• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecermatan Formula Flesch, Fog Index, Grafik Fry, Smog, dan BI sebagai Penentu Keefektifan Teks Berbahasa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kecermatan Formula Flesch, Fog Index, Grafik Fry, Smog, dan BI sebagai Penentu Keefektifan Teks Berbahasa Indonesia"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

KECERMATAN FORMULA FLESCH, FOG INDEX, GRAFIK

FRY, SMOG, DAN BI SEBAGAI PENENTU KEEFEKTIFAN

TEKS BERBAHASA INDONESIA

Yasa, KN1, Sutama Made2, Martha Nengah3 1

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia 2

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia

3

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia

e-mail: 1ngurah.yasa@pasca.undiksha.ac.id; 2damuh2003@yahoo.com; 3

nengahmartha@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) kecermatan formula berbasis bahasa Inggris dan BI dalam menentukan keterbacaan teks berbahasa Indonesia, (2) perbedaan kecermatan antara formula berbasis bahasa Inggris dan BI dalam menentukan keterbacaan teks berbahasa Indonesia, Populasi primer penelitian ini adalah teks berbahasa Indonesia yang terdapat dalam BSE berjumlah 12 teks. Populasi skunder penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP se-Kota Singaraja Tahun Pelajaran 2012/2013 berjumlah 1770 orang. Sampel primer penelitian ini ditentukan secara quota sampling

sebanyak 5 teks. Sampel skundernya ditentukan secara quota-area-clusster-proportional-random sampling sebanyak 324 orang. Rancangan penelitian ini berupa penelitian ex-post facto. Data primer penelitian ini dikumpulkan dengan menerapkan masing-masing formula keterbacaan sehingga ditemukan indeks keterbacaan teks. Data skunder penelitian ini dikumpulkan dengan tes objektif bentuk pilihan ganda. Hipotesis penelitian ini diuji secara statistik menggunakan Chi Kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) formula yang berbasis Bahasa Inggris dan formula BI cermat menentukan keterbacaan teks berbahasa Indonesia, (2) kecermatan antara formula berbasis Bahasa Inggris dan formula BI tidak berbeda secara signifikan, dalam artian sama-sama cermat. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa baik formula keterbacaan berbasis bahasa Inggris maupun formula BI, sama-sama dapat digunakan sebagai penentu keefektifan teks berbahasa Indonesia.

Kata Kunci: kecermatan, formula keterbacaan, teks berbahasa indonesia

Abstract

This research aimed to determine (1) accuracy English-Based Formulas and BI in determining legibility of Indonesian text, (2) whether or not significant differences between the accuracy English-Based Formulas and BI in determining readability of Indonesian text. The primary population of this study was Indonesian reading text BSE, consist of 12 texts. The secondary population was class IX of Junior High School of Singaraja in Academic Year 2012/2013, consist of 1770 people. The primary sample this study was

(2)

2 determined by quota sampling about 5 texts. Secondary sample was determined by quota-clusster area-proportional-random sampling about 324 people. The study was designed in the form of ex-post facto research. The primary data were collected by applying each readability formula so that readability text could be found. The secondary data was collected by multiple choice tests. The research hypothesis was tested using Chi Square. The results showed that: (1) English-Based formulas and BI was accurate to determine readability of Indonesian text, (2) The accuration of the English-Based formulas and BI formula doesn’t have significant differences, in terms of carefully. Based on these findings it can be concluded, that either English-Based formulas or BI formula can be used as a determinant of the Indonesian text.

Keywords: accuracy, readability formula, indonesian text

PENDAHULUAN

Membaca memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat. Membaca untuk

memperoleh informasi memiliki nilai yang mendasar dan strategis. Artinya, hanya dengan melakukan kegiatan

membaca seseorang akan

memperoleh informasi yang lebih. Karena itulah, secara tegas dinyatakan oleh Ginting (2005 :18) bahwa salah satu wahana dalam upaya memperoleh informasi dan meningkatkan pengetahuan adalah melalui kegiatan membaca.

Proses belajar-mengajar di kelas merupakan tanggung jawab guru. Karena itu, guru dituntut profesional mengelola pembelajaran siswa, termasuk pembelajaran membaca menyangkut pemilihan bahan ajarnya.

Sebagian besar guru dalam pemilihan bahan ajar pembelajaran membaca selalu berpusat pada buku teks yang ada. Berkaitan dengan buku teks, Patrick (1988) dan Altbach (1991) yang dikutip Abdulkarim (2007 : 71) menyatakan bahwa buku teks merupakan media instruksional yang sentral penggunaannya di dalam kelas dan dalam sistem pendidikan.

Pemilihan materi bacaan ini merupakan komponen penting dalam proses pembelajaran membaca selain pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran yang dimainkan guru di dalam kelas. Siswa merupakan pusat pembelajaran. Untuk hal itulah, guru

harus selektif memilih bahan ajar pembelajaran membaca dalam upaya menyukseskan kemampuan siswa dalam memahami isi bacaan.

Agar pesan penulis dapat dipahami oleh pembaca diperlukan prasyarat tertentu bagi sebuah bahan atau materi bacaan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah tingkat keterbacaan bahan bacaan itu sendiri (Pranowo, 1997 : 1; Suherli, 2008 : 3 - 7; Sitepu, 2010: 2).

Masalah keterbacaan dalam

pengelolaan pengajaran membaca oleh sebagian besar guru Bahasa Indonesia belum mendapat perhatian.

Sebagian besar guru Bahasa

Indonesia tidak tahu alat ukur untuk menentukan tingkat keterbacaan teks bacaan. Ini berarti, sebagian besar guru Bahasa Indonesia belum memiliki kemampuan untuk mengukur tingkat keterbacaan materi bacaan yang dijadikan sebagai bahan ajar. Akibatnya, dapat diduga ada kesenjangan antara materi bacaan yang disajikan dengan tingkat pemahaman pembaca. Kesenjangan ini kemungkinan dapat mengurangi minat dan motivasi membaca siswa.

Keterbacaan berkaitan dengan keseluruhan unsur yang ada dalam teks atau materi bacaan. Untuk menentukan keterbacaan suatu teks atau materi bacaan dapat diukur dengan berbagai formula (Nuttal, 1985 : 25-26; Suherli, 2008 : 3; Sitepu, 2010 : 3-7). Formula-formula keterbacaan

(3)

3

yang dimaksud merupakan rumus-rumus yang menghasilkan angka sebagai indeks keterbacaan. Sebagian besar pakar seperti Hartley, Trucman, dan Burnhill yang dikutip Ginting (1990 : 4) setuju bahwa semua formula keterbacaan yang dikembangkan dapat meramalkan apakah sebuah materi bacaan akan lebih sulit atau lebih mudah dipahami pembaca bila dibandingkan dengan materi bacaan yang lain. Bahkan, Fry lebih tegas menyatakan bahwa formula-formula

keterbacaan tersebut dapat

meramalkan membaca pemahaman sebanding dengan ramalan tes membaca dan tes IQ.

Indeks keterbacaan itu mempunyai hubungan yang signifikan dengan hasil membaca pemahaman maka formula keterbacaan tersebut dapat dipakai untuk memprediksi tingkat kesukaran atau tingkat kemudahan bisa dipahaminya materi bacaan oleh pembaca. Prediksi tersebut dapat dijadikan pegangan untuk menentukan tingkat pembaca. Selain itu, prediksi itu dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan atau memilih materi

bacaan yang sesuai dengan

kemampuan pemahaman pembaca tingkat tertentu. Jika demikian halnya, maka perlu diketahui apakah tiap formula keterbacaan itu cermat menentukan tingkat keterbacaan sebuah teks sehingga teks tersebut efektif digunakan dalam proses pembelajaran membaca.

Sehubungan dengan itu, tujuan kajian ini adalah (1) untuk mengetahui kecermatan formula Flesh, Fog Index, SMOG, Grafik Fry, dan BI dalam

menentukan keterbacaan teks

berbahasa Indonesia, (2) untuk

menngetahui perbedaan yang

signifikan kecermatan antara formula

Flesch dan BI dalam menentukan

keterbacaan teks berbahasa

Indonesia, (3) untuk mengetahui perbedaan yang signifikan kecermatan antara formula Fog Index dan BI

dalam menentukan keterbacaan teks berbahasa Indonesia, (4) untuk mengetahui perbedaan yang signifikan kecermatan antara formula Grafik Fry

dan BI dalam menentukan

keterbacaan teks berbahasa

Indonesia, dan (5) untuk mengetahui perbedaan yang signifikan kecermatan antara formula SMOG dan BI dalam

menentukan keterbacaan teks

berbahasa Indonesi

Keterbacaan (readability) merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca. Keterbacaan

dalam pengajaran membaca

memperhatikan tingkat kesulitan materi bacaan yang pantas dibaca siswa. Keterbacaan sering dikaitkan dengan hal ihwal terbaca tidaknya materi bacaan oleh pembacanya (Siahaan, 1987 : 64; Simanjuntak, 1988 : 31; Akhadiah, 1997 : 27; Tampubolon, 2008 : 213).

Dari beberapa pandangan tentang keterbacaan dapat disimpulkan bahwa faktor penentu keterbacaan itu adalah kesulitan kosakata sebagai variabel semantis dan kesulitan kalimat sebagai variabel sintaksis.

Ada sejumlah formula alat ukur keterbacaan yang memperhitungkan variabel tersebut sebagai faktor penentu keterbacaan teks, yaitu formula Flesch, Fog Index, Grafik Fry, SMOG, dan BI.

(4)

4

Cara kerja formula Flesch hanya mengambil sampel 100 kata dari teks keseluruhan secara sistematis. Formula yang digunakan sebagai berikut.

RE = -2,2029 + 0,0778wl + 0,0459sl

RE : Tingkat keterbacaan teks wl : Jumlh suku kata dalam

sampel 100 kata

sl : Rerata jumlah kata per kalimat

Cara menghitung tingkat

keterbacaan teks dengan penerapan formula Fog Index dimulai dengan memilih 100 kata sebagai sampel. Rerata panjang kalimat dihitung dengan membagi jumlah kata sampel dengan jumlah kalimat, sama halnya dengan formula Flesch. Persentase kata-kata sulit ditentukan dengan menghitung jumlah kata-kata yang bersuku tiga atau lebih. Selanjutnya dihitung dengan formula berikut (Klare, 1984 : 65)

RGL = 0,4 (sl + Dw)

RGL : Tingkat keterbacaan teks Dw : Persentase kata-kata

sulit

sl : Rerata jumlah kata per kalimat

Formula Grafik Fry menggunakan variabel kesukaran kata dan kerumitan gramatikal sebagai faktor penentu

keterbacaan teks. Cara

penghitungannya tidak jauh berbeda dengan formula sebelumnya namun setelah ditemukan hasil perhitungan kesukaran kata dan kerumitan gramatikal selanjutnya dicocokkan dengan grafik Fry . Adapun grafik Fry yang dimaksud adalah sebagai berikut.

(dikutip dari Harjasujana & Mulyati, 1996 : 25)

Formula SMOG hanya

memperhitungkan variabel kesulitan kata sebagai faktor penentu keterbacaan walaupun dalam langkah kerjanya memperhitungkan kalimat-kalimat. Menurut formula ini panjang kata secara langsung memengaruhi perbedaan kesulitan semantik yang melekat pada teks itu. Mengukur panjang kata dan panjang kalimat itu perlu tetapi variabel panjang kalimat tidak dimasukkannya secara langsung dalam formulanya sebagai berikut.

SMOGgr = 3 + √DW

Faktor penentu yang digunakan sebagai indikator keterbacaan teks oleh formula BI adalah jumlah paragraf sebagai penentu kesulitan paragraf, jumlah kalimat sebagai penentu kesulitan sintaksis, dan jumlah kata sebagai faktor kesulitan semantis (Pranowo, 1997 : 122-123). Adapun formulanya sebagai berikut.

KBI = Jumlah skor seluruh indikator

Membaca pada hakikanya suatu proses yang dilakukan pembaca untuk membangun makna pesan penulis yang disampaikan melalui tulisan. Dalam proses tersebut, pembaca

(5)

5

mengintegrasikan informasi atau

pesan dalam tulisan dengan

pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Dalam membaca, pembaca melibatkan pisik dan psikologis untuk mencapai proses pemahaman. Kemampuan fisik seperti mata digunakan untuk mengenali

lambang-lambang visual yang

selanjutnya diolah dengan

kemampuan psikologis berdasarkan

pengetahuan dan pengalaman

pembaca sehingga menghasilkan pemahaman. Sehubungan dengan itu, oleh Burns, dkk (1996) yang dikutip Paath (2010 : 130) menyatakan bahwa kegiatan membaca terdiri atas proses membaca dan produk.

Syafe’i (1999 : 42) menyatakan

bahwa pengajaran membaca

mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam proses belajar-mengajar di sekolah.

Sesungguhnya ada sejumlah jenis tes yang bisa digunakan untuk

mengukur kemampuan membaca

pemahaman. Menurut Anderson

(1991) yang dikutip Nurgiantoro (2001 : 111, 2010 : 84) bahwa ada sejumlah tes alat ukur kemampuan membaca yang sering digunakan para ahli yaitu

dengan bentuk benar-salah,

melengkapi kalimat, pilihan ganda,

pembuatan ringkasan atau

rangkuman, tes cloze, tes C, dan lain-lain. Salah satu atau duanya diantara alat ukur tersebut yang paling cocok digunakan menurut Harris, Lado, dan Valette (dalam Sumadi, 1987 : 224) adalah tes pilihan ganda (miltiple choice) dan tes cloze. Tes pilihan ganda dan tes cloze dalam rangka

untuk mengukur kemampuan

membaca pemahaman yang bersifat integratif berusaha mengukur kemampuan penggunaan berbagai aspek kebahasaan dan kemampuan

berbahasa sekaligus sebab

komponen-komponen kemampuan

yang dituntut untuk membaca sifatnya menyatu dan utuh (Oller,1979 : 235).

Kajian Nurgiantoro (2010 : 95) tentang tes cloze menujukkan kesejajaran dengan tes pilihan ganda

dalam menyadap kemampuan

membaca pemahaman. Hal ini

menyuratkan suatu pengertian bahwa kedua tes tersebut, baik tes pilihan ganda maupun tes cloze sama-sama dapat dipakai untuk menangkap kemampuan membaca pemahaman. Dalam artian, keduanya dapat dipakai

secara bersama-sama, saling

melengkapi, dan saling menggantikan dan akan memberikan hasil kurang lebih sama.

METODE PENELITIAN

Populasi primer penelitian ini adalah materi bacaan teks berbahasa Indonesia yang terdapat dalam BSE, yang berjumlah 12 teks. Populasi skunder penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP se-Kota Singaraja Tahun Pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 1770 orang. Sampel primer penelitian ini ditentukan secara quota sampling sebanyak 5 teks. Sampel skundernya ditentukan secara quota-area-clusster-proportional-random sampling sebanyak 324 orang. Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian ex-post facto. Data primer penelitian ini adalah keterbacaan teks berbahasa Indonesia. Data primer penelitian ini dikumpulkan dengan menerapkan masing-masing formula keterbacaan sehingga ditemukan indeks keterbacaan teks. Data

skundernya berupa kemampuan

membaca pemahaman. Data skunder penelitian ini dikumpulkan dengan tes objektif bentuk pilihan ganda. Hipotesis penelitian ini diuji secara statistik menggunakan Chi Kuadrat (Sugiono, 2007 : 107-108).

(6)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temuan pertama penelitian ini yang berkaitan dengan hasil penerapan formula Flesch, Fog Index, SMOG, dan Grafik Fry, yang berbasis teks berbahasa Inggris menujukkan, bahwa kelima teks berbahasa Indonesia yang dijadikan sampel ada pada kriteria sangat sukar. Sebaliknya, penerapan formula BI terhadap kelima teks berbahasa Indonesia yang dijadikan sampel menunjukkan, bahwa kelima teks ada pada kriteria mudah. Hal ini bisa dan wajar terjadi mengingat bahasa Inggris memiliki karakteristik

yang berbeda dengan bahasa

Indonesia. Perbedaan karakteristik ini tampak pada penentuan kata-kata sulit sebagai penentu faktor semantis dan kesulitan kalimat sebagai faktor penentu sintaksis sebagai variabel penentu keterbacaan teks. Formula Flesch, Fog Index, Grafik Fry, dan SMOG menggunakan variabel rerata panjang kalimat sebagai faktor sintaksis dan jumlah suku kata sebagai faktor semantik . Faktor sintaksis dihitung dari rerata panjang kalimat dari sampel kata dalam teks. Faktor semantis dihitung dari jumlah suku kata dari sampel kata dalam teks. Hanya saja formula Fog Index menghitung suku kata tiga atau lebih yang dijadikan faktor kesulitan semantis. Padahal dalam teks berbahasa Indonesia belum tentu kata yang bersuku tiga atau lebih dirasakan sulit oleh pembaca. Pada formula BI yang dijadikan tolok ukur kata-kata sulit adalah kata tak lazim, kata abstrak, kata istilah, kata penghubung, kata serapan, dan kata majemuk atau kata kompleks. Dalam kaitan kesulitan sintaksis, formula BI menggunakan kalimat perluasan, kalimat majemuk, kalimat berpolisemi, dan kalimat pasif sebagai faktor penentu keterbacaan teks. Hal ini sejalan dengan hasil studi keterbacaan yang dilakukan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003/2004.

Dari segi kalimat, Tim Pusat

Perbukuan menemukan, bahwa

keterbacaan teks berbahasa Indonesia tinggi jika teks disajikan dengan kalimat-kalimat sederhana. Dari aspek penggunaan kata, keterbacaan teks berbahasa Indonesia tinggi jika teks disajikan dengan kata-kata yang bersuku sederhana serta yang ada hubungannya dengan konteks sosial kehidupan siswa (Suherli, 2006 : 126).

Temuan kedua penelitian ini

berkaitan dengan pengujian

kemampuan subjek dalam memahami teks berbahasa Indonesia yang telah diuji keterbacaannya dengan formula-formula tersebut. Kelima teks yang telah diuji dengan formula Flesch, Fog Index, SMOG, Grafik Fry, dan BI selanjutnya diujikan kepada 324 subjek untuk dipahami isinya. Dalam pengujian ini, subjek diberikan lima kali tes sesuai dengan lima teks yang dijadikan sampel. Masing-masing tes terdiri atas 30 butir soal yang harus dikerjakan untuk dijawab oleh subjek. Dari lima kali tes itu, rata-rata skor membaca pemahaman subjek pada kriteria sedang, yaitu pada kontinum 49,38% - 79,63%. Hasil penerapan formula Flesch, Fog Index, SMOG, Grafik Fry terhadap teks berbahasa Indonesia ada pada kriteris sangat sukar. Karena itu, mestinya skor

membaca pemahaman subjek

cenderung pada kriteria rendah. Hasil penerapan formula BI, keterbacaan teks ada pada kriteria mudah. Karena

itu, mestinya skor membaca

pemahaman subjek cenderung pada kategori tinggi. Sehubungan dengan itu, kemungkinan ada variabel lain yang bisa dijadikan sebagai faktor penentu tingkat keterbacaan teks selain faktor semantis dan sintaksis. Dari hasil pengujian tingkat kesukaran tes membaca pemahaman masing-masing butir soal yang dijadikan

instrumen dalam mengukur

(7)

7

subjek tadi menunjukkan rata-rata pada tingkat yang sedang. Karena itu, dapat diduga bahwa variabel tingkat kesukaran tes juga dapat dijadikan variabel penentu tingkat keterbacaan teks. Hal ini mengingat seperti apa yang disampaikan oleh McNeill (1980) dan Singer & Donlan (1980) bahwa tingkat keterbacaan teks dapat

ditentukan dengan formula

keterbacaan dan respon pembaca (Suherli, dkk. 2006 : 10, 2008: 125).

Sehubungan dengan respon

pembaca, pembaca dihadapkan

dengan tes membaca pemahaman. Tes membaca pemahaman ini menguji apa yang disebut oleh Berhart sebagai enam faktor heuristik dalam pemahaman isi bacaan. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven) yaitu pengenalan kata dan pengenalan sintaksis. Tiga faktor lain berhubungan

dengan pengetahuan pembaca

(knowledge driven) yang sifatnya tersembunyi dan tersirat. Hipotesis faktor tingkat kesukaran tes sebagai penentu tingkat keterbacaan teks juga sejalan dengan apa yang dianjurkan oleh Gilliland (1972). Gilliland menganjurkan sesungguhnya ada lima cara untuk menentukan tingkat keterbacaan teks. Salah satu cara, selain formula keterbacaan adalah dengan cara metode tanya jawab. Cara metode tanya jawab ini dilakukan

dengan mengajukan sejumlah

pertanyaan kepada subjek untuk dijawab. Bahan pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan hal-hal yang eksplisit dan implisit dari teks. Instrumen berupa tes membaca pemahaman dalam penelitian ini sudah sejalan dengan hal tersebut. Hal ini juga sejalan dengan kajian yang dilakukan Suherli tentang keterbacaan buku teks berdasarkan keterpahaman bahasa Indonesia. Dalam kajian tersebut dikatakan bahwa pengukuran keterbacaan

berdasarkan kemampuan siswa

memahami isi bacaan dengan

menjawab tes membaca pemahaman merupakan pengukuran yang realistis karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pembaca teks (Suherli, 2008 : 127).

Hasil pengujian hipotesis yang berkaitan dengan kecermatan masing-masing formula dilakukan dengan pengujian statistik Chi Kuadrat, baik secara manual dengan program exel maupun dengan program aplikasi SPSS 16.0 for windows menunjukkan, bahwa formula Flesch, Fog Index, SMOG, dan Grafik Fry, serta formula

BI cermat dalam menentukan

keterbacaan teks berbahasa

Indonesia. Temuan kajian ini mencirikan bahwa ada kesamaan pola faktor-faktor yang dijadikan penentu keterbacaan teks. Faktor penentu yang dimaksud yaitu faktor suku kata sebagai variabel kesulitan semantis dan faktor kalimat sebagai variabel kesulitan sintaksis. Kesamaan pola ini secara linguistik menunjukkan bahwa memang benar hakikat suatu bahasa adalah universal.

Kelima formula yang diujikan dalam penelitian ini menggunakan faktor kesulitan suku kata sebagai variabel semantis dan faktor kesulitan kalimat sebagai variabel sintaksis. Hasil pengujian kecermatannya dalam menentukan tingkat keterbacaan teks berbahasa Indonesia dengan statistik Chi Kuadrat menujukkan hasil yang cermat. Ini berarti, yang dijadikan variabel penentu keterbacaan seperti jumlah suku kata sulit sebagai faktor semantis dan panjang kalimat sebagai faktor sintaksis signifikan dijadikan variabel penentu keterbacaan dari aspek unsur-unsur pembangun teks itu sendiri. Berkaitan dengan itu, secara emperis, ternyata temuan penelitian ini, sejalan dengan kajian Richaudeau. Richaudeau menemukan bahwa (1) terdapat korelasi negatif yang kuat antara jumlah kata yang

(8)

8

diingat per kalimat dengan rerata panjang kata dalam setiap kalimat, dan (2) terdapat korelasi negatif yang kuat antara proporsi kata-kata yang diingat dengan panjang kalimat saat

pembaca dihadapkan untuk

memahami isi teks. Hasil ekperimen Richaudeau ini menunjukkan faktor panjang kata dan panjang kalimat

besar pengaruhnya dalam

menentukan tingkat keterbacaan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kintsch & Miller (1984 : 224) yang dikutip Ginting (1990 : 96). Kintsch & Miller menyatakan bahwa kalimat yang panjang berpengaruh terhadap daya ingat pembaca. Makin panjang sebuah kalimat makin banyak kalimat itu yang tidak bisa diingat oleh pembaca. Ini disebabkan oleh keterbatasan kapasistas short-term memory

pembaca sekaku manusia.

Temuan kecermatan kelima formula keterbacaan tersebut juga sejalan dengan temuan Palenkahu (2006 : 889). Studi korelasi antara pengetahuan awal dan penguasaan kosakata terhadap keterampilan membaca yang dilakukan Palenkahu

menujukkan bahwa penguasaan

kosakata memiliki hubungan yang kuat dengan keterampilan membaca. Temuan Palenkahu ini menujukkan

bahwa pembaca mula-mula

mencermati serangkaian kosakata dalam teks saat melakukan peristiwa membaca. Jika si pembaca merasa mengalami kesulitan dalam proses

pemahaman, baru mereka

memanfaatkan pengetahuan awalnya untuk membantu proses pemahaman. Sehubungan dengan itu, tampaknya berterima bahwa faktor kesulitan kosakata sebagai variabel penentu keterbacaan teks dan faktor panjang kalimat sebagai variabel kesulitan

sintaksis sebagai penentu

keterbacaan teks sesuai formula keterbacaan yang diujikan dalam penelitian ini.

Kelima formula tersebut pada

umumnya cermat menentukan

keterbacaan teks berbahasa

Indonesia, tetapi pada teks tertentu tidak cermat dalam menentukan

keterbacaan teks berbahasa

Indonesia. Dengan lima kali pengujian atau dengan pengujian lima teks, ternyata hanya empat teks, formula

tersebut cermat menentukan

keterbacaan teks berbahasa

Indonesia. Kajian teori formula keterbacaan yang diujikan dalam penelitian ini tidak memperhitungkan jenis teks. Sehubungan dengan itu, penelitian ini memiliki keterbatasan tidak memperhitungkan jenis teks yang diuji keterbacaannya. Ternyata teks yang tidak cermat diuji keterbacaannya oleh formula tersebut tergolong jenis wacana (tulisan)

deskripsi, sedangkan empat teks yang lain tergolong wacana eksposisi. Dengan demikian, salah satu variabel lain yang dapat diduga sebagai penentu tingkat keterbacaan teks adalah jenis teks (wacana). Temuan ini, sejalan dengan temuan kajian yang dilakukan Tim Pusat Perbukuan tahun 2003/2004. Temuan tim ini adalah berdasarkan aspek wacana, ternyata jenis wacana deskripsi

memiliki keterbacaan tinggi pada kelas tinggi mulai kelas lima SD hingga Sekolah Menengah. Temuan ini juga diperkuat atau didukung oleh pernyataan Bernhardt (1991 : 73, dalam Suherli, 2006 : 8). Bernhardt menyatakan bahwa selain aspek morfologis dan sintaksis, struktur teks

juga memengaruhi pemahaman

seseorang terhadap bacaan. Aspek struktur teks ini cukup penting dalam memahami teks karena di dalam pengorganisasian teks inilah dapat diketahui gagasan dan argumentatif penulisnya.

Temuan keempat penelitian ini berkaitan dengan ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara

(9)

9

kecermatan formula Flesch, Fog Index, Grafik Fry, SMOG dan BI. Hasil uji beda kecermatan keempat formula yang berbasis teks berbahasa Inggris

tersebut dengan formula BI

menunjukkan tidak ada perbedaan kecermatan yang signifikan. Artinya,

daya ramal semua formula

keterbacaan yang diuji dalam penelitian ini dalam menentukan tingkat keterbacaan teks berbahasa Indonesia sama. Kesamaan ini menunjukkan adanya pola yang sama dalam penentuan kriteria faktor penentu keterbacaan. Temuan ini juga sejalan dengan hasil temuan yang dilakukan Ginting. Ginting menguji formula Flesch, Fog Index, SMOG,

dan Grafik Fry ke dalam teks

berbahasa Indonesia dan

mengorelasikannya dengan skor membaca pemahaman serta tes cloze

sebagai kriteria. Kooefesien korelasi

masing-masing formula itu

menunjukkan angka yang signifikan, yaitu pada koefesien 0,77 – 0,93. Korelasi ini menujukkan, bahwa faktor penentu keterbacaan yang digunakan formula yang berbasis teks berbahasa Inggris bisa digunakan pada formula

BI dalam menentukan keterbacaan teks berbahasa Indonesia. Dengan demikian, kelima formula keterbacaan yang diuji dalam penelitian ini

sama-sama bisa digunakan dalam

menentukan tingkat keterbacaan teks berbahasa Indonesia.

Sekalipun sama-sama bisa

digunakan mengukur keterbacaan teks berbahasa Indonesia , dalam proses pembelajaran membaca, sebelum teks digunakan sebagai bahan ajar tampaknya formula SMOG lebih berterima digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan teks sebab formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan teks yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat. Kesederhanaan ini tampak dari formula SMOG hanya

memperhitungkan variabel kata walaupun sesungguhnya langkah kerjanya menggunakan variabel kalimat.

SIMPULAN DAN SARAN

Lima teks berbahasa Indonesia yang diuji tingkat keterbacaannya dengan formula Flesch, Fog Index, SMOG, dan Grafik Fry menujukkan bahwa teks yang dijadikan sampel memiliki keterbacaan pada kriteria sangat sukar. Sebaliknya, hasil perhitungan formula BI menujukkan katagori mudah.

Skor membaca pemahaman dari 324 subjek terhadap teks berbahasa

Indonesia yang telah diuji

keterbacaannya dengan formula Flesch, Fog Index, SMOG, Grafik Fry, dan BI secara berurut sebagian besar pada kriteria sedang, selanjutnya tinggi, dan sedikit pada kriteria rendah. Secara teori, jika hasil penerapan formula Flesch, Fog Index, SMOG, dan Grafik Fry menunjukkan teks pada kriteria sangat sukar, semestinya skor pemahaman subjek pada kriteria rendah. Sebaliknya, jika hasil penerapan formula BI menunjukkan teks pada kategori mudah semestinya skor pemahaman subjek pada kriteria tinggi. Jika dicermati tingkat kesukaran instrumen tes, ternyata setelah diujicoba menunjukkan pada tingkat kesukaran sedang. Ini menunjukkan variabel tingkat kesukaran tes dapat dijadikan salah satu variabel penentu

keterbacaan teks berbahasa

Indonesia.

Formula Flesch, Fog Index, SMOG, Grafik Fry, dan BI dalam memprediksi tingkat keterbacaan teks berbahasa Indonesia setelah diuji secara statistik dengan Chi Kuadrat, baik secara manual dengan program exel maupun dengan program aplikasi SPSS 16.0 for windows, menunjukkan hasil yang cermat. Hal ini menujukkan bahwa formula Flesch, Fog Index, SMOG,

(10)

10

dan Grafik Fry memiliki kesamaan pola dengan formula BI. Kesamaan pola ini secara linguistik menunjukkan, bahwa bahasa itu bersifat universal.

Secara umum, kelima formula tersebut cermat memprediksi tingkat

keterbacaan teks berbahasa

Indonesia. Namun, jika dihadapkan pada teks tertentu ternyata menunjukkan hasil yang tidak cermat. Lima kali pengujian terhadap teks berbahasa Indonesia, kelima formula tersebut ternyata tidak cermat memprediksi jenis teks (wacana) deskripsi. Dengan demikian, dapat diduga, bahwa variabel jenis teks bisa dijadikan faktor penentu keterbacaan teks berbahasa Indonesia.

Hasil uji beda kecermatan keempat formula yang berbasis teks berbahasa Inggris tersebut dengan formula BI menunjukkan tidak ada perbedaan kecermatan yang signifikan.

Untuk menyukseskan proses

pembelajaran membaca, bahan ajar

yang digunakan guru perlu

disesuaikan dengan daya serap peserta didik. Karena itu, teks yang dijadikan bahan ajar sangat perlu diseleksi. Seleksi dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran tingkat keterbacaan. Salah satu cara yang paling mudah untuk mengukur tingkat keterbacaan adalah dengan memakai formula keterbacaan. Karena itu, disarankan kepada guru Bahasa Indonesia agar selalu menguji keterbacaan materi bacaannya dengan formula keterbacaan yang telah ada sebelum dipastikan sebagai bahan ajar.

Untuk meningkatkan kualitas

penggunaan bahasa Indonesia

terutama aspek keterbacaan buku teks, penulis ataupun penerbit disarankan selalu mempertimbangkan kosakata dan kalimat-kalimat dalam buku teks. Dalam hal ini, guru dapat memanfaatkan formula keterbacaan sebagai alat bantu.

Untuk bisa meningkatkan

perkembangan penggunaan bahasa Indonesia oleh peserta didik diperlukan kajian-kajian keterbacaan buku teks yang digunakan di satuan-satuan pendidikan dalam proses pembelajaran.

Dalam usaha mendorong

perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan juga peningkatan kualitas membaca siswa. Karena itu, setiap

guru, utamanya guru Bahasa

Indonesia disarankan selalu

memotivasi siswa agar intensif melakukan kegiatan membaca baik membaca buku-buku teks pelajaran, koran-koran, majalah-majalah, karya sastra (cerpen, novel, roman) ataupun internet. Hal ini bertemali dengan penanaman karakter agar peserta didik selalu gemar membaca.

Temuan penelitian ini

memunculkan hipotesis baru.

Hipotesis baru yang dimaksud adalah tingkat kesukaran tes alat ukur membaca pemahaman dan jenis teks (wacana) bisa menjadi variabel penentu keterbacaan teks berbahasa Indonesia. Untuk itu disarankan kepada peneliti lain yang berminat untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis tersebut.

Karena penelitian ini terbatas pada subjek siswa kelas IX SMP dan lima sampel teks yang hanya tergolong jenis wacana eksposisi dan deskripsi maka masih dipandang perlu untuk diperluas. Untuk itu, disarankan kepada peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan dengan memperluas strata subjek dan sampel teks. Dengan memperluas sampel subjek dari berbagai gradasi, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga

Perguruan Tinggi (PT), dan

memperluas sampel teks dari

beragam wacana diharapkan

diperoleh formula keterbacaan yang

(11)

11

keterbacaan teks sesuai dengan tingkat pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, Aim. 2007. “Analisis Isi Buku Teks dan Implikasinya dalam

Memberdayakan Keterampilan

Berpikir Siswa AMA“, dalam Jurnal Forum Kependidikan Volume 26 Nomor 2, Maret 2007

Akhadiah, Sabarti M.K. 1997. Bahasa Indonesia I. Jakarta: Depdikbud Gilliland, John. 1972. Readability.

London: Holder and Stroughton Ginting, Vera. 2005. “Penguatan

membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia serta Minat Membaca Murid” dalam

Jurnal Pendidikan Penabur No. 04 tahun IV Juli 2005

Ginting, Setia. 1990. Kajian Tentang Metode Uji Keterbacaan sebagai Penentu Kefektifan Materi Bacaan

(Tesis) Malang: Fakultas

Pascasarjana IKIP Malang

Hafni. 1981. Pemilihan dan

Pengembangan Bahan Pengajaran Membaca. Jakarta: P3G

Harjasujana & Muliati. 1996. Membaca 2. Jakarta: Depdikbud

Klare, George R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc

Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta

Nurgiantoro, Burhan. 2008.

”Kesejajaran Bentuk Tes Pilihan Ganda dengan Tes Cloze dalam

Tes Membaca”, dalam Jurnal Perpustakaan UNY tersedia pada http://eprints.uny.ac.id/eprint/4813 diunduh 10 Nopember 2012

Nuttall, Christine. 1985. Theaching Reading Skill in a Foreign Language. London: Heinemann Educational Books

Oller, Jr. John W. 1979. Language Test at School: A Pragmatic Approach. London: Longman Group Ltd

Paath, Ruth C.H. 2010. “Penggunaan Strategi Bertanya sebagai Satu Alternatif untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Memahami Isi

Bacaan dalam Pembelajaran

Keterampilan Membaca”, dalam

Jurnal Bahtera,Volume II Nomor 5, Juli 2010

Palenkahu, Noldy. 2006. “Hubungan antara Pengetahuan Awal dan Penguasaan Kosakata terhadap

Keterampilan Membaca

Mahasiswa”, dalam Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan No. 063 Tahun ke-12 November 2006

Pranowo, Dwiyanto Djoko. 2011. Alat Ukur Keterbacaan Teks Berbahasa Indonesia (laporan penelitian) Yogyakarta: FBSS Universitas Negeri Yogyakarta

Sitepu, B.P. 2010. Keterbacaan dalam http://karya ilmiah. um. ac.id /index.php/ disertasi / article/ view /8029. diunduh 9 April 2012

Sugiono. 2007. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Suherli,Kusmana.dkk.2006.

Keterbaca-an Buku Teks PelajarKeterbaca-an Sekolah Dasar (laporan penelitian) Jakarta: Pusat Perbukuan

(12)

12

Suherli,Kusmana.2008.“Pembelajaran Membaca Berbasis Teks Hasil Pengukuran Keterbacaan“, dalam

http://suherlicentre.blogspot.com/20 08/10/hut-70 tahun-profdryus-rusyana.html, diunduh 1 Juni 2012 Suherli, Kusmana. 2008.“Kajian

Keterbacaan Berdasarkan

Perspektif Peristiwa Membaca“, dalam

http://suherlicentre.blogspot.com/20 08/10/hut-70tahun-profdryus-rusyana.html, diunduh 1 Juni 2012 Suherli, Kusmana. 2008. “Keterbacaan

Buku Teks Pelajaran Berdasarkan Keterpahaman Bahasa Indonesia“, dalam Jurnal Bahasa dan Sastra Vol.8 N0. 2 Oktober 2008

Sumadi. 1987. “Tes Membaca

Pemahaman dalam Kelas Reguler“, dalam Nurhadi (ed) 1987. Kapita Selekta: Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya 1. Malang: IKIP & YA3 Malang.

Syafei, Imam. 1999. Pengajaran Membaca Terpadu: Bahan Kursus Pendalaman Materi Guru Inti Bahasa dan Sastra Indonesia.

Malang: IKIP Malang

Tampubolon. 2008. Kemampuan

Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Efesien. Bandung: Angkasa

Referensi

Dokumen terkait

Namun secara lebih terperinci bertujuan untuk: (1) menjelaskan peta musik pop Indonesia dalam kera ngka besar industri budaya, (2) menjelaskan bentuk startegi pasar

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu : (1) daya hasil padi hibrida harapan lebih baik dari varietas pembanding, (2) mutu beras padi hibrida harapan cukup

(11) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan pemutusan sementara tersebut dalam ayat (10) Pasal ini,

Pemotongan dengan Bcl juga dapat menunjukkan perbedaan antara isolat RTBV Cianjur dan Purwakarta dengan empat strain RTBV dari Philipina yang terpotong oleh BclI.. Isolat

Hal ini umum dilakukan oleh varietas padi toleran terhadap cekaman besi (Gunawardena 1982). Terdapat empat mekanisme toleransi tanaman padi terhadap kelebihan besi, yaitu : 1)

Untuk itu guru perlu menyediakan sumber belajar yang khusus dibuat untuk suatu materi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik agar peserta didik lebih

Komunikasi verbal atau komunikasi tulis yang kurang adekuat merupakan sumber kesalahan yang serius pada pusat pelayanan kesehatan. Analisis akar

Judul Skripsi : Analisis Kebutuhan Tenaga Berdasarkan beban Kerja di Bagian Human Resource Department (HRD) Rumah Sakit Karya Bhakti Bogor Tahun 2009.. Telah