• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. semakin mempertegas dasar hukum kejaksaan di bidang penuntutan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. semakin mempertegas dasar hukum kejaksaan di bidang penuntutan dengan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegak hukum memiliki tugas yang sangat berat dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia secara komprehensif. Hal demikian merupakan salah satu alasan Pemerintah Republik Indonesia yang semakin mempertegas dasar hukum kejaksaan di bidang penuntutan dengan diundangkannya UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menggantikan UU No.5 Tahun 1991. Dalam satu diktum pertimbangan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan bahwa menimbang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional.1

Salah satu pilar Pemerintah yang berfungsi dalam mewujudkan tujuan nasional adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas, fungsi, dan wewenang sebagai Penuntut Umum. Sebagaimana penegasannya ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.16 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh

1

Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 128.

(2)

kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. UU No.16 Tahun 2004 diundangkan pada tanggal 26 Juli 2004 untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari segala pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam upaya penegakan hukum tidak bisa diabaikan. Sebab, di samping secara normatif ada yang mengaturnya, juga dalam tataran faktual, masyarakat menghendaki lembaga atau aparat penegak hukum di bidang penuntutan benar-benar berperan sehingga terwujud rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.2 Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagaian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.3 Kedudukan kejaksaan bukan sebagai pelaksana kekuasaan dalam penanganan perkara-perkara yang dituntutnya, keadaan demikian dinilai bernuansa politis.4

Sejalan dengan peranan Kejaksaan dalam bidang penuntutan, salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law) sehingga karenanya, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta

2

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hal. 189.

3

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 5.

4

(3)

perlakuan yang sama di hadapan hukum. Badan-badan lain yang berperan melaksanakan prinsip equality before the law sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.

Penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakan HAM.5

Menjadi pengalaman yang berharga pada kasus yang melibatkan dua orang Jaksa (Esther Tanak dan Dara Veranita) terlibat menggelapkan 343 butir ekstasi yang dibebaskan dari penahanan Polda Metro Jakarta, menjadi sorotan publik dan preseden buruk terhadap citra Kejaksaan Republik Indonesia serta berbagai kasus-kasus lain yang melibatkan Jaksa hendaknya tidak terulang kembali dalam proses penegakan hukum.

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan wewenang lain berdasarkan undang-undang, terbebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

6

Salah satu bidang hukum dalam pelaksanaan tugas Kejaksaan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melakukan penuntutan dan pelaksana (eksekutor) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

5

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 32. 6

(4)

terkait dengan tindak pidana Narkotika. UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika7

Sebelum dilakukan penuntutan terhadap perkara dimaksud, untuk dapat kepentingan pembuktiannya, pihak-pihak terkait terlebih dahulu melakukan penyitaan terhadap barang-barang bukti yang dapat dijadikan dasar penuntutan di sidang pengadilan. Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 88 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 diketahui bahwa penyidik dalam perkara narkotika adalah penyidik Kepolisian dan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berwenang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. meletakkan dasar bagi Kejaksaan untuk berperan dalam melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan yang tidak terlepas dari Sistim Peradilan Pidana atau Criminal Justice System.

8

Tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik tersebut, wajib diberitahukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.9

7

UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan dua undang-undang sebelumnya yakni UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Kedua undang-undang tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut melalui Pasal 153 dan 155 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika tertanggal 12 Oktober 2009.

8

Pasal 1 angka 2 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

9

Pasal 87 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pasal ini menegaskan kepada institusi Kejaksaan berperan dalam melakukan penyitaan terhadap barang bukti Narkotika. Jadi, pihak Kejaksaan

(5)

menurut pasal ini hanya bersifat mengetahui telah dilakukannya penyitaan oleh penyidik.

Penyidikan terhadap kasus Narkotika hanya dapat dilakukan oleh kepolisian, BNN, dan PPNS kecuali ditentukan lain sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 73 UU No.35 Tahun 2009 penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan Narkotika, peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam UU No.35 Tahun 2009.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan Narkotika tersebut karena di satu sisi Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan sedangkan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. 10

Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika.11

10

M. Arief Hakim, Narkoba: Bahaya dan Penanggulangannya, (Bandung: Jember, 2007), hal. 25.

11

Konsideran huruf d UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

UU No.35 Tahun 2009 jelas melarang pelaku yang menyalahgunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat

(6)

dan seksama oleh karena peruntukannya hanya diperbolehkan untuk keperluan di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sanksi pidana terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika menurut UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika lebih berat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini dimaksud untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.12

Sehubungan dengan penuntutan dalam perkara tindak pidana Narkotika tersebut, salah satu wujud dari pelaksanaan tugas Kejaksaan dalam melakukan penuntutan perkara tindak pidana Narkotika adalah melakukan penuntutan terhadap terdakwa atas nama M. Syafii, tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika golongan I. Menurut Laporan Jaksa Penuntut Umum bahwa Putusan Nomor 1474/Pid.B/2011/PN-Mdn, atas nama terdakwa M. Syafii dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika golongan I” dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda

12

(7)

sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupisah).13

Barang bukti dalam perkara Narkotika ini adalah golongan I yakni 1 (satu) bungkus plastik klip tembus pandang berisikan Narkotika jenis shabu-shabu berat bruto 15 (lima belas) gram dan 1 (satu) unit Handphone merek Soni Ericson berwarna hitam nomor kartu 181375704805.

Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 114 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang ditegaskan sebagai berikut:

Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

14

JPU mengenakan Pasal 114 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana bahwa pasal tersebut merupakan penambahan 1/3 (sepertiga) dari jumlah sanksi. Pertimbangan memberatkan yang diajukan JPU dalam tuntutannya bahwa perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat dan tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas penyalahgunaan Narkotika.15

Kejaksaan berperan penting dalam melakukan penuntutan di sidang pengadilan dalam kasus Narkotika untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam

13

Laporan Jaksa Penuntut Umum (P-44) Kejaksaan Negeri Medan pada bulan Agustus 2011. Lihat juga: Kutipan Putusan Daftar Pidana Pengadilan Negeri Medan.

14

Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor Register Perkara: PDM-847/N.2.10.3/EP.2/mdn/05/2011 tertanggal 22 Agustus 2011, hal. 2.

15

(8)

persidangan. Apabila terjadi kesalahan dalam menentukan bukti-bukti yang tidak cukup, dapat mangakibatkan bebasnya terdakwa dari segala tuntutan. Dalam hal bukti-bukti yang tidak mencakupi menurut Pasal 183 KUHAP, hakim tidak dibenarkan menjatuhkan putusan terhadap seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah dan ditambah dengan keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Apabila tidak memenuhi unsur yang disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP maka pengambilan pengambilan keputusan hakim dalam persidangan mengakibatkan kekaburan (obscuur) bahan atau barang bukti sehingga dapat berdampak terhadap penghukuman terdakwa atau bahkan terdakwa dapat dibebaskan oleh hakim karena tidak terbukti kesalahannya. Keadaan demikian dapat diakibatkan apabila penuntutan tidak dilaksanakan dengan memenuhi bukti-bukti yang cukup.

Penyidik tindak pidana Narkotika adalah Badan Narkotika Nasional (BNN) dan pihak Kepolisian yang menurut ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua

(9)

puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Apabila berpedoman pada Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka setelah dilakukan penyitaan oleh penyidik tindak pidana Narkotika, maka berkas perkaranya dilimpahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat untuk kepentingan pembuktian dalam sidang pengadilan.16

Sebagai penegak hukum dalam Sistim Peradilan Pidana (SPP), Kejaksaan merupakan salah satu unsur penting dalam penegakan hukum secara litigasi yang berarti penegakan hukum dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, Kepala Kejaksaan Negeri setempat berkewajiban menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan. Apabila Kepala kejaksaan negeri secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajibannya menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, menurut Pasal 141 UU No.35 Tahun 2009 dapat dipidana baik pidana penjara maupun denda.

16

Pasal 1 angka 16 KUHAP menegaskan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan.

(10)

dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan.17

SPP telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penegakan hukum dengan menggunakan dasar pendekatan sistim.

18

Peradilan pidana yang baik memiliki ciri-ciri:19

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana; 2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen

peradilan pidana;

3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara; dan

4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi peradilan pidana.

Dalam proses peradilan pidana berdasarkan UU No.16 Tahun 2004 tugas pokok Kejaksaan menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke sidang pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan. Tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana dalam Pasal 30 ayat (1) UU No.16 Tahun 2004 meliputi:

1. Melakukan penuntutan;

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

17

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Putra Bardin, 1996), hal. 33. Lihat juga: Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 70.

18

Ibid, hal. 14. 19

(11)

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Peranan Jaksa dalam menyita dan menuntut barang bukti perkara tindak pidana Narkotika dalam rangka pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada hakikatnya melaksanakan tujuan UU No.35 Tahun 2009 sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 sebagai berikut:

1. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

3. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

Peranan Kejaksaan sebagai salah satu unsur penting dalam SPP menempati peran yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam rangka melaksanakan penuntutan dalam perkara tindak pidana Narkotika di sidang pengadilan, maka dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang: Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai judul dalam penelitian ini.

(12)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ditemukan ada 2 (dua) pokok permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika?

2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian terhadap Peranan Kejaksaan Dalam Penyitaan dan Penuntutan Barang Bukti Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka Pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini adalah:

1. Untuk mengkaji peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan tindak pidana Narkotika.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat suatu penelitian yang penting adalah memberikan kontribusi terhadap pihak-pihak terkait, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat penelitian ini adalah:

(13)

1. Secara teoritis dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir bagi kalangan akademisi terhadap permasalahan hukum terkait dengan peranan kejaksaan dalam melakukan penyitaan dan penuntutan barang bukti perkara tindak pidana Narkotika.

2. Secara praktis bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum: Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Badan Narkotika Nasional (BNN), Polisi, Jaksa, dan Hakim sebagai institusi yang berperan penting dan berkoordinasi secara terpadu dalam menangani kasus-kasus tindak pidana pada umumnya dan tindak pidana Narkotika pada khususnya.

E. Keaslian Penulisan

Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran terhadap judul dan permasalahan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Hasil dari penelusuran tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Permasalahan dan judul tentang Peranan Kejaksaan Dalam Penyitaan dan Penuntutan Barang Bukti Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka Pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, baru pertama kali dilakukan penelitian dimaksud. Sehingga dengan demikian, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini adalah asli dan tidak mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis milik orang lain.

(14)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori sangat penting digunakan dalam setiap penelitian berfungsi sebagai pisau analisis dalam mengupas dan menganalisa permasalahan. Kerangka teori tersusun dari berbagai teori-teori dan doktrin berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis peranan Kejaksaan dalam penyitaan dan penuntutan barang bukti perkara tindak pidana Narkotika diambil dari teori sistim hukum (legal system theory) dikaitkan dengan Sistim Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

Legal system theory membedakan dua sistim hukum yaitu: civil law (Continental Europe Legal System) yang didominasi hukum perundang-undangan,

dan common law (Anglo-American Legal System) yang didominasi hukum tidak

tertulis dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (precedent). Dapat dipahami definisi sistim hukum menurut para pakar berikut ini:

a. H. Ridwan Syahrani, mengatakan sistim hukum adalah ”Suatu susunan atau tatanan yang teratur dari keseluruhan elemen yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan”.20

b. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, mengatakan sistim hukum adalah ”Suatu kesatuan sistim besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub

20

H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

(15)

sistim pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistim tersendiri”.21

Definisi di atas menunjukkan sistim hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya. Tiga komponen dalam sistim hukum yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum.22

Unsur-unsur tersebut menurut Lawrence M. Friedman sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.

Ketiga komponen tersebut merupakan elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, dapat mengganggu sistim hukum, hingga pada gilirannya akan terjadi kepincangan hukum.

23

Soerjono Soekanto, mengatakan ketiga komponen ini merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.24

Hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan.

25

21

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151.

22

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.

23

Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

24

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor…….Op. cit, hal. 5. 25

H. Ridwan Syahrani, Op. cit, hal. 169.

Hukum akan mampu dipakai di tengah masyarakat, jika lembaga pelaksananya dilengkapi dengan tugas dan kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Pasal 30 ayat (1) UU No.16 Tahun

(16)

2004 tentang Kejaksaan ditegaskan tugas dan wewenang Jaksa di bidang pidana, yaitu:

a. Melakukan penuntutan;26

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;27

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat;28

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Kejaksaan dalam menjalankan tugas atas dasar hukum yang baik dan adil karena hukum menjadi landasan segenap tindakan lembag-lembaga negara melalui

26

Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) Huruf a UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan, menjelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterimanya dari penyidik serta memberikan petunjuk guna melengkapi untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke penuntutan.

27

Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan, menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual atau dilelang.

28

Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan lepas bersyarat adalah putusan yang dikeluarkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.

(17)

koordinasi antar instansi terkait dan hukum itu sendiri harus benar dan adil. 29 Koordinasi antara Kejaksaan dengan penegak hukum lainnya dalam Pasal 33 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.30 Tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.31 Kejaksaan dalam menjalankan tugas nya tunduk dan patuh pada sumpah atau janji, serta kode etik jaksa sebagai pedoman atau petunjuk dalam menjalankan tugas sehari-hari yang lazim disebut ”Tri Krama Adhyaksa”.32

a. Stya artinya kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia;

Tri Krama Adhyaksa menurut Liliana Tedjosaputro landasan jiwa dari setiap warga Jaksa dalam meraih cita-cita luhurnya, terpatri dalam ”trapsila” meliputi tiga krama yaitu:

b. Adhy, artinya kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama pada

kepemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan sesama manusia; dan

29

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, tanpa tahun), hal. 295.

30

Penjelasan Pasal 33 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menjelaskan bahwa menjadi setiap kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan terpadu.

31

Supriadi, Op. cit, hal. 127. 32

(18)

c. Wicaksana, artinya bijaksana dalam tutur kata dan perilaku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangan.33

Dalam melaksanakan tugas, Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

34

Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil dan makmur (walfare state) berdasarkan Pancasila, melindungi kepentingan masyarakat, dan berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dalam mendukung tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance).

35

Teori legal system dalam kaitannya dengan tugas Kejaksaan dalam proses peradilan pidana tidak terlepas dari teori peranan (role theory) yang mengatakan peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku atau tata kerja yang berbeda

33

Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 103.

34

RM. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 35.

35

Sofyan Nasution, “Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip

Good Governance”, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal 1.

(19)

pula.36 Setiap orang, lembaga, institusi dan lain-lain mempunyai peran yang berbeda pada masing-masing kedudukan, lembaga, atau institusinya dalam menciptakan kondisi negara dalam keadaan tidak kacau sehingga tujuan pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik.37

1. Landasan Konsepsional

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:

a) Peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang.

b) Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. c) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke

pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

d) Tindak pidana adalah segala perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

36

Indria Samego, Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional, (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006), hal. 1.

37

(20)

e) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

f) Penyalahguna Narkotika adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum disebut pula dalam penelitian ini sebagai tindak pidana Narkotika.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan masalah berdasarkan metode tertentu. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.38 Penelitian atau kegiatan ilmiah bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.39

38

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

39

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran

(21)

tertentu yang bertujuan untuk mempelajari gejala-gejala hukum dengan cara menganalisisnya.40

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan fakta tentang peranan Kejaksaan dalam penuntutan perkara Narkotika dan menjelaskan hubungan antara fakta tersebut dengan peraturan perundang-undangan seperti UU UU Kejaksaan dan UU Narkotika serta peraturan lainnya yang menyangkut dengan penelitian ini. Selain digunakan yuridis normatif, dalam penelitian ini juga digunakan penelitian hukum empiris melalui wawancara mendalam terhadap pihak-pihak terkait gunanya untuk memperkuat argumentasi-argumentasi yuridis dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam terhadap: Jaksa Penuntut, pelaku tindak pidana Narkotika, dan masyarakat sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer atau pokok: KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), dan UU No.35 Tahun 2009

40

(22)

tentang Narkotika (UU Narkotika).

b. Bahan hukum sekunder atau bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer: makalah-makalah seminar, majalah, jurnal ilmiah, artikel, internet, dan surat kabar yang relevan dengan objek penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus Besar Bahasa Indonesia (Ensiklopedia) dan Bahasa Inggris yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi terhadap dokumen-dokumen yang relevan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan dengan mengidentifikasi data yang yang berhubungan dengan peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan perkara tindak pidana Narkotika. Selain itu, pengumpulan data dilakukan penelitian lapangan dengan memanfaatkan beberapa pihak sebagai responden. Wawancara dilakukan untuk mendukung dan memperkuat argumentasi-argumentasi dalam penelitian ini.

Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UU Narkotika dan UU Kejaksaan yang mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Kemudian dilakukan sistematisasi untuk mendapatkan klasifikasi yang selaras dan seimbang terhadap permasalahan dimaksud tersebut.

(23)

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu analisis yang bertolak dari data yang dikumpulkan dengan memanfaatkan teori yang ada sebagai penjelas dan berakhir dengan suatu teori. Data yang dianalisis secara kualitatif tersebut kemudian disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan. Data yang dianalisis tersebut akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya dinyatakan secara deduktif sehingga selain menggambarkan secara umum dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dalam melakukan penuntutan oleh Kejaksaan.

Referensi

Dokumen terkait

Nada-nada yang terdapat dalam tangga nada D minor dalam finger board..

Dalam penelitian dengan menggunakan metode lima fase ini memiliki tujuan antara lain mengidentifikasi lini proses yang bermasalah, mengidentifikasi dan menganalisa jenis cacat pada

Dokumen ini adalah f ormulir Resmi Verval NUPTK periode 2013, untuk inf o lebih lanjut kunjungi http://padamu.kemdikbud.go.id. ALUR

Dengan adanya kanban yang merupakan suatu alat untuk mencapai produksi Just In Time, diharapkan dapat menekan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sistem produksi dengan membuat

Untuk mencapai sasaran tersebut dibutuhkan perbaikan tempat kerja dengan melibatkan semua pihak intern perusahaan serta teknik-teknik sederhana tanpa melibatkan sejumlah dana yang

Model Pembelajaran Blended Learning (syncronous vs asyncronous) yang dilaksanakan pada mahasiswa Jurusan Pendidikan Keolahragaan IKIP Budi Utomo Malang memiliki dampak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanolik daun Sambung nyawa ( Gynura procumbens (Luor) Merr) pada proliferasi sel kanker payudara tikus yang

Karena keterbatasan SDI yang ahli di bidang perbankan syariah, menyebabkan bank syariah merekrut tenaga-tenaga yang kurang ahli di bidang perbankan syariah, terutama di SDI