BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG PERUMAHAN
A. Pengertian Perumahan
Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati diri. Perumahan juga berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
Adapun pengertian dari perumahan menurut peraturan Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman khususnya dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa : “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”. Sedangkan pada angka (3) Pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan.
B. Tujuan Pembangunan Perumahan
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat. Hakikat pembangunan itu mengandung makna bahwa pembangunan nasional mengejar keseimbangan, keserasian dan keselarasn antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pembangunan nasional yang berkesinambungan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa sehingga senantiasa mampu mewujudkan ketenteraman dan kesejahteraan hidup lahir dan batin.
Bertolak dari hakikat pembangunan nasional tersebut, maka pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara kesatuan RI yang merdeka, bersatu dan berdaulat dalam suasana peri kehidupan yang merdeka, bersahabat, tenteram dan damai.
Dalam pembangunan nasional disebutkan pembangunan perumahan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia sejalan dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, pembangunan perumahan ditujukan pula untuk mewujudkan pemukiman yang secara fungsional dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijaksanaan pembangunan perumahan juga bertujuan untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini telah dilaksanakan berdasarkan upaya-upaya antara lain :
1) Menciptakan keadaan dimana setiap keluarga dapat menempati rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan teratur. Suatu kondisi yang memenuhi persyaratan kelayakan dalam hunian, kelayakan sosial, kelayakan kesehatan, kelayakan keamanan dan konstruksi, kelayakan kenyamanan dan keindahan serta kawasan pemukiman yang terbentuk tersebut dapat berfungsi sebagai wahana kehidupan dan penghidupan warganya yang semakin tertib dan meningkat mutunya.
2) Mendorong terciptanya kawasan pemukiman yang dapat berkembang sebagai pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya.
3) Mengusahakan agar proses pembangunan perumahan pemukiman dapat menjadi peluang dalam memperluas kesempatan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi.
4) Menetapkan kebijaksanaan yang bertumpu pada pandangan, bahwa pada hakikatnya pembangunan perumahan dan pemukiman itu merupakan tanggungjawab masyarkat sendiri.
5) Mengarahkan peran pemerintah untuk memberikan penyuluhan, bimbingan dan menciptakan iklim usaha serta iklim pembangunan, disamping itu mendorong dan
menggerakkan serta merangsang peran serta masyarakat luas, menumbuhkan swakarsa dan mengembangkan swadaya masyarakat sehingga secara bertahap masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhan perumahan sendiri. Pemerintah juga mengatur agar pelaksanaan pembangunan perumahan itu dapat berjalan dengan tertib dan teratur.
6) Memberikan arah kepada pembangunan dan pemukiman yang dilaksanakan berdasarkan asas-asas keadilan, pemerataan dan keterjangkauan, berwawasan lingkungan serta memperhatikan kondisi sosial budaya setempat.
7) Memberikan penekanan kepada pembangunan perumahan dan pemukiman yang bersifat multi sektoral, yang perlu didukung oleh berbagai kebijaksanaan penunjang, meliputi aspek-aspek tata ruang, pertanahan, prasarana dan fasilitas lingkungan, teknologi membangun, industri bahan bangunan dan jasa konstruksi, pembiayaan, pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan, peraturan perundang-undangan serta penelitian dan pengembangan oleh karenanya diperlukan koordinasi yang efektif antara unsur-unsur instansi yang terkait dalam penanganan masalah perumahan dan pemukiman.
Undang-undang nasional Indonesia yang mengatur tentang perumahan dan pemukiman antara lain : UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang mana dalam Pasal 3 menyebutkan pembangunan rumah susun bertujuan untuk :
1) a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.
b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.
2) Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1) huruf a.
Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dalam Pasal 4 menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan pemukiman yaitu : a. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dalam
rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan perumahan dan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
c. Memberi arah pada pertumbuhan wilauyah dan persebaran penduduk yang rasional.
d. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain.
A.P. Parlindungan memberikan komentar terhadap tujuan penataan perumahan dan pemukiman tersebut, yaitu : “Bahwa kebutuhan papan bagi masyarakat luas dalam peningkatan kesejahteraan rakyat dan adanya perumahan dan pemukiman yang memenuhi standar. Disamping itu juga dengan perumahan yang
tertib dan rapi tersebut menunjang adanya pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. 3
3
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung, 1997, h. 37-38.
Secara ringkas bahwa tujuan pembangunan perumahan adalah mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang memadai, di dalam lingkungan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, kuat dalam jangkauan daya beli rakyat banyak.
Dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh setiap lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah yang benar-benar sangat membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal sehingga apa yang menjadi tujuan pembangunan tersebut dapat tercapai dengan baik.
Pembangunan perumahan adalah usaha yang secara sadar dilaksanakan oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah dalam rangka pertumbuhan dan perubahan yang berencana menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa terlepas dari sistem politik dan ekonomi yang dianut oleh suatu negara, khususnya negara Indonesia yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh warganya. Maka tampak jelaslah disini tujuan dilaksanakannya pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah serta untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Untuk dapat terlaksananya pembangunan perumahan dan pemukiman yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat telah diundangkan oleh pemerintah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hal itu, yaitu :
1. PMDN No. 5 Tahun1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.
2. PMDN No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan.
3. PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah yang telah diubah dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
4. PMDN No. 1 Tahun 1977 tanggal 17 Pebruari 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.
5. Surat keputusan bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 959/KPTS/1983
6. PMDN No.2 Tahun 1984 tanggal 28 Januari 1984 tentang Penyediaan Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.
tentang Penanganan Bidang Perumahan Rakyat No. 3/KPTS/1983
7. UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun.
8. PMDN No. 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.
9. PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.
10. Kepmen. Pekerjaan Umum No. 01/KPTS/1989 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Kapling Siap Bangun (KSB).
11. Kepmen Perumahan Rakyat No. 11/KPTS/1989 tentang Pedoman Pengadaan Perumahan dan Pemukiman dengan Fasilitas KPR-BTN oleh Koperasi.
12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/PRT/1989 tentang Pengesahan 25 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia Menjadi Standar Pembangunan Nasional Indonesia.
13. UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. 14. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
15. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KBPN No. 500-1988 tanggal 29 Juni 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993.
16. Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
17. Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik atas RSS dan RS, yang kemudian dirubah dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 15 Tahun 1997, kemudian diperluas lagi dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 1 Tahun 1998.
18. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KBPN No. 500-1567 tanggal 2 Juli Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Hak Milik atas Tanah RSS dan RS.
C. Perlindungan Konsumen Terhadap Pembelian Rumah 1. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
Sejumlah peraturan yang tidak pernah disebut-sebut sebagai prioritas, dalam kenyataannya justru banyak yang didahulukan pengesahannya daripada Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini memperkuat dugaan yang beredar selama ini, pemerintah biasanya mendahulukan peraturan-peraturan yang menguntungkan pihaknya contoh peraturan dibidang perpajakan daripada peraturan-peraturan yagn membebaninya dengan kewajiban yang besar seperti dibidang perlindungan konsumen.
Oleh karena itu menurut Prof. Hans W. Micklitz 4
4
Shirdarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, h. 49.
dalam perlindungan konsumen dapat ditempuh dengan dua kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keselamatan). Dengan demikian dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip, yaitu prinsip tentang tanggungjawab mutlak yang merupakan prihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen, dimana dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,
diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggungjawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
Secara umum, prinsip-prinsip tanggungjawab dibedakan sebagai berikut: 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.
Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata. Dalam KUH Perdata khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367 prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 KUH Perdata 5
a. adanya perbuatan ;
mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok tentang melawan hukum yaitu :
b. adanya unsur kesalahan ; c. adanya kerugian yang diderita ;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab.
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (presumption
of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban
pembuktian ada pada si tergugat.
5
Berkaitan dengan prinsip tanggungjawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dengan 4 (empat) variasi 6
a. pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggungjawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaannya.
:
b. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggungjawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.
c. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggungjawab jika ia dapat membuktikan kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.
d. Pengangkutan tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab.
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi. Konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian tidak dapat dibenarkan.
Contoh dari prinsip ini adalah kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggungjawab dari penumpang. Hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.
6
E. Suherman, Masalah Tanggungjawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain di Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, 1976, h. 18.
4. Prinsip tanggungjawab mutlak.
Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab absolut (absolut liability).
Prinsip tanggungjawab ini adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab, sebaliknya absolut liability adalah prinsip tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.
Menurut R.C. Hoeber et al, 7
a. konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.
prinsip tanggungjawab mutlak ini diterapkan karena :
b. Diasumsikan produsen lebih mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya.
c. Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip tanggungjawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk "menjerat" pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.
7
Asas tanggungjawab ini diberi nama product liability. Menurut asas ini atas penggunaan produk yang dipsarkan. Gugatan product liability ini dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu :
a. melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk.
b. Ada unsur kelalaian yaitu produsen lalai memenuhi standar perbuatan obat yang baik dan
c. Menerapkan tanggungjawab mutlak. 5. Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan.
Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standart yang dibuatnya. Prinsip tanggungjawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggungjawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Misalnya dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang dicuci/cetak hilang atau rusak (akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar 10 x harga satu rol film.
Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggungjawab lainnya. Dalam pengangkutan udara, yakni Pasal 17 ayat (1) Protokol Guatemala
1971, prinsip "tanggungjawab dengan pembatasan" dikaitkan dengan prinsip "tanggungjawab mutlak".
Prinsip tanggungjawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggungjawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.
2. Perlindungan Konsumen Menurut Hukum Positip di Indonesia
Menurut Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 09/KPTS/1995 tanggal 23 Juni 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah pada bagian II mengenai kewajiban penjual mengatakan :
1. Penjual wajib melaksanakan pendirian bangunan sesuai waktu yang telah diperjanjikan menurut gambar arsitektur, gambar denah dan spesifikasi teknis bangunan, yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dan dilampirkan yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam akta pengikatan jual beli rumah tersebut.
2. Penjual wajib menyelesaikan pendirian bangunan dan menyerahkan tanah dan bangunan rumah tepat waktu seperti yang diperjanjikan kepada pembeli, kecuali karena hal-hal terjadi keadaan memaksa (force majeure) yang merupakan hal
diluar kemampuan penjual, antara lain seperti bencana alam, perang, pemogokan, huru-hara, kebakaran, banjir dan peraturan atau kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter.
3. Penjual sebelum melakukan penjualan dan atau melakukan pengikatan jual beli rumah wajib memiliki :
a. Surat izin persetujuan prinsip rencana proyek dari pemerintah daerah setempat dan surat izin lokasi dari kantor pertanahan kabupaten/kotamadya. Khusus untuk DKI Jakarta Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT). b. Surat Keterangan dari kantor pertanahan kabupaten/kotamadya, bahwa yang
bersangkutan (developer) telah memperoleh tanah untuk pembangunan perumahan dan pemukiman.
c. Surat Izin Mendirikan Bangunan.
4. Penjual wajib mengurus pendaftaran perolehan hak atas tanah dan bangunan rumah, seketika setelah terjadinya pemindahan hak atas tanah dan bangunan rumah atau jual beli rumah (tanah dan bangunan) di hadapan PPAT.
5. Apabila penjual lalai dalam menyerahkan tanah dan bangunan rumah tepat waktu seperti yang diperjanjikan kepada pembeli, diwajibkan membayar denda keterlambatan penyerahan tersebut sebesar dua perseribu dari jumlah total harga tanah dan bangunan rumah untuk setiap hari keterlambatannya.
6. Apabila penjual ternyata melalaikan untuk pengurusan pendaftaran perolehan hak atas tanah dan bangunan rumah tersebut, maka pembeli mempunyai hak dan dianggap telah diberi kuasa untuk mengurus dan menjalankan tindakan yang
berkenaan dengan pengurusan pendaftaran perolehan hak atas tanah dan bangunan rumah tersebut kepada instansi yang berwenang.
Selanjutnya pada bagian IV dari Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 09/KPTS/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah disebutkan tentang kewajiban pembeli, yaitu :
1. Pembeli telah menyetujui jumlah total harga tanah dan bangunan rumah sesuai gambar arsitektur, gambar denah dan spesifikasi teknis bangunan yang telah ditetapkan bersama.
2. pembeli wajib membayar total harga tanah dan bangunan rumah beserta segala pajak dan biaya-biaya lain yang timbul sebagai akibat adanya pengikatan jual beli rumah dengan tata cara pembayaran yang disepakati bersama.
3. Pembeli wajib membayar biaya pembuatan akta noaris, pengikatan jual beli rumah, biaya pendaftaran perolehan hak atas tanah atas nama pembeli, sedangkan biaya pengurusan sertifikat ditanggung oleh penjual.
4. apabila pembeli lalai untuk membayar angsuran harga tanah dan bangunan rumah sebagaimana dimaksud dalam angka 2 bagian IV tersebut, pada waktu yang telah ditentukan, maka dikenakan denda keterlambatan sebesar dua perseribu dari jumlah angsuran yang telah jatuh tempo untuk setiap hari keterlambatan.
5. Apabila pembeli lalai membayar angsuran dan harga tanah dan bangunan rumah, segala pajak, serta denda-denda dan biaya-biaya lain yang terhutang selama tiga kali berturut-turut, maka pengikatan jual beli rumah dapat dibatalkan
secara sepihak, dan segala angsuran dibayar kembali dengan dipotong biaya administrasi oleh penjual.
a. Perlindungan Konsumen Menurut KUH Perdata
Perjanjian jual beli rumah melalui developer pada umumnya dilakukan dengan menandatangani perjanjian baku. Satu hal yang selalu menjadi permasalahan dalam perjanjian baku ini adalah adanya syarat-syarat eksonerasi yaitu pembebasan pertanggungjawaban dari debitur.
Menurut Purwahid Patrik, perjanjian yang dilakukan dengan syarat-syarat eksonerasi adalah dibuat tertulis oleh pihak yang membuatnya yang dicantumkan sebagai syarat-syarat baku dan diberlakukan bagi para konsumen yang membutuhkannya”. 8
Demikian banyaknya syarat-syarat eksonerasi dalam dunia perdagangan telah membuat seakan-akan bahwa syarat ini merupakan syarat yang wajib dan konsumen telah terbiasa dengan adanya syarat seperti itu. Sehingga konsumen tidak merasa bahwa dengan adanya syarat eksonerasi, hak-haknya telah dibatasi oleh syarat-syarat dari pihak lain. Padahal apabila developer telah melakukan penawaran dan konsumen telah menerima penawaran tersebut terjadilah kesepakatan dan perjanjian telah mengikat sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Artinya konsumen telah menerima maka ia terikat dengan syarat yang dicantumkan dalam perjanjian.
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan antara lain bahwa untuk sahnya perjanjian, suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebab yang halal. Sehubungan dengan ini telah diatur pula dalam Pasal 1335 KUH Perdata bahwa : “Perjanjian tanpa sebab atau sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Selanjutnya Pasal 1337 KUH Perdata juga mengatur bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. Adanya syarat-syarat eksonerasi perjanjian yang merupakan syarat-syarat baku ini pada umumnya telah mengakibatkan kerugian bagi kepentingan konsumen. Untuk itu, menurut Purwahid Patrik, konsumen dapat dilindungi terhadap pihak yang membuat eksonerasi apabila dapat membuktikan. 9
a. Syarat eksonerasi itu bertentangan dengan kesusilaan adalah batal menurut hukum
(van rechtswesfe nietig) ;
b. Syarat eksonerasi itu dibuat dengan menyalahgunakan keadaan, sehingga perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) ;
c. Syarat eksonerasi itu tidak diberitahukan secara pantas kepada pihak lain sehingga syarat-syarat itu tidak merupakan bagian dari perjanjian itu, dan syarat itu tidak mengikat.
Pasal 1491 KUHP Perdata menekankan bahwa adanya kewajiban penjual untuk menjaminkan penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram kepada pembeli dan adanya cacad-cacad barang tersebut yang tersembunyi.
8
Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1986, h. 45.
Menurut Subekti, kewajiban untuk menanggung cacad-cacad tersembunyi pada barang yang dijualnya, yang dapat membuat barang itu tidak dapat dipakai keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaiannya. Kalau pembeli mengetahui cacad-cacad tersembunyi itu, ia tidak akan membeli barang itu atau mungkin membelinya tetapi dengan harga yang kurang. Penjual tidak wajib menanggung terhadap cacad-cacad yang kelihatan. Hal ini sudah sepantasnya, karena dengan cacad yang kelihatan itu dapat dianggap pembeli telah membeli cacad itu. 10
a. Kalau cacadnya memang semula diketahui oleh pihak penjual dalam Pasal 1608 KUH Perdata ditentukan bahwa penjual wajib untuk mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari biaya, kerugian dan bunga. Disini dapat kita lihat bahwa tuntutan atas cacad yang diketahui sejak semula sama dengan tuntutan yang diatur oleh Pasal 1243 KUH Perdata, yaitu berupa tuntutan pembatalan dengan tuntutan ganti rugi.
Apabila terdapat cacad-cacad tersembunyi, maka pihak pembeli dapat mengajukan tuntutan pembatalan jual beli asalkan tuntutan itu diajukan dalam waktu singkat, dengan perincian tuntutan sebagaimana ditentukan oleh KUH Perdata sebagai berikut :
b. Kalau cacad ini memang benar-benar tidak diketahui oleh penjual sendiri. Pasal 1507 KUH Perdata menentukan bahwa penjual hanya berkewajiban
9
Ibid, h. 39.
10
mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos) yang dikeluarkan oleh pembeli dan penyerahan barang.
c. Kalau barang-barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacad tersembunyi. Pasal 1510 KUH Perdata menentukan penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli.
Terhadap ketentuan di atas terdapat pengecualiannya dalam Pasal 1493 dan 1506 KUH Perdata yang menentukan bahwa apabila penjual meminta diperjanjikan tidak menanggung sesuatu apapun dalam hal cacad tersembunyi pada barang yang dijualnya, maka hal itu berarti menjadi resiko pembeli sendiri.
Ketentuan lain yang terdapat dalam KUH Perdata yang masih berhubungan dengan perlindungan konsumen ini adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum.
Menurut arrest Lidenbaum-Cohen tahun 1919 dikatakan bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, akan tetapi termasuk juga perbuatan melawan hukum adalah:
a. Perbuatan yang melanggar hak orang lain ;
b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat ;
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan maupun sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas bermasyarakat.
Ketentuan hukum yang termuat dalam Pasal 1365 KUH Perdata serta perluasan yang didapatkan dari yurisprudensi sebagaimana telah disebutkan di atas dapat dijadikan sarana oleh konsumen dalam melindungi kepentingan hukumnya.
b. Perlindungan Konsumen Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan suatu perkembangan hukum yang cukup baik sebagai suatu perhatian dari pemerintah mengenai hak warga negara yang menjamin agar dapat hidup sebagai manusia seutuhnya. Bukan hanya meliputi hak yang bersifat fisik, material, akan tetapi hak yang bersifat psikis seperti mendapat hak perasaan aman dari segala gangguan, hak untuk memperoleh keterangan agar pihak-pihak yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang benar tentang segala barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Hal ini dapat kita lihat perwujudannya dalam bab VII Pasal 29 dan 30 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen oleh pemerintah serta dalam berbagai Pasal lainnya dalam UU ini diterakan tanggungjawab pelaku usaha atas kelalaiannya yang merugikan konsumen tersebut (Pasal 19, 22, 23) serta beberapa sanksi administratif yakni penetapan ganti rugi dikenakan kepada pelaku usaha yang melalaikan kewajibannya dan merugikan konsumen (Pasal 60, 62) serta hukuman tambahan (Pasal 63).
c. Perlindungan Konsumen Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
Sebagai akibat pembangunan yang meningkat termasuk pembangunan perumahan pemukiman, perlu ditetapkan perangkat hukum yang memadai, diantaranya dalam hal ini dengan menerbitkan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan peraturan lainnya yang menyangkut bidang perumahan.
Lahirnya undang-undang tersebut di atas juga merupakan suatu perangkat yang dipakai untuk melindungi konsumen perumahan terhadap hak dan kewajibannya.
Sebagaimana diketahui UU No. 4 Tahun 1992 lahir dan berisikan 42 Pasal dan hanya empat Pasal diantaranya dapat dijadikan sebagai alat untuk melindungi konsumen perumahan. Keenam Pasal tersebut adalah antara lain :
Pasal 5 : “(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dan lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan pemukiman”.
Pasal ini menetapkan bahwa adanya suatu hak dan mungkin kelak berkembang sebagai Hak Azasi Manusia untuk dapat memperoleh suatu perumahan dan pemukiman yang memenuhi standar sebagaimana diatur dalam Pasal 1-4 Undang-undang tersebut dan untuk waktu tertentu selama mereka belum mampu memiliki rumah sendiri, setidaknya menempati atau menikmati rumah yang layak, yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas
bangunan dan lingkungan yang lebih sehat, aman, serasi dan teratur dan adanya kelayakan prasarana dan sarana lingkungan.
Pasal 6 : “(1) Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembangunan rumah atau perumahan oleh bukan pemilik hak atas tanah dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik hak atas tanah dengan suatu perjanjian tertulis”.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas hubungan status rumah dan tanah. Sedangkan perjanjian tertulis dimaksud memuat ketentuan mengenai :
a. Hak dan kewajiban pihak yang membangun rumah dan pihak yang memiliki hak atas tanah.
b. Jangka waktu pemanfaatan tanah dan penguasaan rumah oleh pihak yang membangun rumah atau yang dikuasainya.
Dengan demikian dapat dicegah hal-hal yang memungkinkan dikuasai atau digunakannya tanah oleh bukan pemilik hak atas tanah tanpa batas waktu dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan di bidang agraria.
Pasal 7 : “(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a. Mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan administratif ;
b. Melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan ;
c. Melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan pemerintah”.
Dalam memberikan izin bangunan atas pembangunan, pemugaran dan lain-lain atas sebidang tanah, harus sesuai dengan mekanisme yang benar sehingga persyaratan yang dimaksud dalam Pasal 7 tersebut akan terlaksana dengan baik.
Pasal 36 : “(1) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24 dan 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) Setiap badan karena kelalaian mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)”.
Sanksi kepidanaan ini sudah harus inheren pada adanya undang-undang ini, agar undang-undang ini dapat efektif. Dari beberapa ketentuan di atas dapt dijadikan sarana bagi konsumen untuk mengajukan tuntutan keberatannya kepada pengembang yang melalaikan kewajibannya yang merugikan konsumen.