• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Eksistensialisme: Telaah Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Filsafat Eksistensialisme: Telaah Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Filsafat Eksistensialisme:

Telaah Ajaran dan Relevansinya

dengan Tujuan Pendidikan

di Indonesia

Mahmudah *)

*)Penulis adalah Doktoranda (Dra.), Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I.), dosen tetap Jurusan Pendidikan (Tarbiyah)

STAIN Purwokerto.

Abstract: existentialism is a school of modern philosophy that contains several very different branches, and has different

influence. Commonly, philosophy discusses about God, macrocosms and microcosms, therefore existentialism centre its discussion about microcosms. In existentialism, there two school of thought, namely atheistic and theistic. From existentialism teaching, we cam understand that what individual and society produced are a step to enhancement. Therefore, there are sectors on human life that finished, from individual or society perspective. This has relevance with developing country like Indonesia that has been implement reformation at every side, include education. Keywords: existentialism, philosophy, education goal in Indonesia.

Pendahuluan

Tak ada aliran filsafat dewasa ini yang menjadi perbincangan orang seperti filsafat eksistensi atau eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme merupakan aliran filsafat modern yang di dalamnya terkandung beberapa aliran yang sungguh-sungguh tidak sama dan pengaruh aliran inipun bermacam-macam juga.1

Apabila filsafat pada umumnya mempersoalkan tentang Tuhan, makrokosmos, mikrokosmos, maka filsafat eksistensialisme dalam kenyataannya memusatkan pemikirannya pada mikrokosmos. Manusia memikirkan dirinya, siapa dia di hadapan makrokosmos dan Tuhan.2Dalam pada itu, agama

mengajarkan bahwa manusia adalah mahluk yang lemah dengan ditunjang oleh kenyataan bahwa manusia kurang mampu dalam berhadapan dengan lingkungannya, dalam pengertian inklusif dengan sesamanya sendiri. Lebih jauh dari itu, manusia menghadapi kenyataan bahwa seseorang akan berakhir hidupnya pada saat yang tidak diketahui kapan, namun pasti.

Di dalam eksistensialisme, terdapat dua mazhab, yakni yang ateistis dan yang berketuhanan (teistis). Kedua macam pembagian tersebut dianggap lebih relevan untuk dikemukakan kepada mereka yang beragama dalam membahas filsafat ini.

Dari ajaran eksistensialisme dapat dimengerti bahwa yang dihasilkan oleh individu dan masyarakat merupakan “batu loncatan” untuk maju. Gerak manusia terus-menerus memperbarui dirinya, dan ini merupakan salah satu cara manusia bereksistensi.3Oleh karena itu, tidak ada sektor kehidupan manusia

(2)

Filsafat eksistensialisme mempunyai relevansi dengan negara berkembang seperti Indonesia yang sedang melaksanakan reformasi di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Menelusuri pendidikan nasional, kita ternyata banyak mengalami malpraktik, jika dilihat dari aspek kurikulumnya. Artinya, implementasi kurikulum di berbagai jenjang pendidikan kurang memperhatikan tujuan akhir pendidikan. Akibatnya, sekolah menjadi terlalu memusatkan diri kepada pencapaian target kurikulum dalam domain kognitif semata. Persoalan sistem nilai, kreativitas, dan kompetensi peserta didik kurang diperhatikan secara proporsional.4

Kondisi tersebut sungguh sangat menyimpang dari tujuan pendidikan nasional negeri ini. Dalam UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.5

Demikian juga dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.6

Dari sudut pandang Undang Undang Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan juga sangat mementingkan aspek pengembangan sistem nilai. Bahkan, karakteristik manusia Indonesia yang cerdas juga harus disertai sifat kepribadian yang mengacu pada aspek sistem nilai. Wujud kepribadian atau tingkah laku adalah “mengada” secara terus-menerus dalam kehidupan keseharian, di mana dan dalam keadaan bagaimanapun.7

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimanakah ajaran pokok filsafat eksistensialisme dan bagaimana relevansinya dengan tujuan pendidikan di Indonesia?

Permasalahan tersebut akan ada jawabannya melalui uraian dengan sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan;

2. Sejarah berdirinya; 3. Makna eksistensi;

4. Ajaran filsafat eksistensialisme;

5. Relevansinya dengan tujuan pendidikan di Indonesia; 6. Kesimpulan.

Sejarah Berdirinya

Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir untuk menentang zamannya. Ia lahir sebagai reaksi terhadap cara berfikir yang telah ada seperti materialisme dan idealisme, dan barangkali

(3)

juga kekecewaan terhadap agama (Kristen). Hal ini terjadi akibat perang dunia, baik yang pertama maupun yang ke dua.

Eksistensialisme menentang ajaran materialisme setelah memperhatikan manusia sedalam-dalamnya. Materialisme mengajarkan manusia pada prinsipnya hanya benda, sebagai akibat dari proses unsur-unsur kimia, manusia sama saja dengan benda lain, seperti kerbau, pohon, dan sebagainya. Tidak berbeda sama sekali antara keduanya, sekalipun ada kelebihan manusia apabila diperhatikan bentuknya.8Eksistensialisme terus menentang materialisme yang mengajarkan manusia pada dasarnya

seperti benda lain,dan menurut materialisme manusia akan kembali kepada asal dari percampuran unsur-unsur kimia dalam tanah seperti semula.

Dengan demikian, materialisme melupakan usaha atau cara manusia berada di dunia karena kenyataannya manusia berjuang menghadapi dunia. Manusia tidak semata-mata ada di dalam dunia, tetapi ia sadar, hidup, dan mengalami adanya. Dunia dihadapi manusia dengan memahami arti dan guna dari semua benda sehingga ia mengerti apa yang ada di hadapannya. Manusia adalah subjek yang sadar.

Oleh karena itu, kesalahan yang ditentang oleh eksistensialisme karena materialisme memandang manusia sebagai materi semata-mata tanpa memperhatikan unsur lain. Materialisme melupakan unsur potensi batiniah, rohaniah dari manusia. Padahal, manusia mempunyai kesadaran dan pikiran yang dimiliki dari asal kejadiannya.

Eksistensialisme juga menentang ajaran idealisme, sanggahan eksistensialisme terhadap idealisme bahwa idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan akhirnya hanya sebagai kesadaran. Idealisme lupa bahwa manusia hanya bisa berdiri sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya.9

Dengan demikian, kesalahan idealisme ialah mendudukkan manusia sebagai subjek semata-mata, sedang materialisme memandang manusia sebagai objek. Idealisme menafikan suatu kenyataan bahwa manusia hanya dapat berfungsi sebagai subjek karena ada objek dan materialisme lupa bahwa segala sesuatu menjadi objek karena ada subjek.

Dengan demikian, keduanya hanya mengutamakan satu apsek dari manusia untuk menunjukkan keseluruhan manusia itu sendiri. Materialisme mengemukakan segi jasmaniahnya saja, sedangkan idealisme memandang perwujudan manusia itu hanya sebagai yang berfikir. Untuk itu, eksistensialisme mengemukakan keber”ada”an manusia.

Makna Eksistensi

Pada umumnya, kata eksistensi berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada. benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada. Manusia berada bersama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Di samping itu, manusia berada bersama-sama dengan sesama

(4)

manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini, di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada” sedang manusia “bereksistensi”.10 Oleh karenanya, hanya manusialah yang

bereksistensi.

Adapun kata eksistensi adalah berasal dari kata “ex” berarti keluar, dan “sistensi” yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri, dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.11

Ini berarti bahwa eksistensi bermakna manusia itu mengalami, dirinya sendiri dengan mengalami barang lain, barulah bereksistensi. Dalam hal ini, ada hubungan permanen dan ketat antara subjek dengan objek. Manusia tidak memisahkan diri dari dunia luar karena ada dunia luar, maka subjek berbuat, memberi arti sehingga objek dapat berarti karena dimengerti oleh subjek. Oleh karena dunia luar itulah, maka manusia berbuat ini dan itu, kemudian orang lain mengetahuinya. Kata Drijarkara berada dengan menempat sama dengan berada ke luar dari dirinya sendiri, maka manusia menduduki diri sendiri dan berada dalam dirinya sendiri sebab dia berkata “Aku”. Dia mengalami diri sendiri dan sebagai diri sendiri.12Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menggunakan benda-benda yang ada di

sekitarnya. Dengan kesibukannya itu, ia menemukan dirinya sendiri. Demikianlah ia bereksistensi.

Ajaran Filsafat Eksistensialisme

Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam-macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian, sistem-sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme.

Beberapa ciri yang dimiliki bersama di antaranya adalah:

1. Motif pokok adalah eksistensi yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat pernatian adalah pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.

2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Setiap saat, manusia menjadi lebih atau kurang dari dirinya.

3. Filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai dan masih harus dibentuk. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitarnya.

4. Tekanan filsafat eksistensialisme adalah kepada pengalaman yang kongkret, yakni pengalaman yang eksistensial.13

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pangkal tolak filsafat eksistensialisme ialah eksistensi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi merupakan peristiwa yang azasi. Manusia menjadi sadar agar bisa berbuat, dan berbuat bertujuan dalam berbuat dia menyempurnakan dirinya.

Adapun mazhab atau aliran di dalam filsafat eksistensialisme adalah:

(5)

Eksistensialisme teistis diwakili oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Seorang tokoh yang dianggap sebagai Bapak eksistensialisme. Ia berasal dari Denmark. Ajarannya mengandung harapan (optimistis) untuk hidup di dunia ini. Ia percaya bahwa ada cahaya dalam kegelapan. Ia juga berpendapat bahwa eksistensi manusia ialah manusia merasa bersalah terhadap Tuhan.14 Adapun eksistensialisme manusia

adalah hidup, ketakutan, harapan, putus asa, dan mati, yang kesemuanya itu menjadi pemikiran Kierkegaard.15Akan tetapi, dalam situasi demikian, percaya kepada Tuhan dapat menolong mengatasi

ketakutan dan putus asa yang disebabkan oleh kedosaan. Di samping adanya kepercayaan demikian, harus pula disertai segala kesungguhan sebagai eksistensi yang harus menghadapi realitas. Manusia harus berbuat, bertindak dan bereksistensi demi kebebasan dalam keterbatasan dengan adanya mati. Kierkegaard berpendapat pula bahwa hanya manusia yang bereksistensi; yang bereksistensi setiap saat. Bereksistensi ialah bertindak.16

Manusia bukan saja individu di hadapan dirinya, tetapi juga individu di hadapan Tuhan.17Dari ajaran

tersebut sehingga dikatakan bahwa Kierkegaard memandang manusia dalam gerak vertikal yang pada akhirnya ke Tuhan.18

Kierkegaard mengemukakan pula tentang stadium hidup manusia yang dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stadium estetis, etis, dan religius.

a. Stadium estetis ialah orang yang berpikir tanpa gerak. Ia dapat memikirkan segala sesuatu, tapi ia sendiri ada di luar yang dipikirkan itu. Ia tidak menyelaminya malahan tidak menyentuhnya, artinya hanya berpikir untuk berpikir. Kierkegaard benci terhadap eksistensi yang sekadar terletak pada taraf estetis.

b. Stadium etis ialah orang berpikir memusatkan ke dalam dirinya, tak ada soal lain baginya daripada kesalahan atau kedosaannya sendiri. Kesungguhan dipandangnya sebagai hal yang tidak menyenangkan, melainkan sebagai batin sendiri yang harus diubahnya. Renungannya berpuncak pada tindakan etis, tapi tidak memperlakukan diri sendiri untuk diubah. Dalam stadium ini, orang belum meninggalkan yang umum karena ia mencari ukuran tingkah laku yang umum.

c. Stadium religius. Pada stadium ketiga ini diputuskanlah segala ikatan umum. Muncul manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan yang kongkret yaitu Tuhan yang kongkret dan sungguh ada. Minatnya tidak lagi pada diri sendiri, tapi pada Tuhan. Tuhan yang hidup sebagai manusia dalam waktu, tapi berhubungan juga dengan keabadian. Adapun hasilnya ialah perubahan manusia karena imannya. Di situlah ia mengetahui eksistensinya.19

2. Eksistensialisme Ateistis

Jean Paul Sartre dianggap sebagai tokoh eksistensialisme ateistis. Ia seorang filsuf Perancis yang lahir pada tahun 1905. Azas pertama ajarannya ialah eksistensi adalah keterbukaan. Manusia tidak lain cara ia menjadikan dirinya. Ini berarti manusia harus dihadapi sebagai subjek, artinya manusia tidak akan selesai dengan ikhtiarnya. Manusia tidak lain adalah tindakannya sendiri.

Menurut Sartre, apapun eksistensi manusia, ia sendiri yang bertanggung jawab karena ia dapat memilih yang baik dan yang kurang baik baginya. Oleh sebab itu, ia tidak dapat mempermasalahkan

(6)

orang lain, apalagi akan menggantungkan diri kepada Tuhan.20 Pertanggungjawaban tersebut didasarkan

atas suatu perhitungan bahwa apa yang dilakukan manusia akan diperbuat pula oleh orang lain. Perbuatan manusia yang telah dipertimbangkan masak-masak merupakan gambaran manusia yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat digambarkan betapa besar beban manusia terhadap seluruh manusia pada umumnya.

Sartre memandang bahwa apa saja yang dibuat manusia mempunyai tujuan dan arti tertentu. Manusia hidup dalam buatan manusia sendiri. Manusia menjalankan eksistensi manusia dalam alam buatan manusia sendiri. Manusia dapat menembus konstruksi dan mendobrak alam konstruksi. Ia berpandangan bahwa dalam hidup ini tidak ada norma, semua serba tidak menentu. Oleh karena itu, manusia mengalami kesepian yang dapat membawa kepada keputusasaan.21

Sartre mengajarkan pula tentang kesadaran. Sadar, berarti sadar terhadap sesuatu, sesuatu di luar dirinya. Di sini berarti antara bahwa diri seseorang dengan sesuatu yang lain, ada hubungan dan ada komunikasi. Pendapat Sartre lebih lanjut bahwa adanya hubungan dengan sesuatu yang di luar, berarti meniadakan sesuatu. Maknanya, orang yang sadar tidak identik dengan dirinya sendiri, dia bukanlah ia. Dia yang sadar tentang dirinya selalu berbuat terus untuk mengubah dirinya. Dia selalu dalam peralihan dan peniadaan itu berjalan terus-menerus.22

Ajaran sentral Sartre ialah kemerdekaan karena kemerdekaan itu sendiri milik manusia yang azasi. Tanpa kemerdekaan, manusia tidak ada artinya lagi. Hal itu menurut Sartre tidak ada determinasi. Sekalipun orang dipaksa, didorong atau ditarik umpamanya, manusia tetap mempunyai sikap, mau atau tidak mau, maka kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya tetap ada.

Manusia mempunyai kemerdekaan untuk bertindak dan berbuat. Kemerdekaan adalah mutlak. Kemerdekaan tidak dapat disempitkan maknanya bagi manusia, sekalipun maut merupakan batas dari kebebasan. Menurut Sartre, batas itu di luar eksistensi manusia. Maut tidak mempunyai arti apa-apa dalam hubungannya dengan eksistensi manusia.23

Relevansi dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia

Berbicara tujuan pendidikan di Indonesia, maka tidak bisa lepas dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada Bab II pasal 3 yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.24

Dari sudut pandang Undang-Undang Pendidikan Nasional, pendidikan di Indonesia sangat mementingkan pengembangan sistem nilai. Bahkan, karakteristik manusia Indonesia yang cerdas juga harus disertai sifat kepribadian yang mengacu pada aspek sistem nilai. Wujud kepribadian atau tingkah laku adalah mengada secara terus-menerus dalam kehidupan kesehanan di manapun dan dalam keadaan bagaimanapun.25

(7)

Berbicara masalah kepribadian dan sistem nilai, maka hal ini berada pada wilayah afektif. Kawasan afektif itu sendiri memiliki unsur-unsur: minat, (interest), sikap (attitude), nilai (value), dan apresiasi

(appreciation).26

Posisi sikap, minat, sistem nilai, dan apresiasi seseorang terhadap suatu fenomena kognitif sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan dalam diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.27Perilaku baik atau buruk, kesesuaiannya dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang

umumnya untuk manggambarkan kepribadian yang utuh: termasuk disiplin, bertanggung jawab, etos kerja, amanah (dapat dipercaya), pegang janji, kearifan, dan kemandirian.28

Berdasarkan tujuan pendidikan di Indonesia tersebut, maka relevansi ajaran pokok filsafat eksistensialisme dengan tujuan pendidikan di Indonesia adalah terletak pada nilai dasar eksistensialisme untuk membina kawasan afektif dengan unsur-unsurnya yang pada gilirannya dapat mewujudkan perilaku, yang mencerminkan tergambarnya kepribadian yang utuh. Hal itu dapat dijelaskan sebagai:

1. Ajaran eksitensialisme tentang keber”ada”an manusia berarti memandang manusia secara utuh, baik aspek jasmani maupun dataran rohani yang bukan saja aspek pikir, tapi juga berkesadaran. Hal ini dapat sebagai jalan untuk mengantarkan pemikiran dan praksis pendidikan untuk menuju terwujudnya kepribadian yang utuh, yakni sebagai manusia yang tepat dalam menentukan minat, sikap, dan apresiasi terhadap nilai-nilai, dan norma kehidupan.

2. Ajaran eksistensialisme tentang makna bereksistensi bahwa bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Hal ini dapat mendorong ke arah pemikiran dan praksis pendidikan untuk mengantarkan anak didik memiliki sikap disiplin, bertanggung jawab, dan beretos kerja. Pada gilirannya hal itu dapat untuk mewujudkan gambaran manusia yang cerdas, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kepribadian yang mantap.

3. Ajaran filsafat eksistensialisme teistis tentang stadium religius bahwa manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan Tuhan. Hasilnya ialah perubahan manusia karena imannya. Hal ini dapat mendorong ke arah pemikiran dan praksis pendidikan guna mengarahkan anak didik memiliki sikap atau kepribadian amanah (dapat dipercaya), pegang janji, kearifan, dan kemandirian. Pendidikan ini pada gilirannya dapat mewujudkan gambaran manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur dalam arti yang sebenarnya, maksudnya beriman dan berbudi pekerti luhur yang dilandasi oleh keikhlasan bukan karena ada udang di balik batu.

Adapun ajaran filsafat eksistensialisme ateistis dari tokoh Sartre mengenai azas eksistensi tentang keterbukaan, kesadaran, dan kemerdekaan tak ada batas; tak ada norma. Hal ini justru anarkhi dan oportunis karena bertentangan dengan tujuan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, cukuplah di sini dikatakan bahwa dari seorang filsuf atau dari ajaran filsafat, yang tidak bisa kita setujui, dan kita bisa belajar banyak.

(8)

Kesimpulan

1. Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya.

2. Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.

3. Mazhab filsafat eksistensialisme teistis lebih berbobot daripada mazhab ateistis, karena mazhab teistis mengandung pengertian adanya pengakuan di luar subjek yang dapat merupakan penggerak dalam usaha manusia bereksistensi.

4. Terdapat relevansi atau signifikansi antara ajaran filsafat eksistensialisme teistis dengan tujuan pendidikan di Indonesia terlebih dalam mendorong terwujudnya tujuan pendidikan di ranah afektif yang selama ini nampak terabaikan.

Endnote

1Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 142. 2Fuad Hasan, Perkenalan dengan Existensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 5. 3Drijarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1978), hal. 63.

4Suyanto dan Djihad Hisjam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III (Yogyakarta: Adicita

Karya Nusa, 2000), hal. 64.

5Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, dikutip dari karya Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 83.

6 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal. 7.

7 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 136. 8Drijarkara, Percikan, hal. 56.

9Ibid, hal. 60.

10Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 148.

11Ibid, hal. 148.

12Drijarkara, Percikan, hal. 62.

13Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, hal. 149. 14Poedjawijatna, Pembimbing, hal. 145. 15Drijarkara, Percikan, hal. 67.

16Bertens, K. Ringkasan, hal. 83. 17Ibid, hal. 84.

18Drijarkara, Percikan, hal. 67. 19. Ibid, hal. 68.

20Fuad Hasan, Perkenalan, hal. 93. 21Drijarkara, Percikan, hal. 72. 22Ibid, hal. 78.

23Ibid, hal. 79. 24UU SPN, Ibid.

25Mastuhu, Memberdayakan, hal. 136. 26Suyanto dan Djihad Hisjam, Refleksi, hal. 152.

(9)

27Ibid, hal. 154.

28Mastuhu, Memberdayakan, hal. 135. Daftar Pustaka

Bertens K. 1993. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Drijarkara. 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: Pembangunan.

Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hasan, Fuad. 1983. Perkenalan dengan Existensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. Poedjawijatna, 1990. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.

Suyanto, dan Djihad Hisjam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Referensi

Dokumen terkait

UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia no 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (Lembaga Negara Tahun 2003 no 78, Tambahan lembaga Negara no 4301 Pasal 60

dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia Bab V pasal 12 ayat 1 poin a, yang menyatakan setiap peserta didik

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang