• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAPterhadap Pertumbuhan Subkultur Kalus Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAPterhadap Pertumbuhan Subkultur Kalus Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) secara In Vitro"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

dibutuhkan sebagai pakan tambahan untuk ikan herbivora. Tempat asuhan bagi bibit ikan, udang, moluska dan biota lain. Kandungan CaCO dibutuhkan sebagai 3 bahan additive bagi ikan herbivora dan manusia.

Daftar Pustaka

Buckland, S.T., D.R. Anderson, K.P. Burham, and J.L. Laake 1993. Distance sampling estimating abundance of biological population. First ed. Chapman and Hall Ltd., London. 3570 pp.

Bosse, A.W.V. 1928. Liste des algues du Siboga Rhodophyceae traisimi partieGigartinales et Rhodymeniales. Siboga Expeditie LIXd: 200-533. Braga, J. C. and Riding 2005. Calcarious

algae. In: Selley, R., Cooks, L R. M. and Plimer, I. J. R. (eds) Encyclopedia of Geology. Amsterdam; Elsevier, 428-436.

Connel, Y. H. 1974. Seaweeds in the coral reef communities. In: Richard, N. and Mariscal (eds.). Field experiment in marine ecology. Academy Press, New york. 67-78.

Cordero, J. R. A. 1977. Studies on Philiphine marine red algae, Smithsonian Institution United State National Museum. Series IV: 258 pp.

Dawson, E.Y. 1966. Marine botany. An Introduction Smithsonian Institution United States National Museum. Holt, Rinehart and winston, Inc., New York. 284 pp.

Erich, S. K. and G. Pierre 1999. Micro-enviromental control on biominerali-zation: superficial processes of apatite and calcite precipitation in Quaternary s o i l R o u s s i l l o n , F r a n c e . Sedimentology. 46(3). 463-476.

Hillis-Colinvaux, L. 1980. Ecology and taxonomy of Halimeda; Primary producer of coral reefs. In: Blaxter, Russel and Yonge (eds.) Marine Biology. Academic Press, London. XVII: 2-84.

Klumpp, D.W. and A. D. Mckinnon 1992. Cummunity structure, biomss and p r o d u c t i v i t y o f e p i l i t h i c a l g a l communities on the Graet Barrier Reef: dynamics at different spatial scales. Mar. Ecol. Prog. Ser.Vol.86: 77-89.

Kongwe, J. 2006. Calcarious Algae of A Troical Lagoon; Primary Productivity, Calcification and Carbonat Production. Departement of Botany, Stockholm University, Sweden. 48 pp.

Matsuura, K., O. Sumadhiharga and K. Tsukamoto 2006. Field Guide to Lombok Island. 393- 449.

Odum, H.T., and E.P.Odum 1955.Trophic strukture and productivity of windward coral reef community on Eniwetoll Atoll. Ecol. Monogr.25 : 281-320. Ramos, R. J., M. P. Travassos and G. R.

L e i t e 2 0 1 0 . C h a r a k t e r i z a t i o n M a c r o f a u n a A s s o c i a t e d w i t h A r t i c u l a t e d C a l c a r i o u s a l g a e ( C o r a l l i n a c e a e , R h o d o p h y t a ) Occurring In A Hydrodynamic Gradient on The Espirito Santo State Coast, Brasilian Journal Of Oceanography, 58(4)275-285.

Round, F.E. 1980. The ecology of algae. Cambridge University Press., London. 325pp.

Wilson, S., C. Blake, J.A. Berges and C. A. Maggs 2004. Nothern Ireland. Elsevier, Bio. Cons. 120: 283-293. Wray, J. I. 1977. Calcarious algae.

Developments in Palaentology and Stratigraphy. Amsterdam: Elsevier, Vol. 4, 185 pp.

Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAPterhadap Pertumbuhan Subkultur

Kalus Kedelai (

Glycine max

(L.) Merrill) secara

In Vitro

1) 1)

Kiki Ayuningrum, Iman Budisantoso dan Kamsinah

1)

Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman Jl. Dr. Suparno, Karangwangkal, Purwokerto,53122. Alamat korespondensi : kikiayuningrum@gmail.com

Abstract

The purpose of this study was to evaluate the response of administration of a combination of 2,4-D and BAP on the growth of soybean callus subculture and determine the combination of 2,4-2,4-D and BAP most good for the growth of soybean callus subculture.The study design used completely randomized design (CRD) with a pattern factorials. The factor one e.i 2,4-D consists of 4 levels, namely: 0, 5, 10, and 15 ppm. A factor of 2 e.iBAP consists of 4 levels, namely: 0, 2, 4, dan6 ppm. Every combination treatment repeated three times.Parameters measured include the percentage is growing callus, type of callus, dry weight and wet weight of soybean callus.The results showed that administration of the hormone 2,4-D and BAP can spur the growth of soybean callus subculture, the combination of BAP 2 ppm and 10 ppm of 2,4-D is the best combination for a percentage of callus and growing callus types, whereas the wet weight and the weight dried callus is not driven by a combination of the hormone 2,4-D and BAP.

Keywords: 2,4-D,BAP, calliculture, soybean.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pemberian kombinasi 2,4-D dan BAP terhadap pertumbuhan subkultur kalus kedelai dan menentukan kombinasi 2,4-D dan BAP yang paling baik untuk pertumbuhan subkultur kalus kedelai. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial. Faktor yang dicobakan terdiri atas: 2,4-D dengan 4 taraf yaitu: 0, 5, 10, dan 15 ppm,BAPdengan 4 taraf yaitu: 0, 2, 4, dan 6 ppm. Tiap perlakuan diulang 3 kali. Parameter yang diukur meliputi presentase tumbuh kalus, tipe kalus, berat kering serta berat basah kalus kedelai.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon 2,4-D dan BAP dapat memacu pertumbuhan subkultur kalus kedelai, kombinasi BAP 2 ppm dan 2,4-D 10 ppm merupakan kombinasi terbaik untuk prosentase kalus dan tipe kalus yang tumbuh, sedangkan pada berat basah dan berat kering kalus tidak dipacu oleh kombinasi pemberian hormon 2,4-D dan BAP.

Kata kunci : 2,4-D, BAP, kultur kalus, kedelai.

Pendahuluan

Tanaman kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna karena biasa digunakan sebagai bahan pangan, pakan ternak, maupun bahan baku berbagai industri manufaktur (pabrik) dan olahan. Kedelai mengandung kadar protein lebih dari 40%, lemak 10-15% dan vitamin (Adisarwanto, 2005). Kendala utama penurunan produksi kedelai antara lainbenih yang tersedia berkualitas rendah serta pengendalian terhadap serangan hama dan p e n y a k i t t a n a m a n y a n g b e l u m memadai.Salah satu alternatif untuk mengatasi kendala tersebut yaitu melalui perbanyakan tanaman dengan teknik kultur invitro. Manfaat dari kultur invitroyaitu menyediakan bibit tanaman yang sehat dalam jumlah banyak, wakturelatif singkat, dalam areal yang sempit, tidak tergantung

pada musim. Penerapan metode kultur invitro merupakan langkah awal untuk mendapatkan perbaikan kualitas tanaman (Yusnita, 2004).

Respon pertumbuhan kultur invitro secara umum meliputi pembentukan kalus atau embriosomatik, kemudian akan mengalami diferensiasi yang akan membentuk organ apabila dipacu dengan zat pengatur tumbuh. Differensiasi dapat terjadi melalui dua cara, yaitu diferensiasi langsung, dimana pembentukan organ tanpa melalui pembentukan kalus dan diferensiasi tak langsung, yaitu terbentuk-nya organ didahului dengan pembentukan kalus dan organ akan muncul dari kalus tersebut (George dan Sherington, 1984).

2,4-D merupakan ZPT yang paling sering digunakan untuk induksi dan pertumbuhan kalus karena efektif untuk

(2)

tahap inisiasi khususnya pada jaringan yang belum dewasa. Selain itu, 2,4-D bersifat stabil pada suhu yang tinggi, sangat reaktif, efektif pada konsentrasi yang rendah dan aktif dalam waktu yang lama. 2,4-D yang digunakan dalam konsentrasi yang rendah juga dapat mendorong pembelahan sel, mendorong pertumbuhan tanaman dan meningkatkan daya kecambah benih (Wattimena, 2001). Syahid dan Hernani (2001), menambah-kan bahwa 2,4-D mampu merangsang pembentukan kalus.

Penggunaan ZPT 2,4-D pada induksi kalus embriogenik telah dicoba pada beberapa jenis tanaman. Menurut Khumaida dan Handayani (2010), kemampuan induksi dan proliferasi kalus embriogenik dari eksplan kotiledon muda kedelai dipengaruhi oleh genotipe dan jenis auksin yang digunakan, pada tahap induksi maupun proliferasi kalus embrio-genik dengan menggunakan media MS (vitamin B5, sukrosa 3%, gelrite 0,2%, 5 mg/l 2,4-D dan 5 mg/l NAA) memberikan respon yang lebih baik dari media lainnya. Setyaningrum (2011) menambahkan bahwa zat pengatur tumbuh 2,4-D mutlak diperlukan untuk menginduksi kalus. Menurut penelitian Widoretno et al. (2003), penambahan hormon 2,4-D dengan konsentrasi 10 ppm cukup baik untuk menginduksi kalus dan pembentuk-an embrio somatik.

Hasil penelitian Gangga (2007), kalus biji buah mahkota dewa yang ditanam pada media MS dengan penambahan 2,4-D tumbuh optimal pada konsentrasi 2 ppm/l, pada tahap inisiasi kalus, eksplan yang ditanam pada media MS yang ditambah dengan 2 ppm 2,4-D dan 1 ppm BAP pada minggu kedua sudah mulai terbentuk kalus dan pertumbuhan kalus yang sempurna t e r j a d i p a d a m i n g g u k e d e l a p a n . Penggunaan hormon 2,4-D sangat berguna untuk menghambat proses morfogenesis pada kalus sehingga mampu menginisiasi pertumbuhan kalus. Minggu keenam kalus sudah dapat digunakan untuk perbanyakan dengan cara disubkulturkan. Konsentrasi 2,4-D 2 ppm dan BAP 1 ppm baik untuk perbanyakan kalus (subkultur kalus). Menurut Wattimena (2001), pada induksi kalus kacang tanah pada media MS dengan penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 1 mg/l eksplan dapat tumbuh dengan baik.

Materi dan Metode

Metode penelitian yangdigunakan adalah metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu : BAP dengan empat 4 taraf 0; 4; 2dan6 ppm; serta2,4-D dengan 4 taraf yaitu 0;10;5;15 ppm.Tiap perlakuan diulang 3 kali. Media yang digunakan adalah media dasar MS.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi prosentase kalus yang tumbuh, tipe kalus dan berat kering serta berat basah kalus.Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan tingkat kesalahan 1% dan 5%.Apabila menun-jukkan perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)atau uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

Hasil dan Pembahasan

1. Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Prosentase Kalus yang Tumbuh

Hasil analisis varian prosentase kalus yang tumbuh menunjukkan bahwa interaksi 2,4-D dan BAP berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kalus y a n g t u m b u h m e n j a d i . M e n u r u t Setyaningrum (2011), hal tersebut dikarenakan zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media kultur in vitro akan m e m p e n g a r u h i p e r t u m b u h a n d a n perkembangan eksplan. Selanjutnya Jonwaldinson (2010), semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang diberikan hingga 1,5mg/l dalam kultur kalus, maka pertumbuhan kalusnya akan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa kombinasi yang terbaik adalah B D meskipun tidak berbeda nyata 1 2 dengan B D dan B D dengan prosentase 0 2 2 0 kalus yang tumbuh pada media tersebut mencapai 83,33% (Tabel 1.). Hal ini sejalan dengan tipe kalus embriogenik yang tumbuh pada perlakuan B D mempunyai prosentase 1 2 yang lebih tinggi, yaitu 100%, sedangkan pada perlakuan B D prosentase tipe kalus 0 2 embriogeniknya hanya mencapai 75% dan pada perlakuan B D hanya 50%.2 0

Tabel 1. Uji BNJ Interaksi Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Prosentase Kalus yang Tumbuh

No. Perlakuan Nilai rata-rata Hasil Uji BNJ 1 B D2 2 33,33 a 2 B D2 3 33,33 a 3 B D3 1 33,33 a 4 B D3 3 33,33 a 5 B D0 0 41,67 ab 6 B D0 1 41,67 ab 7 B D3 2 41,67 ab 8 B D0 3 50,00 bc 9 B D1 0 58,33 cd 10 B D1 1 58,33 cd 11 B D1 3 58,33 cd 12 B D2 1 58,33 cd 13 B D3 0 66,67 d 14 B D0 2 83,33 e 15 B D1 2 83,33 e 16 B D2 0 83,33 e

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5%

Auksin penting untuk mengontrol pertumbuhan dan organogenesis pada kultur in vitro. Bermacam perkembangan seperti kalus, akar dan tunas dipengaruhi oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan (Staba, 1980). Pemberian hormon 2,4-D memberikan pengaruh dalam merangsang perbesaran dan pembelahan sel untuk membentuk kalus. Perbesaran sel ini disebabkan oleh meningkatnya daya plastisitas dinding sel dan terbentuknya enzim selulase yang dapat melarutkan selulosa pada dinding sel, sehingga menyebabkan oksigen, air dan garam mineral mudah terabsorpsi melalui membran dinding sel sehingga terjadi pertumbuhan dan perbesaran sel (Wilkins, 1970). Penambahan BAP dalam media juga dapat mendukung pembentukan kalus. BAP mempunyai sifat mudah ditranslokasikan, aktif merangsang pertumbuhan kalus, serta aktif dalam meregenerasi kalus maupun tunas (Wiendi et al., 1991).

1. Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Tipe Kalus yang Terbentuk

Menurut Fowler (1983), pembentu-kan kalus terjadi karena adanya pelukaan atau rangsang luka yang diberikan pada eksplan, sehingga sel-sel pada eksplan akan memperbaiki sel-sel yang rusak tersebut. Awalnya terjadi pembentangan dinding sel dan penyerapan air, sehingga sel akan membengkak selanjutnya terjadi pembelahan sel. Rangsang luka tersebut menyebabkan kesetimbangan pada dinding sel, sebagian protoplas mengalir ke luar dinding sel sehingga mulai terbentuk kalus, pada beberapa perlakuan dominasi warna kecoklatan menutupi permukaan kalus. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya kandungan senyawa fenolik yang terbentuk serta menutupi permukaan kalus. Penelitian Nisa dan Rodinah (2005) juga mendapatkan beberapa eksplan yang mati akibat pencoklatan (browning). Pencoklatan salah satunya disebabkan oleh sintesis metabolit sekunder (senyawa fenolik). Adanya sintesis senyawa fenolik yang menutupi permukaan kalus akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan kalus pada perkembangan selanjutnya dapat mengakibatkan kematian eksplan. Selain itu, pada permukaan kalus juga cenderung keras karena terdapat jaringan yang menebal. Di samping itu, pertumbuh-an kalus yang terjadi memang belum mencapai tingkat yang maksimal.

Kalus dapat dibedakan dalam beberapa tipe morfologi yang bervariasi sesuai dengan penampilan luar dan teksturnya. Kalus secara umum diklasifikasi-kan menjadi kalus perkembangan atau kalus embriogenik, kalus proliferatif dan kalus senescens (Kesee et al., 1991 dalam Sugiyono, 1993). Rataan persentasenya dari seluruh tipe kalus yang terbentuk pada seluruh perlakuan tersaji dalam bentuk histogram pada gambar 1.

Gambar 1. Histogram rataan tipe kalus yang tumbuh pada seluruh perlakuan

(3)

tahap inisiasi khususnya pada jaringan yang belum dewasa. Selain itu, 2,4-D bersifat stabil pada suhu yang tinggi, sangat reaktif, efektif pada konsentrasi yang rendah dan aktif dalam waktu yang lama. 2,4-D yang digunakan dalam konsentrasi yang rendah juga dapat mendorong pembelahan sel, mendorong pertumbuhan tanaman dan meningkatkan daya kecambah benih (Wattimena, 2001). Syahid dan Hernani (2001), menambah-kan bahwa 2,4-D mampu merangsang pembentukan kalus.

Penggunaan ZPT 2,4-D pada induksi kalus embriogenik telah dicoba pada beberapa jenis tanaman. Menurut Khumaida dan Handayani (2010), kemampuan induksi dan proliferasi kalus embriogenik dari eksplan kotiledon muda kedelai dipengaruhi oleh genotipe dan jenis auksin yang digunakan, pada tahap induksi maupun proliferasi kalus embrio-genik dengan menggunakan media MS (vitamin B5, sukrosa 3%, gelrite 0,2%, 5 mg/l 2,4-D dan 5 mg/l NAA) memberikan respon yang lebih baik dari media lainnya. Setyaningrum (2011) menambahkan bahwa zat pengatur tumbuh 2,4-D mutlak diperlukan untuk menginduksi kalus. Menurut penelitian Widoretno et al. (2003), penambahan hormon 2,4-D dengan konsentrasi 10 ppm cukup baik untuk menginduksi kalus dan pembentuk-an embrio somatik.

Hasil penelitian Gangga (2007), kalus biji buah mahkota dewa yang ditanam pada media MS dengan penambahan 2,4-D tumbuh optimal pada konsentrasi 2 ppm/l, pada tahap inisiasi kalus, eksplan yang ditanam pada media MS yang ditambah dengan 2 ppm 2,4-D dan 1 ppm BAP pada minggu kedua sudah mulai terbentuk kalus dan pertumbuhan kalus yang sempurna t e r j a d i p a d a m i n g g u k e d e l a p a n . Penggunaan hormon 2,4-D sangat berguna untuk menghambat proses morfogenesis pada kalus sehingga mampu menginisiasi pertumbuhan kalus. Minggu keenam kalus sudah dapat digunakan untuk perbanyakan dengan cara disubkulturkan. Konsentrasi 2,4-D 2 ppm dan BAP 1 ppm baik untuk perbanyakan kalus (subkultur kalus). Menurut Wattimena (2001), pada induksi kalus kacang tanah pada media MS dengan penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 1 mg/l eksplan dapat tumbuh dengan baik.

Materi dan Metode

Metode penelitian yangdigunakan adalah metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu : BAP dengan empat 4 taraf 0; 4; 2dan6 ppm; serta2,4-D dengan 4 taraf yaitu 0;10;5;15 ppm.Tiap perlakuan diulang 3 kali. Media yang digunakan adalah media dasar MS.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi prosentase kalus yang tumbuh, tipe kalus dan berat kering serta berat basah kalus.Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan tingkat kesalahan 1% dan 5%.Apabila menun-jukkan perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)atau uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

Hasil dan Pembahasan

1. Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Prosentase Kalus yang Tumbuh

Hasil analisis varian prosentase kalus yang tumbuh menunjukkan bahwa interaksi 2,4-D dan BAP berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kalus y a n g t u m b u h m e n j a d i . M e n u r u t Setyaningrum (2011), hal tersebut dikarenakan zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media kultur in vitro akan m e m p e n g a r u h i p e r t u m b u h a n d a n perkembangan eksplan. Selanjutnya Jonwaldinson (2010), semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang diberikan hingga 1,5mg/l dalam kultur kalus, maka pertumbuhan kalusnya akan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa kombinasi yang terbaik adalah B D meskipun tidak berbeda nyata 1 2 dengan B D dan B D dengan prosentase 0 2 2 0 kalus yang tumbuh pada media tersebut mencapai 83,33% (Tabel 1.). Hal ini sejalan dengan tipe kalus embriogenik yang tumbuh pada perlakuan B D mempunyai prosentase 1 2 yang lebih tinggi, yaitu 100%, sedangkan pada perlakuan B D prosentase tipe kalus 0 2 embriogeniknya hanya mencapai 75% dan pada perlakuan B D hanya 50%.2 0

Tabel 1. Uji BNJ Interaksi Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Prosentase Kalus yang Tumbuh

No. Perlakuan Nilai rata-rata Hasil Uji BNJ 1 B D2 2 33,33 a 2 B D2 3 33,33 a 3 B D3 1 33,33 a 4 B D3 3 33,33 a 5 B D0 0 41,67 ab 6 B D0 1 41,67 ab 7 B D3 2 41,67 ab 8 B D0 3 50,00 bc 9 B D1 0 58,33 cd 10 B D1 1 58,33 cd 11 B D1 3 58,33 cd 12 B D2 1 58,33 cd 13 B D3 0 66,67 d 14 B D0 2 83,33 e 15 B D1 2 83,33 e 16 B D2 0 83,33 e

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5%

Auksin penting untuk mengontrol pertumbuhan dan organogenesis pada kultur in vitro. Bermacam perkembangan seperti kalus, akar dan tunas dipengaruhi oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan (Staba, 1980). Pemberian hormon 2,4-D memberikan pengaruh dalam merangsang perbesaran dan pembelahan sel untuk membentuk kalus. Perbesaran sel ini disebabkan oleh meningkatnya daya plastisitas dinding sel dan terbentuknya enzim selulase yang dapat melarutkan selulosa pada dinding sel, sehingga menyebabkan oksigen, air dan garam mineral mudah terabsorpsi melalui membran dinding sel sehingga terjadi pertumbuhan dan perbesaran sel (Wilkins, 1970). Penambahan BAP dalam media juga dapat mendukung pembentukan kalus. BAP mempunyai sifat mudah ditranslokasikan, aktif merangsang pertumbuhan kalus, serta aktif dalam meregenerasi kalus maupun tunas (Wiendi et al., 1991).

1. Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Tipe Kalus yang Terbentuk

Menurut Fowler (1983), pembentu-kan kalus terjadi karena adanya pelukaan atau rangsang luka yang diberikan pada eksplan, sehingga sel-sel pada eksplan akan memperbaiki sel-sel yang rusak tersebut. Awalnya terjadi pembentangan dinding sel dan penyerapan air, sehingga sel akan membengkak selanjutnya terjadi pembelahan sel. Rangsang luka tersebut menyebabkan kesetimbangan pada dinding sel, sebagian protoplas mengalir ke luar dinding sel sehingga mulai terbentuk kalus, pada beberapa perlakuan dominasi warna kecoklatan menutupi permukaan kalus. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya kandungan senyawa fenolik yang terbentuk serta menutupi permukaan kalus. Penelitian Nisa dan Rodinah (2005) juga mendapatkan beberapa eksplan yang mati akibat pencoklatan (browning). Pencoklatan salah satunya disebabkan oleh sintesis metabolit sekunder (senyawa fenolik). Adanya sintesis senyawa fenolik yang menutupi permukaan kalus akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan kalus pada perkembangan selanjutnya dapat mengakibatkan kematian eksplan. Selain itu, pada permukaan kalus juga cenderung keras karena terdapat jaringan yang menebal. Di samping itu, pertumbuh-an kalus yang terjadi memang belum mencapai tingkat yang maksimal.

Kalus dapat dibedakan dalam beberapa tipe morfologi yang bervariasi sesuai dengan penampilan luar dan teksturnya. Kalus secara umum diklasifikasi-kan menjadi kalus perkembangan atau kalus embriogenik, kalus proliferatif dan kalus senescens (Kesee et al., 1991 dalam Sugiyono, 1993). Rataan persentasenya dari seluruh tipe kalus yang terbentuk pada seluruh perlakuan tersaji dalam bentuk histogram pada gambar 1.

Gambar 1. Histogram rataan tipe kalus yang tumbuh pada seluruh perlakuan

(4)

Berdasarkan hasil penelitian pada subkultur kalus selama 3 minggu terhadap kalus yang dihasilkan, didapatkan hasil rata-rata prosentase kalus yang tumbuh pada seluruh perlakuan dengan tipe embriogenik sebesar 48,44%, tipe proliferatif sebesar 12,50% dan tipe senescens sebesar 7,81%. Menurut Kesse et al. (1990) dalam Sugiyono (1993), tipe kalus embriogenik adalah tipe kalus yang mampu berkembang ke arah embriogenesis somatik atau organogenesis somatik. Tipe kalus ini dicirikan oleh adanya klorofil, berwarna hijau, keras dan tumbuh dengan cepat. Kelebihan dari kalus embriogenik atau yang biasa disebut dengan kalus perkembangan yaitu merupakan kalus yang paling baik untuk digunakan pada regenerasi kalus (Taylor, 1993). Perlakuan B D mempunyai 1 2 persentase kalus embriogenik tertinggi dibandingkan dengan perlakuan B D dan 0 2 B D2 0. Pembentukan kalus embriogenik dipengaruhi oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media (Peterson dan Smith, 1991).

2,4-D sangat interaktif dalam merangsang pembelahan dan perbesaran sel dalam proses pembentukan kalus embriogenik, sehingga sel-sel lebih aktif melakukan perbesaran dan pembelahan dalam membentuk kalus embriogenik (Salisbury and Ross, 1995). Pembentukan kalus embriogenik pada penelitian ini mencapai 48,44%, persentase ini lebih tinggi dari yang pernah dilaporkan oleh Kashefi (2008) dalam Wigyan (1994), yaitu sebesar 41,97 % pada eksplan bunga jantan pisang. Menurut Hendaryono (1944), penambahan 2,4-D 2 mg/l mampu menginduksi kalus embriogenik sebanyak 75%.

Selain kalus embriogenik, pada penelitian ini didapatkan prosentase pembentukan kalus proliferatif, yaitu sebesar 12,50%. Menurut Nisa dan Rodinah (2005), kalus proliferatif adalah kalus yang mampu tumbuh namun tidak mampu berkembang ke arah embriogenesis atau organogenesis, tetapi selnya masih aktif membelah secara terus menerus. Tipe kalus proliferatif memiliki sel berukuran sangat kecil dan berwarna putih atau transparan. Dilihat dari tujuannya, apabila digunakan untuk regenerasi kalus untuk membentuk planlet, maka digunakan kalus embriogenik, tetapi apabila digunakan untuk subkultur lagi, maka kalus yang digunakan adalah

kalus proliferatif. Persentase kalus senescens yang didapatkan pada penelitian ini sebesar 7,81%. Kalus senescens m e r u p a k a n k a l u s y a n g m e m i l i k i pertumbuhan yang lambat dan tidak menunjukkan perkembangan dengan ciri-ciri tidak terdapatnya klorofil, berwarna krem atau coklat. Terbentuknya tipe kalus senescens dan timbulnya gejala nekrosis sangat terkait dengan zat pengatur tumbuh yang digunakan (Kesse et al., 1991 dalam Sugiyono, 1993). Kondisi lingkungan pada kultur in vitro mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus (Righetti et al., 1990 dalam Prayoga et al., 1997).

Gambar 2. Tipe kalus yang tumbuh ; a) embriogenik b) proliferatif c) senescens

Hasil pengamatan terhadap kalus yang tumbuh (Gambar 2.) diantaranya, tipe kalus embriogenik (Gambar 2.a.) yaitu ukuran sel kalus besar, berwarna putih kehijauan dan tumbuh cepat. Tipe kalus proliferatif (Gambar 2.b.) yaitu ukuran sel kalus kecil berwarna putih kekuningan. Tipe kalus senescens (Gambar 2.c.) yaitu kalus yang terbentuk berwarna coklat kehitaman dan tidak menunjukkan perkembangan kalus. Tipe kalus embriogenik yang paling banyak terbentuk yaitu pada perlakuan B D 1 2 mempunyai persentase yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan B D relatif lebih baik daripada 1 2 perlakuan lain dalam pembentukan kalus embriogenik. Tipe kalus proliferatif paling banyak terbentuk yaitu pada perlakuan B D mencapai 50%, sedangkan tipe kalus 1 1 senescens paling banyak terbentuk yaitu pada perlakuan B D mencapai 50%.2 0

2. Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Berat Basah dan Berat Kering Kalus Kedelai

Analisa varian berat basah kalusmenunjukkan bahwa pemberian BAP maupun kombinasi 2,4-D dan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah

kalus, tetapi pemberian hormon 2,4-D secara mandiri berpengaruh sangat nyata terhadap berat basah kalus yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji lanjut BNT (Tabel 2.)menunjukkan bahwa pada perlakuan D0 (kontrol)memberikan nilai rata-rata berat basah kalus lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Rata-rata berat basah kalus pada kontrol mencapai 0,0210 g. Pemberian 2,4-D dalam media akan menurunkan berat basah kalus. Hal ini di duga auksin endogen yang dimiliki eksplan cukup tinggi sehingga penambahan 2,4-D justru akan menghambat pertumbuhan kalus (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Tabel 2. Uji BNT Hormon 2,4-D terhadap Berat Basah Kalus Hasil Subkultur

No. Perlakuan Nilai rata-rata Hasil Uji BNT 1 D0 0,0210 b 2 D1 0,0110 a 3 D2 0,0107 a 4 D3 0,0102 a

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT 5%

Hasil analisis varian berat kering kalus menunjukkan bahwa interaksi 2,4-D dan BAP maupun pemberian hormon BAP secara mandiri tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering kalus kedelai, tetapi secara mandiri pemberian hormon 2,4-D berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering kalus yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil uji lanjut BNT berat kering kalus menunjukkan bahwa pada perlakuan D (kontrol) memberikan nilai rata-0 rata berat kering kalus lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 3). Rata-rata berat basah kalus pada media tersebut mencapai 0,0278g. Hal ini diduga konsentrasi 2,4-D yang diberikan terlalu tinggi. Adanya tekanan osmotik media yang lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan osmotik yang ada dalam jaringan eksplan menyebabkan penyerapan hara menjadi terhambat, karena penyerapan hara pada media tersebut terhambat sehingga pertumbuhan dan berat kering kalus juga akan terhambat (Andaryani, 2010).

Tabel 3. Uji BNT 2,4-D terhadap Berat Kering Kalus Hasil Subkultur

No. Perlakuan Nilai rata-rata Hasil Uji BNT

1 D0 0,0278 b

2 D1 0,0186 a

3 D2 0,0162 a

4 D3 0,0160 a

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT 5%

Hasil yang sama didapatkan oleh Aniel Kumar et al. (2010), bahwa pembentukan kalus menjadi menurun pada media dengan pemberian 2,4-D dan NAA dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari 1 mg/L, namun adanya penambahan 2,4-D ke dalam media kultur sangat diperlukan untuk menghasilkan kalus embriogenik (George dan Sherrington, 1984). Selama masa perkembangannya, kalus yang semakin lama berada pada media tanam akan mengalami degradasi fisiologis atau penurunan tingkat fisiologi tanaman akibat kekurangan unsur hara atau hormon tumbuhnya. Konsentrasi yang tinggi oleh 2,4-D dan tidak adanya penambahan sitokinin dalam media juga mampu memacu t e r j a d i n y as e n e s e n s i y a n g d a p a t menghambat proses pertumbuhan kalus (Yusnita, 2004).

Berat kalus yang berbeda pada setiap genotipe kedelai menunjukkan bahwa setiap genotipe kedelai mempunyai kemampuan berbeda dalam membentuk kalus. Hal ini dikarenakan setiap kedelai memiliki ukuran dan kondisi fisiologis jaringan eksplan yang berbeda. Menurut Fatmawati (2008) dalam Lizawati et al. (2012), peningkatan berat kalus terjadi karena kalus mengalami pembelahan sel h i n g g a m e n y e b a b k a n t e r j a d i n y a peningkatan massa sel. Fitriyanti (2006), mengatakan bahwa tingginya berat basah kalus yang diperoleh berhubungan dengan struktur kalus yang diperoleh yaitu remah mencapai 95%. Semakin remah kalus yang d i p e r o l e h , s e m a k i n c e p a t p r o s e s pembelahan selnya sehingga massa kalus makin banyak dan beratnya meningkat.

(5)

Berdasarkan hasil penelitian pada subkultur kalus selama 3 minggu terhadap kalus yang dihasilkan, didapatkan hasil rata-rata prosentase kalus yang tumbuh pada seluruh perlakuan dengan tipe embriogenik sebesar 48,44%, tipe proliferatif sebesar 12,50% dan tipe senescens sebesar 7,81%. Menurut Kesse et al. (1990) dalam Sugiyono (1993), tipe kalus embriogenik adalah tipe kalus yang mampu berkembang ke arah embriogenesis somatik atau organogenesis somatik. Tipe kalus ini dicirikan oleh adanya klorofil, berwarna hijau, keras dan tumbuh dengan cepat. Kelebihan dari kalus embriogenik atau yang biasa disebut dengan kalus perkembangan yaitu merupakan kalus yang paling baik untuk digunakan pada regenerasi kalus (Taylor, 1993). Perlakuan B D mempunyai 1 2 persentase kalus embriogenik tertinggi dibandingkan dengan perlakuan B D dan 0 2 B D2 0. Pembentukan kalus embriogenik dipengaruhi oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media (Peterson dan Smith, 1991).

2,4-D sangat interaktif dalam merangsang pembelahan dan perbesaran sel dalam proses pembentukan kalus embriogenik, sehingga sel-sel lebih aktif melakukan perbesaran dan pembelahan dalam membentuk kalus embriogenik (Salisbury and Ross, 1995). Pembentukan kalus embriogenik pada penelitian ini mencapai 48,44%, persentase ini lebih tinggi dari yang pernah dilaporkan oleh Kashefi (2008) dalam Wigyan (1994), yaitu sebesar 41,97 % pada eksplan bunga jantan pisang. Menurut Hendaryono (1944), penambahan 2,4-D 2 mg/l mampu menginduksi kalus embriogenik sebanyak 75%.

Selain kalus embriogenik, pada penelitian ini didapatkan prosentase pembentukan kalus proliferatif, yaitu sebesar 12,50%. Menurut Nisa dan Rodinah (2005), kalus proliferatif adalah kalus yang mampu tumbuh namun tidak mampu berkembang ke arah embriogenesis atau organogenesis, tetapi selnya masih aktif membelah secara terus menerus. Tipe kalus proliferatif memiliki sel berukuran sangat kecil dan berwarna putih atau transparan. Dilihat dari tujuannya, apabila digunakan untuk regenerasi kalus untuk membentuk planlet, maka digunakan kalus embriogenik, tetapi apabila digunakan untuk subkultur lagi, maka kalus yang digunakan adalah

kalus proliferatif. Persentase kalus senescens yang didapatkan pada penelitian ini sebesar 7,81%. Kalus senescens m e r u p a k a n k a l u s y a n g m e m i l i k i pertumbuhan yang lambat dan tidak menunjukkan perkembangan dengan ciri-ciri tidak terdapatnya klorofil, berwarna krem atau coklat. Terbentuknya tipe kalus senescens dan timbulnya gejala nekrosis sangat terkait dengan zat pengatur tumbuh yang digunakan (Kesse et al., 1991 dalam Sugiyono, 1993). Kondisi lingkungan pada kultur in vitro mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus (Righetti et al., 1990 dalam Prayoga et al., 1997).

Gambar 2. Tipe kalus yang tumbuh ; a) embriogenik b) proliferatif c) senescens

Hasil pengamatan terhadap kalus yang tumbuh (Gambar 2.) diantaranya, tipe kalus embriogenik (Gambar 2.a.) yaitu ukuran sel kalus besar, berwarna putih kehijauan dan tumbuh cepat. Tipe kalus proliferatif (Gambar 2.b.) yaitu ukuran sel kalus kecil berwarna putih kekuningan. Tipe kalus senescens (Gambar 2.c.) yaitu kalus yang terbentuk berwarna coklat kehitaman dan tidak menunjukkan perkembangan kalus. Tipe kalus embriogenik yang paling banyak terbentuk yaitu pada perlakuan B D 1 2 mempunyai persentase yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan B D relatif lebih baik daripada 1 2 perlakuan lain dalam pembentukan kalus embriogenik. Tipe kalus proliferatif paling banyak terbentuk yaitu pada perlakuan B D mencapai 50%, sedangkan tipe kalus 1 1 senescens paling banyak terbentuk yaitu pada perlakuan B D mencapai 50%.2 0

2. Respon Pemberian Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Berat Basah dan Berat Kering Kalus Kedelai

Analisa varian berat basah kalusmenunjukkan bahwa pemberian BAP maupun kombinasi 2,4-D dan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah

kalus, tetapi pemberian hormon 2,4-D secara mandiri berpengaruh sangat nyata terhadap berat basah kalus yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji lanjut BNT (Tabel 2.)menunjukkan bahwa pada perlakuan D0 (kontrol)memberikan nilai rata-rata berat basah kalus lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Rata-rata berat basah kalus pada kontrol mencapai 0,0210 g. Pemberian 2,4-D dalam media akan menurunkan berat basah kalus. Hal ini di duga auksin endogen yang dimiliki eksplan cukup tinggi sehingga penambahan 2,4-D justru akan menghambat pertumbuhan kalus (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Tabel 2. Uji BNT Hormon 2,4-D terhadap Berat Basah Kalus Hasil Subkultur

No. Perlakuan Nilai rata-rata Hasil Uji BNT 1 D0 0,0210 b 2 D1 0,0110 a 3 D2 0,0107 a 4 D3 0,0102 a

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT 5%

Hasil analisis varian berat kering kalus menunjukkan bahwa interaksi 2,4-D dan BAP maupun pemberian hormon BAP secara mandiri tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering kalus kedelai, tetapi secara mandiri pemberian hormon 2,4-D berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering kalus yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil uji lanjut BNT berat kering kalus menunjukkan bahwa pada perlakuan D (kontrol) memberikan nilai rata-0 rata berat kering kalus lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 3). Rata-rata berat basah kalus pada media tersebut mencapai 0,0278g. Hal ini diduga konsentrasi 2,4-D yang diberikan terlalu tinggi. Adanya tekanan osmotik media yang lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan osmotik yang ada dalam jaringan eksplan menyebabkan penyerapan hara menjadi terhambat, karena penyerapan hara pada media tersebut terhambat sehingga pertumbuhan dan berat kering kalus juga akan terhambat (Andaryani, 2010).

Tabel 3. Uji BNT 2,4-D terhadap Berat Kering Kalus Hasil Subkultur

No. Perlakuan Nilai rata-rata Hasil Uji BNT

1 D0 0,0278 b

2 D1 0,0186 a

3 D2 0,0162 a

4 D3 0,0160 a

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT 5%

Hasil yang sama didapatkan oleh Aniel Kumar et al. (2010), bahwa pembentukan kalus menjadi menurun pada media dengan pemberian 2,4-D dan NAA dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari 1 mg/L, namun adanya penambahan 2,4-D ke dalam media kultur sangat diperlukan untuk menghasilkan kalus embriogenik (George dan Sherrington, 1984). Selama masa perkembangannya, kalus yang semakin lama berada pada media tanam akan mengalami degradasi fisiologis atau penurunan tingkat fisiologi tanaman akibat kekurangan unsur hara atau hormon tumbuhnya. Konsentrasi yang tinggi oleh 2,4-D dan tidak adanya penambahan sitokinin dalam media juga mampu memacu t e r j a d i n y as e n e s e n s i y a n g d a p a t menghambat proses pertumbuhan kalus (Yusnita, 2004).

Berat kalus yang berbeda pada setiap genotipe kedelai menunjukkan bahwa setiap genotipe kedelai mempunyai kemampuan berbeda dalam membentuk kalus. Hal ini dikarenakan setiap kedelai memiliki ukuran dan kondisi fisiologis jaringan eksplan yang berbeda. Menurut Fatmawati (2008) dalam Lizawati et al. (2012), peningkatan berat kalus terjadi karena kalus mengalami pembelahan sel h i n g g a m e n y e b a b k a n t e r j a d i n y a peningkatan massa sel. Fitriyanti (2006), mengatakan bahwa tingginya berat basah kalus yang diperoleh berhubungan dengan struktur kalus yang diperoleh yaitu remah mencapai 95%. Semakin remah kalus yang d i p e r o l e h , s e m a k i n c e p a t p r o s e s pembelahan selnya sehingga massa kalus makin banyak dan beratnya meningkat.

(6)

Kesimpulan

B e r d a s a r k a n p e m b a h a s a n

disimpulkan bahwa pemberian hormon

2,4-D dan BAP dapat memacu

p e r t u m b u h a n s u b k u l t u r k a l u s

kedelai.Kombinasi BAP 2 ppm dan 2,4-D

10 ppm merupakan kombinasi terbaik

untuk prosentase kalus dan tipe kalus

yang tumbuh, sedangkan pada berat

basah dan berat kering kalus tidak

dipacu oleh kombinasi pemberian

hormon 2,4-D dan BAP.

Daftar Pustaka

Adisarwanto, T. 2005. Budidaya dengan P e m u p u k a n y a n g E f e k t i f d a n Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Jakarta : Penebar Swadaya. Andaryani, S. 2010. Kajian Penggunaan

Berbagai Konsentrasi BAP dan 2,4-D terhadap Induksi Kalus Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) secara In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant, 29 : 102-108. Aniel Kumar, O., S. Subba Tata and T.

Rupavati. 2010. In vitro induction of callusogenesis in chilli peppers (Capsicum annum L.). International Journal of Current Res, 3: 42-45. Fitriyanti A. 2006. Efektivitas Asam 2,4-D

dan Kinetin pada Medium MS dalam Induksi Kalus Sambiloto dengan Eksplan Potongan Daun. Skripsi. Universitas NegeriSemarang.

Fowler, M.W., 1983. Commercial application and economic aspects of mass plant cell culture, dari Mantell, S.H., Smith, H . ( e d . ) . P l a n t B i o t e c h n o l i g y. Cambridge University Press, London, 3-38.

Gangga, E., H. Asriani dan L. Novita. 2007. Analisis Pendahuluan Metabolit Sekunder dari Kalus Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 5 (1) : 17-22.

George, E. F. and Sherington.1984.Plant Propagationby Tissue Culture. England: Exegetics Limited.

Gunawan, L. W.1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor : Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB.

Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Secara Vegetatif. Kanisius, Yogyakarta.

Jonwaldinson. 2010. Pengaruh 2,4-D terhadap Induksi Embrio Somatik pada Berbagai Tipe Eksplan Tanaman Jarak Pagar(Jatropha curcas L). Skripsi.UniversitasJambi.

Kashefi, K. 2008. Organogenesis, Somatic Embryogenesis and Regeneration of Immature Male Flowers of Banana Cultivar. University Putra Malaysia. Khumaida, N. dan T, Handayani. 2010.

I n d u k s i d a n P r o l i f e r a s i K a l u s Embriogenik pada Beberapa Genotipe Kedelai. J. Agron. Indonesia, 38 (1) : 19-24.

Lizawati, Neliyati dan R. Desfira. 2012. Induksi Kalus Eksplan Daun Durian (Durio Zibethinus Murr. Cv. Selat Jambi) pada Beberapa Kombinasi 2,4-D dan BAP. Fakultas Agrikultur Universitas Jambi, 1 (1) : 23-34.

Nisa, C. dan Rodinah. 2005. Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca L.) dengan Pemberian C a m p u r a n N A A d a n K i n e t i n , Bioscientiae, 2 (2): 23-26.

Peterson, G and R. Smith. l991. Effect of abscicic acid and callus size on regeneration of American and international rice varieties. Plant Cell Rep, 10: 35-38.

Prayoga, L., Sugiyono, E. S. Purwati dan M. Dwiati. 1997. Upaya Mendapatkan Bibit Tebu (Scharum officinalis L.) melalui Regenerasi Kalus dengan Pemberian Hormon BAP dalam Kultur K a l u s A s e p t i s . L a p o r a n H a s i l Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid III. Penerbit ITB, Bandung.

Setyaningrum, R. 2011. Efektivitas 2,4-Diklorofenoksi Asetat (2,4-D) dan K i n e t i n t e r h a d a p I n d u k s i d a n Kandungan Klorofil serta Karotenoid Kalus Alfalfa (Medicago sativa L.). Abstrak Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Departemen Pendidikan Nasional F a k u l t a s M I P A U n i v e r s i t a s Diponegoro, Semarang.

Staba, E. J. 1980. Plant Tissue Culture as a Source of Biochemical. CRC Press, Inc. Bocaraton, Florida.

Sugiyono. 1993. Pengaruh Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Multiplikasi Kalus Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molken) pada Kultur Aseptis. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Departemen Pendidikan Nasional Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman.

Syahid, S. F dan Hernani. 2001. Pengaruh K o m p o s i s i M e d i a t e r h a d a p Pertumbuhan Kalus dan KadarTannin dari Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) secara Kultur In Vitro. Jurnal Littri, 16 (1) : 1-5.

Taylor, P. W. J. 1993. Tissue Culture of Sugareane for Crop Improvement. Bureau of Sugar Experiment Stations, Queensland.

Wattimena, G. A. 2001. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. IPB, Bogor.

Widoretno, W., E. L. Arumningtyas dan Sudarsono. 2003. Metode Induksi Pembentukan Embrio Somatik dari Kotiledon dan Regenerasi Planlet Kedelai Secara In Vitro. IPB, Bogor. Wilkins. 1970. The Physiology of Plant

Growth and Development. Mc Graw-Hill, San Fransisco.

Yusnita.2004.KulturJaringanCaraMemperb anyakTanamanSecaraEfisien.Jakarta :Agromedia Pustaka.

(7)

Kesimpulan

B e r d a s a r k a n p e m b a h a s a n

disimpulkan bahwa pemberian hormon

2,4-D dan BAP dapat memacu

p e r t u m b u h a n s u b k u l t u r k a l u s

kedelai.Kombinasi BAP 2 ppm dan 2,4-D

10 ppm merupakan kombinasi terbaik

untuk prosentase kalus dan tipe kalus

yang tumbuh, sedangkan pada berat

basah dan berat kering kalus tidak

dipacu oleh kombinasi pemberian

hormon 2,4-D dan BAP.

Daftar Pustaka

Adisarwanto, T. 2005. Budidaya dengan P e m u p u k a n y a n g E f e k t i f d a n Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Jakarta : Penebar Swadaya. Andaryani, S. 2010. Kajian Penggunaan

Berbagai Konsentrasi BAP dan 2,4-D terhadap Induksi Kalus Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) secara In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant, 29 : 102-108. Aniel Kumar, O., S. Subba Tata and T.

Rupavati. 2010. In vitro induction of callusogenesis in chilli peppers (Capsicum annum L.). International Journal of Current Res, 3: 42-45. Fitriyanti A. 2006. Efektivitas Asam 2,4-D

dan Kinetin pada Medium MS dalam Induksi Kalus Sambiloto dengan Eksplan Potongan Daun. Skripsi. Universitas NegeriSemarang.

Fowler, M.W., 1983. Commercial application and economic aspects of mass plant cell culture, dari Mantell, S.H., Smith, H . ( e d . ) . P l a n t B i o t e c h n o l i g y. Cambridge University Press, London, 3-38.

Gangga, E., H. Asriani dan L. Novita. 2007. Analisis Pendahuluan Metabolit Sekunder dari Kalus Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 5 (1) : 17-22.

George, E. F. and Sherington.1984.Plant Propagationby Tissue Culture. England: Exegetics Limited.

Gunawan, L. W.1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor : Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB.

Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Secara Vegetatif. Kanisius, Yogyakarta.

Jonwaldinson. 2010. Pengaruh 2,4-D terhadap Induksi Embrio Somatik pada Berbagai Tipe Eksplan Tanaman Jarak Pagar(Jatropha curcas L). Skripsi.UniversitasJambi.

Kashefi, K. 2008. Organogenesis, Somatic Embryogenesis and Regeneration of Immature Male Flowers of Banana Cultivar. University Putra Malaysia. Khumaida, N. dan T, Handayani. 2010.

I n d u k s i d a n P r o l i f e r a s i K a l u s Embriogenik pada Beberapa Genotipe Kedelai. J. Agron. Indonesia, 38 (1) : 19-24.

Lizawati, Neliyati dan R. Desfira. 2012. Induksi Kalus Eksplan Daun Durian (Durio Zibethinus Murr. Cv. Selat Jambi) pada Beberapa Kombinasi 2,4-D dan BAP. Fakultas Agrikultur Universitas Jambi, 1 (1) : 23-34.

Nisa, C. dan Rodinah. 2005. Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca L.) dengan Pemberian C a m p u r a n N A A d a n K i n e t i n , Bioscientiae, 2 (2): 23-26.

Peterson, G and R. Smith. l991. Effect of abscicic acid and callus size on regeneration of American and international rice varieties. Plant Cell Rep, 10: 35-38.

Prayoga, L., Sugiyono, E. S. Purwati dan M. Dwiati. 1997. Upaya Mendapatkan Bibit Tebu (Scharum officinalis L.) melalui Regenerasi Kalus dengan Pemberian Hormon BAP dalam Kultur K a l u s A s e p t i s . L a p o r a n H a s i l Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid III. Penerbit ITB, Bandung.

Setyaningrum, R. 2011. Efektivitas 2,4-Diklorofenoksi Asetat (2,4-D) dan K i n e t i n t e r h a d a p I n d u k s i d a n Kandungan Klorofil serta Karotenoid Kalus Alfalfa (Medicago sativa L.). Abstrak Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Departemen Pendidikan Nasional F a k u l t a s M I P A U n i v e r s i t a s Diponegoro, Semarang.

Staba, E. J. 1980. Plant Tissue Culture as a Source of Biochemical. CRC Press, Inc. Bocaraton, Florida.

Sugiyono. 1993. Pengaruh Hormon 2,4-D dan BAP terhadap Multiplikasi Kalus Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molken) pada Kultur Aseptis. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Departemen Pendidikan Nasional Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman.

Syahid, S. F dan Hernani. 2001. Pengaruh K o m p o s i s i M e d i a t e r h a d a p Pertumbuhan Kalus dan KadarTannin dari Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) secara Kultur In Vitro. Jurnal Littri, 16 (1) : 1-5.

Taylor, P. W. J. 1993. Tissue Culture of Sugareane for Crop Improvement. Bureau of Sugar Experiment Stations, Queensland.

Wattimena, G. A. 2001. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. IPB, Bogor.

Widoretno, W., E. L. Arumningtyas dan Sudarsono. 2003. Metode Induksi Pembentukan Embrio Somatik dari Kotiledon dan Regenerasi Planlet Kedelai Secara In Vitro. IPB, Bogor. Wilkins. 1970. The Physiology of Plant

Growth and Development. Mc Graw-Hill, San Fransisco.

Yusnita.2004.KulturJaringanCaraMemperb anyakTanamanSecaraEfisien.Jakarta :Agromedia Pustaka.

Gambar

Tabel 1.   Uji  BNJ  Interaksi  Hormon  2,4-D  dan  BAP terhadap Prosentase Kalus yang  Tumbuh
Tabel 2.  Uji BNT Hormon 2,4-D terhadap Berat  Basah Kalus Hasil Subkultur

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat rata- rata Dividend payout ratio dan rata-rata debt to equity ratio perusahaan property dan real estate yang rutin membagikan dividen dapat diketahui bahwa

Penentuan konsentrasi tanin terkondensasi dari ekstrak kulit batang kersen dilakukan dengan uji vanilin-HCL, dalam penentuan kandungan tanin terkondensasi yaitu

Dan seperti kita pahami bersama bahwa penghasilan tidak terus menerus akan diterima sepanjang hidup, sebaliknya kebutuhan dan keinginan akan terus ada sepanjang napas masih

Hadhrat Khalifatul Masih bersabda bahwa seandainya setiap orang mawas diri, maka ia pun dapat menyadari siapakah yang sebenarnya mengikuti nasehat penting Hadhrat Masih Mau’ud as

- Evaluasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. - Program adalah rencana suatu pelaksanaan yang akan

Pringsewu.Populasi penelitian ini adalah seluruh tenaga kesehatan yang memiliki bayi usia 7-24 bulan di wilayah Kabupaten Pringsewu, terdapat 83 ibu bekerja

Rumusan masalah penelitian ini adalah : 1) Bentuk pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap pengguna kartu elektronik (E-Money), 2) Faktor pendukung dan penghambat

1) Risiko likuiditas, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap CAR pada Bank Pembangunan