• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai faktor-faktor yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai faktor-faktor yang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai “faktor-faktor yang mempengaruhi pelaporan keuangan melalui internet (Internet Financial Reporting) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Serta menjabarkan teori yang melandasi penelitian ini dan beberapa penelitian terdahulu yang telah diperluas dengan referensi atau keterangan tambahan yang dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian.

2.2. Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan (Agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktek bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama. Literatur akuntansi tentang pengungkapan sendiri seringkali mengacu pada konsep keagenan dengan menyediakan dorongan untuk melakukan pengungkapan wajib maupun sukarela terhadap laporan keuangan. Dorongan ini ditunjukkan pada literatur sebagai alat penggerak yang digunakan untuk mengurangi asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Shareholder sebagai

(2)

prinsipal menggunakan informasi akuntansi untuk mengawasi kinerja manajemen yang bertindak sebagai agen. Pada gilirannya, agen ini akan menggunakan pengungkapan akuntansi sebagai kesempatan untuk mengisyaratkan kinerjanya kepada prinsipal (Watts dan Zimmerman, 1986; Healy dan Pelepu, dalam Wolk,et.al.

2000). Sekarang ini internet dapat menyediakan sarana yang ekonomis dan efisien untuk mengkomunikasikan kinerja manajemen kepada stakeholder maupun

shareholder. Teori keagenan muncul karena adanya perbedaan kepentingan sehingga masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Jika pihak-pihak tersebut bertindak untuk kepentingannya sendiri, maka hal tersebut akan menimbulkan konflik antara prinsipal dan agen. Menurut Morris (1987, Wolk et.al, 2000), teori keagenan menggambarkan bahwa konflik yang terjadi akan menimbulkan biaya agensi yang pada akhirnya akan ada insentif untuk menguranginya.

Teori keagenan mengasumsikan bahwa prinsipal menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas investasi yang mereka tanamkan, salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi dividen dari tiap saham yang mereka miliki. Sedangkan agen menginginkan kepentingannya diakomodir dengan pemberian kompensasi/bonus/insentif yang memadai dan sebesar-besarnya atas kinerja yang telah mereka lakukan. Prinsipal menilai prestasi agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian dividen. Semakin tinggi laba, semakin tinggi harga saham dan semakin besar dividen, maka agen dianggap berhasil dan memiliki kinerja yang baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.

(3)

Dalam kerangka teori keagenan, terdapat tiga macam hubungan keagenan, yaitu: 1) hubungan keagenan antara manajer dengan pemilik (Bonus Plan Hypothesis), 2) hubungan keagenan antara manajer dengan kreditur (Debt/Equity Hypothesis) dan 3) hubungan keagenan antara manajer dengan pemerintah (Political Cost Hypothesis). Hal ini berarti ada kecenderungan bagi manajer untuk melaporkan sesuatu dengan cara-cara tertentu dalam rangka memaksimalkan utilitas mereka dalam hal ini hubungannya dengan pemilik, kreditur maupun pemerintah. Praktek IFR merupakan media untuk menyampaikan informasi sebagaimana yang dikehendaki dalam kontrak keagenan.

Alasan yang mendasari perlunya praktek pengungkapan laporan keuangan oleh manajemen perusahaan kepada shareholder dijamin dalam hubungan antara prinsipal dan agen. Laporan keuangan merupakan sarana akuntabilitas manajemen kepada pemilik. Sehingga sebagai wujud pertanggungjawaban, agen akan berusaha memenuhi seluruh keinginan prinsipal, dalam hal ini adalah pengungkapan sukarela yang lebih luas.

2.3. Teori Sinyal (Signal Theory)

Teori sinyal mengemukakan tentang bagaiamana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik dari perusahaan lain.

(4)

Dalam kerangka teori sinyal disebutkan bahwa dorongan perusahaan untuk memberikan informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara manajer perusahaan dan pihak luar, hal ini disebabkan karena manajer perusahaan mengetahui lebih banyak informasi mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (Wolk et al., 2000). Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi asimetri informasi tersebut. Salah satu cara untuk mengurangi asimetri informasi adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, berupa informasi keuangan yang positif dan dapat dipercaya yang akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang sehingga dapat meningkatkan kredibilitas dan kesuksesan perusahaan (Wolk et al., 2000).

2.4. Laporan Keuangan (Financial Reporting)

Laporan keuangan menggambarkan posisi keuangan suatu perusahaan dan kinerja perusahaan selama periode waktu tertentu. Unsur-unsur yang berkaitan langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah aktiva, kewajiban dan ekuitas. Sedangkan unsur yang berkaitan dengan kinerja adalah penghasilan dan beban yang termuat dalam laporan laba-rugi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan produk atau hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Laporan keuangan inilah yang menjadi bahan informasi bagi para pemakainya sebagai salah satu bahan dalam proses pengambilan keputusan. Selain sebagai informasi, laporan keuangan juga dapat digunakan sebagai sarana pertanggungjawaban perusahaan terhadap pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan perusahaan. Laporan

(5)

keuangan juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator kesuksesan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya (Hanafi, 2005).

Laporan keuangan tersebut harus disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan peraturan Bapepam. Selanjutnya laporan keuangan tersebut harus diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam. Laporan tahunan tersebut terdiri atas:

1. Laporan Laba Rugi

2. Laporan Perubahan Modal 3. Neraca

4. Laporan Arus Kas

5. Catatan atas Laporan Keuangan

2.4.1. Luas Pengungkapan Laporan Keuangan

Pengungkapan saat ini sudah banyak dilakukan untuk tujuan melindungi (proactive), memberikan informasi (informative), atau untuk melayani kebutuhan khusus(differential). Tujuan proactive dilakukan untuk melindungi para pemakai laporan keuangan, baik publik maupun masyarakat umum yang masih awam. Tujuan

informative adalah menyediakan informasi yang dapat membantu keefisienan dalam pengambilan keputusan bagi pemakai laporan keuangan. Sedangkan tujuan

differential merupakan gabungan dari tujuan perlindungan publik dan tujuan informatif, artinya pengungkapan informasi harus dibatasi pada apa yang dipandang bermanfaat bagi pemakainya. Namun secara umum tujuan suatu pengungkapan adalah memberikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan

(6)

keuangan dan melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda (Suwardjono, 2005).

Kualitas pengungkapan ditunjukkan dengan tingkat keluasan pengungkapan sebagai salah satu indikator. Semakin luas tingkat pengungkapan maka semakin valid informasi yang diberikan. Tingginya kualitas informasi akuntansi sangat berkaitan dengan tingkat kelengkapan pengungkapan. Yularto dan Chariri (2003) mengidentifikasi konsep mengenai pengungkapan sehubungan dengan kualitas laporan keuangan menjadi tiga, yaitu:

1. Adequate disclosure (cukup)

Tingkat pengungkapan yang memadai adalah pengungkapan yang harus dipenuhi agar laporan keuangan secara keseluruhan tidak menyesatkan bagi pemakai dalam mengambil keputusan .

2. Fair disclosure (wajar)

Tingkat pengungkapan yang wajar adalah tingkat yang harus dicapai agar semua pihak mendapat perlakuan atau pelayanan informasi yang sama.

3. Full disclosure (lengkap)

Tingkat pengungkapan yang penuh menuntut penyajian secara penuh terhadap semua informasi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan.

Dari ketiga konsep tersebut hanya konsep adequate disclosure dan fair disclosure yang sering digunakan. Sedangkan konsep full disclosure jarang digunakan karena adanya pertimbangan-pertimbangan khusus dari manajemen antara lain:

(7)

1) Menimbulkan informasi yang berlebihan.

2) Memicu sering munculnya interpretasi yang salah dari pembaca.

3) Tersebarnya informasi penting sehingga bisa melemahkan strategi bersaing perusahaan.

2.4.2. Pengungkapan Wajib (Mandatory Disclosure)

Pengungkapan wajib adalah pengungkapan yang dibuat oleh perusahaan mengenai informasi-informasi penting yang menyangkut aktivitas dan kondisi perusahaan secara riil yang bersifat wajib dan diatur dalam peraturan hukum (Suwardjono, 2005). Peraturan yang mengatur hal tersebut dikeluarkan oleh pemerintah melalui Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-38/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996, yang menyatakan bahwa perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik berkewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan. Seiring dengan perkembangan dalam dunia bisnis, peraturan tersebut disempurnakan dalam Keputusan Ketua Bapepem-LK No. Kep-134/BL/2006.

2.4.3. Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)

Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan diluar apa yang telah diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan badan pengawas (Suwardjono, 2005) . Sehingga tidak semua perusahaan melakukan praktek pengungkapan yang sama, namun sesuai dengan kebutuhan perusahaan tersebut. Meek et. al. (1995) dalam Fitriani (2001) menegaskan bahwa pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas manajemen perusahaan dalam

(8)

memberikan informasi akuntansi dan informasi lainnya yang dipandang relevan untuk pembuatan keputusan oleh pemakai laporan tahunannya.

Manajemen selalu berusaha untuk mengungkapkan informasi privat yang menurut pertimbangannya sangat diminati oleh investor dan pemegang saham, khususnya apabila informasi tersebut merupakan berita gembira (good news). Manajemen juga akan menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan kredibilitas dan kemajuan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan (Suwardjono, 2005).

Terdapat lima manfaat pengungkapan sukarela yaitu: 1) memperbaiki reputasi perusahaan,

2) menyajikan informasi yang dapat menghasilkan keputusan investasi yang lebih baik bagi investor,

3) memperbaiki akuntabilitas,

4) memperbaiki prediksi risiko yang dilakukan oleh investor, dan 5) menyajikan kewajaran harga saham yang lebih baik.

Sedangkan biaya dari pengungkapan sukarela meliputi: 1) biaya competitive disadvantage, dan

(9)

2.5. Internet Financial Reporting (IFR)

Praktek IFR tidak dapat dipisahkan dari teori keagenan (agency theory) dan teori sinyal (signal theory). Dalam kerangka teori keagenan, terdapat tiga macam hubungan keagenan, yaitu:

1) hubungan keagenan antara manajer dengan pemilik (Bonus Plan Hypothesis), 2) hubungan keagenan antara manajer dengan kreditur (Debt/Equity Hypothesis) dan 3) hubungan keagenan antara manajer dengan pemerintah (Political Cost

Hypothesis).

Hal ini berarti ada kecenderungan bagi manajer untuk melaporkan sesuatu dengan cara-cara tertentu dalam rangka memaksimalkan utilitas mereka dalam hal hubungannya dengan pemilik, kreditur maupun pemerintah. Praktek IFR merupakan media untuk menyampaikan informasi sebagaimana yang dikehendaki dalam kontrak keagenan.

Dalam kerangka teori sinyal disebutkan bahwa dorongan perusahaan untuk memberikan informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara manajer perusahaan dan pihak luar karena manajer perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (Wolk et al., 2000). Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan yang positif dan dapat dipercaya yang akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang sehingga dapat meningkatkan kredibilitasnya

(10)

dan kesuksesan perusahaan (Wolk et al., 2000). Ettredge et al. (2001) menyatakan bahwa IFR membantu perusahaan dalam menyebarluaskan informasi mengenai keunggulan-keunggulan perusahaan yang merupakan sinyal positif perusahaan untuk menarik investor. Hal ini berarti, IFR merupakan sarana untuk mengkomunikasikan sinyal positif perusahaan kepada publik, terutama investor. Praktik IFR berkembang pesat dari waktu ke waktu. Deller et al. (1999, dalam Jones et al., 2003) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar di Eropa, Amerika dan Australia menggunakan internet sebagai media alternatif untuk pelaporan keuangan perusahaan. Praktek IFR juga berkembang di Austria dan Jerman (Pirchegger dan Wagenhofer,1999 dalam Oyelere et al., 2003).

Internet Financial Reporting adalah suatu cara yang dilakukan perusahaan untuk mencantumkan laporan keuangannya melalui internet, yaitu melalui website yang dimiliki perusahaan. Literatur akuntansi yang ada menyatakan bahwa IFR dikenal sebagai pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), bukan karena isi pengungkapannya tetapi karena alat yang digunakan. Venter (2002) dalam Luciana (2008) terdapat tiga cara penyajian laporan keuangan melalui website, yaitu :

1. Membuat duplikat laporan keuangan yang sudah dicetak ke dalam format

electronic paper.

2. Mengkonversi laporan keuangan ke dalam format HTML (Hypertext Markup Language).

(11)

3. Meningkatkan pencantuman laporan keuangan melalui website sehingga lebih mudah diakses oleh pihak yang berkepentingan daripada laporan keuangan dalam format cetak.

Menurut Luciana (2008), Internet Financial Reporting memiliki beberapa keuntungan antara lain :

1. Menawarkan solusi biaya rendah (bagi kedua belah pihak). Bagi investor, memberikan kemudahan dalam mengakses informasi perusahaan. Sedangkan bagi perusahaan, dapat mengurangi biaya untuk mencetak serta mengirim informasi perusahaan kepada investor Menawarkan ketepatan waktu dalam penyebaran serta akses informasi sehingga informasi lebih relevan karena tepat waktu.

2. Sebagai media komunikasi massa untuk laporan perusahaan. Informasi dapat diakses oleh pengguna yang lebih luas daripada media komunikasi yang lama. Tidak ada batasan wilayah sehingga dapat mengembangkan jumlah investor potensial.

3. Menawarkan informasi keuangan dalam berbagai format yang memudahkan dan bisa didownload (Hanifa dan Rashid; 2005 dalam Luciana, 2008). Adobe Acrobat format dalam portable document format (PDF) biasanya merupakan format yang paling umum digunakan. Selain itu format yang digunakan adalah HTML, Excel, XBRL.

4. Memungkinkan pemakai berinteraksi dengan perusahaan untuk bertanya atau memesan informasi tertentu dengan cara yang jauh lebih mudah dan murah dibanding mengirim surat atau telepon ke perusahaan.

(12)

Selain memberikan beberapa keuntungan, pengungkapan informasi keuangan melalui website perusahaan juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain:

1. Belum adanya standar khusus yang mengatur pengungkapan informasi keuangan dalam website perusahaan (Seetharman, 2005;Silva dan Christensen, 2004 dalam Hanny, Anis, 2006).

2. Biaya untuk membangun serta merawat website terkadang melebihi manfaat yang didapat (Asbaugh et al., 1999).

3. Sehubungan dengan market competition, dengan diungkapkannya informasi secara luas, perusahaan akan berpotensi kehilangan keunggulan kompetitifnya (Asbaugh et al.,. 1999).

Williams dan Ho (1999, dalam Oyelere et al., 2003) membandingkan pelaporan keuangan dalam website perusahaan di Australia, Singapura, Malaysia dan Hongkong. Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Australia dan Singapura lebih banyak menyampaikan informasi keuangan perusahaan melalui internet daripada melalui annual reports, sedangkan di Malaysia dan Hongkong, pelaporan keuangan disajikan dalam bentuk IFR dan paper based

reporting secara seimbang. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Xiao et al. (2004) yang melakukan penelitian terhadap perusahaan-perusahaan di Cina. Hussey et al. (1999, dalam Marston dan Polei, 2004) yang melakukan studi time series menyatakan dari 100 perusahaan, terdapat peningkatan jumlah dari 54 menjadi 63 perusahaan yang melakukan IFR antara Agustus 1997 dan Maret 1998. Peneliti lain Gray dan Debreceny (1997, dalam Marston dan Polei, 2004)

(13)

menemukan bahwa 68% dari 50 perusahaan yang dijadikan sampel telah melakukan praktek IFR. Meskipun fenomena IFR berkembang pesat akhir-akhir ini, akan tetapi masih banyak juga perusahaan-perusahaan yang memilih untuk tidak melakukan praktek IFR. Hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pilihan perusahaaan untuk menerapkan IFR atau tidak. Pengaruh faktor tersebut terhadap praktek IFR dapat dilihat pada bagian berikut.

2.6. Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan adalah faktor penentu penting dalam pengungkapan perusahaan. Hasil dari penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan positif antara ukuran perusahaan dan tingkat pengungkapan (Meek, Roberts dan Gray, 1995). Terdapat beberapa argumentasi yang mendasar hubungan ukuran perusahaan dengan tingkat pengungkapan. Pertama, perusahaan besar yang memiliki sistem informasi pelaporan yang lebih baik cenderung memiliki sumberdaya untuk menghasilkan lebih banyak informasi dan biaya untuk menghasilkan informasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki keterbatasan dalam sistem informasi pelaporan. Kedua, perusahaan besar memiliki insentif untuk menyajikan pengungkapan sukarela, karena perusahaan besar dihadapkan pada biaya dan tekanan politik yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil. Ketiga, perusahaan kecil cenderung untuk menyembunyikan informasi penting dikarenakan competitive disadvantage. Wallace, Naser dan Mora (1994, Yunianti,Lina, 2005)

(14)

memberikan bukti bahwa tingkat pengungkapan berhubungan positif dengan ukuran perusahaan.

Perusahaan yang besar memiliki shareholder dalam jumlah banyak dan tersebar luas sehingga dapat meningkatkan agency cost (Hossain et al., 1995 dalam Oyelere et al., 2003). Watts dan Zimmermann (1978, dalam Marston dan Polei, 2004) menyatakan bahwa terkait dengan teori agensi, perusahaan besar memiliki agency cost yang besar karena perusahaan besar harus menyampaikan pelaporan keuangan yang lengkap kepada shareholders sebagai wujud pertanggungjawaban manajemen.

Agency cost tersebut berupa biaya penyebarluasan laporan keuangan, termasuk biaya cetak dan biaya pengiriman laporan keuangan kepada pihak-pihak yang dituju oleh perusahaan (Oyelere et al., 2003). Praktek IFR dalam penyebarluasan laporan keuangan merupakan usaha untuk mengurangi besarnya agency cost. Marston dan Polei (2004) menyatakan bahwa perusahaan yang lebih besar memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi sehingga investor akan membutuhkan informasi keuangan perusahaan yang lebih banyak untuk membuat keputusan investasi yang lebih efektif. Lebih lanjut, terkait dengan political cost, Marston Polei (2004) menjelaskan bahwa perusahaan besar lebih mudah diawasi kegiatannya di pasar modal dan di lingkungan sosial pada umumnya, sehingga memberi tekanan pada perusahaan untuk melakukan pelaporan keuangan yang lebih lengkap dan luas melalui IFR. Hasil penelitian Creven Marston (1999), sebagaimana dikutip Marston, Polei (2004) menunjukkan hubungan yang signifikan antara ukuran perusahaan dengan IFR.

(15)

2.7. Umur Listing

Menurut UU Pasar Modal No 8 tahun 1995 (Sunariyah, 2004) menjelaskan bahwa perusahaan yang akan listing dan yang telah listing memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan keuangan. Susanto (1992, dalam Prayogi, 2003) menyatakan bahwa perusahaan yang terdaftar di BEJ akan memberikan pelaporan keuangan yang lebih lengkap dibanding dengan perusahaan lain. Alasannya, perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai pengalaman lebih dalam pelaporan keuangan tahunan. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Marwoto (2000, dalam Prayogi, 2003) yang berpendapat bahwa umur listing perusahaan berhubungan positif dengan kualitas pelaporan keuangan perusahaan karena perusahaan yang sudah lama terdaftar dalam bursa memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam mempublikasikan laporan keuangan.

Perusahaan yang lebih lama listing menyediakan publisitas informasi yang lebih banyak dibanding perusahaan yang baru saja listing sebagai bagian dari praktik akuntabilitas yang ditetapkan oleh BAPEPAM. Perusahaan yang lebih berpengalaman mempunyai kecenderungan untuk mengubah metode pelaporan informasi keuangannya sesuai dengan perkembangan teknologi untuk menarik investor melalui penggunaan IFR. Sedangkan perusahaan yang baru melakukan go

publik mungkin saja memiliki website, tetapi belum tentu melakukan praktek IFR. Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) cenderung akan melakukan pelaporan keuangannya secara lebih transparan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum terdaftar di BEI. Hal tesebut disebabkan

(16)

perusahaan yang sudah lama listing di BEI memiliki lebih banyak pengalaman dalam mempublikasikan laporan keuangannya. Perusahaan yang lebih berpengalaman tersebut akan melakukan pelaporan keuangan sesuai dengan perkembangan jaman. Tidak hanya secara paper-based reporting system tetapi sudah secara paper-less reporting system.

2.8. Leverage

Agency Theory menjelaskan dan memprediksi bahwa semakin besar leverage

perusahaan, semakin potensial transfer kemakmuran dari kreditur kepada pemegang saham (Jansen dan Meckling, 1976 dalam Oyelere et al., 2003). Akan tetapi leverage

yang tinggi menjadikan pihak manajemen perusahaan menjadi lebih sulit dalam membuat prediksi jalannya perusahaan ke depan (Firth dan Smith, 1992 dalam Ghozali dan Mansur, 2002). Hal ini tentu saja mengancam posisi manajer perusahaan karena mereka dianggap tidak dapat mengelola perusahaan dengan baik. Jansen dan Meckling (1976, dalam Rizal, 2001) menyatakan bahwa terkadang manajer cenderung menyampaikan informasi-informasi positif untuk menutupi kekurangan perusahaan. Hal ini berarti manajer dapat menyampaikan informasi-informasi positif perusahaan yang lebih lengkap untuk “mengaburkan” perhatian kreditur dan pemegang saham untuk tidak terlalu fokus hanya pada leverage perusahaan yang tinggi. Sebagai contoh, Jansen dan Meckling (1976, dalam Zuhrotun, 2006) menyatakan adanya penerbitan surat utang mendorong manajer untuk meyakinkan pihak kreditur bahwa perusahaan akan membayar utang obligasinya melalui

(17)

penyampaian informasi mengenai rencana perusahaan untuk melakukan investasi yang memberikan ekspansi imbal balik yang tinggi pula sehingga dapat menutup utang perusahaan.

Seiring dengan meningkatnya leverage, manajer dapat menggunakan IFR untuk membantu menyebarluaskan informasi-informasi positif perusahaan dalam rangka “mengaburkan” perhatian kreditur dan pemegang saham untuk tidak terlalu fokus hanya pada leverage perusahaan yang tinggi. Hal ini disebabkan pelaporan keuangan melalui internet dapat memuat informasi perusahaan yang lebih banyak dibandingkan melalui paperbased reporting. Teori keagenan dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara tingkat leverage perusahaan dengan pengungkapan sukarela. Berdasarkan teori ini, semakin tinggi tingkat leverage, perusahaan memiliki insentif untuk meningkatkan pengungkapan sukarela kepada stakeholder baik berupa media pengungkapan tradisional maupun media lain yaitu pengungkapan informasi perusahaan melalui website perusahaan (Jensen and Meckling, 1976, dalam Zuhrotun, 2006). Terdapat hasil penelitian yang beragam yang menjelaskan hubungan antara tingkat leverage perusahaan dengan tingkat pengungkapan sukarela. Ismail (2002, dalam Zuhrotun, 2006) memberikan bukti adanya hubungan positif antara internet financial reporting dan tingkat leverage perusahaan dalam struktur modal perusahaan, sementara penelitian yang dilakukan oleh Oyelere (2003) tidak mendukung adanya asosiasi antara tingkat leverage dan pengungkapan sukarela. Meek et al (1995) memberikan bukti adanya asosiasi negatif antara leverage dan pengungkapan sukarela pada perusahaan di Amerika Serikat, Inggris dan Eropa.

(18)

Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka panjangnya. Dalam Teori Keagenan dijelaskan bahwa semakin tinggi leverage

perusahaan, semakin baik transfer kemakmuran dari kreditur kepada pemegang saham perusahaan. Perusahaan yang memiliki proporsi utang lebih besar dalam struktur permodalannya akan mempunyai biaya agensi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki leverage tinggi mempunyai kewajiban yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan informasi kreditur jangka panjang (Chow, 1987). Perusahaan dengan jumlah hutang yang tinggi akan menanggung biaya agensi yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya transfer kekayaan dari debtholder kepada stockholder. Di sisi lain dengan proporsi leverage yang lebih tinggi, maka kebutuhan informasi mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar kewajibannya oleh kreditur akan lebih tinggi. Salah satu cara untuk mengurangi biaya agensi serta konflik kepentingan yang muncul yaitu dengan melakukan pengungkapan informasi yang lebih banyak, yaitu dengan menyajikan pengungkapan informasi keuangan melalui website perusahaan.

2.9. Reputasi Auditor

Auditing membantu mengurangi konflik kepentingan antara manajemen dan investor (Malone et al., 1993 dalam Oyelere et al., 2003). Untuk mempertahankan reputasinya dalam rangka mengurangi konflik kepentingan tersebut, Kantor Akuntan Publik (KAP) ternama mempunyai dorongan yang kuat untuk menjaga independensi mereka dan berusaha melaporkan informasi selengkap mungkin kepada pemegang

(19)

saham dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (Rezaee, 2003). Ahmed (1996, dalam Oyelere et al., 2003) menemukan hubungan yang signifikan antara reputasi auditor dengan pengungkapan. Rezaee (2003) menyatakan bahwa KAP bereputasi tinggi (Big Four) memiliki kemampuan yang lebih besar dalam mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan karena Big Four memiliki: kemampuan yang lebih besar untuk bertahan dari tekanan klien, lebih peduli pada reputasi mereka, memiliki sumber daya yang lebih besar berkaitan dengan kompetensi personelnya dan teknologi maju yang dimiliki serta memiliki strategi dan proses audit yang lebih baik.

Ali dan Hartono (2003) menyatakan bahwa kualitas aktual audit tidak dapat diobservasi, sehingga auditor berusaha untuk mengkomunikasikan kualitas mereka melalui signal seperti reputasi atau brand names. Untuk itu terkait dengan teori sinyal, Healy dan Palepu (2001, dalam Xiao et al., 2004) menyatakan bahwa penggunaan KAP yang bereputasi merupakan sinyal positif perusahaan karena perusahaan akan diinterpretasikan oleh publik bahwa perusahaan memiliki informasi yang tidak menyesatkan dan telah melaporkan informasi setransparan mungkin. Tentu saja hal tersebut akan menaikkan citra perusahaan dan mendorong perusahaan untuk menyebarluaskan laporan keuangan melalui IFR dalam rangka menggalang kepercayaan investor karena laporan keuangan perusahaan dapat dipercaya.

Perusahaan akan cenderung menggunakan KAP yang memiliki reputasi yang baik yaitu KAP yang masuk dalam Big Four yaitu Ernst&Young, Deloite Touche Tohmatsu, KPMG, serta Price Waterhouse Copper. KAP yang berafiliasi dengan KAP Big Four tersebut dianggap memiliki kemampuan yang lebih baik untuk

(20)

bertahan dari tekanan klien, lebih peduli pada reputasi mereka, memiliki sumberdaya yang lebih besar berkaitan dengan kompensasi individu dan teknologi maju yang dimiliki serta memiliki strategi dan proses audit yang lebih baik (Hanny, Anis, 2006). Berdasarkan Fact Book tahun 2005 diketahui KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan KAP Big Four adalah :

1. Purwanto, Sarwoko dan Sanjaya (berafiliasi dengan Ernst & Young)

2. Osman, Ramli dan Satrio (berafiliasi dengan Deloitte Touche Tohmatsu)

3. Sidharta, Sidharta dan Wijaya (berafiliasi dengan KPMG)

4. Haryanto, Sahari dan Rekan (berafiliasi dengan Price Waterhouse Copper)

2.10. Struktur Kepemilikan Pihak Asing

Teori keagenan menyatakan bahwa semakin menyebar kepemilikan saham perusahaan, perusahaan diekspektasikan akan mengungkapkan informasi lebih banyak yang bertujuan untuk mengurangi biaya keagenan. Konflik keagenan semakin besar bagi perusahaan yang memiliki penyebaran kepemilikan saham perusahaan. Beberapa penelitian oleh Chau dan Gray, 2002; Eng dan Mak, 2003; dan Ghazali dan Weetman, 2006, (Luciana,2008) menunjukkan bahwa struktur kepemilikan mempengaruhi pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. Chau dan Gray (2002 Luciana, 2008), menguji perusahaan-perusahaan di Hongkong dan Singapura, menunjukkan hubungan yang signifikan antara proporsi kepemilikan pihak luar (outside ownership) dengan tingkat pengungkapan sukarela.

(21)

Foreign Ownership atau proporsi kepemilikan saham oleh pihak asing adalah jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh pihak asing. Perusahaan dengan kepemilikan asing akan cenderung melakukan pengungkapan yang lebih luas dibandingkan dengan perusahaan dengan kepemilikan domestik dengan alasan : 1. Perusahaan dengan kepemilikan asing cenderung memiliki teknologi yang

cukup, sehingga mendukung terciptanya sistem informasi manajemen yang lebih efisien, sehingga lebih mudah memberi akses dalam sistem pengendalian intern dan kebutuhan informasi bagi perusahaan induknya,

2. Perusahaan dengan kepemilikan asing cenderung memberikan pelatihan yang cukup bagi tenaganya mengenai pekerjaan yang diberikan, kemungkinan juga terdapat permintaan informasi yang lebih besar kepada perusahaan dengan kepemilikan asing dari pelanggan, pemasok dan analisa masyarakat (Luciana, 2008).

2.11. Likuiditas

Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya. Kekuatan perusahaan yang ditunjukkan dengan rasio likuiditas yang tinggi akan berhubungan dengan pelaporan keuangan perusahaan selengkap dan seluas mungkin. Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas yang tinggi akan cenderung termotivasi untuk menginformasikan laporan keuangannya selengkap dan seluas mungkin dibandingkan dengan perusahaan dengan tingkat likuiditas yang rendah. Likuiditas dapat diartikan sebagai kemampuan perusahaan dalam melunasi

(22)

kewajiban jangka pendek. Semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk melunasi utang jangka pendeknya maka semakin likuid perusahaan tersebut. Dimana tingkat likuiditas perusahaan akan mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan investasi. Investor tidak akan menanamkan modalnya pada perusahaan yang kurang likuid karena mereka akan beranggapan bahwa perusahaan yang kurang likuid memiliki kecenderungan akan mengalami suatu kebangkrutan.

Belkoui (1979, dalam Prayogi, 2003) berkeyakinan bahwa kekuatan perusahaan yang ditunjukkan dengan rasio likuiditas yang tinggi akan berhubungan dengan pelaporan keuangan selengkap mungkin. Hal ini didasarkan pada harapan bahwa perusahaan dengan finansial yang kuat akan cenderung melaporkan keuangan selengkap dan seluas mungkin daripada perusahaan yang memiliki kondisi finansial yang lemah. Selain itu, perhatian para regulator dan investor terhadap status going concern

perusahaan akan memotivasi perusahaan dengan likuiditas tinggi untuk melakukan IFR agar informasi mengenai tingginya likuiditas perusahaan diketahui banyak pihak (Owusu Ansah, 1997 dalam Oyelere et al., 2003). Hasil penelitian Oyelere et al. (2003) menunjukkan likuiditas berpengaruh signifikan terhadap IFR. Lebih lanjut Oyelere et al. (2003) menjelaskan, penggunaan internet untuk menyediakan informasi keuangan merupakan ekspresi management’s confidence terhadap prospek masa depan. Dengan demikian tingkat likuiditas perusahaan memiliki pengaruh terhadap keputusan perusahaan dalam menerapkan praktik IFR.

(23)

2.12. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pelaporan keuangan melalui internet di Indonesia masih jarang dilakukan. Tetapi penelitian ini sudah banyak dilakukan diluar negeri. Luciana (2008) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela “Internet Financial and Sustainability Reporting”. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan, profitabilitas, dan kepemilikan mayoritas mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela perusahaan. sedangkan leverage perusahaan tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela tersebut.

Disamping itu penelitian yang dilakukan Arum (2008) yang meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaporan keuangan melalui internet (Internet Financial Reporting) dalam website perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profitabilitas dan public ownership mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pelaporan keuangan melalui perusahaan. sedangkan ukuran perusahaan, likuiditas, jenis industri, leverage, reputasi auditor, umur listing, serta

foreign ownership tidak berpengaruh terhadap pelaporan keuangan internet.

Penelitian lainnya yang meneliti tentang pelaporan keuangan melalui internet diteliti juga oleh Hanny dan Anis (2006). Judul penelitiannya adalah Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaporan Keuangan melalui Internet (Internet Financial Reporting) dalam Website Perusahaan . Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa ukuran perusahaan, likuiditas, leverage, reputasi auditor, dan umur listing berpengaruh terhadap pelaporan keuangan melalui internet, sedangkan profitabilitas dan jenis industri tidak berpengaruh terhadap pelaporan keuangan.

(24)

Penelitian ukuran perusahaan dan jenis industri yang diteliti oleh Craven and Marston (1999) juga menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pelaporan keuangan melalui internet. Sedangkan jenis industri tidak berpengaruh. Berikut daftar peneliti sebelumnya yang dideskripsikan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Daftar Peneliti Terdahulu

No Nama Judul Penelitian Variabel yang digunakan dan Hasilnya

1 Luciana (2008) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Sukarela “Internet Financial And Sustainability Reporting

ukuran perusahaan, profitabilitas, dan kepemilikan mayoritas mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela perusahaan. sedangkan leverage

perusahaan tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela tersebut.

2 Arum (2008) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaporan Keuangan Melalui Internet (Internet Financial Reporting) Dalam Website Perusahaan

profitabilitas dan public ownership

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pelaporan keuangan melalui internet. sedangkan ukuran perusahaan, likuiditas, jenis industri, leverage, reputasi auditor, umur listing, serta

foreign ownership tidak berpengaruh terhadap pelaporan keuangan melalui internet.

3 Hanny dan Anis (2006) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaporan Keuangan Melalui Internet (Internet Financial Reporting) dalam Website Perusahaan

ukuran perusahaan, likuiditas, leverage, reputasi auditor, dan umur listing berpengaruh terhadap pelaporan keuangan melalui internet, sedangkan profitabilitas dan jenis industri tidak berpengaruh terhadap pelaporan keuangan.

4 Craven and

Marston (1999)

Pengaruh Ukuran Perusahaan Dan Jenis Industri Terhadap Pelaporan Keuangan Melalui Internet

ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pelaporan keuangan melalui internet. Sedangkan jenis industri tidak berpengaruh.

Gambar

Tabel 2.1 Daftar Peneliti Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Untuk produk ini, penilaian keselamatan kimia sesuai dengan peraturan EU REACH No 1907/2006 tidak dilakukan. Informasi lain

menunjukkan bahwa agresi pada anak dapat terbentuk karena setiap hari anak sering melihat dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik secara langsung atau

Manakala Liberalisme merupakan perspektif dalam kajian hubungan antarabangsa yang melihat bahawa aktor bukan kerajaan atau aktor non-state yang penting dalam hubungan dan

Khoirun Nasikin (2012) melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Sistem Informasi.. Dengan tujuan merancang dan membuat aplikasi sistem untuk mengolah data siswa

Agar lebih aman dipakai sengkang dengan jarak yang tidak melebihi s maks. diambil jarak sengkang, s rencana =

Sekolah dalam hal ini SMA 'egeri / sudah menyusun KTSP dan mengimplementasikannya sejak tahun /55?. KTSP yang disusun pada a#alnya hanya berdasarkan analisis S@+T dan belum

Dalam rangka melaksanakan amanat Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2012

Kualitas udara di seluruh AQMS / Sistem Monitoring Kualitas Udara di Provinsi Riau menunjukkan Kategori Baik (good), sedang (moderate), tidak sehat (unhealthy), sangat tidak