A.
A. Manajemen Anestesi pada Cedera KepalaManajemen Anestesi pada Cedera Kepala 1.
1. PreoperatifPreoperatif a.
a. Penilaian awal kondisi pasienPenilaian awal kondisi pasien1313 1)
1) Glasgow Coma Scale (GCS)Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana dan diterimamerupakan metode yang sederhana dan diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status neurologis pasien secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status neurologis pasien dengan trauma kepala.
dengan trauma kepala. a)
a) Skor GCS <8 menandakan trauma kepala beratSkor GCS <8 menandakan trauma kepala berat b)
b) Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedangSkor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang c)
c) Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringanSkor GCS 13-15 menandakan trauma ringan 2)
2) Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris ekstremitas harusRespon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris ekstremitas harus secepatnya dinilai.
secepatnya dinilai. 3)
3) Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang berasal dariPenilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang berasal dari cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama ditujukan untuk cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama ditujukan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks atau intraperitoneal. Jika menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks maupun abdomen harus dilakukan segera. perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks maupun abdomen harus dilakukan segera. b.
b. Jalan napas dan ventilasiJalan napas dan ventilasi 1414 1)
1) IntubasiIntubasi
Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan nafas dan Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena semua pasien trauma memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena semua pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang penuh dan sering juga mendapat trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang penuh dan sering juga mendapat trauma servikal, tekanan pada krikoid dan stabilisasi
servikal, tekanan pada krikoid dan stabilisasi in-linein-line terhadap tulang servikal terhadap tulang servikal dilakukan selama digunakan laringoskop dan intubasi.
dilakukan selama digunakan laringoskop dan intubasi. 2)
2) Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasiObat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi 3)
3) Ventilasi mekanikVentilasi mekanik
Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi diberikan dan Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm. Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm. Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali herniasi transtentorial dicurigai. Jika mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia, harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, terdapat hipoksemia, harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction bronkus dapat dilakukan.
suction bronkus dapat dilakukan. c.
c. Stabilisasi kardiovaskuler Stabilisasi kardiovaskuler 1414 1)
a) Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga volume intravaskular yang adekuat. b) Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai hematokrit yang
rendah membutuhkan tranfusi untuk mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit idealnya dipertahankan diatas 30%.
c) Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena hiperglikemia dihubungkan dengan perburukan neurologis. Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya dicapai. Kadar plasma diatas 200 mg/dL
2) Inotropik dan vasopresor.
Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki melalui resusitasi cairan, pemberian inotropik dan vasopresor secara intravena mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau dopamin direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure diatas 60 mmHg.
d. Penanganan peningkatan TIK 14 1) Hiperventilasi
Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2 sebesar 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan cepat dan efektif menurunkan TIK.
2) Terapi diuretik
Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam 10 menit pada pasien dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas serum dijaga dan tidak boleh melebihi 320 mOsm/L.
3) Posisi
Menaikkan posisi kepala 10-30o memfasilitasi drainase CSF dan menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan dimana tekanan darah sistemik menurun.
4) Kortikosteroid
Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat dalam mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada pasien dengan trauma kepala.
Namun, beberapa laporan terakhir menunjukkan perburukan pada pasien yang diberikan terapi kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak berperan dalam penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma spinal.
2. Peri dan Intraoperatif
Anestesi general di rekomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi respirasi dan sirkulasi. Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan hemodinamik stabil, walaupun prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan intra kranial.
Obat-obatan
a. Anestesi intravena:15
1) Barbiturat. Tiopental dan fenobarbital mengurangi aliran darah ke otak (CBF), volume darah otak (CBV), dan tekanan intrakranial (ICP). Mengurangi ICP dengan obat ini juga mengurangi CBF dan CBV dengan depresi metabolik. Tiopental dan fenobarbital melindungi iskemi otak fokal pada percobaan binatang. Pada cedera kepala, iskemi merupakan sekuele yang umum.
2) Etomidate. Bersamaan dengan barbiturat etomidat mengurangi CBF, dan ICP. Hipoensi sitemik muncul lebih sedikit dibandingkan dengan enggunaan barbiturat. Penggunaan yang berlama-lama dari etomidate dapat menekan respon
adrenokortikal terhadap stress.
3) Propofol. Efek hemodinamik dan metabolik pada otak dengan penggunaan propofol menyerupai obat barbiturat.
4) Benzodiazepine. Diazepam dan midazolam mungkin dapat berguna baink untuk sedasi maupun untuk induksi anestesia karen aboat ini memiliki minimal efek pada hemodinamik. Diazepam, 0,1-0,2 mg/kg, dapat diberikan untuk m enginduksi
anestesia dan dapat diulangi jika perlu, sampai batas 0,3-0,6 mg/kg. Midazolam, 0,2 mg/kg, dapat digunakan untuk induksi dan dapat diulangi bila perlu.
5) Narkotik, dalam penggunaan untuk klinis menghasilkan pengurangan yang minimal sampai sedang pada CBF. Saat ventilasi diberikan secara adekuat, narkotik memiliki efek minimal pada ICP. Meskipun memiliki sedikit efek meningkatkan ICP, fentanyl memberikan efek analgesi yang memuaskan dan
depat memberikan konsenterasi dari penggunaan obat anestesi inhalasi yang lebih sedikit
b. Anestesi inhalasi:14,15
1) Isoflurane. Depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada halotan. Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan konsenterasi >1 dari minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan peningkatan substansial pada ICP.
2) Sevoflurane. Pada model kelinci “cryogenic brain injury”, peningkatan ICP muncul dengan kenaikan tekanan darah lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan halotan. Pada studi klinis, walaupun efek pada hemodinamik serbral sevoflurane mirip dengan isoflurane. Efek yang tidak menguntungkan pada sevoflurane yaitu metabolitnya yang bersifat racun pada konsenterasi yang tinggi. 3) Desflurane. Desflurane pada konsenterai yang tinggi dapat meningkatkan ICP. 4) Nitrous Oxide (N2O). N2O mendilatasi pembuluh darah otak, karena itu dapat
meningkatkan ICP. Pasien dengan hipertensi intrakranial sebaiknya tidak menggunakan obat ini. N2O juga dihindari pada pneumochepalus atau pneumothorax karena N2O berdifusi ke rongga udara lebih cepat dibandingkan dengan nitrogen, oleh karena itu dapat meningkatkan volume di dalam rongga udara.
c. Anestesi lokal
Infiltrasi lidokain 1% maupun bupivacaine 0,25%, dengan atau tidak dengan epinephrine, di kulit sekitar insisi skalp dan tempat insersi pin head holder membantu mencegah hipertensi sitemik dan intrakranial terhadap rangsangan ini dan menghindari penggunaan yang tidak perlu dari anestesi dalam. 16
d. Muscle relaxant 16
Muscle relaxant yang adekuat memfasilitasi mekanikal ventilasi dan mengurangi ICP. 1) Vecironium memiliki minimal ataupun tanpa efek pada ICP, tekanan darah, atau denyut jantung dan efektif pada pasien dengan trauma kepala. Obat ini memiliki inisial dosis yaitu 0,08-0,1 mg/kg diikuti pemberian infus 1-1,7 mcg/kg/menit
2) Pancuronium tidak menimbulkan peningkatan ICP tapi dapat menimbulkan hipertensi dan takikardia karena efek vagolitiknya, oleh karena itu dapat meningkatkan resiko pada pasien.
3) Atracurium tidak memiliki efek pada ICP. Karena onsetnya yang cepat dan durasi yang pendek, dosis bolus 0,5-0,6 mg/kg diikuti dengan pemberian melalui infus 4-10 mcg/kg/menit diberikan dengan monitoring dari neuromuskular blok.
4) Rocuronium berguna saat intubasi karena efeknya yang cepat dan sedikit efek pada intrakranial. Untuk mempertahankan, obat dengan durasi lebih lama
dibutuhkan.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif 14,16 a. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg. Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 > 100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi, atau edema paru neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat menekan drainase vena sentral dan
meningkatkan TIK. b. Penanganan sirkulasi
CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau vasopresor.
Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).
Penanganan peningkatan TIK intraoperatif 15 a. Posisi pasien
Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin tidak menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.
b. Ventilasi
Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.
c. Sirkulasi
Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi (tekanan sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.
d. Diuretik
Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK. Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga pada pasien dengan penurunan
fungsi jantung. e. Drainase CSF
Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan cara yang efektif dalam menurunkan TIK.
Monitoring 13
a. Monitoring standar termasuk heart rate dan ritme (EKG), pengukuran noninvasif tekanan darah arteri, pulse oximetry, end-tidal CO2, suhu badan, urine output, CVP, dan blokade neuromuskular. AGDA, hematokrit, elektrolit, glukosa, dan osmolaritas serum harus dinilai secara periodik.
b. Monitoring terhadap emboli udara. Deteksi emboli pada vena dengan menggunakan USG Doppler harus dipertimbangkan pada tindakan bedah yang mana vena tempat operasi terletak diatas jantung.
c. Monitoring otak seperti EEG, evoked potential, jugular venous bulb oxygen saturation (SjO2), Laju aliran yang diukur menggunakan Transcranial Doppler
(TCD), brain tissue PO2 (btPO2), dan TIK dapat digunakan. 3. Postoperatif 18
a. Umum
1) Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.
2) Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.
3) Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata > 130 mmHg. 4) Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid. Hematokrit
pertahankan 33%.
5) Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.
6) Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan – lahan selama 1-2 menit. b. Proteksi serebral dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu:18
1) Basic Methods
Dapat dilakukan dengan cara jalan nafas yang bebas, oksigenasi yang adekuat, cegah hiperkarbi (selalu dalam normokarbia , hiperventilasi hanya bila ada herniasi otot dan bila PaCO2 < 35 mmHg harus dipasang alat pantau SJO2), pengendalian tekanan darah (harus normotensi, sistolik jangan < 90 mmHg), pengendalian tekanan intraklanial (terapi bila tekanan intraklanial > 20 mmHg, herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan intraklanial < 20 – 25 mmHg), mempertahakan tekanan perfusi otak (tekanan peruse otak harus > 70 mmHg), pengendalian kejang. Metode dasar ini yang harus dilakukan pertama kali dalam
melakukan proteksi otak. 2) Farmakologi
Pemberian obat yang meningkatkan resistensi pembuluh darah serebral dapat secara cepat mengurangi tekanan intracranial. Jenis-jenisnya adalah
a) Pentotal
Menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang menurunkan aliran darah ke otak dan karena itu menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. b) Pentobarbital
Digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara terapi lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lebih dari 30 menit dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan koma.
Memberikan proteksi otak dengan cara menurunkan metabolisme otak. Masalah utama dengan barbiturate adalah adanya penurunan arteri rerata, yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menurunkan perfusi ke otak. Mekanisme barbiturate dalam menurunkan CMR adalah karena penurunan influks Ca, blockade terowongan Na, inhibisi pembentukan radikal bebas, potensiasi aktivitas GABAergic. Menghambat transfer glukosa melalui barrier darah otak. Rasisonalisasi utama penggunaan barbiturat untuk proteksi melawan iskemi adalah mengurangi kebutuhan energy jaringan dengan menekan fungsi aktivitas listrik sel.
3) Hipotermi
Hipotermia ringan adalah ditujukan untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan metabolism otak, memperlambat depolarisasi anoksik/iskemik, memelihara homeostasis ion, menurunkan excitatory neurotransmisi, mencegah atau mengurangi kerusakan sekunder terhadap perubahan biokimia. Obat yang menekan menggigil secara sentral, pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan teknik hipotermi. Di dalam OK suhu pertahankan 34-35 pascabedah di ICU 36 C.