• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Kemandirian. hidup yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Kemandirian. hidup yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Kemandirian

Kata kemandirian setara dengan kata autonomy dalam Bahasa Inggris, yang menurut asal usul bahasanya berarti hak atau kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri (Sumardjo, 1999).

Hubeis (Sriyanto, 2000) menyatakan bahwa kemandirian adalah perwujudan kemampuan untuk memanfaatkan potensi diri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik.

Menurut Lutan (Ismail, et al. 2000), kemandirian mengandung makna rasa percaya diri akan kemampuan dan kesanggupannya untuk mengubah nasib atau mencapai suatu tujuan yang ditunjang oleh kesanggupan untuk tahan menderita, prihatin, berusaha mulai dari keadaan darurat. Pendek kata, dari perjuangannya tercermin di dalamnya keberanian fisik bahkan keberanian beresiko hingga pada tingkat moderat.

Sifat-sifat yang berperan sebagai landasan bagi ketangguhan tersebut diantaranya adalah tingkat pendidikan. Selain itu, adanya usaha keras, spartan dan tidah mudah menyerah dalam me nyelesaikan setiap persoalan/permasalahan, merupakan struktur yang dapat membentuk pribadi-pribadi yang tangguh, pribadi yang cocok untuk survive, diimbangi dengan pembinaan agama, aksi sosial serta pembangunan di bidang ekonomi.

(2)

Jiwa mandiri bukanlah sik ap ekslusif atau egois, malah ada kecenderungan mereka memiliki sifat altruis yang kelewat batas setelah usahanya dalam bidang ekonomi mulai mapan. Mereka ingin agar orang lain, terutama bawahannya mampu untuk berusaha seperti mereka dan meraih kesuksesan seperti yang telah diraihnya. Jiwa mandiri ini mempunyai falsafah hindu yang tak ingin ”hanya makan sendiri” dan “walaupun memberi sedikit, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” (Lutan, R., 2000).

Kemandirian setara pengertiannya dengan kewirausahaan. Menurut Setiono (2002), untuk menjadi seorang wirausahawan mandiri, berbagai jenis modal mesti dimiliki. Ada tiga jenis modal utama yang menjadi syarat : (1) sumberdaya internal yang merupakan bagian dari pribadi calon wirausahawan, misalnya : keterampilan, kemampuan menganalisa dan menghitung resiko, keberanian atau visi jauh ke depan, (2) sumberdaya eksternal, misalnya uang yang cukup untuk membiayai modal usaha dan modal kerja, social network dan jalur demand/ supply, dan lain sebagainya, (3) faktor X, misalnya kesempatan dan keberuntungan. Seorang calon usahawan harus menghitung dengan seksama apakah ketiga sumberdaya ini ia miliki sebagai modal. Jika faktor –faktor itu dimilikinya, maka ia akan merasa optimis dan keputusan untuk membuat mimpi menjadi kenyataan sebagai wirausahawan mandiri dapat mulai dipertimbangkan.

Berdasarkan hasil kajian deduktif terhadap tingkat kemandirian petani (farmer autonomy), Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi

(3)

bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan.

Menurut Padmowihardjo (2001), kegiatan penyuluhan pertanian dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis harus memiliki sasaran tercapainya kemandirian petani dan pelaku agribisnis lainnya, yang meliputi : kemandirian material, kemadirian intelektual, dan kemandirian pembinaan. Seseorang yang memiliki “kemandirian material”, akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Seseorang yang memiliki “kemandirian intelektual”, akan memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain. Seseorang yang memiliki “kemandirian pembinaan”, akan memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran ‘discovery learning’ (belajar dengan cara menemukan sendiri), yaitu dengan melakuk an eksperimen-eksperimen sendiri tanpa harus menunggu atau tergantung pada pembina atau agen pembaharu dari luar sebagai guru mereka.

Kemandirian petani agroforestri dalam melakukan usaha agroforestri adalah kemampuan dan kebebasan petani dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan usaha agroforestrinya, yang meliputi : kemandirian dalam proses perencanaan, kemandirian dalam manajemen permodalan, kemandirian dalam proses produksi, kemandirian dalam pemasaran hasil dan kemandirian dalam menentukan mitra dan pola kemitraannya.

(4)

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kemandirian Petani

Menurut Sumardjo (1999), tingkat kemandirian petani secara nyata dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi : ciri komunikasi, kualitas pribadi, status sosial, motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Adapun faktor eksternal meliputi : akses terhadap input usahatani, akses terhadap pasar, kualitas penyuluhan, akses terhadap informasi, lingkungan fisik, sumberdaya alam, penetrasi produk lain ke dalam kebutuhan rumah tangga petani, desakan perkembangan sektor lain terhadap sektor pertanian dan pedesaan, serta implementasi kebijakan pembangunan pertanian setempat.

Hasil penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kemandirian petani melalui penyuluhan, Mulyandari (2001) menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian petani secara nyata dipengaruhi oleh kinerja penyuluhan, tingkat pendidikan formal, status sosial, tingkat kekosmopolitan, penguasaan sumberdaya pertanian tetap, dukungan kelembagaan, dan keterikatan terhadap norma sosial yang berlaku.

Yang dimaksud dengan faktor- faktor yang berhubungan dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri dalam penelitian ini adalah (1) Faktor internal petani yang meliputi : umur petani, tingkat pendidikan (formal dan non formal), pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan motivasi (intrinsik dan ekstrinsik) berusaha agroforestri dan pendapatan petani, dan (2) faktor eksternal yang meliputi : ketersediaan informasi agroforestri, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan Lembaga masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan/ atau koperasi, dukungan kebijakan

(5)

local dan / atau nasional, penga ruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PSDHBM.

Motivasi

Perilaku manusia pada hakekatnya adalah berorientasi pada tujuan, atau dengan kata lain bahwa perilaku seseorang itu pada umumnya dirangsang oleh keinginan untuk mencapai beberapa tujuan. Satuan dasar dari setiap perilaku adalah kegiatan. Dengan demikian semua perilaku itu adalah serangkaian aktifitas-aktifitas atau kegiatan-kegiatan (Thoha, 2003). Perilaku seseorang dapat dikaji sebagai saling interaksinya atau ketergantungannya beberapa unsur yang merupakan suatu lingkaran. Unsur-unsur itu secara pokok terdiri dari motivasi dan tujuan. Atau kalau menurut Fred Luthans (Thoha, 2003) terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goals).

Motivasi orang yang satu berbeda dengan lainnya, selain terletak pada kemampuannya untuk bekerja juga tergantung pada keinginan mereka untuk bekerja atau tergantung pada motivasinya. Adapun motivasi seseorang tergantung pada kekuatan dari motivasi itu sendiri. Doronga n yang menyebabkan mengapa seseorang itu berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan tersebut juga dapat menyebabkan seseorang berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan serta menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut (Thoha, 2003).

Menurut Teevan dan Smith (Asnawi, 2002), ada dua macam motif dalam diri manusia, yaitu : (1) motif yang tidak dipelajari, atau sering disebut dengan motif

(6)

primer, dan (2) motif yang dipelajari melalui pengalaman serta interaksi dengan orang lain atau sering disebut motif sekunder. Motif ini disebut pula sebagi motif sosial. Ada tiga macam motif sosial, yaitu : (1) motif berprestasi (need for achievement), (2) motif berafiliasi (need for affiliation), (3) motif berkuasa (need for power). Mc Clelland juga mengemukakan bahwa semua orang dalam kehidupan sehari- hari mempunyai ketiga motif tersebut , hanya saja kekuatan dan intensitasnya tidak sama antara semua orang.

Maslow (Thoha, 2003) telah mengembangkan teori hirarkhi kebutuhan manusia berdasarkan suatu anggapan bahwa seorang pada ghalibnya menginginkan barang-barang (creatures) dan dimotivasi oleh keinginannya untuk memuaskan jenis kebutuhan tertentu. Bahwa perilaku seseorang itu pada suatu ketika biasanya ditentukan oleh kebutuhan yang paling kuat. Kebutuhan-kebutuhan yang mempunyai kekuatan yang tinggi pada saat tertentu bagi seseorang, mengilhami Lincoln mengembangkan suatu konsep teori motivasi yang dikenal dengan hirarki kebutuhan (hierarchy of needs). Maslow kemudian mengajukan suatu dalil bahwa kebanyakan individu di dorong oleh intensitas pemenuhan berbagai kebutuhannya, yaitu : (1) kebutuhan fisiologik (physiological needs) sebagai kebutuhan paling dasar, seperti : sandang, pangan, papan dan sex, (2) kebutuhan rasa aman (safety needs) sebagai kebutuhan perlindungan terhadap keamanan lingkungan fisik dan jiwa., bebas dari rasa takut, (3) kebutuhan sosial (belongingness needs) menyangkut kebutuhan akan rasa persahabatan atau diterima dalam suatu kelompok tertentu, (4) kebutuhan penghargaan (esteem needs) menyangkut kebutuhan akan rasa hormat, dihargai keberadaannya dalam kelompok, (5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization

(7)

needs), sebagai kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan diri atau berprestasi. Menurut Maslow hierarki kebutuhan tersebut merupakan suatu pola yang tipikal dan bisa dilaksanakan pada hampir setiap waktu. Pemenuhan kebutuhan yang satu akan menimbulkan keperluan kebutuhan yang lain, dan setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda.

Menurut Maslow (Thoha, 2003) , kebutuhan-kebutuhan yang secara luas tidak terpenuhi cenderung menciptakan ketegangan dalam diri seseorang yang kemudian mendorongnya untuk berperilaku sebagai jalan keluar untuk mengurangi ketegangan dan usahanya untuk menjaga keseimbangannya. Salah satu kebutuhan atau sejumlah kebutuhan tertentu apabila dapat terpebuhi terpenuhi, maka potensi atau kekuatan memotivasi dari kebutuhan tersebut cenderung berkurang atau hilang, hingga kebutuhan itu diaktifkan kembali.

Perhutanan Sosial dan agroforestri

Perhutanan sosial merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan terkait dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Perhutanan sosial menurut definisi yang diberikan oleh Tiwari (1983, diacu dalam Kartasubrata, 1992) adalah : “Ilmu dan seni penanaman pohon-pohonan dan/atau tumbuhan lainnya pada lahan yang tersedia untuk keperluan tersebut, di dalam dan di luar kawasan hutan, dan pengelolaan hutan yang sudah ada dengan melibatkan rakyat secara akrab, serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain, yang menghasilkan suatu bentuk penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk

(8)

menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat pada umumnya”.

Tujuan utama program perhutanan sosial adalah mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan. Masyarakat setempat diajak untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara lebih teratur dan lebih bertanggungjawab.

Salah satu bentuk kegiatan nyata dalam perhutanan sosial adalah agroforestri. Agroforestri berasal dari kata Agro yang berarti pertanian dan forest yang berarti hutan atau forestry yang berarti kehutanan. Agroforestri berarti usaha kehutanan yang dipadukan dengan usaha pertanian. King, Direktur International Council for Research in Agroforestri (ICRAF) mendefinisikan agroforestri sebagai : “suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan Chandler, 1978, diacu dalam Kartasubrata, 1992)”. Agroforestri didefinisikan sebagai “suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan asas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan dalam kawasan hutan atau di luarnya, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakya t (Satjapradja, 1981, diacu dalam Kartasubrata, 1992).

(9)

Selanjutnya King menyebutkan beberapa bentuk agroforestri, yaitu :

1) “Agrisilviculture”, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil- hasil pertanian dan kehutanan. 2) Sylvopastoral systems, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan

kayu dan untuk memelihara ternak.

3) Agrosylvo-pastoral systems, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.

4) Multipurpose forest tree production systems, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia ataupun pakan ternak.

Sifat utama dari sistem agroforestri adalah bahwa sistem ini memberikan keluaran ganda (multiple output) dari suatu unit lahan secara berkesinambungan (Huxley, 1983). Pendapatan masyarakat sekitar hutan akan bertambah dengan adanya kegiatan agroforestri karena adanya diversifikasi usaha sehingga resiko kegagalan panen total dapat dihindarkan (Dephut, 1999).

Nair (1993) menyatakan bahwa terdapat tiga atribut yang secara teoritis dimiliki oleh semua sistem agroforestri, yaitu :

1) Produktivitas (productivity). Sebagian besar (jika bukan semua) sistem agroforestri ditujukan untuk meningkatkan hasil (komoditi) dan meningkatkan produktivitas (lahan). Agroforestri dapat memperbaiki produktivitas dalam beberapa cara yang berbeda, meliputi: peningkatan hasil dari produksi kayu,

(10)

memperbaiki hasil panen tanaman pertanian/pangan, menurunkan input pada sistem tanaman pangan, dan meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja. 2) Kelestarian (sustainability). Melalui efek positif tumbuhan berkayu terhadap

kondisi tanah, agroforestri dapat menjaga kelestarian tingkat kesuburan.

3) Adoptabilitas (adoptability). Fakta bahwa agroforestri sebenarnya merupakan istilah baru untuk hal yang telah lama dilakukan menggambarkan bahwa agroforestri, pada beberapa kasus, telah diterima oleh masyarakat pertanian. Namun, penerapannya dengan menggunakan teknologi baru pada daerah tertentu perlu mempertimbangkan praktek pertanian yang telah ada di daerah tersebut.

Tim Arupa (2003) menyatakan bahwa agroforestri merupakan bentuk usaha tani dalam rangka pengelolaan hutan serbaguna yang menyelaraskan antara kepentingan produksi dengan kepentingan pelestarian, berupa pengusahaan secara bersama atau berurutan jenis-jenis tanaman pertanian, bentuk lapangan penggembalaan, jenis tanaman kehutanan pada suatu lahan.

Lebih jauh tim Arupa (2003) mengemukakan bahwa pola penanaman agroforestri pada umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman yang mempunyai dua stra ta atau lebih. Pola ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin terjadinya kontinuitas produksi sepanjang masa luas lahan yang ada. Disamping itu pola agroforestri memiliki berbagai macam fungsi yang tidak ternilai (intanginble benefit), seperti fungsi keindahan, fungsi

(11)

perlindungan tata air, fungsi keseimbangan lingkungan hidup, pendidikan non formal bagi anak-anak dan berbagai fungsi sosial lainnya.

Menurut Suharjito dkk., (2003), terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan agroforestri, yaitu : kelayakan (feasibility), keuntungan (profitability), dapat tidaknya diterima (acceptability) dan kesinambungan (sustainability). Kelayakan berkaitan dengan sumberdaya yang tersedia, teknologi pendukung, orientasi produksi, pengetahuan lokal petani, kebijakan pendukung. Keuntungan berkaitan dengan aspek ekonomi. Kemudahan untuk diterima berkaitan dengan resiko usaha, identitas sosial budaya, masalah gender, dan kesempatan untuk bekerja di luar sektor pertanian. Jaminan kesinambungan berkaitan dengan penguasaan lahan, penguasaan atas pohon, dan aspek hubungan sosial.

Tumpangsari

Tumpangsari berasal dari kata tumpang dan sari. Tumpang artinya jenis yang ditanam lebih dari satu, saling bertumpang-tumpang atau berlapis-lapis tajuknya. Sari artinya serasi, hubungan antara jenis-jenis yang ditanam harmonis atau saling menguntungkan, baik secara ekonomi maupun secar ekologi.

Tumpangsari merupakan salah satu bentuk agroforestri yang banyak diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Pesanggem adalah orang yang melakukan penanaman tanaman berdaur pendek berupa tanaman pangan di sela-sela tanaman pokok kehutanan. Berdasarkan klasifikasi menurut Notohadiprawiro (Tim Arupa, 2003), tumpangsari dapat dikategorikan dalam bentuk agroforestri agri-silvikultur.

(12)

Tumpangsari mulai dilakukan secara berhasil pada tahun 1883 di Pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan Belanda (Kartasubrata, 1992). Pada awalnya kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dalam penanaman hutan jati (Tectona grandis). Pada saat itu sulit untuk mendapatkan tenaga kerja untuk membangun hutan sehubungan dengan populasi penduduk Jawa yang belum sepadat seperti sekarang. Upah bagi pesanggem dari kegiatan penanaman tanaman pokok jati adalah hak untuk mengolah lahan di sela-sela tanaman pokok tersebut. Pesanggem mengolahnya dengan menanam tanaman tahunan (pangan) yang hasilnya menjadi hak pesanggem dan keluarganya.

Kegiatan tumpangsari selanjutnya berkembang dan dilakukan secara luas pada pembuatan tanaman-tanaman jati di seluruh Jawa. Bahkan sampai sekarang sistem tumpangsari masih diterapkan dengan berbagai pengembangannya, tidak hanya pada tanaman jati, tetapi juga pada tanaman selain jati (kayu rimba).

Hasil tanaman dengan sistem tumpangsari bila dibandingkan dengan cara-cara lain seperti banjar harian dan permudaan alam dengan trubusan, ternyata lebih baik, meskipun diakui terjadi persaingan dalam mendapatkan hara. Keunggulan tumpangsari disebabkan oleh penekanan pertumbuhan alang-alang karena pemeliharaan secara teratur oleh pesanggem. Tumpangsari juga memberikan kesempatan kepada petani yang tidak memiliki lahan atau yang lahannya sempit.

Kesejahteraan

Kesejahteraan umumnya dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan. Kaum ekonom ortodoks memandang melihat “pembangunan” sebagai pertumbuhan

(13)

ekonomi yang pada akhirnya diasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan (Clark, 1991: 20, diacu dalam Adi, 2003). Pada umumnya mereka menggunakan GNP (Gross National Product) atau PDB (Pendapatan Domestik Bruto) sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Namun pada beberapa kasus di negara berkembang, pertumbuhan PDB tidak selalu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas, khususnya bagi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan (Adi, 2003).

Kesejahteraan sosial dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Taraf kehidupan yang lebih baik ini diukur dari berbagai aspek yaitu : aspek ekonomi, fisik, sosial, mental dan dari segi kehidupan spiritual (Adi, 2003: 40). Lebih lanjut Adi (1995: 5-6, diacu dalam Adi, 2003) mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial dapat dianalogikan seperti kesehatan jiwa, sehingga dapat dilihat dari empat sudut pandang, yaitu :

1. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan.

Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan social yang sebaik -baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai Pancasila.

(14)

2. Kesejahteraan sosial sebagai suatu ilmu

Ilmu kesejahteraan sosial mengembangkan beberapa metode intervensi (termasuk di dalamnya aspek strategi dan teknis) guna meningkatkan taraf hidup komunitas sasaran.

3. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan

Menurut Friendlander (Adi, 2003), kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari berbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan.

4. Kesejahteraan sosial sebagai suatu gerakan

Pre-Conference Working Committee for the 15th International Conference of Socia l Welfare menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, tradisi budaya, dan lain sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

Keempat tentang alur proses pengiriman / rujukan pecandu narkoba dari Kabupaten Bulungan ke Balai Besar Rehabilitasi LIDO Badan Narkotika Nasional dan ke Kabupaten Bulungan

Pada alat tenun ini benang lusi dalam posisi vertikal dan selalu tegang karena ada pemberat atau beban, sedangkan benang pakan disisipkan dengan suatu alat yang disebut

Pada akhirnya di Tahap III (tahun terakhir – 2022), penelitian difokuskan pada pemantapan/pembuktian konsep (proof-of-concept) pengolahan dan recovery limbah bittern

Yogyakarta, Relawan Information Center (RIC) for Merapi, serta para donatur yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, atas bantuan,. dukungan,

Dalam acara tersebut pengantin mengucapkan janji dan pendeta mengajukan beberpa pertanyaan yang menyagkut dengan pernikahan, takutnya di antara calon pengantin ini

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

memahami kebutuhan dan memberikan pelayanan yang terbaik, serta pegawai memberikan perhatian secara tulus pada RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan berpengaruh signifikan

Tahun berjalan adalah tahun dimana semester dan tahun akademik sedang berjalan atau sedang aktif, untuk mengeset tahun akademik dan semester yang sedang berjalan silahkan klik