• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah surga bahasa, terkenal sebagai negara dengan jumlah bahasa dan budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah surga bahasa, terkenal sebagai negara dengan jumlah bahasa dan budaya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah surga bahasa, terkenal sebagai negara dengan jumlah bahasa dan budaya terbanyak di dunia. Jumlah bahasa daerah di seluruh kepulauan Indonesia yang berhasil diidentifikasi oleh para pemerhati bahasa, hingga kini belum ditetapkan secara pasti. Berdasarkan publikasi oleh badan bahasa, Depdikbud (2013:177) daridari 2.185 daerah pengamatan sebagai sampel penelitian, diinventarisasikan sejumlah 442 bahasa, danjumlah ini belum termasuk bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara.

Kajian linguistik diakronis terhadap bahasa-bahasa Austronesia di wilayah Timur Indonesia, khususnya di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),dikatakan jauh tertinggal dan masih sangat langka, hal ini terbukti dari banyaknya penelitian yang telah disumbangkan para peneliti mancanegara dan lokal terhadap bahasa-bahasa di wilayah Indonesia Barat. Akibatnya tidaklah heran apabila dikatakan kemajuan kajian linguistik Austronesia secara diakronis tentang bahasa-bahasa daerah di wilayah Indonesia Barat jauh lebih unggul, dibandingkan dengan kajian linguistik di Indonesia bagian Timur (Fernandez,1996:2-3).

Penelitian linguistik historis komparatif ini membahas secara historis dan budaya,bahasa Tetun (selanjutnya disingkat Ttn), Dawan (selanjutnya disingkat Dwn), dan Rote (selanjutnya disingkat Rt)di pulau Timor dengan asumsi, bahwa bahasa-bahasa tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang dapat ditilik dari bahasa dan latarbelakang budayanya. Sebagai upaya memahami perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan bahasa-bahasanya, maka, kajian

(2)

linguistik bandingan Nusantara (Comparative Linguistics) sangat bermanfaat karena membantu memahami persamaan antara bahasa-bahasa di Nusantara (Bawa dan Pastika, 2002:3).

Bahasa Tetun, Dawan, Rote, Helong, Kemak, Bunakdan beberapa bahasa lainnyaadalahanggota subkelompok bahasa Ambon-Timor, yang dalam klasifikasi bahasa serumpun termasuk bahasa Austronesia (AN) bagian tengah (Central AN)(Keraf, 1984:2013; Fernandez, 2012, Dyen 1971 :15; Collins, 1983:8). Capell (1943:55)mengelompokkan bahasa-bahasa di Timor ke dalam dua kelompok (berdasarkan karakter khusus linguistik yang dimiliki), yaitu kelompok Melayu Polinesia dan kelompok bahasa Papua (non-Austronesia). Bahasa-bahasa yang tergolong dalam kelompok Bahasa-bahasa Papua (non-Austronesia) misalnya, Bahasa-bahasa Pantar, bahasa Alor, bahasa Bunak dan sejumlah bahasa di Timor Leste, sedangkan bahasa Ttn, Dwn, dan Rt tergolong dalam kelompok Melayu-Polinesia (Autronesia).

Parera (1994;47) menginformasikan bahwa masyarakat Dwn berkerabat dengan masyarakat Ttn. Kedatangan masyarakat Ttn dalam migrasinya mencapai wilayah sekitar gunung Mutis yang diduga terjadi pada sekitar abad ke -15 menyusuli kedatangan yang lebih awal dari masyarakat Dwn ke daerah pedalaman, dan diduga penamaan Dawan sebagai suku pedalaman (Atoni) berasal dari suku Ttn.

Bahasa Ttnadalah bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari di wilayah Kabupaten Belu dan berkedudukan sebagai bahasa nasional masyarakat Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Meskipun pada umumnya kedua bahasa ini sama, namun yang membedakan adalah adanya unsur-unsur serapan dari bahasa lain. Bahasa Ttn di RDTL banyak terpengaruh bahasa Portugis, sedangkan bahasa Ttn di wilayah Kabupaten Belu dipengaruhi oleh bahasa Indonesia.Penyebaran bahasa Ttn merata, dimulai dari Selatan Barat hingga menjelajahi

(3)

wilayah tengah dan menembus ke Selatan arah ke Timur berbatasan langsung dengan penutur bahasa-bahasa kecil yang digunakan di RDTL (Sanda, 2010:5).

Masyarakat Dwn merupakan kelompok suku terbesar yang mendiami daratan pulau Timor, meliputi Kabupaten Kupang, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU), dan sebagian Kabupaten Belu. Masyarakat ini menyebut diri mereka sebagai Atoni (Atoni Meto).KataAtoni berasal dari ata ‘orang’ + uni ‘pedalaman’ terdapat kaidah sandi yang menyatukan vokal /a/ pada ultima (ata) dan vokal /u/ pada penultima (uni) > (menjadi) /o/ sehingga berbentuk atoni yang bermakna ‘orang pedalaman’. Bahasa Dwn atau Uap-Metomemiliki lima dialek, yaitu dialek Amfoan-Fatule’u-Amabi, dialek Amanuban-Amanatun, dialek Mollo-Miamafo, dialek Biboki-Insana, dan dialek Kusa-Manlea, yang secara umum terletak diwilayah pesisir pantai dan pedalaman dengan topografi dataran, bukit, dan pegunungan serta berbatasan dengan daerah-daerah sebaran bahasa yang lain.

Wilayah Rote-Ndao, terletak di lepas pantai ujung barat daya pulau Timor dan terkenalsebagai pulau terselatan di Nusantara.Bahasa Rt memiliki enam dialek, yaitu dialek Ringgou, Karbafo, Pada, Baa, Dengka, dan Thie (Pusat Bahasa, 2013). Nama bahasa “Rote” diambil dari nama pulau itu, yang memiliki variasi Roti, Rotti, dan Lote. Istilah “Roti” digunakan oleh para peneliti luar yang berbahasa Inggris. Dalambahasa Inggris, fonem /e/ diucapkan /i/, sehingga ortografi Indonesia menggunakan istilah “Rote’, dan Inggris menggunakan “Roti”. Sedangkan, istilah “Rotti” terdapat fonem /t/gandamengikuti sistem penulisan Belanda, yakni “Rottineesche” yang dalam bahasa Inggris “Rotinese”. Namun, bagi masyarakat Rote, hanya terdapat dua variasi, yakni “Rote” dan “Lote”. Bagi daerah yang ciri linguistiknya menggunakan bunyi [r], maka digunakan istilah “Rote”, sedangkan daerah yang memiliki ciri linguistik [l], maka digunakan istilah “Lote” (Balukh, 2012-2).

(4)

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, berikut inidilampirkan bukti beberapa contoh leksikon yang memperlihatkan adanya kemiripan, serta variasifonologi dan leksikon antara bahasa Ttn, Dwn, dan Rt.

Tabel 1

Daftar Contoh Leksikon

No Glos Tetun Dawan Rote

1 Mata mata-n mata-f mata-k

2 Dagu timir timi timi

3 Bapak ama ama ama

4 Mati mate maet mate

5 Rumah uma ume uma

6 Api ha’i ai ai

7 Kutu utu hutu utu

8 abu ahu afu afu

9 Tuak tua tua tuak

10 Anjing asu asu busa

11 Mabuk lanu mafu mafu

12 Ayam manu manu manu

13 Muntah muta loʷat muta

14 Menyusu masusu nasusu nasusu

15 Kapas kabas abas abas

Pada tabel daftar leksikon diatas,ditemukan banyak persamaan kognat, seperti pada data nomor 1-9, 12, 14,dan 15. Pada data no 4 yakni glos ‘mati’ ditemukan adanya metatesis mate dalam bahasa Ttn, menjadi maetdalam bahasa Dwn. Kemiripan antara bahasa Rt dan Dwn pada nampak pada data nomor 2, 6, 8, 11, 12, 14, dan 15, sedangkankemiripan antarbahasa Ttn dan Rtnampak pada data nomor 4, 5, 6, 12, 13,dan 14. Dari segi leksikon contoh diatas, disimpulkan bahwa bahasa Ttn, Dwn, dan Rt merupakan bahasa yang diturunkan atau diwariskan dari bahasa awal yang sama, baik pada tingkat meso bahasa (proto Ttn, Dwn, Rt/PTDR) maupun dari proto bahasa Austronesia (PAN).

(5)

Berdasarkan deskripsi latar belakang serta beberapa contoh yang membuktikan adanya kemiripan dari segi bahasa yang tentunya turut berpengaruh pada budaya ketiga bahasa tersebut maka penelitian ini merupakan penelitian studi perbandingan yang sangat menarik. Adapun yang menjadi latar belakangfokus penelitian bahasa Ttn, Dwn, dan Rt ini,didasari oleh beberapa hal berikut.

1. Penelitian-penelitian bahasa di wilayah pulau Timor selama ini relatif minim, jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap bahasa-bahasa di daerah NTT lainnya seperti Flores, Sumba, dan Alor.

2. Penelitian-penelitian bahasa di pulau Timor, khususnya yang memfokuskan pada bahasa Ttn, Dwn, dan Rt secara sinkronis dan diakronis belum maksimal, oleh karena adanya perbedaan dan pertentangan antara penelitian yang satu dan yang lainnya. Kemungkinan perbedaan ini diakibatkan oleh banyak hal seperti ketidaktepatan dan ketidaktelitian dalam menggunakan teknik leksikostatistik atau dialektometri, hingga data penelitian yang minim atau kurang valid.

3. Penelitian relasi kekerabatan bahasa yang melibatkan perbandingan unsur budaya antar penutur bahasa Ttn, Dwn, dan Rt, belum pernah dilakukan sebelumnya oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk dilakukan.

4. Adanya keyakinan bahwa bahasa adalah kekayaan budaya yang perlu dilestarikan, sehingga penelitian-penelitian guna mengetahui status kekerabatan bahasa di NTT khususnya di pulau Timor, perlu dilakukan secara mendalam.

(6)

1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan diatas, maka penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah kajian struktur fonologi dan leksikonsecara sinkronis antarabahasa Ttn, Dwn, dan Rt?

2. Bagaimanakah relasi kekerabatan bahasa Ttn, Dwn, dan Rt secara kuantitatif, berdasarkan teknik leksikostatistik?

3. Bagaimanakah hubungan kekerabatan bahasaTtn, Dwn, dan Rt secara kualitatif, jika diamati dengan teknik rekontruksi berdasarkan metode komparatif?

4. Bagaimanakah hubungan kekerabatan bahasa Ttn, Dwn, dan Rt bila ditinjau dari perbandingan budayanya?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan struktur fonologi dan leksikon secara sinkronis antara bahasa Ttn, Dwn, dan Rt.

2. Mendeskripsikan relasi kekerabatan bahasa Ttn, Dwn, dan Rt secara kuantitatif berdasarkan teknik leksikostatistik.

3. Mendeskripsikan relasi kekerabatan bahasa Ttn, Dwn, dan Rt secara kualitatif dengan teknik rekontruksi berdasarkan metode komparatif.

4. Mendeskripsikan hubungan kekerabatan bahasa Ttn, Dwn, dan Rt bila ditinjau dari perbandingan budayanya.

(7)

1.4 Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu: a. Manfaat Teoretis

Adapun manfaat teoretis dari penelitian ini adalah, dapat memberikan pemahaman tambahan berupa informasi atau masukan, terkait ciri-ciri elemen kebahasaan yang terdapat pada bahasa Ttn, Dwn, dan Rt. Manfaat lainnya yakni, penelitian ini dapat menambah khasanah pustaka kajian Linguistik Komperatif bagi pemetaan kekerabatan bahasa-bahasa di Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya antara bahasa Ttn, Dwn, dan Rt.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini sebagai salah satu wujud peran serta melestarikan bahasa-bahasa daerah di wilayah Timur Indonesia, melalui penyumbangan pemikiran tentang situasi kebahasaan di NTT khususnya di pulau Timor yang dikaji secara sinkronis dan diakronis, dengan turut menyertakan perbandingan budaya di dalamnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman terkait hubungan kebudayaan bahasa Ttn, Dwn, dan Rtyang diharapkan berdampak pada peningkatan kesadaran dan solidaritas kehidupan bersama antara masyarakat Belu, Timor, dan Rote.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sebagai salah satu wilayah multilingual, bahasa-bahasaNusa Tenggara Timur (NTT) selalu menarik bagi para linguis untuk diteliti.Berikut, akan diuraikan beberapa penelitian bahasa khususnya yang terkait dengan bahasa-bahasa di pulau Timor dan sekitarnya yang menjadi acuan penelitian ini. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan 200 daftar Swadesh oleh Dyen (1971:15-17) terhadap bahasa-bahasa yang termasuk dalam kelompok Maluku, ia menempatkan

(8)

beberapa bahasa di Flores, Timor, Sumba dan Maluku kedalam satu kelompok. Untuk bahasa-bahasa di Timor, Dyen menempatkan bahasa-bahasa-bahasa-bahasa di Timor Barat (NTT) maupun Timor-Timur (RDTL) kedalam sub kelompok Ambon-Timor (Keraf, 1996:213). Pernyataan serupa juga dibuktikan dari hasil penelitian lanjutannya (dalam Poedjosoedarmo, t.t.:27; Collins, 1983:16) yang mengungkapkan bahwa terdapat kekerabatan yang lebih erat antarbahasa di Timor yang adalah kelompok Ambon (Ambic Group).Namun kajian ini bersifat kuantitatif oleh karena itu, perlu pembuktiansecara kualitatif.

Masih terkait dengan pembagian kelompok bahasa di Nusantara, Brandes dalam Lauder, et al.(2000:9), dalam kajiannya mengenai bahasa-bahasa Austronesia, menetapkan sebuah garis pemisah yang dikenal dengan nama Garis Brandes yang mengelompokkan bahasa-bahasa di Nusantara atas kelompok Nusantara Barat dan dan Timur. Oleh Brandes, bahasa-bahasa yang termasuk dalam kelompok bahasa Nusantara Barat (Bima-Sumba), meliputi bahasa-bahasa di kabupaten Sika, Ngada, Manggarai, Sumba Timur, dan Sumba Barat, sementara yang termasukkelompok bahasa Nusantara Timur (Ambon-Timor), meliputi bahasa-bahasa di Flores Timur, Alor, Belu, Timur Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Kupang. Namun, hasil penelitian ini dibantah oleh Fernandez (1996:175) yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa,penetapan garis Brandes tidak relevan, dengan pengelompokkan bahasa-bahasa sekerabat di Flores, karena tidak menggunakan kriteria yang tepat sesuai dengan tuntutan yang harus dipenuhi dalam usaha pengelompokkan bahasa sekerabat.

Lauder, et al. (2000) dalam penelitian kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa daerah di NTT, berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik dengan 200 kosakata dasar Swadeshmenyimpulkan di NTT terdapat enam kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa-bahasa Flores dengan tujuh sub-kelompok bahasa, yaitu sub-kelompok bahasa komodo;

(9)

Kloang-Manggarai-Wangka, Ngada-Ende-Lio; Palue; Klowe Iwang-Sikka Krowa, Lamaholot-Adonara dan Kedang. Kelompok bahasa-bahasa Sumba memiliki dua kelompok bahasa, yaitu sub-kelompok bahasa Kambera-Tabundung dan Kodi. Kelompok bahasa-bahasa Timor Barat mempunyai tiga sub-kelompok bahasa, yaitu sub-kelompok bahasa Timor-Dawan; Karbofo-Baa, dan Sabu. Kelompok bahasa Timor Timur (RDTL) hanya diwakili oleh satu sub-kelompok, yaitu bahasa Bunak. Kelompok-kelompok bahasa Pantar memiliki dua sub-kelompok bahasa, yaitu sub-kelompok bahasa Pantar dan sub-kelompok bahasa Retta. Bahasa-bahasa Alor hanya diwakili oleh satu sub-kelompok bahasa, yaitu bahasa Kui. Namun penelitian ini hanya bersifat kuantitatif dan bersifat umum tanpa ada pembuktian secara kualitatif.

Terkait bahasa-bahasa di Flores, Fernandez (1996) dalam kajiannya terhadap sembilan bahasa di Flores dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, menyimpulkan bahasa-bahasa di Flores: Manggarai, Rembong, Komodo, Ngadha, Lio, Palu’e, Sika, Lamaholot dan Kedang adalah satu kelompok bahasa sekerabat yang disebut kelompok bahasa Flores dan merupakan anggota kelompok bahasa Austronesia Tengah (Central Malayo-Polynesian).Dari bukti kuantitatif diperoleh persentase kognat bahasa-bahasa di Flores sebesar 61,5% sementara persentase kekerabatan dengan bahasa-bahasa disekitarnya rata-rata hanya 20,5%. Sementara itu, dari bukti kualitatif ditemukan inovasi bersama secara fonologi yang menyatakan bahasa-bahasa sekerabat itu mengalami sejarah perkembangan fonologi yang sama. Berdasarkan bukti-bukti ini maka Fernandez membagikelompok bahasa di Flores menjadi dua kelompok yaitu, sub-kelompok Flores Barat (Manggarai, Ngadha, dan Lio) dan sub-sub-kelompok Flores Timur (Sika, Lamaholot, dan Kedang). Karena hubungan kekerabatan Ngadha dan Lio sebagai anggota sub-kelompok Flores Barat lebih erat maka keduanya membentuk sub-sub-kelompok Ngadha-Lio yang

(10)

sejajar dengan Lio. Hasil penelitian ini sekaligus membantah pendapat Brandes yang memisahkan bahasa-bahasa di Flores atas dua kelompok yang berbeda.

Terkait dengan bahasa-bahasa di pulau Timor,Putrayasa (1998:180) dalam tesisnya yang berjudul “Hubungan Kekerabatan Bahasa Tetun, Rote, dan Dawan”. dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif ia membandingkan bahasa Ttn, Rt, dan Dwn dengan lima bahasa disekitarnya yakni bahasa Bima, Kambera, Mambai, dan Kisar. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa, bahasa Ttn, Rt, dan Dwn adalah satu kelompok yang terdiri atas kelompok bahasa Ttn, dan kelompok bahasa Rote-Dawan, yang termasuk dalam kategori Language of a family dengan persentase kognat rata-rata 75%.Sementara itu, dalam pembuktian secara kualitatif ditemukan adanya inovasi bersama berupa seperangkat kata yang tidak diditemukan pada bahasa kerabat atau kelompok bahasa yang lain.Namun oleh Mandala penelitian ini dinilai sebagai penelitan lepas karena tidak dihubungkan dengan kelompok bahasa atau relasi kekerabatan bahasa-bahasa tersebut.

Mandala (2012:6), dalam penelitian lanjutannya mencoba membuktikan kembali kekerabatan bahasa-bahasa di Timor, dalam tulisannya “Relasi Genetis Bahasa-Bahasa di Timor” dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, ia mengkajitujuh bahasa yang memiliki relasi genetis yakni bahasa Tokodede, Kemak, Mambae, Dawan, Rote, Tetun, dan Helong. Dari hasil penelitiannyadisimpulan bahwa ketujuh bahasa ini memiliki hubungan kekerabatan meskipun beberapa bahasa tersebut diklasifikasikan sebagai bahasa Non-Austronesia. Menurutnya, bahasa-bahasa di pulau Timor terdiri atas tiga subkelompok yakni subkelompok Tokodede, Kemak, dan Mambae (TKM), subkelompok Dwn, Rt, dan Ttn (DRT), dan subkelompok Helong (H1). Untuk subkelompok DRT, berbeda dengan penelitian Putrayasa, dengan pendekatan kuantitatif Mandala menggolongkannya dalam Families of stock dengan

(11)

persentase kognat rata-rata 30% dan merincinya menjadi sub.TR dan Dawan. Keakuratan pengelompokan bahasa-bahasa di Timor dibuktikan dalam pendekatan kualitatif dengan ditemukannya Proto Timor dalam bentukproto fonem (melalui rekontruksi fonologi) dan dalam bentuk protokata (melalui rekontruksi leksikon).

Kajian struktural terhadap bahasa-bahasa di NTT,selama ini telah banyak dilakukan. Tarno, et al (1992) mendeskripsikan fonologi, morfologi dan sintaksis bahasa Dawan melalui karya yang berjudul“Tata Bahasa Dawan”. Informasi terkait bahasa Ttn sebagai salah satu bahasa masyarakat Belu, diinformasikan oleh Monteiro (1985) melalui karyanya berupaKamus Tetun-Indonesia. Selanjutnya, Troeboes, et al (1987) yang mengkaji bahasa Ttn melalui karyanya yang berjudul“Struktur Bahasa Tetun”, adapula Taryono, et al (1993) yang mengkaji beberapa aspek khusus bahasa Ttn melalui karyanya yang berjudul“Morfosintaksis Bahasa Tetun”. Saliwangi, et al (1991) yang menulis tentang Sistem Morfologi Kata Kerja (Verba) Bahasa Tetun, serta Soedjiatno, et al (1992) menulis tentangSistem Morfologi Kata Tugas Bahasa Tetun. Untuk kajian strukturalbahasa Rote,Fanggidae, et al (1998) mencoba mendeskripsikan fonologi, kelas kata, dan morfologi bahasa Rote melalui karya berjudulMorfologi Bahasa Rote.

Hingga saat ini belum ditemukan literatur kajian yang mengkaji hubungan kekerabatan bahasa-bahasa melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang turutmenyertakan perbandingan latarbelakang budaya dari masyarakat penuturnya.

(12)

1.6 Landasan Teori

Beberapa ciri hakiki bahasa adalah sifatnya yang arbiter,dinamis, dan universal. Dikatakan bersifat arbiter dan dinamiskarena,bahasa selalu berubah-ubah mengikuti perubahan disekitarnya,sehinggamenjadi tidak tetap dan tidak statis.Bersifat universal artinya,bahasa memiliki ciri-ciri yang sama, yang dimiliki oleh setiap bahasa di dunia, teristimewa apabila dimiliki oleh sejumlah bahasa dalam satu rumpun atau satu golongan (Chaer, 2003:53). Oleh karenasifat bahasa dapat berubah dari masa ke masa dengan berbagai cara yang mirip dan pantas ditelaah(Crowley, 2010:23) menjadikan kajian linguistik historis komparatif sebagai kajian linguistik yang paling banyak dilakukan pada abad ke-19 (Verhaar, 1996:15).

Linguistik historis komparatif adalah cabang linguistik (teoretis) yang menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa, serta menyelidiki perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain (Mahsun, 2007:5).Hal senada juga dijelaskan oleh Keraf (1996:22), bahwa linguistik historis kompratif adalah satu cabang dariilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tertentu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian dengan menggunakan kerangka teori linguistik historis komparatif pada dasarnya bertujuan membandingkan bahasa-bahasa kerabat untuk menetapkan peringkat hubungan kekerabatan antar bahasa dalam satu rumpun bahasa.

Kajian linguistik dikatakan sebagai kajian historis komparatif, apabila memenuhi beberapa kriteria yakni, apabila objek kajian difokuskan pada satu bahasa tertentu maka orientasi penelaahannya difokuskan pada deskripsi perbedaan bahasa dari kurun waktu tertentu ke kurun waktu lainnya. Sedangkan apabila objek kajian difokuskan pada lebih dari satu bahasa, maka orientasi penelaahannya di fokuskan pada relasi kekerabatan yang terdapat pada bahasa-bahasa tersebut (Mahsun, 2007:5).

(13)

Kajian sinkronis (deskriptif) adalah kajian yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi dalam satu masa yang terbatas, dan tidak melibatkan perkembangan historis (Kridalaksana, 2011:198). Pemahaman lainnya dari Suwadji, D.S dan Sudira (dalam Taembo, 2013:21) yang menyebutkan bahwa, tujuan analisis konstrastif atau sinkronis adalahmengamati sistem kebahasaan bahasa-bahasa yang dibandingkan dengan baik. Adapun, kajian sinkronis ini akan diperkuat lagi dengankajian diakronis dalam memberikan evidensi-evidensi mengenai relasi kekerabatan antarbahasa. Hal senada juga disampaikan oleh Saussure, bahwa kajian bahasa secara sinkronis adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu tertentu, sedangkan telaah bahasa secara diakronis adalah telaah bahasa sepanjang masa, keduanya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi untuk melihat kekerabatan bahasa (Crowley, 2010:3; Chaer, 2003:347).

Kajian diakronis (historis) penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dimaksudkan untuk melihat kemiripan-kemiripan bahasa yang diteliti dengan membandingkan kata-kata seasal dengan menggunakan teknik leksikostatistik untuk melakukan pengelompokkan bahasa. Leksikostatistik adalah teknik yang digunakan untuk menentukan peringkat kekerabatan dengan membandingkan kosakata dari bahasa, dan menentukan tingkat kesamaan antara mereka.Melalui teknik ini dapat ditetapkan hipotesis kerja untuk melakukan rekontruksi proto bahasa pada tingkat mesobahasa atau proto bahasa (Crowley 1992:168).

Keraf (1984:126) mengemukakan bahwa, dalam penerapan teknik leksikostatistik, ada empat langkah yang harus dilakukan yaitu:

1. Mengumpulkan kosa kata dasar bahasa kerabat 2. Menentukan kognat atau perangkat kata sama asal

(14)

3. Menghitung persentase kognat sesuai rumus Jumlah kata berkerabat

x100% Jumlah glos yang dibandingkan

4. Menentukan tingkat hubungan kekerabatan bahasa.

Lebih jauh, Crowley (1992:170) memberikan tingkat hubungan kekerabatan bahasa-bahasa berdasarkan persentase kekognatannya seperti pada tabel 2 berikut.

Tabel 2

Hubungan Persentase Kekognatan dengan Kategori Kekerabatan

Tingkat Pengelompokan Persentase Kekognatan

Perbedaan dialek dalam satu bahasa 81-100% Perbedaan bahasa dalam satu keluarga bahasa 36-81% Perbedaan kelompok bahasa dalam satu rumpun 12-36%

Hubungan mikrofilum 4-12%

Hubungan mesofilum 1-4%

Hubungan makrofilum 0-1%

Fernandez (1996:21) mengatakan bahwa hubungan antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada prinsipnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur warisan dari bahasa asalnya atau protobahasa. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan lanjutan dari pendekatan kuantitatif. Hakikat pendekatan kualitatif adalah korespondensi bunyi yang dimiliki bahasa-bahasa berkerabat,unsur inovasi (pembaharuan) bersama serta unsur retensi (kesamaan/pemertahanan) baik pada tataran fonologi, leksikon, maupun secara ekslusif gramatikalnya yang diperlihatkan oleh bahasa-bahasa yang dibandingkan.

(15)

Dengan metode pengelompokan kualitatif digunakan evidensi pengelompokan berupa inovasi bersama secara ekslusif baik pada tataran fonologi maupun leksikon. Bahasa-bahasa kerabat yang mempunyai evidensi bersama secara ekslusif memperlihatkan tingkat kekerabatan yang erat dalam sebuah kelompok dan dapat dibedakan dengan kelompok lain. Rekontruksi dapat dilakukan dengan rekontruksi dari bawah keatas (bottom-up reconstruction) dan rekontruksi dari atas ke bawah (top-down reconstruction). Rekontruksi dari bawah keatas bertujuan untuk merekontruksi protobahasa yang terdapat pada objek kajian, sedangkan rekontruksi dari atas ke bawah bertujuan untuk memerikan keterwarisan, baik secara linear maupun perubahan (Mbete, 2002:38). Rekontruksi ini disebut rekontruksi eksternal yang bahasa awalnya adalah proto bahasa. Adapun rekontruksi internal berlaku bagi dialek-dialek dalam suatu bahasa yang menurunkan bahasa-bahas kerabat secara diakronis yang disebut pra-bahasa.

Greenberg (1957:49) memberikan pengertian yang berbeda antara retensi dan inovasi. Menurutnya retensi merupakan unsur warisan dari bahasa asal yang tidak mengalami perubahan pada bahasa sekarang dan dapat terjadi secara mandiri tanpa melalui suatu masa perkembangan yang sama. Akan tetapi, inovasi bersama yang dialami bahasa sekerabat secara eksklusif pada umumnya melalui suatu masa perkembangan bersama. Inovasi merupakan pembaruan yang memperlihatkan kaidah yang berlaku. Di bidang fonologi pembaruan itu bertalian dengan kaidah perubahan yang teratur, dan perubahan yang tidak teratur yang disebut kaidah sekunder atau sporadis. Wujud perubahan yang menyangkut kaidah sporadis antara lain berupa fenomena paragoge seperti pelepasan (delesi), paduan (merger), pembelahan (split), dan penambahan (excrescence) (Crowley, 1992).

Pendekatan melalui perbandinganbudaya (comparative culture) digunakan untuk melihat hubungan kekerabatan antara bahasa Ttn, Dwn, dan Rtdan hasil perbandingan inisebagai bukti

(16)

pendukung asumsi hasil analisis diakronis kekerabatan ketiga bahasa tersebut.Crowley (1992:291-292), menyatakan bahwa terdapat sebuah sistem yang terlibat dalam rekonstruksi budaya asal, yang dapat direkonstruksi dengan cara yang sama dengan merekonstruksi proto-bahasa, danmetode ini dikenalsebagai metode perbandingan budaya (comparative culture). Pendekatan perbandingan budaya (comparative culture) memandang adanya kemungkinan pola penyebaran menyilang (criss-cross pattern) yang melibatkan area-area tertentu. Pola penyebaran menyilang ini terjadi karena adanya migrasi silang di masa lalu, dan untuk menyelidiki kemungkinan adanya penyebaran menyilang ini, perlu dilakukan analisis terhadap bukti-bukti budaya berupa folklore yang dimiliki oleh masyarakat yang diteliti.

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas tiga tahapan, yaitu (1) metode penyediaan data, (2) metode analisis data, (3) metode penyajian hasil analisi data (Mahsun, 2007:127; Sudaryanto, 1993:57; Wijana, 2008:103).

1.7.1 Tahap penyediaan data

Tahap penyediaan data ini akan menggunakan metode cakap dan metode simak. Metode cakap dilakukan dengan teknik cakap semuka, yaitu peneliti mendatangi setiap lokasi penelitian dan melakukan percakapan secara langsung dengan informan. Percakapan akan bersumber pada pancingan berupa daftar pertanyaan (daftar Swadesh dan daftar Holle). Metode simak dilakukan dengan teknik sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan berupa teknik catat dan teknik sadap. Selanjutnya, dilakukan teknik catat yakni peneliti mencatat hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Metode pustaka juga digunakan dalam penelitian ini hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi terkait objek penelitian.

(17)

a. Penetapan daerah pengamatan

Penetapan daerah pengamatan baik kecamatan, desa atau dusun, hendaklah sesuai kriteria berikut; daerah pengamatan terletak jauh dari kota besar, memiliki mobilitas penduduk yang rendah, penduduk maksimal berjumlah 6.000 jiwa dan daerah pengamatan berusia minimal 30 tahun (Mahsun, 2005:138).

Daerah pengamatan penelitian ini adalah, Kabupaten Belu untuk daerah pengguna bahasa Ttn, kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) untuk daerah pengguna bahasa Dwn, dan Kabupaten Rote-Ndao untuk daerah pengguna bahasa Rt. Oleh karena penutur ketiga bahasa tersebut sangat luas, maka lokasi penelitian dibatasi menjadi, penutur bahasa Ttn di Desa Silawan di Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, penutur bahasaDwn di Desa Bena di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), dan untuk penutur bahasaDwn, dan penutur bahasa Rt diDesa Batu Tua di Kecamatan Rote Barat Daya Kabupaten Rote-Ndao.Alasan dipilihnya ketiga desa ini sebagai daerah titik pengamatan karena,secara geografis terletak jauh dari pusat kota, mobilitas penduduknya yang tidak begitu tinggi, pertimbangan bahasa yang digunakan masyarakatnya masih asli/tua serta latar belakang kemiripan budaya.

b. Penetapan informan

Penetapan informan sangat penting saat sebuah penelitian hendak dilakukan.Oleh karena itu, saat memilih informan hendaklah memenuhi persyaratan-persyaratan (Mahsun, 2007:141)sebagai berikut.

a. Berjenis kelamin pria atau wanita. b. Berusia antara 30-65 tahun (tidak pikun).

(18)

c. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya.

d. Berpendidikan maksimal pendidikan dasar (SD).

e. Berstatus sosial menengah (tidak rendah atau tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya.

f. Pekerjaan bertani atau buruh. g. Dapat berbahasa Indonesia, dan

h. Sehat jasmani dan rohani (sehat jasmani berarti tidak cacat organ bicaranya dan sehat rohani dalam pengertian tidak gila atau pikun).

c. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan melalui pengisian instrumen berupa kosakata dasar (200 kosakata Swadesh dan Daftar Holle) dilapangan.Sementara itu, data sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian terdahulu yang bermanfaat bagi keperluan analisis.

1.7.2 Metode analisis data

Data yang telah ditabulasi akan dianalisis sesuai rentetan permasalahan dalam penelitian ini. Mula-mula data dianalisis secara sinkronis melalui metode deskripsi. Pendeskripsian meliputi aspek fonologi dan leksikon ketiga bahasa tersebut. Selanjutnya, menjawab permasalahan kedua, dilakukan analisis diakronis melalui metode kuantitatif dengan teknik leksikostatistik yang dihitung dari daftar Swadesh dan Holle. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam perhitungan leksikostatistik adalah sebagai berikut.

(19)

b. Menetapkan glos yang berkerabat atau kognat. c. Membuat persentase kerabat

d. Menyusun silsilah kekerabatan dalam bentuk bagan.

Langkah berikutnya adalah menjawab rumusan masalah ketiga, yaitu dengan menggunakan metode komparatif melalui rekontruksi dari bawah ke atas (bottom-up reconstruction), untuk merekontruksi protobahasa dari bahasa Ttn, Dwn, dan Rt yang bertujuan, memberi tambahan evidensi fonologi dan leksikon pemisah ataupun penyatu bahasa Ttn, Dwn, dan Rt. Rekontruksi selanjutnya, rekontruksi dari atas kebawah (top-down reconstruction) melalui rekontruksi eksternal untuk melihat relasi kekerabatan bahasa Ttn, Dwn, dan Rt. Rekontruksi eksternal ini akan mendeskripsikan refleks-refleks fonem dan etimon PAN berupa inovasi dan retensi fonologi dan leksikon bahasa Ttn, Dwn, dan Rt.

Langkah terakhir adalahmembandingkan kebudayaan yang dimiliki ketiga penutur bahasa tersebut. Hal ini bertujuan untuk membuktikan dan melengkapi hasil kajian sinkronis dan diakronis bahwa ada kekerabatan yang erat antarbahasa Ttn, Dwn, dan Rote yang ditinjau dari sudut pandang yang berbeda (perbandingan budaya). Data-data budaya berupa folklore (upacara adat, syair, cerita rakyat, tarian dan sebagainya) dikumpulkan dan dibandingkan melalu metode deskripsi. Hal ini untuk menjawab permasalahan keempat penelitian ini.

1.7.3 Tahap penyajian hasil analisis data

Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan melalui dua cara, yaitu menggunakan metode informal berupa perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis, dan metode formal berupa perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang (Mahsun, 1995:148).

(20)

1.8 Sistematika Penyajian

Demi kesempurnaan maka penyajian hasil penelitian ini akan disusun dan diuraikan dalam lima bab dengan perincian sebagai berikut; Bab I Pendahuluanberisi: latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.Bab II gambaran umum wilayah penelitian, meliputi: keadaan geografis, histori, dan sosial budaya masyarakat setempat.Bab III kajian sinkronis, meliputi deskripsi sistem fonologi dan leksikon bahasa Ttu, Dwn dan Rt. Bab IV pembahasan dan analisis, terdiri dari kajian diakronis(meliputi deskripsi hubungan kekerabatan antara bahasa Ttn, Dwn dan Rt yang diteliti secara kuantitatif dan kualitatif) dan menampilkan hubungan kebudayaan masyarakat penutur bahasa Ttn, Dwn, dan Rt. Bab V Penutup yang memuat simpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Objektif CMP adalah untuk memanfaatkan sepenuhnya kecekapan dan keberkesanan sumber yang digunakan bagi memaksimumkan pulangan atas ekuiti dan menyediakan tahap modal yang

Setelah itu akan dikisahkan baginda Maharaja Kapakisan yang memerintah Bali yang kerajaannya diusahakan oleh patih Gajah Mada beserta pakaian kebesaran kerajaan

Menyusun laporan pemantauan pengelolaan Bahan berbahaya dan beracun serta peralatan keselamatan kerja.

Penyebab dari overconfidence yaitu kepercayaan diri yang berlebihan bahwa informasi yang diperoleh mampu dimanfaatkan dengan baik karena memiliki kemampuan analisis

Dari proses dan hasil yang dicapai pada penelitian ini ada beberapa implikasi yang perlu diperhatikan berkaitan dengan model pengembangan alat bantu mengayun (“Swing

Berdasarkan pengalaman pengguna, dosis rendah hingga sedang (1-5 gram) serbuk daun kratom memiliki efek stimulan ringan yang menyenangkan, pada dosis lebih tinggi

Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan tingkat pertama, yang dalam melaksanakan kegiatannya Puskesmas mempunyai kewenangan untuk melakukan

Bila di kemudian hari peserta melakukan pelanggaran atas persyaratan lomba yang disebutkan oleh panitia termasuk namun tidak terbatas pada memberikan informasi yang berbau