang merupakan tanah hasil endapan sungai yang banyak berkumpul di muara sungai. Wilayah Demak dialiri oleh beberapa sungai antara lain sungai Jajar, sungai Serang, sungai Tuntang dan sungai Tunggul Angin. Aliran air dari sungai Jajar oleh pemerintah kota Demak dimanfaatkan untuk sistem irigasi, pembuatan bendungan dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sedangkan tanah pesisir yang berkumpul di muara sungai oleh masyarakat Demak banyak digunakan untuk tambak ikan dan tempat pembuatan garam. Selain berupa tanah pesisir, di Kabupaten Demak juga terdapat tanah pertanian dan tanah pedesaan serta ada sebagian kecil wilayah di Kabupaten Demak yang berupa hutan terutama di kecamatan Mranggen dan kecamatan Karangawen.
Kabupaten Demak merupakan daerah agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian, oleh sebab itu sebagian besar wilayah Demak tanahnya terdiri atas lahan sawah yang mencapai 50.915 hektar dan selebihnya adalah berupa lahan kering. Yang termasuk pada bagian lahan kering ialah pekarangan atau bangunan, tegal atau kebun, tebat atau empang atau rawa, tambak, hutan negara, perkebunan
commit to user
negara atau perkebunan swasta dan hutan rakyat. Sedangkan yang termasuk pada lahan tanah sawah yaitu irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana pasang surut, irigasi sederhana non pasang surut dan irigasi tadah hujan atau sawah rendengan. Masing-masing lahan tersebut memiliki luas yang berbeda-beda seperti dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 2. Presentase Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Demak Tahun 2012
No Jenis Lahan Luas Lahan (Ha) Presentase (%) 1. Lahan Sawah a. Teknis 19.898 22,17 b. Setengah Teknis 6.665 7,43 c. Sederhana PU 4.098 4,57 d. Sederhana Non PU 2.907 3,24 e. Tadah Hujan 17.347 19,33
f. Sementara Tidak diusahakan - -
g. Lainnya - -
2. Lahan Kering
a. Bangunan/ Pekarangan 11.649 12,98
b. Tegal/ Kebun 13.374 14,90
c. Tebat/ Empang/ Rawa 112 0,13
d. Tambak 6.961 7,76
e. Hutan Negara 1.572 1,75
f. Perkebunan Negara/ Swasta 354 0,39
g. Hutan Rakyat 272 0,30
h. Lainnya 4.534 5,04
Jumlah 89.743 100,00
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak, 2012)
Kabupaten Demak mengalami musim yang sama seperti daerah pesisir di Pulau Jawa lainnya, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Pada bulan Juni sampai dengan bulan September arus angin berasal dari Australia dan tidak mengandung uap air sehingga mengakibatkan terjadi musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim penghujan. Pada saat terjadi musim kemarau sebagian masyarakat di Kabupaten Demak mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih, karena daerahnya terletak pada dataran rendah sehingga untuk memperoleh air bersih harus dilakukan pengeboran kurang lebih 90
commit to user
meter dari permukaan tanah. Pada musim kemarau banyak penduduk yang memanfaatkan air sungai untuk dikonsumsi dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari lainnya.
3. Kondisi Demografi Demak
a. Struktur Masyarakat Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil registrasi penduduk di Kabupaten Demak pada tahun 2012 tercatat bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Demak sebanyak 1.092.622 orang dengan perincian jumlah penduduk laki-laki sebanyak 542.879 orang (49,69%) dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 549.743 orang (50,31%). Jumlah penduduk pada tahun 2012 mengalami kenaikan sebanyak 12.761 orang atau sekitar 1,18% dibandingkan pada tahun 2011.
Penduduk Kabupaten Demak dilihat dari kelompok umurnya sebagian besar termasuk dalam usia produktif yaitu antara umur 15 tahun sampai dengan 64 tahun yang berjumlah 745.110 orang (68,19%) dan selebihnya dari itu sekitar 284.345 orang (26,02%) berusia di bawah 15 tahun serta yang berusia 65 tahun ke atas sebanyak 63.167 orang (5,78%). Perincian jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin di Kabupaten Demak adalah sebagai berikut:
Tabel 4. 3. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Demak Pada Tahun 2012
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0 – 4 Tahun 43.875 42.488 86.323 5 – 9 Tahun 48.355 45.570 93.925 10 – 14 Tahun 53.784 50.313 104.097 15 – 19 Tahun 54.000 52.631 106.631 20 – 24 Tahun 46.625 47.143 93.768 25 – 29 Tahun 44.983 46.235 91.128 30 – 34 Tahun 42.877 44.039 86.916 35 – 39 Tahun 38.999 40.959 79.958 40 – 44 Tahun 39.189 40.848 80.037 45 – 49 Tahun 35.239 36.515 71.754 50 – 54 Tahun 30.968 30.506 61.474 55 – 59 Tahun 21.876 20.324 42.200 60 – 64 Tahun 15.422 15.822 31.244 65+ 26.777 36.390 63.167
commit to user Jumlah 2012 542.879 549.743 1.092.622 2011 536.221 543.640 1.079.861 2010 528.925 534.843 1.063.768 2009 536.243 549.740 1.085.983 2008 531.646 545.334 1.076.980
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak, 2012)
b. Struktur Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian
Masyarakat Demak dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari selalu berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Masyarakat di Kabupaten Demak terkenal dengan penduduk yang cenderung bersifat heterogen, sehingga dalam memilih mata pencaharian tidak hanya mengandalkan pada satu bidang usaha saja.
Kota Demak jika dilihat secara umum mempunyai potensi yang cukup mudah untuk mencari pekerjaan, karena kota Demak mempunyai beberapa tempat yang dijadikan sebagai aset wisata sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk mencari rejeki di sekitar tempat wisata itu. Pekerjaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Demak di tempat wisata yaitu bekerja sebagai pedagang cindera mata, pedagang makanan dan jasa tukang ojek ataupun tukang becak.
Penduduk masyarakat Demak yang berhak mendapatkan pekerjaan yaitu penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Penduduk usia kerja tersebut dibedakan menjadi beberapa angkatan kerja yang terdiri dari kelompok pekerja, kelompok pencari pekerjaan serta kelompok bukan angkatan kerja. Yang tergolong pada kelompok bukan angkatan kerja yaitu masyarakat yang bersekolah dan masyarakat yang mengurus rumah tangga. Penduduk di Kabupaten Demak usia 15 tahun ke atas yang sudah bekerja pada tahun 2012 tercatat sebanyak 493.747 orang, yang terdiri dari 293.913 orang laki-laki dan 199.834 orang perempuan yang dirinci menurut lapangan usahanya. Sedangkan untuk penduduk yang mencari kerja dan mendaftar pada tahun 2012 sebanyak 4.093 orang laki-laki (44,31%) dan 5.144 orang perempuan (55,69%). Sebagian besar dari pencari kerja tersebut berpendidikan setingkat SMA yang berjumlah 65,15%, sebanyak 20,06% berpendidikan setingkat SMP, sebanyak 13,59% berpendidikan Diploma atau Perguruan Tinggian dan 1,20%
commit to user
berpendidikan SD. Mengenai perincian jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang sudah bekerja menurut lapangan usahanya dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 4. Jumlah Penduduk 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Demak Tahun 2012
Lapangan Usaha Jumlah Penduduk Yang Bekerja
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 94.967 80.487 175.454 2 33.768 16.199 59.985 3 45.240 63.505 108.745 4 40.491 26.852 67.343 5 79.429 2.791 82.220 Jumlah 2012 293.913 199.834 493.747 2011 293.448 212.386 505.834 2010 291.889 211.904 503.793 2009 287.495 207.422 494.917 2008 312.122 217.731 529.853 (Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012)
Keterangan :
1) Lapangan usaha nomor 1 yaitu bidang pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan.
2) Lapangan usaha nomor 2 yaitu bidang industri pengolahan.
3) Lapangan usaha nomor 3 yaitu bidang perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel.
4) Lapangan usaha nomor 4 yaitu bidang jasa kemasyarakatan.
5) Lapangan usaha nomor 5 yaitu lapangan usaha di bidang pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air, bangunan, angkutan, pergudangan dan komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan.
c. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan sangat diperlukan oleh setiap penduduk, karena pendidikan merupakan hak dari tiap-tiap penduduk khususnya penduduk usia sekolah yaitu sekitar usia 7 tahun sampai 24 tahun. Jumlah penduduk di Kabupaten Demak yang berusia 7
commit to user
sampai 24 tahun pada tahun 2012 yang masih bersekolah yaitu untuk tingkat SD sebanyak 93.989 orang, untuk tingkat SMP sebanyak 24.272 orang dan untuk tingkat SMA sebanyak 27.141 orang.
Keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan prasarana pendidikan seperti sekolah dan tenaga pendidik atau guru yang memadai. Di Kabupaten Demak pada tahun 2012 diketahui terdapat 534 Sekolah Dasar (SD), 71 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 95 Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan jumlah guru untuk Sekolah Dasar (SD) sebanyak 5.794 orang, untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 2.074 orang dan untuk Sekolah Menengah Atas sebanyak 3.077 orang. Perincian banyaknya jumlah sekolah, murid dan guru per kecamatan di Kabupaten Demak dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 5. Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru di Kabupaten Demak Pada Tahun 2012
Kecamatan Jumlah Rata-Rata Tiap Sekolah
Sekolah Murid Guru Murid Guru
Mranggen 59 1.834 240 31 4 Karangawen 31 956 61 21 2 Guntur 31 838 39 27 1 Sayung 24 761 54 32 2 Karangtengah 23 637 57 28 2 Bonang 32 1.198 52 37 2 Demak 36 1.426 134 40 4 Wonosalam 30 968 72 32 2 Dempet 30 738 45 25 2 Gajah 22 686 45 31 2 Karanganyar 23 889 92 39 4 Mijen 18 573 43 32 2 Wedung 21 761 55 36 3 Kebonagung 25 535 24 21 1 Jumlah 2012 405 12.800 1.013 32 2 2011 403 18.114 1.379 45 3 2010 399 17.982 1.335 45 3 2009 399 19.298 919 48 2 2008 390 17.791 935 46 2
commit to user
Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dan sebagian masyarakat Demak menyadari tentang hal tersebut, sehingga masyarakat Demak mewajibkan semua keluarganya supaya bersekolah meskipun harus sekolah di luar kota seperti Semarang dan Kudus. Hal itu dilakukan karena di Kabupaten Demak jumlah sarana pendidikan yang tersedia masih kurang sehingga banyak masyarakat Demak yang sekolah ke luar kota. Jumlah sarana pendidikan, murid dan guru menurut tingkat dan statusnya yang ada di Kabupaten Demak dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 6. Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru Menurut Tingkat dan Status di Kabupaten Demak Tahun 2012
Rincian Tingkatan Status Sekolah
Negeri Swasta Sekolah SD 516 18 SMP 37 44 SMA 14 50 Jumlah 567 112 Murid SD 90.909 3.080 SMP 19.882 5.188 SMA 10.500 11.852 Jumlah 121.291 20.120 Guru SD 5.518 276 SMP 1.303 771 SMA 644 1.456 Jumlah 7.465 2.503
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012)
d. Kondisi Sosial Budaya 1) Stratifikasi Masyarakat
Stratifikasi sosial atau sistem lapisan masyarakat dalam suatu daerah dapat terjadi dengan sendirinya seiring dengan proses pertumbuhan masyarakat dalam suatu daerah tersebut. Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem lapisan masyarakat dalam suatu daerah biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kepandaian seseorang, tingkat umur yang lebih tua, sifat keaslian seorang anggota kepala
commit to user
masyarakat dan harta. Menurut Rahardjo dan Ramelan (1994) stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyakat pada umumnya terbagi menjadi tiga lapisan yaitu:
a) Lapisan Atas
Lapisan atas dalam stratifikasi sosial merupakan kelompok masyarakat yang paling terpandang karena status sosial atau tingkat kehidupan ekonominya yang lebih tinggi daripada lapisan yang lain. Yang tergolong dalam lapisan ini yaitu raja dan keluarganya, pejabat tinggi kerajaan dan para ulama besar atau syeh. Seorang raja tergolong dalam lapisan ini karena raja dianggap sebagai tokoh puncak atau tokoh tertinggi dalam piramida penduduk dan merupakan tokoh yang menjadi panutan utama, baik di dalam kalangan sendiri maupun bagi golongan-golongan masyarakat yang berada di luarnya. Para pejabat tinggi kerajaan juga termasuk dalam lapisan ini khususnya para patih. Hal ini karena seorang raja yang pada saat sebelum memimpin sebuah kerajaan pada awalnya memiliki gelar patih yang mengurusi hal-hal keduniawian pada kerajaan. Selain seseorang yang mengurusi hal-hal yang bersifat keduniawian, dalam lapisan ini juga terdapat seseorang yang mengurusi masalah-masalah keagamaan dan hukum Islam yaitu para ulama besar atau imam besar kerajaan dan syeh.
b) Lapisan Menengah
Kelompok masyarakat yang tergolong dalam lapisan ini yaitu para imam yang biasanya dikenal sebagai penghulu (dalam bahasa Melayu berarti kepala atau santri), para prajurit atau tentara, para pedagang menengah yaitu pedagang yang berhasil di kota-kota pelabuhan pesisir utara Jawa, para penjaga masjid dan makam suci serta para penulis kronik.
c) Lapisan Bawah, kelompok masyarakat yang tergolong dalam lapisan ini antara lain para petani dan nelayan, para tukang dan perajin, para pedangan kecil serta para seniman.
Stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Demak pada dasarnya sama dengan stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat di daerah lain, yaitu menganut adat ketimuran dan adat Jawa. Stratifikasi sosial di Demak terjadi karena adanya tingkat kehidupan sosial masyarakat yang beragam sehingga menimbulkan cara hidup dan
commit to user
pola pikir yang berbeda. Hal itu dapat teratasi dengan adanya sifat keterbukaan yang dimiliki oleh masyarakat Demak, sehingga stratifikasi yang ada tidak begitu nampak.
2) Sistem Kepercayaan dan Agama
Agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Demak yaitu agama Islam. Hal ini karena Kabupaten Demak terkenal dengan sebutan Kota Santri atau Kota Wali, sehingga masyarakat Demak merupakan penganut agama Islam yang taat. Adanya Masjid Agung Demak menjadi simbol kebesaran Islam yang berkembang di kota Demak. Meskipun Demak terkenal dengan sebutan Kota Wali atau Kota Santri, namun ada juga masyarakat yang beragama non Islam. Hal ini membuktikan bahwa di daerah Demak terdapat keragaman agama. Keragaman agama disuatu daerah tidak menyebabkan adanya perpecahan antar umat beragama, namun setiap umat beragama justru saling menciptakan suasana kerukunan kehidupan beragama supaya antara umat agama yang satu dengan umat agama yang lainnya tetap menjalin hubungan yang baik.
Penduduk Demak yang beragama Islam pada tahun 2012 mencapai 99,31% dari total keseluruhan penduduk. Selebihnya dari itu merupakan penduduk yang memeluk agama Kristen dan Katholik sebesar 0,65% serta yang memeluk agama Hindu dan Budha sebesar 0,04%. Sedangkan tempat peribadatan yang tersedia di Kabupaten Demak pada tahun 2012 mencapai 4.767 buah, yang terdiri atas masjid dan musholla yang berjumlah sekitar 99,43% serta gereja Katholik, gereja protestan dan vihara yang berjumlah 0,57%. Perincian jumlah pemeluk agama dan jumlah sarana peribadatan yang terdapat di Kabupaten Demak pada tahun 2012 dijelaskan pada tabel di bawah ini.
commit to user
Tabel 4. 7. Banyaknya Pemeluk Agama di Kabupaten Demak Tahun 2012
Kecamatan Islam Kristen Katholik Kristen Protestan Hindu Budha Jumlah Mranggen 155.324 1.474 1.896 188 158.882 Karangawen 80.113 17 292 15 80.437 Guntur 78.979 327 - - 79.306 Sayung 97.773 479 639 16 98.907 Karangtengah 58.235 6 66 - 58.307 Bonang 106.937 - - - 106.937 Demak 97.733 63 1.421 173 99.390 Wonosalam 72.872 19 29 13 72.933 Dempet 51.319 107 20 12 51.458 Gajah 48.120 3 54 32 48.209 Karanganyar 76.499 - 54 - 76.553 Mijen 66.698 25 74 - 66.797 Wedung 88.054 5 - - 88.059 Kebonagung 37.566 34 191 - 37.791 Jumlah 2012 1.116.222 2.559 4.736 449 1.123.966 2011 1.093.620 2.923 5.070 281 1.101894 2010 1.108.465 1.811 4.029 233 1.114.538 2009 1.054.723 1.882 3.510 414 1.060.529 2008 1.054.723 2.492 2.882 389 1.060.466 (Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012)
Berkembangnya jumlah pemeluk agama di Kabupaten Demak menyebabkan dibutuhkan tempat untuk beribadah. Mengenai perincian tempat ibadah yang tersedia di Kabupaten Demak dijelaskan pada tabel di bawah ini.
commit to user
Tabel 4. 8. Banyaknya Sarana Tempat Peribadatan di Kabupaten Demak Tahun 2012
Kecamatan Mas jid Mushola Gereja Pura Wihara Katho lik Protes tan Bud ha Hin du Mranggen 97 489 0 2 0 0 0 Karangawen 57 401 2 9 0 0 0 Guntur 67 482 0 0 0 0 0 Sayung 76 368 0 0 0 0 0 Karangtengah 42 222 0 0 0 0 0 Bonang 65 197 0 0 0 0 0 Demak 44 301 0 9 0 0 1 Wonosalam 34 347 0 0 0 0 0 Dempet 44 264 0 0 0 0 0 Gajah 31 244 0 2 0 0 0 Karanganyar 37 194 0 0 0 0 0 Mijen 30 165 0 0 0 0 0 Wedung 37 170 0 0 0 0 0 Kebonagung 37 198 0 2 0 0 0 Jumlah 2012 698 4.042 2 24 0 0 1 2011 729 4.156 6 25 0 0 1 2010 712 3.843 1 24 0 0 1 2009 713 3.792 2 23 0 0 1 2008 712 3.792 2 23 0 0 1 (Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012)
B. Latar Belakang Berdirinya Masjid Agung Demak 1. Sejarah Demak
Wilayah Demak pada jaman dahulu berupa hutan yang terkenal dengan sebutan hutan Glagahwangi. Setelah hutan Glagahwangi ditebangi, kemudian hutan tersebut dijadikan pemukiman yang terkenal dengan sebutan pemukiman Bintoro yang berasal dari kata bethoro yang memiliki arti bukit suci bagi penganut agama Hindu. Nama Bintoro diambil dari nama pohon bintoro yang pada jaman dahulu banyak tumbuh di sekitar hutan Glagahwangi, yang kemudian nama itu diberikan untuk kasultanan yang dipimpin oleh Raden Patah karena di daerah tersebut pada jaman dahulu masih banyak masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha (Haryadi, 2003).
commit to user
a. Terkenalnya kata Demak berawal dari peristiwa Nyai Lembah yang berasal dari Rawa Pening sedang menyusuri suatu daerah menggunakan perahu, tetapi di tengah perjalanannya perahu yang dinaikinya terdampar di muara sungai Tuntang. Untuk mencari penyebab terdamparnya perahu tersebut, Nyai Lembah ndemek atau meraba-raba dasar sungai. Dari kata
ndemak-ndemek itulah akhirnya masyarakat sekitar menamakan daerah tempat
terdamparnya perahu milik Nyai Lembah dengan sebutan Demak.
b. Menurut Prof. Dr. Hamka, kata Demak berasal dari Bahasa Arab Dama yang berarti mata air. Diartikan sebagai mata air karena pada saat penyebaran agama Islam di daerah tersebut, para wali sering mengalami hambatan karena terjadi banjir kiriman dari sungai Tuntang.
c. Menurut Sholichin Salam, kata Demak berasal dari Bahasa Arab yang diambil dari kata Dimak yang berarti air mata yang menggambarkan kesulitan dalam menegakkan agama Islam pada waktu itu.
d. Menurut Prof. Slamet Mulyono, Demak diartikan sebagai anugrah yaitu anugrah dari Prabu Kertabumi atau Raja Brawijaya V yang diberikan kepada Raden Patah berupa bumi bekas hutan Glagahwangi. Dasar etimologis penyebutan kata Demak ini adalah Kitab Kekawin Ramayana yang berbunyi
wineh Demak kapwo yotho karamanyo.
e. Menurut Prof. Purbotjaroko, Demak berasal dari kata Delemak yang berarti tanah yang mengandung air atau rawa.
f. Menurut Prof. R. M. Sutjipto Wiryosuparto bahwa Demak berasal dari Bahasa Kawi yang artinya pegangan atau pemberian.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang asal kata Demak, maka dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan tentang kata Demak yang berasal dari Bahasa Arab Dimak yang artinya air mata yang metes. Hal ini didasarkan pada sulitnya menyebarkan dan menegakkan agama Islam di daerah Demak, karena pada saat itu masyarakat sekitar Demak sudah lama mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajaran Hindu yang diperoleh dari nenek moyang terdahulu.
commit to user 2. Lokasi Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Masjid Wali. Terkenalnya Masjid Agung Demak sebagai Masjid Wali karena masjid ini didirikan secara bersama-sama oleh Wali Songo atau Wali Sembilan dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya satu malam saja (Amar, 1996). Lokasi Masjid Agung Demak berada di pusat keramaian kota Demak, tepatnya di Jalan Sultan Fatah, Demak, Jawa Tengah. Masjid Agung Demak berjarak sekitar 26 km dari kota Semarang, kurang lebih 25 km dari Kabupaten Kudus dan sekitar 35 km dari Kabupaten Jepara.
Masjid Agung Demak berada tepat di sebelah barat alun-alun kota Demak, seperti halnya bentuk tipologi kota di Jawa yaitu tanah lapang yang luas atau alun-alun sebagai porosnya dan sebelah barat terdapat bangunan yang berbentuk masjid sedangkan di sebelah timurnya terdapat Lembaga Permasyarakatan (LP) serta di sebelah utara terdapat kantor bupati Demak. Masjid Agung Demak yang terletak di pusat kota Demak menyebabkan masjid ini mudah dijangkau oleh para pengunjung yang ingin berziarah atau sekedar berkunjung ke masjid tersebut untuk melihat keunikan Masjid Agung Demak. Selain tata letaknya yang berada di pusat kota Demak, faktor penting untuk meningkatkan jumlah pengunjung yang datang ke Masjid Agung Demak juga didukung adanya sarana transportasi dan jalan yang mendukung supaya Masjid Agung Demak lebih sering dikunjungi oleh para wisatawan. Masjid Agung Demak terletak berdekatan dengan perkantoran, sekolah maupun perkampungan yang cukup padat, sehingga kondisi tersebut dapat menambah manfaat dan arti pentingnya sebuah masjid di tengah aktivitas masyarakat yang memerlukan sarana peribadatan (wawancara dengan bapak Suwagiyo, tanggal 3 November 2013).
Masjid Agung Demak pernah menjadi tempat berkumpulnya para wali. Di tempat ini pada jaman dahulu para wali melaksanakan ibadah, berdiskusi dan mengajarkan pokok-pokok kehidupan Islam serta menyebarkan agama Islam sampai ke luar Pulau Jawa. Masjid wali yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Agung Demak merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak yang dipimpin oleh Raden Patah (Sulistiono, 2000).
commit to user
Nama Masjid Demak pada awalnya merupakan jenis Masjid Jami, yang kemudian nama tersebut berubah menjadi jenis Masjid Agung atau Masjid Raya. Terjadinya perubahan nama tersebut karena adanya perubahan struktur pemerintahan kota Demak menjadi daerah kasultanan. Kemiripan penyebutan Masjid Demak menjadi Masjid Agung juga terlihat pada Masjid Agung di Kerajaan Mataram Islam keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta (Santoso, Sudaryanto & Nugroho, 2008)
3. Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak
Sejarah berdirinya Masjid Agung Demak sangat berkaitan erat dengan sejarah berdirinya pemerintahan Kasultanan Bintoro sebagai Kerajaan Islam pertama di Demak. Salah satu tokoh yang mempelopori berkembangnya Islam di wilayah Jawa yaitu Raden Patah. Raden Patah merupakan putra dari Raja Majapahit yang terakhir pada jaman sebelum Islam yang bernama Raja Brawijaya V atau Prabu Kertabumi yang menikah dengan Putri Campa bernama Sie Tan Nio atau Sitanyon atau Dewi Dwarawati Murdaningrum. Masa muda Raden Patah lebih sering berada di Pesantren Ampel Denta yaitu pesantren yang dikelola oleh Sunan Ampel, untuk belajar dan berguru dengan Sunan Ampel. Setelah berada di pesantren cukup lama, kemudian Raden Patah menikah dengan Nyi Ageng Malaka yang merupakan putri dari Sunan Ampel (wawancara dengan bapak Suwagiyo, tanggal 3 November 2013).
Raden Patah setelah menikahi Nyi Ageng Malaka, kemudian mendapat perintah dari Sunan Ampel supaya menyebarkan agama Islam di daerah Glagahwangi, Demak, Jawa Tengah. Di daerah itu Raden Patah beserta istrinya memimpin suatu masyarakat kecil kaum muslimin yang sudah terbentuk sebelum Raden Patah menempati daerah tersebut. Selain itu, Raden Patah juga mengajarkan agama Islam dan membuka Pesantren Glagahwangi. Setelah Raden Patah membuka Pesantren Glagahwangi, kemudian tidak lama setelah itu Raden Patah juga membuka madrasah di desa tersebut sehingga lama kelamaan desa tersebut banyak dikunjungi orang. Dengan berdirinya pesantren dan madrasah di daerah Glagahwangi maka agama Islam semakin berkembang di daerah tersebut. Berkembangnya agama Islam di daerah Glagahwangi tidak hanya menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan
commit to user
agama saja, tetapi dapat menjadi pusat perdagangan bahkan menjadi pusat Kerajaan Islam di Jawa (Amar, 1996).
Kerajaan Islam di daerah Glagahwangi pada saat awal pembentukan membutuhkan seseorang untuk dijadikan pemimpin dan pada saat itulah Sunan Ampel mengusulkan Raden Patah supaya diangkat menjadi adipati di Glagahwangi oleh Raja Majapahit dengan gelar Adipati Bintoro. Kemudian tidak lama setelah itu, Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan karena diserang oleh Gilindrawardana dari Kediri pada tahun 1478 Masehi. Dengan adanya keruntuhan terhadap Majapahit menyebabkan Kadipaten Bintoro dapat membuka peluang untuk melepaskan diri dari Majapahit dan menyatakan berdiri sendiri sebagai Kesultanan Demak yang sementara dipimpin oleh Sunan Giri dengan gelar Prabu Satmoto. Selanjutnya pada tahun 1481 Masehi, Raden Patah dinobatkan oleh para wali sebagai sultan atau raja Islam pertama di Demak. Pada saat Raden Patah menjadi raja Islam pertama di Kerajaan Demak, beliau mendapatkan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al-Fattah. Setelah Raden Patah wafat maka digantikan oleh Raden Pati Unus yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor pada tahun 1518 Masehi sampai 1521 Masehi. Raden Pati Unus merupakan seorang senopati yang berhasil melawan bangsa Portugis di Selat Malaka. Kemudian pada saat Raden Pati Unus meninggal, tahta Kerajaan Islam dialihkan kepada adiknya yang bernama Sultan Raden Trenggono yang memiliki julukan Sultan Syah Ngalam Akbar III. Sultan Raden Trenggono berhasil memimpin Kerajaan Demak selama 25 tahun yaitu dari tahun 1521 Masehi sampai 1546 Masehi. Setelah tahta kerajaan dialihkan kepada Sultan Raden Trenggono, maka terjadi jeda kekuasaan kesultanaan kira-kira selama 14 tahun. Hal ini karena pada saat itu terjadi pertikaian antar keluarga (wawancara dengan bapak Abdul Fatah, tanggal 24 November 2013).
Keadaan Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya berada di daerah Bintoro di muara sungai yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. Namun, sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi. Bintoro sebagai pusat Kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya Kerajaan Mataram atau pada masa Wangsa
commit to user
Syailendra, sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi Kerajaan Demak. Kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama Islam, karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Sebagai pusat penyebaran Islam, Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonang. Para wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan Kerajaan Demak, bahkan para wali menjadi penasehat bagi Raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara raja atau bangsawan dengan para wali atau ulama, para raja atau bangsawan dengan rakyat serta para wali atau ulama dengan rakyat. Hubungan yang erat tersebut tercipta melalui pembinaan masyarakat yang diselenggarakan di masjid maupun pondok pesantren. Dengan demikian terciptalah kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan diantara orang-orang Islam (wawancara dengan bapak Suwagiyo, tanggal 3 November 2013).
Pada bidang budaya banyak hal yang menarik dari peninggalan Kerajaan Demak, salah satunya adalah Masjid Agung Demak. Tahun berdirinya Masjid Agung Demak sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti. Secara umum, penafisran para ahli terhadap keberadaan Masjid Agung Demak didasarkan pada candrasengkala
memet dan prasasti atau petunjuk-petunjuk dari kitab-kitab Babad. Pembangunan
Masjid Agung Demak yang dibangun oleh Wali Songo mengalami beberapa tahap dan dari masing-masing tahap didasarkan atas candrasengkala yang membuktikan tentang tahun berdirinya Masjid Agung Demak (wawancara dengan bapak Eko, tanggal 9 November 2013). Pembangunan Masjid Agung Demak terbagi menjadi tiga tahap yaitu:
a. Pembangunan Tahap I
Pembangunan Masjid Agung Demak pada tahap I didirikan oleh Ki Ageng Selo dalam waktu hanya satu malam, sehingga pembangunan pada tahap ini diibaratkan seperti halilintar atau petir atau bledeg yang kemudian dilukiskan dengan binatang berupa mahkota kepala naga dengan mulut bergigi yang terbuka dan dihiasi dengan lukisan berupa bunga-bunga serta tumbuhan yang disamarkan. Bentuk lukisan mahkota kepala naga terukir pada daun pintu yang terbuat dari kayu jati yang disebut
commit to user
dengan lawang bledeg atau pintu bledeg. Pada bagian pintu bledeg atau pintu utama Masjid Agung Demak bertuliskan candrasengkala nogo mulat saliro wani yang berarti bahwa berdirinya Masjid Agung Demak pada tahun 1388 Saka atau pada tahun 1466 Masehi. Pintu tersebut menggambarkan unsur-unsur dari dua kebudayaan yaitu kebudayaan Majapahit yang berupa gambar stupa di bagian atas dan kebudayaan Cina yang berupa gambar naga di bagian bawah. Pembangunan masjid pada tahap I memiliki fungsi sebagai masjid pesantren Glagahwangi.
b. Pembangunan Tahap II
Pembangunan tahap II dilaksanakan pada saat Raden Patah menjabat sebagai adipati Majapahit di Glagahwangi dengan gelar Adipati Notoprojo pada tahun 1475 Masehi. Pada tahap ini pembangunan masjid dikerjakan oleh Wali Songo bersama kaum santri dengan dibantu oleh tukang-tukang yang didatangkan dari Tiongkok. Dengan adanya pembangunan masjid yang tanggung jawabnya dipegang oleh Adipati Notoprojo, maka pembangunan masjid pada tahap ini disebut sebagai masjid kadipaten Glagahwangi. Pada saat pembangunan tahap II ditandai dengan candrasengkala atau prasasti yang berbunyi kori trus gunaning janmi yang memiliki arti bahwa pembangunan Masjid Agung Demak dilaksanakan pada tahun 1399 Saka atau pada tahun 1477 Masehi dan diresmikan oleh Raden Patah setelah dua tahun beliau memangku jabatan sebagai Adipati Notoprojo di Glagahwangi.
c. Pembangunan Tahap III
Pembangunan masjid pada tahap III dilaksanakan setelah Majapahit mengalami keruntuhan, sehingga Kasultanan Bintoro dapat menduduki kekuasaannya sebagai Kerajaan Islam pertama tepatnya pada tahun 1478 Masehi. Pada saat itu Raden Patah dengan dibantu oleh Wali Songo berhasil naik tahta dengan gelar Kanjeng Sultan Abdul Fattah Al Akbar Sayidin Panotogomo yang berkedudukan di Bintoro. Setelah Raden Patah berhasil naik tahta kemudian masjid tersebut dipugar menjadi masjid keraton atau Kasultanan Bintoro yang megah, anggun dan berwibawa. Pembangunan pada tahap ini dibantu oleh para wali terutama Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Ampel serta Sunan Gunung Jati dan yang menjadi pemimpin dalam pembangunan ini adalah Syaikh Maulana Maghiribi atau Syaikh Maulana Muhammad Al Muhdlor yang berasal dari Maroko.
commit to user
Berdirinya Masjid Agung Demak pada tahap ini berdasarkan atas gambar bulus yang terdapat pada bagian mihrab. Gambar bulus tersebut dapat ditafsirkan bahwa bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 (satu), kaki yang berjumlah empat berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol) dan ekor bulus berarti angka 1 (satu). Jadi dapat disimpulkan bahwa Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka atau pada tahun 1479 Masehi. Gambar bulus yang ada pada bagian mihrab Masjid Agung Demak juga didasarkan pada candrasengkala yang berbunyi Saliro
Sunyi Kiblating Gusti yang berarti angka tahun 1401 Saka.
Candrasengkala yang menjelaskan tentang berdirinya Masjid Agung Demak selain yang sudah dijelaskan pada tahap pembangunan masjid, juga terdapat candrasengkala lain yang membuktikan tahun berdirinya Masjid Agung Demak (wawancara dengan bapak Widodo, tanggal 5 Desember 2013). Candrasengkala tersebut antara lain:
a. Berdirinya Masjid Agung Demak ditulis pada Babad Demak karangan Atmodarminto yang menyatakan bahwa Masjid Agung Demak didirikan pada tahun 1399 Saka atau tahun 1477 Masehi yang didasarkan pada candrasengkala yang berbunyi lawang terus guna ning janmi.
b. Masjid Agung Demak dianggap berdiri pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi yang bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1428 tahun Jawa atau pada tahun 1501 Masehi. Hal ini didasarkan dengan adanya sebuah tulisan dalam bahasa Jawa yang terletak di atas pintu utama masjid dengan bunyi sebagai berikut hadeging masjid yasanipun para wali, nalika dinten Kamis Kliwon
malem Jumah Legi tanggal 1 Dulkaidah tahun 1428 Saka. Tulisan Jawa
tersebut jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia maka berarti berdirinya masjid ini adalah atas jasa para wali pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi tanggal 1 Dulkaidah tahun 1428 Saka.
Proses pembangunan Masjid Agung Demak berpedoman pada kaidah-kaidah atau nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah-kaidah baru yang akan diterapkan. Kaidah-kaidah tersebut harus dipadukan dengan baik dalam karya arsitektur Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya. Pada saat awal pembangunan Masjid Agung Demak, hal tersebut dilakukan oleh Sunan Kalijaga
commit to user
dengan cara berdiri di tengah-tengah lahan di mana masjid akan didirikan sambil merentangkan tangan kemudian tangan kirinya menuju ke arah bumi dan tangan kanannya menuju ke arah kiblat. Kaidah-kaidah tersebut perlu diperhatikan karena dalam memadukan unsur-unsur budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam telah menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa (wawancara dengan bapak Suwagiyo, tanggal 3 November 2013).
Masjid Agung Demak pada saat awal pembangunan bentuknya tidak semegah pada saat sekarang, namun hanya berbentuk bangunan kecil yang terbuat dari kayu. Penggunaan kayu pada bangunan Masjid Agung Demak pada jaman dahulu dikarenakan di daerah Demak pada waktu itu masih merupakan hutan belantara serta berawa-rawa. Selain itu, pada saat awal pembangunan Masjid Agung Demak masih jarang dijumpai bangunan yang terbuat dari batu sungai. Bangunan pada saat itu apabila memakai batu, yang dipakai juga bukan batu sungai melainkan batu bata. Hal ini diasumsikan bahwa bangunan dari kayu mudah rusak dan supaya sering dipugar untuk diperbaiki.
Masjid Agung Demak setelah awal pembangunan hingga pada masa sekarang mengalami beberapa penyempurnaan atau perbaikan (wawancara dengan bapak Eko, tanggal 9 November 2013) yaitu pada saat:
a. Tahun 1924 sampai dengan tahun 1928 dilakukan penggantian serambi, sirap, penambahan konstruksi kuda-kuda bagian atap masjid dan menara besi. Perbaikan pada tahun ini dilakukan pada jaman pemerintahan Bupati Demak Raden Tumenggung Haryo Sastro Hadiwijaya dengan ditandai adanya prasasti yang berbunyi asri katon gapuraning kamulyan.
b. Tahun 1966 sampai dengan tahun 1969 dilakukan penggantian instalasi listrik dan pagar depan, pembongkaran bagian depan masjid, pembuatan pagar keliling masjid serta pembongkaran dan pembangunan kembali bagian serambi. Perbaikan pada tahun ini ditandai dengan prasasti yang berbunyi
lawang panoto gono suci atau broto ngatopo sidik waskito.
c. Tahun 1973 sampai dengan tahun 1974 dilakukan pembetonan masjid, penggantian sirap dan rehabilitasi makam Sultan Tenggono.
commit to user
d. Tahun 1982 sampai dengan tahun 1987 dilakukan pemugaran secara menyeluruh oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Perbaikan pada tahun ini ditandai dengan prasasti yang berbunyi dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa purna pamugaran Masjid Agung Demak serta diresmikan dan ditandatangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia Bapak Soeharto pada tanggal 21 Maret 1987.
C. Struktur Bangunan Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak sebagai sebuah bangunan masjid arsitektur abad XV merupakan karya besar peninggalan Wali Songo. Hampir semua bagian struktur bangunannya nampak megah, anggun dan mengandung nilai filosofi sehingga menjadi pedoman pembuatan arsitektur nasional. Masjid Agung Demak menjadi benda cagar budaya yang dilindungi berdasarkan UU RI No. 5 tahun 1992 dengan PP RI No. 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992 yang merupakan pengganti UU Pemerintah Hindia Belanda yang mengatur dengan Monumenten Ordonantie No. 19 tahun 1931 (Staatsblad No. 238 tahun 1931) dan yang telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 tahun 1934 (Staatsblad No. 515 tahun 1934).
Kompleks Masjid Agung Demak secara keseluruhan berada dalam satu kompleks dengan makam yang memiliki luas sekitar 42.500 m². Untuk luas bangunan Masjid Agung Demak sendiri sekitar 1,5 hektar dengan dibatasi tembok keliling. Sisi tembok sebelah timur terdapat pintu gerbang utama tanpa dilengkapi gapura, sedangkan pintu gerbang di sisi tembok sebelah utara dan sebelah selatan kedua pintu gerbangnya dilengkapi dengan gapura yang berbentuk gapura paduraksa. Masjid Agung Demak sebagai masjid ciptaan Wali Songo memiliki keunikan karena bangunan induk Masjid Agung Demak memiliki dinding yang berbentuk segi empat dan memiliki empat sudut serta bangunan atapnya memiliki tiga tingkatan dengan disangga atau didukung oleh empat soko guru yang merupakan wakaf dari Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Panjang soko guru tersebut yaitu sekitar 16,30 meter dengan garis tengah 65 cm sampai 95 cm. Hampir
commit to user
seluruh bangunan Masjid Agung Demak mulai dari atap, kerangka konstruksi, balok loteng, geladag dan soko guru terbuat dari kayu jati yang berukuran besar.
Kompleks bangunan Masjid Agung Demak terbagi menjadi tiga bagian (wawancara dengan bapak Eko, tanggal 9 November 2013) yaitu:
1. Bangunan Utama Masjid
Bangunan utama Masjid Agung Demak memiliki atap yang berbentuk tumpang tingkat tiga atau disebut dengan atap sirap. Puncak atap ditutup dengan mustaka dari tembaga yang berukuran panjang 140 cm, lebar 140 cm dan tinggi 240 cm. Bagian bawah mustaka berbentuk trapesium dengan hiasan pada keempat sudutnya berupa kelopak bunga padma atau bunga teratai, sedangkan puncak mustaka berbentuk silinder berujung cembung.
Bangunan utama Masjid Agung Demak terbagi menjadi beberapa bagian yaitu: a. Bentuk Luar Masjid
Bentuk luar sebuah bangunan ditentukan oleh pembagian ruang dalam, ukuran serta fungsi didirikannya bangunan tersebut. Untuk bangunan Masjid Agung Demak berdiri di atas sebuah pondasi yang berbentuk persegi. Pembuatan pondasi dilakukan dengan cara menggali tanah sekitar 40 cm sampai 50 cm yang kemudian diberi tembok yang terbuat dari batu sungai dengan ketinggian sekitar 2,80 meter di atas tanah. Setelah terbentuk pondasi keliling kemudian ditimbun tanah secara penuh, supaya pada saat bangunan masjid didirikan dapat terlihat lebih tinggi di atas permukaan tanah.
Bentuk Masjid Agung Demak terlihat dari luar mempunyai atap yang berbentuk limas piramida bersusun tiga atau disebut beratap tumpang. Di bagian puncak atap Masjid Agung Demak terdapat mahkota yang terbuat dari tanah liat yang dibakar sampai berwarna merah kecoklat-coklatan dan dihiasi dengan tulisan Arab yang berbunyi Allah. Bagian atap tersebut terbuat dari papan kayu jati yang dikenal dengan sebutan sirap. Sirap pada bangunan Masjid Agung Demak mempunyai ukuran 3 cm x 25 cm x 68 cm. Pada bagian ujung bawah sirap berbentuk segitiga dan di balik papan sirap pada bagian atas sebelah kiri dan kanan terdapat tonjolan batang kayu kecil. Batang kayu tersebut berfungsi sebagai pengkait pada saat pemasangan reng. Untuk sirap yang terdapat pada bangunan Masjid Agung Demak mengalami
commit to user
perbaikan sebanyak dua kali yaitu pada saat pemugaran masjid tahun 1924-1928 Masehi dan pada saat pemugaran masjid tahun 1973-1974 Masehi.
b. Bagian Dalam Masjid atau Ruang Utama Masjid
Ruang utama Masjid Agung Demak berdenah bujur sangkar dengan ukuran 24 x 24 m² dan berdinding tembok dengan ketebalan mencapai 80 cm yang terbuat dari batu bata yang diplester. Dinding pada bagian ruang utama Masjid Agung Demak dihiasi dengan tegel porselen warna coklat muda berukuran 15 cm x 15 cm dan tegel porselen bergambar berukuran 15 cm x 7,5 cm. Tegel porselen juga ditempatkan pada pilar dan dinding masjid di sisi timur bagian luar setinggi 160 cm dari lantai. Tembok dan kolom yang tidak ditempel ubin porselen dicat dengan warna putih. Sedangkan untuk bagian lantai ruang utama Masjid Agung Demak terbuat dari tegel marmer warna putih susu dengan ukuran rata-rata 74 cm x 74 cm. Untuk masuk ke dalam ruang utama masjid terdapat lima buah pintu masuk yang terdiri dari satu pintu utama serta dua pintu pengapit yang terletak di sisi timur, satu buah pintu di sisi utara dan satu buah pintu lagi terletak di sisi selatan ruang utama masjid. Daun pintu utama yang ada di Masjid Agung Demak terbuat dari kayu berukir yang mempunyai ukuran 285 cm dan tinggi 370 cm, sedangkan empat pintu lainnya tidak berukir dan mempunyai ukuran yang hampir sama yaitu sekitar 275 cm dan tinggi 350 cm.
Pintu tengah atau pintu utama Masjid Agung Demak disebut lawang bledeg atau pintu petir. Lawang bledeg yang berada di Masjid Agung Demak memiliki dua daun pintu berukir. Motif ukiran yang terdapat di pintu tersebut yaitu berupa tumbuh-tumbuhan, sejenis mahkota dan kepala naga dengan mulut bergigi yang terbuka. Kepala binatang yang terdapat di ukiran lawang bledeg menggambarkan petir yang pernah ditangkap oleh Ki Ageng Selo dan di bawa ke alun-alun Demak.
Masjid Agung Demak pada saat pemugaran mendapatkan penambahan pintu utama yang berukuran lebar 185 cm dan tinggi 230 cm. Di atas pintu tersebut terdapat lubang ventilasi yang berukuran 185 cm x 74 cm dan memiliki ketebalan sekitar 5 cm serta di tengah lubang ventilasi terdapat prasasti dalam bingkai yang berhuruf dan berbahasa Jawa. Prasasti itu berbunyi sebagai berikut wit pambukakipun Masjid
commit to user
Jimakirwarsa 1769. Selain terdapat pintu masuk yang digunakan untuk menuju
ruang utama, Masjid Agung Demak juga dilengkapi adanya jendela yang berjumlah enam buah yaitu dua buah terletak di bagian timur, dua buah terletak di bagian selatan dan dua buah lagi terletak di bagian utara. Namun, pada saat setelah dipugar mengalami penambahan dua buah jendela yang terletak di bagian barat.
Bangunan utama Masjid Agung Demak pada dasarnya berdiri pada empat tiang pokok atau disebut dengan soko guru. Soko guru terbuat dari balok kayu jati berbentuk silinder dengan panjang 16,30 meter dan memiliki garis tengah antara 65 cm sampai 95 cm. Fungsi tiang-tiang ini adalah sebagai penyangga bangunan dari tanah sampai ke puncak masjid. Keempat soko guru itu merupakan buatan para wali yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Soko guru sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang dan sebelah timur laut buatan Sunan Kalijaga. Diantara keempat tiang itu ada satu tiang yang sangat unik dan dikenal sebagai soko tatal, tiang itu merupakan buatan Sunan Kalijaga. Tiang unik itu disebut tatal atau serutan-serutan kayu karena dibuat dari potongan-potongan kayu yang panjangnya tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya, lalu ditata rapi dan diikat sehingga membentuk tiang yang panjangnya mencapai 19 meter. Pada saat sekarang keempat soko guru tersebut tidak sepenuhnya menyangga bangunan sampai ke puncak masjid, tetapi beban penyangga atap masjid dibuat saling menopang dan berhubungan dengan soko rowo. Penyaluran beban atap masjid ke soko rowo dilakukan dengan cara memasang konstruksi kuda-kuda. Masing-masing ujung keempat soko guru dihubungkan dengan balok kayu sehingga membuat suatu ruang kosong atau wuwungan dan kemudian ruang kosong diantara balok-balok tersebut diberi lembaran papan.
Soko rowo yang terdapat di ruang utama Masjid Agung Demak berjumlah dua belas buah. Soko rowo terbuat dari batu bata bersemen yang dibalut dengan keramik dan berbentuk silinder serta berukuran keliling sekitar 75 cm. Soko rowo yang ada di Masjid Agung Demak berdiri di atas umpak berbentuk setengah bola dengan permukaan diberi warna kekuningan. Tiang-tiang penyangga yang ada di Masjid Agung Demak termasuk soko guru memiliki ukiran yang masih menampakkan corak
commit to user
ukiran budaya Hindu yang bentuknya sangat indah. Selain ukiran pada tiang, juga terdapat ukiran-ukiran kayu yang ditempel pada dinding masjid yang berfungsi sebagai hiasan.
Ruang utama Masjid Agung Demak dihiasi dengan lampu robyong atau lampu gantung yang terletak di depan mihrab. Lampu robyong memiliki bentuk bertingkat yang terdiri dari beberapa tempat bolam dari besi cor berlapis kristal. Ukuran lampu robyong itu yaitu 150 cm x 170 cm. Lampu robyong tersebut juga terdapat di tengah ruang utama Masjid Agung Demak yang diapit oleh keempat soko guru. Jika dilihat dari prototipenya, maka lampu tersebut merupakan lampu bergaya Eropa yang diperkirakan peninggalan pada masa penjajahan Belanda.
Di dalam bangunan ruang utama Masjid Agung Demak terdapat beberapa ruang yaitu:
1) Mihrab
Mihrab atau disebut juga dengan pangimaman merupakan ruangan yang digunakan untuk tempat shalat bagi imam. Mihrab pada bangunan Masjid Agung Demak terletak di sebelah barat dan tepat membagi dua bagian ruang utama masjid. Mihrab di masjid ini berbentuk seperti ceruk yang berukuran 146 cm x 268 cm dan ketebalan tembok mencapai 80 cm. Pada dinding mihrab bagian barat terdapat hiasan relief cekung berbentuk kura-kura yang ditafsirkan sebagai candrasengkala dan pada dinding yang terletak di atas pintu mihrab terdapat hiasan tempel berupa kayu berukir motif sulur-suluran, kaligrafi Arab serta terdapat hiasan keramik Annam warna biru dan putih dengan motif tumbuh-tumbuhan, binatang dan pola geometris. Sedangkan untuk bagian atap ruang mihrab terbuat dari tembok berplester semen dan diberi warna putih serta berbentuk melengkung.
2) Maksurah atau Kholwat
Maksurah atau kholwat merupakan bangunan kecil yang terletak di sebelah kiri
pangimaman atau mihrab dan memiliki fungsi sebagai tempat shalat bagi raja atau
penguasa, namun bisa juga digunakan sebagai tempat berkhalwat atau menyepi untuk memohon petunjuk dari Allah SWT. Maksurah yang terletak di Masjid Agung Demak terbuat dari kayu jati berukuran 280 cm x 182 cm x 319 cm. Maksurah ini ditempatkan di atas landasan pasangan batu bata setinggi 30 cm. Pada bagian dinding
commit to user
sisi bawah terbuat dari papan kayu jati setebal 3 cm yang diukir tembus dengan motif kertas tempel atau disebut juga ukiran krawangan dan untuk dinding bagian atas terbuat dari kaca buram berwarna gelap dengan bingkai berukir suluran. Pada dinding bagian atas sebelah timur terdapat motif hias serta bingkai cermin yang diisi dengan ukiran kaligrafi Arab yang berbunyi haazha mushalaasy syariifu ‘alamiin fi
buladi ‘ilmashuur bizi main ‘allazii ‘asytahara bi’issmi rahadiin tuumengguung muslim ya’murunaa bikhayraat yang berarti bahwa musholla ini adalah tempat yang
mulia untuk raja negeri yang terkenal yaitu dengan nama Raden Tumenggung muslim yang memimpin kita dengan kebaikan. Pada bagian tepi bingkai cermin diisi dengan beberapa tangkai bunga serta daun sebagai pengisi bidang yang kosong. Untuk bagian atap maksurah Masjid Agung Demak dibuat dari kain terpal dan bentuknya menyerupai kubah. Maksurah ini juga dilengkapi dengan pintu masuk yang berada di sisi utara dengan ukuran lebar 67 cm dan tinggi 156 cm. Pada bagian ambang pintu sisi utara dan selatan diisi kalimat laaillahaillallah muhammadarrasulullah rabbighfirlli waliwaalidayya waliman khala bayt mu’minan walilmu’miniina walmu’minaati wa la tazidizh zhalimina ilaa tabaaran yang berarti
ya Allah ampuni aku, ibu bapak serta orang yang masuk kerumahku dalam keadaan yang beriman dan semua orang yang beriman pria dan wanita dan jangan engkau tambah kepada orang-orang dzalim kecuali kebinasan.
3) Ruang Shalat
Ruang shalat yang terdapat di Masjid Agung Demak merupakan ruang yang paling luas dibandingkan dengan ruang utama masjid. Ruangan ini selain digunakan sebagai tempat shalat, terkadang juga digunakan untuk melaksanakan akad nikah para warga masyarakat sekitar Masjid Agung Demak yang ingin melaksanakan akad nikah di masjid tersebut.
4) Pawestren
Ruang pawestren merupakan tempat shalat bagi kaum perempuan. Ukuran ruangan ini adalah 12 m x 3,5 m dengan ketinggian lantai mencapai 80 cm dari permukaan halaman masjid. Ruangan ini memiliki delapan tiang yang terbuat dari kayu. Namun, tiang yang sampai sekarang tidak mengalami renovasi hanya berjumlah empat buah
commit to user
sedangkan empat tiang yang lainnya merupakan tiang yang sudah mengalami perbaikan.
5) Mimbar
Mimbar Masjid Agung Demak dikenal sebagai dampar kencana karena merupakan warisan dari Prabu Kertabumi atau Raja Brawijaya V untuk Raden Patah yang diangkat menjadi Sultan Bintoro. Mimbar tersebut terbuat dari kayu jati berbentuk persegi panjang dan memiliki ukuran 246 cm x 165 cm x 292 cm. Mimbar ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian dasar, tempat duduk dan sandaran serta bagian atas. Pada bagian dasar mimbar terdapat tiga anak tangga dan satu pasang tiang penyangga di bagian kanan dan kirinya serta satu pasang lagi terletak di samping tempat yang digunakan untuk sandaran. Dinding bagian dasar sisi kanan dan kiri serta tiang penyangga hampir semuanya dipenuhi dengan ukiran bermotif tumbuh-tumbuhan. Pada bagian depan tiang penyangga terdapat satu pasang patung singa yang sedang duduk setinggi 0,5 meter yang disamarkan dengan pola tumbuh-tumbuhan. Ujung tiang penyangga tersebut dihubungkan dengan lengkung pada tiap sisinya yang bermotif surya Majapahit. Sedangkan untuk tempat yang lainnya seperti tempat meletakkan tangan di kanan dan kiri tempat duduk serta tempat untuk bersandaran dihiasi dengan ukiran bermotif tumbuh-tumbuhan serta naga yang disamarkan. Mimbar pada Masjid Agung Demak diletakkan di atas landasan pasangan batu bata setinggi 30 cm di atas lantai ruang utama dan ditutup dengan bangunan kaca berkerangka kayu serta di cat warna kuning emas.
2. Serambi
Bangunan serambi Masjid Agung Demak merupakan ruang terbuka dengan ukuran 30 m x 17 m. Bentuk bangunan serambi Masjid Agung Demak beratap limasan yang diperkuat dengan konstruksi kuda-kuda dari baja. Atap serambi ini ditopang oleh delapan buah tiang utama. Tiang tersebut terbuat dari kayu jati berukir dan berbentuk bujur sangkar yang terletak di atas umpak atau alas tiang dari pasangan batu bata berbentuk limasan terpenggal dan tinggi umpak tersebut adalah 60 cm. Delapan tiang utama serambi Masjid Agung Demak dibawa dari Majapahit, sehingga tiang utama itu dikenal dengan saka Majapahit. Delapan tiang utama tersebut dihubungkan
commit to user
dengan pilar berjumlah 24 buah. Pilar itu terbuat dari pasangan batu bata bersemen dengan bentuk bujur sangkar. Untuk bagian lantai serambi Masjid Agung Demak terletak lebih tinggi 60 cm dari halaman masjid dan terbuat dari tegel teraso berwarna putih yang mempunyai ukuran 30 cm x 30 cm. Fungsi bangunan serambi pada Masjid Agung Demak yaitu digunakan untuk tempat shalat, untuk ruang pertemuan, ruang musyawarah atau tempat untuk memperingati hari-hari besar keagamaan. Pada bagian serambi Masjid Agung Demak terdapat dua buah bedug dan dua buah kentongan kayu. Bedug yang terdapat di bagian utara serambi masjid merupakan bedug lama yang memiliki ukuran diameter 99 cm dan panjang 107 cm, serta kentongannya berukuran tinggi 164 cm dengan diameter 45 cm dan lebar lubang 11 cm. Sedangkan bedug yang berada di sisi selatan serambi masjid merupakan bedug baru pemberian Bupati Blitar. Ukuran bedug baru itu berdiameter 94 cm dan mempunyai panjang 145 cm. Untuk kentongan yang berada di sisi selatan terdapat dua buah yaitu yang satu mempunyai tinggi 138 cm dan diameter 35 cm serta yang satunya lagi mempunyai tinggi 108 cm dan diameter 19 cm. Bedug yang terdapat di Masjid Agung Demak merupakan benda peninggalan dari para Wali Songo yang berfungsi untuk memberi isyarat atau tanda masuknya waktu shalat lima waktu, sedangkan kentongan berfungsi untuk memberi isyarat atau tanda kepada kaum muslimin untuk berkumpul di masjid.
3. Halaman Masjid Agung Demak
Halaman Masjid Agung Demak memiliki beberapa bangunan yang terkait erat dengan keberadaan sebuah masjid. Bangunan tersebut antara lain:
a. Menara Adzan
Menurut para ahli bahasa Arab, kata manara atau manar berasal dari kata dasar yang berarti nar (tempat api) atau nur (tempat cahaya). Dalam bahasa Aramaik kuno, kata manar berarti batang lilin. Ada kata lain dalam bahasa Arab, yaitu mi’dhana yang berarti tempat untuk memanggil umat mendirikan shalat (Sumintardja, 2003). Menara atau minaret merupakan bangunan yang terletak di depan masjid sebelah selatan yang pada bagian puncaknya digunakan untuk memancarkan cahaya Allah SWT atau agama Islam. Salah satu bagian menara berfungsi untuk panggilan shalat
commit to user
atau adzan yang dikumandangkan oleh muadzin dari atas menara supaya kaum muslim yang tempatnya jauh dari masjid dapat segera melaksanakan shalat secara berjamaah. Menara adzan di Masjid Agung Demak didirikan pada hari Selasa Pon tanggal 2 Agustus 1932 yang dipimpin oleh para alim ulama yang terdiri dari K. H. Abdoerrahman (Penghulu Masjid Agung Demak), R. Danoewijoto, H. Moh. Tasim, H. Aboe Bakar dan H. Muchsin. Menara adzan tersebut terbuat dari konstruksi baja dengan ukuran bagian kaki 4 m x 4 m dan tinggi 22 meter. Menara Masjid Agung Demak dilengkapi anak tangga yang terbuat dari papan kayu dan dilengkapi dengan pengeras suara. Bagian puncak menara terbuat dari logam dan terdapat kubah yang dilengkapi hiasan bulan sabit serta lengkung-lengkung pada dindingnya. Menara yang berada di depan Masjid Agung Demak pada masa sekarang adalah bukan yang asli. Bangunan menara yang asli terbuat dari kayu, sehingga pada jaman dahulu seorang muadzin yang akan mengumandangkan adzan harus naik ke menara. Namun pada masa sekarang menara adzan Masjid Agung Demak sudah tidak digunakan lagi, fungsi menara adzan tersebut digantikan dengan menggunakan sound system yang cukup memadai.
b. Kolam Bersejarah
Bangunan kolam bersejarah pada Masjid Agung Demak terletak di sudut sebelah tenggara serambi masjid. Kolam ini mempunyai kedalaman sekitar 2 meter dari permukaan tanah. Di bagian tengah-tengah kolam itu terdapat bongkahan batu sungai dan batu karang. Di sebelah timur kolam membentang pagar dari pasangan bata yang ditempeli batu-batu koral putih yang pada jaman dahulu digunakan sebagai bangunan
pawestren, namun pada masa sekarang bangunan tersebut dikembalikan pada fungsi
dan lokasi yang sebenarnya.
D. Bangunan di Sekitar Masjid Agung Demak 1. Museum Masjid Agung Demak
Museum Masjid Agung Demak terletak di dalam komplek Masjid Agung Demak dan di dalam lingkungan alun-alun kota Demak, tepatnya di sisi utara jalan masuk ke kompleks makam. Museum ini didirikan bersamaan dengan selesainya pemugaran Masjid Agung Demak pada tahun 1983. Museum Masjid Agung Demak buka setiap
commit to user
hari Senin hingga hari Minggu pada jam 08.00-17.00. Museum ini berdiri di atas lahan seluas 16 m² yang berada di kompleks Masjid Agung Demak. Museum ini berfungsi untuk menyimpan benda-benda purbakala yang berkaitan dengan Masjid Agung Demak misalnya miniatur Masjid Agung Demak, lawang bledeg, soko guru dan soko tatal, Al Qur’an tulisan tangan, bedug dan kentongan asli buatan Sunan Kalijaga, gentong kong atau gentong minum untuk umum, sirap, batu umpak atau batu andesit yang diambil dari Majapahit, foto-foto Masjid Agung Demak pada jaman dahulu, lampu-lampu dan peralatan rumah tangga dari kristal serta kaca hadiah dari Paku Buwono I pada tahun 1710 Masehi, beberapa prasasti kayu dan lampu robyong Masjid Agung Demak yang dipakai pada saat tahun 1923 Masehi sampai dengan tahun 1936 Masehi.
Jumlah pengunjung yang datang ke museum Masjid Agung Demak tidak dapat diprediksi setiap minggu atau setiap bulannya. Hal ini karena pengunjung yang datang ke Masjid Agung Demak ataupun yang datang berziarah ke makam di sekitar Masjid Agung Demak tidak selalu mengunjungi museum tersebut. Pengunjung yang biasanya datang ke museum Masjid Agung Demak yaitu tamu-tamu pribadi yang melakukan kunjungan ke Masjid Agung Demak, wisatawan asing yang ingin mengetahui seluruh bangunan yang ada di Masjid Agung Demak serta orang yang melakukan penelitian dan membutuhkan data-data di museum tersebut. Museum ini selain dapat menarik jumlah wisatawan yang datang ke Masjid Agung Demak juga dapat memberikan dampak positif, yaitu dengan adanya museum di sekitar Masjid Agung Demak maka dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda purbakala yang berkaitan dengan Masjid Agung Demak supaya benda-benda-benda-benda purbakala tersebut tetap dapat terawat dengan baik dan dapat dijadikan sebagai bukti sejarah (wawancara dengan bapak Ahmad Sutowo, tanggal 16 November 2013). 2. Perpustakaan Masjid Agung Demak
Perpustakaan Masjid Agung Demak diperkirakan berdiri pada tahun 1978 Masehi sampai dengan 1979 Masehi, yang pada awal berdirinya perpustakaan ini hanya didasarkan atas keinginan pengurus BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) untuk memajukan karyawan agar memiliki pengetahuan. Namun, setelah adanya BPPMI
commit to user
(Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia) yang dipimpin oleh Ir. H. Cacuk Sudarijanto maka terbentuklah BPPMI di daerah-daerah termasuk Kabupaten Demak. Semenjak itu maka pengurus BPPMI Kabupaten Demak ingin mengadakan pameran buku tingkat nasional dengan memanfaatkan aset sejarah berupa Masjid Agung Demak. Dengan adanya rencana untuk mengadakan pameran buku maka pada tanggal 15 Januari 1993 dicanangkan gerakan wakaf buku untuk perpustakaan Masjid Agung Demak. Setelah itu maka perpustakaan Masjid Agung Demak mulai dibuka untuk umum (wawancara dengan bapak Rohmat, tanggal 16 November 2013).
Perpustakaan Masjid Agung Demak buka pada hari Senin sampai dengan hari Sabtu mulai pukul 7.30 sampai dengan pukul 13.30. Jumlah pengunjung yang datang ke perpustakaan setiap harinya dapat mencapai 25 sampai 30 orang dan untuk pengunjung yang meminjam buku setiap harinya dapat mencapai 10 sampai 15 orang. Jumlah buku yang tersedia di perpustakaan Masjid Agung Demak mencapai 6000 buku, yang sebagian besar merupakan jenis buku umum seperti buku-buku agama. Buku-buku-buku yang ada di perpustakaan berasal dari sumbangan takmir Masjid Agung Demak, perpustakaan daerah Kabupaten Demak, perpustakaan wilayah, wakaf serta koleksi dari perpustakaan Masjid Agung Demak sendiri.
Pengunjung yang datang ke Perpustakaan Masjid Agung Demak harus mematuhi peraturan yang ada di perpustakaan tersebut, antara lain:
a. Setiap pengunjung yang memasuki ruang layanan hendaknya: 1) Berpakaian rapi.
2) Tidak memakai jaket maupun topi. 3) Mengisi buku pengunjung.
4) Tidak makan, minum atau merokok di dalam ruangan. b. Pendaftaran anggota baru:
1) Membayar biaya administrasi sebesar Rp. 8000,-
2) Menyerahkan satu lembar foto copy KTP atau identitas diri lainnya. 3) Menyerahkan pas photo terbaru ukuran 2 x 3 sebanyak empat lembar.
c. Setiap pengunjung yang akan meminjam buku harap menunjukkan Kartu Tanda Anggota (KTA) kepada petugas perpustakaan.
commit to user d. Lama peminjaman buku selama 1 minggu.
e. Periksalah buku yang akan dipinjam, bila tidak lengkap tunjukkan kepada petugas.
f. Bila buku yang pengunjung pinjam menjadi rusak, hasil foto copy atau hilang maka pemimjam wajib mengganti buku yang sama atau mengganti uang sebesar dua kali harga buku tersebut.
g. Keterlambatan mengembalikan buku dikenakan sanksi: 1) KTA diberi tanda keterlambatan.
2) Tidak diperkenankan meminjam buku sejumlah hari keterlambatan. 3) Denda sebesar Rp. 200,- per hari untuk satu buah buku.
4) Lima kali keterlambatan, KTA dicabut.
h. Bila KTA hilang, dapat meminta kartu duplikat dengan syarat: 1) Menunjukkan surat keterangan kehilangan.
2) Membayar biaya administrasi sebesar Rp. 8000,- i. Bila KTA dikenakan oleh orang lain, KTA akan dicabut.
j. Peminjaman dua buah buku harus dilakukan pada waktu yang bersamaan dan dikembalikan pada waktu yang bersamaan pula.
k. Peminjaman dapat diperpanjang satu kali dan permintaan perpanjangan dapat dilakukan sebelum jatuh tempo tanggal pengembalian.
l. Untuk menghindari keterlambatan pengembalian boleh dititipkan kepada orang lain, sedangkan untuk meminjam serta memperpanjang harus dilakukan sendiri.
3. Makam di Sekitar Masjid Agung Demak
Makam di sekitar Masjid Agung Demak terletak di belakang Masjid Agung Demak, masih di dalam tembok keliling kompleks Masjid Agung Demak. Di dalam kompleks makam terdapat beberapa kelompok makam yang masing-masing dipisahkan dengan tembok keliling antara kelompok makam yang satu dengan kelompok makam yang lainnya. Makam-makam yang berada di sekitar Masjid Agung Demak memiliki panjang yang berbeda-beda antara makam yang satu dengan makam yang lainnya. Namun, makam-makam tersebut cenderung berbentuk
commit to user
panjang-panjang dengan ukuran sekitar 3 meter lebih. Hal ini bertujuan untuk menghormati para tokoh yang sudah meninggal, karena para tokoh-tokoh yang di makamkan di sekitar Masjid Agung Demak dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi dan memiliki kelebihan yang banyak dibandingkan dengan manusia biasa. Makam-makam tersebut terletak di dua bagian yaitu ada yang di dalam cungkup dan ada yang di luar cungkup (wawancara dengan bapak Ahmad, tanggal 16 November 2013). Pengelompokkan makam berdasarkan letaknya yaitu:
a. Makam di dalam cungkup, makam ini sering disebut dengan cungkup Sultan Trenggono. Bangunan ini berupa bangunan tajuk beratap tumpang dua. Makam yang terdapat di dalam cungkup yaitu makam Raden Trenggono atau Sultan Demak III, Permaisuri Sultan Trenggono, Nyi Ageng Pinatih, Sunan Prawoto atau Raden Haryo Bagus Mukmin atau putra Sultan Trenggono, Nyi Ageng Wasi, Pangeran Ketip, Kyai Ageng Wasi, Tumenggung Tanpa Siring, Pangeran Pandan atau K. A Wonopolo, Patih Mangkurat, Patih Wonosalam atau Joko Wono, Pangeran Suruh, Raden Mas Gawulan dan kerabat dekat Sultan Trenggono lainnya.
b. Makam di luar cungkup, jumlah makam yang ada di luar cungkup sebagian besar merupakan makam baru. Makam-makam yang berada di luar cungkup dikenal dengan makam Raden Haryo Penangsang yang jiratnya berukuran 390 cm, lebar 56 cm dan tinggi 80 cm. Makam-makam yang ada di luar cungkup antara lain makam Raden Abdul Fatah Al Akbar Sayyidin Panotogomo atau Sultan Demak I, Raden Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor atau Sultan Demak II, Dewi Murthosimah atau Permaisuri Raden Patah, Nyi Ageng Manyuro, Nyi Ageng Campo, Pangeran Mekah, istri Pangeran Mekah, Pangeran Sedo Lepen atau Pangeran Surowiyoto atau putra kedua Raden Patah, Sunan Ngudung (orang tua Sunan Kudus), K. A Campa, Prabu Darmo Kusumo, Adipati Terung atau adik Raden Patah, Pangeran Arya Penangsang, Pangeran Jaran Panoleh, Pangeran Jipang Panolan, Pangeran Aryo Jenar, Kanjeng Pangeran Benowo, K. A Natas Angin, Syeikh Maulana Maghribi, Syeikh Maulana Su’ud, Pangeran Singo Yudho, Raden Khulkum, R. H. Tumenggung Wironegoro, Nyi Ageng Serang Dewi Moersiyah.