• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zakat Dan Tinjauan Hukum Ekonomi Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Zakat Dan Tinjauan Hukum Ekonomi Islam"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

105

Zakat Dan Tinjauan Hukum Ekonomi Islam

Irsal GT Gindo Dirajo

Abstrak

Secara bahasa, zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah). Namun demikian, kata ini juga sering dipakai untuk makna thahara (suci). Zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta berdasarkan cara yang khusus. Sedangkan menurut mazhab Hambali, zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula.

Ekonomi Islam merupakan ekspresi model ekonomi berdasar akidah dan syariat Islam yang memiliki cakupan luas dan target yang jelas. Karakteristik sentral yang membedakannya dengan sistem ekonomi konvensional adalah asas atau acuan dasar yang dipakai, yaitu al-Quran dan Hadits Nabi, selain acuan-acuan lain yang bersifat interpretatif dari para ulama Islam. Sebagian kalangan menyatakan bahwa sisi humanisme ekonomi merupakan pembeda lain antara ekonomi Islam dan ekonomi ala kapitalisme yang berpangkal pada pengayaan individu.

Islam memandang bahwa pemindahan harta dari yang kaya ke yang miskin (zakat) ini tidak bisa hanya bersifat ibadah, tetapi juga memiliki dimensi moral-psikologis, sosial dan ekonomi.

(2)

106

A. Latar Belakang Masalah

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan oleh Allah kepada seluruh umat Islam sejak awal agama ini diemban Nabi Muhammad. Namun demikian, di masa-masa awalnya, Islam belum memiliki tuntunan rinci soal apa saja hal-hal atau kekayaan yang dikenakan zakat, berapa jumlah yang harus dikeluarkan oleh seorang Muslim untuk harta kekayaannya itu, dan siapa saja kelompok yang berhak memperoleh distribusi dari zakat ini. Kondisi demikian setidaknya berlangsung sampai dengan tahun kedua hijriah ketika mulai turun ajaran Islam tentang harta-harta yang dikenakan zakat dan berapa takaran untuk masing-masingnya (Surat al-Baqarah, at-Taubah dan an-Nahl). Sementara kelengkapan ajaran Islam soal kelompok-kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan pembagian zakat dan bagaimana serta siapa yang diberi kewenangan untuk memungut zakat baru turun setelah tahun kesembilan hijriah (Doa 2005).

Al-Quran secara gamblang mengklasifikasikan beberapa barang atau kekayaan yang dikenakan pajak. Di antara kekayaan tersebut adalah binatang ternak, emas dan perak, hasil pertanian, serta barang tambang, temuan dan hasil laut. Masing-masing memiliki batas mulai diwajibkannya zakat (nishab) yang berbeda-beda. Sebagai contoh, nishab untuk kepemilikan sapi atau kerbau sebanyak 30 ekor, sementara kambing mulai dari 40 ekor (Mu‟is 2011). Kepemilikan emas baru dikenakan wajib zakat setelah mencapai 85 gram, sementara perak 600 gram.

Orang yang mengeluarkan zakat (muzakki) tidak bisa memberikan zakatnya kepada semua kelompok yang ia

(3)

107 kehendaki. Al-Quran menentukan siapa saja golongan manusia yang berhak memperoleh pembagian zakat tersebut. Golongan ini dikenal dengan sebutan delapan ashnaf atau delapan klasifikasi golongan yang berhak memperoleh bagian dari harta zakat (mustahiq). Mereka adalah fakir, miskin, panitia yang mengorganisasi pemungutan dan pembagian zakat („amil), orang yang baru masuk Islam (muallaf), budak (riqab), orang-orang yang berhutang dan tidak memiliki harta untuk melunasinya (gharim), orang yang sedang berjuang mensyi‟arkan agama, dan orang yang sedang pergi merantau (Abdillah 1982).

Selaian zakat fitrah yang menjadi kewajiban setiap individu Muslim, secara umum zakat (yang kemudian diklasifikasikan sebagai zakat mal) merupakan kewajiban agama bagi Muslim pemilik kekayaan terkena zakat untuk meringankan beban sosial kelompok tertentu yang oleh al-Quran digolongkan sebagai delapan ashnaf tersebut. Dengan konteks demikian, terwujudnya nilai dasar zakat, selain faktor kesalehan dan kesadaran muzakki, terlihat amat ditentukan oleh kinerja para petugas pemungut zakat. Pada masa pra hijriyah, masa ketika Nabi masih menyebarkan Islam di Makkah, model penghimpunan zakat yang dikelola oleh masyarakat Islam belum terbentuk. Pengeluaran zakat pada saat itu lebih bergantung pada ketaatan menjalankan ajaran agama dan rasa tanggung jawab sosial yang dimiliki oleh para muzakki (Doa 2005). Posisi pengelola zakat terlembagakan atau „amil dalam alur sosial zakat sendiri baru dicontohkan oleh Nabi setelah fase hijriyah, setelah terbentuknya Daulah Islamiyah di Madinah. Pada masa ini, Nabi membentuk sekelompok orang yang ditugaskan untuk

(4)

108

memungut dan membagikan kembali zakat dari para muzakki. Inilah cikal bakal pengelolaan zakat oleh institusi negara, di mana praktiknya menjadi semakin jelas setelah khalifah Abu Bakar. Lebih jauh dari masa Nabi, pada masa kekhalifahan Abu Bakar, pelembagaan itu bahkan tidak hanya menyangkut pemungut zakat melainkan juga sampai pada sangsi bagi para pengingkar zakat. Lebih dari sekedar ancaman sangsi semisal ancaman siksaan neraka, pada masa Abu Bakar ia bahkan mewujud pada sangsi formal bersekala massal: negara akan memerangi siapa saja yang menolak untuk membayar zakat (Doa 2005).

B. Zakat Ditinjau dari Ekonomi Islam a. Ekonomi Islam

Dalam pandangan Islam, ekonomi bukanlah tujuan akhir kehidupan melainkan suatu pelengkap atau sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Ia adalah sistem ekonomi yang berdasar pada asas ketuhanan, asas ilahi, di mana tuntunannya adalah syari‟at Allah (Qardhawi 1997, h. 31). Nurul Huda (2008, h. 1) meringkas pendapat beberapa tokoh dalam mendefiniskan ekonomi Islam. Misalnya, menurut Akram Khan, ekonomi Islam adalah sebuah ilmu yang berusah mengkaji kebahagiaan hidup manusia lewat pengorganisasian sumber daya alam berdasarkan kerjasama dan partisipasi. Lebih khusus lagi, Umer Chapra mendefinisikan ekonomi Islam sebagai upaya manusia merealisasikan kebahagiaan dengan mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya yang terbatas dengan mengacu pada ajaran Islam seraya tidak terlalu mengekang kebebasan individu dan memperhatikan keseimbangan lingkungan.

(5)

109 Ekonomi Islam merupakan ekspresi model ekonomi berdasar akidah dan syariat Islam yang memiliki cakupan luas dan target yang jelas. Karakteristik sentral yang membedakannya dengan sistem ekonomi konvensional adalah asas atau acuan dasar yang dipakai, yaitu al-Quran dan Hadits Nabi, selain acuan-acuan lain yang bersifat interpretatif dari para ulama Islam. Sebagian kalangan menyatakan bahwa sisi humanisme ekonomi merupakan pembeda lain antara ekonomi Islam dan ekonomi ala kapitalisme yang berpangkal pada pengayaan individu.

Namun demikian, tak sedikit juga golongan yang khawatir bahwa ekonomi Islam, karena landasan berpikir yang porosnya al-Quran dan Hadits, hanya akan melahirkan sistem yang kaku, tidak fleksibel merespon perubahan. Untuk hal ini, Faruk an-Nabhani (2000, h. 19), misalnya, menjawab bahwa hal demikian hanyalah anggapan yang tidak berdasar. Ekonomi Islam memang berpangku pada dua sumber pokok ajaran Islam itu. Namun hal itu terutama akan digunakan pada penggunaan kaidah-kaidah dasar, selebihnya pelibatan peran akal lewat proses ijtihad akan menempati porsi yang jauh lebih besar. Sehingga, ia juga akan senantiasa responsif terhadap perkembangan zaman dan perubahan model ekonomi manusia.

1. Sumber dan Tujuan Ekonomi Islam

Al-Quran jelas merupakan sumber pokok ajaran ekonomi Islam. Ia adalah kalam Ilahi yang mengandung ajaran tidak hanya bersifat ukhrawi (urusan akhirat), tetapi juga mencakup alam dan tentunya kehidupan manusia yang di dalamnya termasuk aktivitas ekonomi. Pada kadarnya, ia mengupas ajaran tentang kemanusiaan yang

(6)

110

berimbang, sehingga manusia tidak sampai melampaui batas dalam menjalani kehidupan. Di samping kalam ilahi ini, ekonomi Islam juga bersumber pada Sunnah yang merupakan percontohan perilaku dan ucapan yang dilakukan oleh Nabi. Dalam berbagai hal, Sunnah atau Hadits Nabi menjadi pelengkap atas ajaran-ajaran yang belum secara tuntas atau detil dimuat dalam al-Quran. Selanjutnya, Ijma‟ ulama Islam dan Qiyas yang dilakukan oleh mereka atas hukum keagamaan dan kehidupan sosial lain juga menjadi rujukan sistem ekonomi Islam ini. Terakhir adalah ijtihad, penggunaan akal pikiran dalam merespon berbagai persoalan yang putusannya tidak diterangkan secara rinci baik oleh al-Quran maupun Hadits.

Berdasar pada al-Quran surat al-Qashash: 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”, Abdullah Zaki al-Kaaf menyimpulkan bahwa tujuan dari ekonomi Islam adalah:

a) Mencari kebahagiaan akhirat dengan mendayagunakan segala sumberdaya yang dianugerahi Allah.

b) Berusaha selama hidup di dunia untuk mencari rizki dan hak milik.

c) Berbuat baik kepada sesama masyarakat, sebagaimana limpahan baik Allah yang tak terhingga.

(7)

111 d) Jangan mencari kebinasaan di muka bumi, misalnya dengan merusak alam yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri.

Namun demikian, beberapa hal di atas sejatinya dapat diringkas menjadi dua macam, yakni tujuan ukhrawi dan tujuan duniawi. Tujuan yang pertama dimaksudkan agar segala usaha di dunia menjadi fasilitas untuk memperteguh dan menjalankan keimanan dan keislaman sebagai pengabdian kepada Allah. Sementara tujuan kedua lebih memfungsikan usaha di dunia sebagai sarana pemenuhan kebutuhan utama pribadi dan keluarga, di samping juga ibadah sosial antar sesama manusia, meningkatkan peradaban dan kesejahteraan bersama. Penting dicatat di sini bahwa ibadah semisal zakat, infaq dan shadaqah, selain sebagai penunaian ibadah kepada Allah, Islam juga secara gamblang menjadikannya sebagai ibadah sosial untuk meringankan beban hidup manusia lain. Dengan demikian konsep pemerataan ekonomi menjadi salah satu entri dari ibadah-ibadah tersebut. Hal demikian juga berlaku bagi ibadah-ibadah keislam yang lain.

2. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam

Ekonomi Islam, menurut Akhmad Mujahidin (2007, h. 13) memiliki lima prinsip utama yaitu tauhid (keimanan), „adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khalifah (pemerintahan), dan ma‟ad (hasil). Inilah prinsip teoritik dari model ekonomi Islam. Namun demikian, prinsip tersebut jika tidak dapat diterapkan hanya akan menjadi ilmu yang tidak berdampak pada kehidupan manusia. Karenanya, Mujahidin menyimpulkan bahwa tiga hal penting yang bersumber dari lima prinsip universal

(8)

112

ekonomi Islam di atas adalah kepemilikan ekonomi di berbagai bidang (multitype ownership), kebebasan berbuat dan melakukan aktivitas ekonomi (freedom to act), dan memperhatikan keadilan sosial (social justice) di mana usaha ekonomi seseorang berdampak positif dan membangun bagi manusia lain.

Sementara Abdullah Zaki al-Kaaf, sebagaimana dituliskan oleh Kantor Kementerian Agama daerah Sumatera Selatan (2012), berpendapat bahwa prinsip pokok ekonomi Islam adalah 1) kewajiban berusaha. Di sini Islam menganjurkan umatnya untuk bermata pencaharian, tidak mengandalkan pemberian orang lain. 2) membasmi pengangguran. Semakin orang memperhatikan aktivitas ekonomi pribadinya, semakin luas kemudian area usaha yang dilakukannya, semakin berkurang pengangguran untuk diri dan wilayah sekitarnya. 3) mengakui hak milik. Di sini, ekonomi Islam lebih mirip model ekonomi konvensional, namun berbeda dengan sistem komunis yang tidak ada kepemilikan pribadi. Kepemilikan dalam Islam berdasar pada usaha pribadi atau lewat pemberian warisan. Di luar dua hal ini, kecuali pemberian yang diridhai pemilik asalnya, tidak ada kepemilikan dalam Islam. 4) kesejahteraan agama dan sosial. Prinsip ekonomi ini bertumpu pada ibadah kepada Allah dan mensejahterakan manusia lain. Zakat adalah salah satu ibadah yang persis berada pada kriteria ini. 5) beriman kepada Allah. Prinsip terakhir ini berpangkal pada masalah ketuhanan. Usha ekonomi seharusnya selaras dengan peningkatan ketakwaan kepada Allah, sehingga perolehan ekonomi pada gilirannya malah makin meningkatkan perasaan cinta kepada-Nya.

(9)

113

b. Zakat

Secara bahasa, zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah). Namun demikian, kata ini juga sering dipakai untuk makna thahara (suci) (al-Zuhaily 2008, h. 820) sebagaimana terekan dalam firman Allah surat As-Syams: 9, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. Sementara ayat lain menghubungkan zakat dengan kepemilikan harta seperti dalam surat at-Taubah: 103, “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka , dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.Dengan begitu, zakat dimaksudkan sebagai upaya untuk membersihkan manusia dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda, selain ia juga dapat menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati sekaligus menambahkan harta.

Menurut an-Nakhrawi (2011, h. 11), secara terminologis zakat dipahami sebagai pemberian atas sesuatu yang wajib diberikan dari sekumpulan harta tertentu, menurut sifat-sifat dan ukuran tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya. Dengan kata lain, zakat adalah kadar harta tertentu yang diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, dengan bebebrapa syarat tertentu pula.

Menurut Mazhab Syafi‟i, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta berdasarkan cara yang khusus. Sedangkan menurut mazhab Hambali, zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula (al-Zuhaily 2008, h. 84). Al-Zuhaily kemudian menyimpulkan bahwa secara fikih

(10)

114

zakat berarti “Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”.

1. Muzakki dan Mustahiq Zakat

Zakat tidak diwajibkan kepada semua manusia. Dalam Islam, menurut al-Zuwaily (2008 h. 98), orang yang diwajibkan untuk mengeluarkan zakat (muzakki) adalah mereka yang memenuhi syarat-sarat sebagai berikut:

i. Merdeka

Menurut kesepakatan Ulama, zakat tidak wajib atas hamba sahaya karena hamba sahaya tidak mempunyai hak milik.

ii. Islam

Menurut ijma‟, zakat tidak wajib atas orang kafir karena zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci, sementara orang kafir, menurut mereka, tidak termasuk golongan orang yang suci. Mazhab Syafi‟I, berbeda dengan mazhab-mazhab yang lainya, mewajibkan orang murtad mengeluarkan zakat hartanya sebelum riddah (murtad)-nya terjadi, yakni harta yang dimilikinya ketika dia masih menjadi orang muslim. Riddah, menurut mazhab ini, tidak menggugurkan kewajiban zakat.

iii. Baligh dan berakal

Keduanya dipandang sebagai syarat oleh mazhab Hanafi. Dengan demikian, zakat tidak wajib diambil dari harta anak kecil dan orang gila sebab keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah; seperti shalat dan puasa. Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama, keduanya bukan merupakan syarat. Namun demikian, seperti kasus zakat fitrah, zakat

(11)

115 tetap wajib dikeluarkan dari harta anak kecil dan orang gila, meski yang mengeluarkannya adalah walinya.

iv. Harta yang dikeluarkan adalah harta yang wajib dizakati

Harta yang mempunyai kriteria ini ada lima jenis, yaitu: 1). Uang, emas,perak, baik berbentuk uang logam ataupun uang kertas, 2). Barang tambang dan barang temuan, 3). Barang dagangan, 4). Hasil tanaman dan buaha-buahan, 5). Menurut jumhur, binatang ternak yang merumput sendiri (sha‟imah, penerj.): atau menurut mazhab Maliki, binatang yang diberi makan oleh pemiliknya (ma‟lufa).

v. Harta yang dizakati telah mencapainishab atau senilai denganya

Maksudnya ialah nishab yang ditentukan oleh syara‟ sebagai tanda kayanya seseorang dan kadar-kadar berikut yang mewajibkan zakat.

vi. Harta yang dizakati adalah milik penuh

Artinya, sebagaimana pendapat imam madzahib (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali), harta yang dizakati harus merupakan harta yang dimiliki secara asli dan bisa dikeluarkan sesuai dengan keinginan pemiliknya.

vii. Kepemilikan harta telah mencapai setahun kalender Qamariyah.

Berdasarkan ijma‟ para tabi‟in dan fuqaha. Tahun yang dihitung adalah tahun qamariyah bukan tahun syamsiyah. Nabi bersabda, “Tidak ada zakat dalam suatu harta sampai umur kepemilikkanya mencapai setahun.”

viii. Harta tersebut bukan hasil hutang

Mazhab Hanafi memandang hal ini sebagai syarat dalam semua zakat selain zakat harts (biji-bijian dan yang menghasilkan minyak nabati). Sedangkan mazhab

(12)

116

Hambalimemandangnya sebagai syarat dalam semua harta yang akan dizakati.Mazhab Maliki berpendapat bahwa sarat tersebut ditujukan untuk zakat emas dan perak, bukan untuk zakat harts, binatang ternak dan barang tambang. Adapun mazhab Syafi‟iberkesimpulan bahwa hal diatas tidak termasuk syarat.

ix. Harta yang dizakati melebihi kebutuhan pokok Mazhab Hanafi mensyaratkan agar harta yang wajib dizakati terlepas dari utang dan kebutuhan pokok, sebab orang yang sibuk mencari harta untuk kedua hal ini sama dengan orang yang tidak mempunyai harta.

Sementara orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) dalam Islam adalah mereka yang termasuk ke dalam delapan golongan (ashnaf) (Abu Abdillah 1982). Mereka adalah 1) orang fakir, 2) orang miskin, 3) panitia yang mengatur pengumpulan dan penyampaian zakat („amil), 4) orang yang baru masuk Islam (muallaf) atau disebut juga orang yang butuh dihibur hatinya karena keimanannya masih lemah, 5) budak (Riqab)yang dimerdekakan (dibebaskan dari status) kedudukanya oleh pemiliknya (majikanya) dengan membayar uang secara berangsur, 6) orang-orang yang berhutang dan tak sanggup melunasinya, 7) orang yang berjuang menyiarkan agama Allah (masuk dalam kategori ini adalah para penuntut ilmu), dan 8) orang yang dalam bepergian (berada dalam perantauan)

2. Sumber-Sumber Zakat

Sumber-sumber zakat (harta yang dizakatkan) terdiri atas lima jenis, yaitu:

(13)

117

i. Binatang Ternak

Binatang ternak yang wajib dizakati menurut hukum Islam adalah unta, sapi/kerbau, dan kambing/domba. Nishab (batas mulai diwajibkan zakat) untuk masing-masing hewan ternak ini sendiri berbeda-beda.

Nishab untuk unta adalah mulai dari 5 baik jantan maupun betina. Jenis hewan zakat yang dikeluarkanya adalah kambing dan unta (umur yang sesuai), dan waktu mengeluarkan zakatnya adalah setelah satu tahun. Adapun kriteria hewan untuk zakatnya yaitu tidak cacat dan tidak terlalu tua. Dalam hadits dikatakan dari Abu Said bin Khudri, Rasulullah bersabda: “Tidak ada zakat pada hasil tanaman kurma dibawah lima wasaq, tidak ada zakat harta dibawah lima uqiyah, dan tidak ada zakat pada unta dibawah lima ekor”(HR. Bukhari). Imam Syafi‟i (2004, h. 403) berpendapat bahwa perhitungan untuk zakat unta adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1

Perhitungan Zakat Unta

Nishab Unta Kadar Zakat

1-4 ekor Tidak ada zakatnya

5-9 ekor 1 ekor kambing

10-14 ekor 2 ekor kambing

15-19 ekor 3 ekor kambing

20-24 ekor 4 ekor kambing

25-35 ekor 1 ekor unta betina (berumur 1 tahun lebih/bintu makhad) 36-45 ekor 1 ekor unta betina (berumur 2

tahun lebih/ bintu labun) 46-60 ekor 1 ekor unta betina (berumur 3

(14)

118

Apabila jumlah unta lebih dari 120 ekor, maka setiap penambahan 40 ekor zakatnya adalah unta betina berumur 2 tahun masuk ke-3 tahun. Jika penambahan 50 ekor maka zakatnya unta betina berumur 3 tahun masuk ke-4 tahun (Syafi‟i 2004, h. 403).

Nishab untuk sapi/kerbau (menurut ijma‟ ulama, kerbau termasuk jenis sapi), adalah 30 ekor baik jantan maupun betina. Jenis hewan zakat yang dikeluarkanya adalah sapi atau kerbau (umur yang sesuai), dan waktu mengeluarkan zakatnya setelah satu tahun. Adapun kriteria hewan untuk zakatnya yaitu tidak cacat dan tidak terlalu tua.Nabi bersabda, “Setiap 30 ekor sapi zakatnya adalah seekor anak sapiu yang berumur satu tahun. Dan pada setiap 40 ekor sapi akatnya adalah seekor anak sapi yang masuk pada umurm dua tahun”(HR. Ibnu Majah).

Perhitungan zakat sapi atau kerbau, sebagaimana diterangkan Mu‟is (2011, h. 56)adalah sebagai berikut:

tahun lebih/ hiqqa)

61-75 ekor 1 ekor unta betina (berumur 4 tahun lebih/ jadz‟ah) 76-90 ekor 2 ekor unta betina (berumur 2

tahun lebih/ bintu labun) 91-120

ekor

2 ekor unta betina (berumur 3 tahun lebih/ hiqqah)

(15)

119 Tabel 2.2

Perhitungan Zakat Sapi atau Kerbau

Sementara untuk kambing/domba nishabnya adalah ketika ia telah mencapai jumlah 40 ekor dan setelah satu tahun, baik jantan maupun betina. Jenis hewan yang dikeluarkannya sebagai zakat adalah kambing atau domba itu sendiri yang tidak cacat ataupun terlalu tua. Apabila lebih dari 120 ekor, maka zakatnya sebanyak dua ekor.

Nishab Sapi/Kerbau

Kadar Zakat 1-29 ekor Tidak ada zakatnya

30-39 ekor 1 ekor sapi jantan atau betina

(berumur 1 tahun

lebih/tabi‟atau tsbi‟ah)

40-59 ekor 1 ekor sapi betina (berumur 2 tahun lebih/ musinnah).

Menurut kesepakatan empat mazhab selain Hanafiah bahwa yang jantan tidak sah.

60-69 ekor 2 ekor tabi‟ atau tabi‟ah

70-79 ekor 1 ekor musinnah dan 1 ekor tabi‟ 80-89 ekor 2 ekor musinnah

90-99 ekor 3 ekor tabi‟

100-109 ekor 1 ekor musinnah dan 2 ekor tabi‟ 110-119 ekor 2 ekor musinnah dan 1 ekor tabi‟ 120 ekor 4 ekor tabi‟ah dan 3 ekor

(16)

120

Sementara jika telah melebihi jumlah 300 ekor, zakatnya sebanyak tiga ekor. Lebih dari itu, setiap penambahan seratus ekor dizakati sebanyak seekor kambing. Yang diperbolehkan memilih kambing untuk dizakatkan adalah petugas zakat, bukan berdasar keinginan si pemilik (Syafi‟i 2004).

ii. Emas dan Perak

Emas dan perak tergolong ke dalam termasuk kekayaan yang dikenakan zakat. Dalam Surat At-Taubah:34 dinyatakan: “... dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. Nishab untuk dua jenis barang ini berbeda-beda. Nishab emas adalah 20 mitsqal atau dinar. Satu dinar sama dengan 4,25 gram, maka nishab emas dalam gram adalah ketika mencapai 85 gram. Sementara nishab peral adalah 200 dirham. Satu dirham setara dengan 2,975 gram, maka perak telah mencapai satu nishab ketika berjumlah 595 gram. Zakat untuk perak ini adalah sebanyak 2,5 persen ketika waktu kepemilikannya telah mencapai satu tahun (Mu‟is 2011).

iii. Pertanian

Zakat pertanian terbagi menjadi dua macam sumber yaitu tanaman dan buah-buahan. Tanaman yang wajib dizakati adalah biji-bijian yang menjadi bahan makanan pokok seperti gandum, jagung, padi, kedelai dan kacang tanah. Sedangkan buah-buahan yang wajib dizakati adalah kurma dan anggur. Al-Quran Surat Al-An‟am: 141 menerangkan:

(17)

121 “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.

Nishab pertanian adalah 5 watsaq. 1 washaq sama dengan 60 sha‟. 1 sha‟ adalah 2,176 kg. Sehingga nishab pertanian dalam takaran kg adalah 2,176 x 300 sha‟ = 652,8 kg, dibulatkan menjadi 653 kg. Jumlah zakatnya sebanyak 2,5 persen atau ¼ (Abdillah 1982). Namun jika air yang digunakan untuk pertanian tersebut diperoleh dengan menggunakan alat, maka zakatnya sebesar 5 persen atau 1/20 (Syafi‟i 2004). Sementara ia harus dizakati sebanyak 10 persen jika menggunakan air hujan atau air sungai, dengan syarat telah mencapai waktu satu tahun.

iv. Perdagangan

Inti dari zakat perdagangan adalah benda-benda yang bisa ditukar dengan emas dan perak dan siap diperjualbelikan. Dalam surat Al-Baqarah: 267, Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebgaian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

(18)

122

Harta benda yang diperdagangkan, sebagaimana dikatakan Ibn Rusyd, adalah kekayaan yang dimaksudkan untuk dikembangkan, dan itu sama halnya dengan jenis kekayaan yang wajib dizakati seperti tanaman, ternak, emas dan perak (Qardawi 2010, h. 305).

Nishab untuk harta dagangan senilai 85 gram emas. Jadi ketika harta dagangan seseorang telah mencapai seharga 85 gram emas dan waktunya telah berlalu selama satu tahun, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Harta dari perdagangan yang di simpan di Bank, misalnya, juga piutang yang masih dimiliki termasuk bagian dari harta dagangan, maka jumlah dari keseluruhan hal tersebut ditambah stok barang dagangan yang masih ada menjadi sumber perhitungan zakat perdagangan. Seperti juga emas, zakat perdagangan adalah 2,5 persen dari harta (Mu‟is 2011, h. 76).

v. Barang Tambang, Temuan (rikaz) dan Hasil Laut

Imam Syafi‟i (2004, h. 458) mengatakan bahwa hasil tambang tidak dikenai zakat kecuali yang berupa emas dan perak. Jadi, pertambangan berupa batu pualam, timah, tembaga, besi dan lain-lain tidak dikenai zakat. Pendapat lain sebagaimana dituliskan Mu‟is (2011, h. 79) menyatakan bahwa pertambangan selain emas dan perak, seperti minyak bumi, batu bara, timah dan lain-lain, nishabnya akan dikiyaskan dengan emas dan perak, yaitu ketika mencapai 85 gram emas atau 595 gram perak.

Barang temuan adalah semua harta yang ditemukan, baik tersimpan di dalam laut, maupun bumi yang memiliki nilai kekayaan layaknya emas dan perak. Sedangkan yang dimaksud dengan hasil laut adalah harta kekayaan alam yang dieksploitasi dari laut seperti

(19)

123 mutiara, terumbu karang, rumput laut dan lain-lain. Tiga kelompok kekayaan ini memiliki syarat kepemilikan berdasarkan jangka waktu yang berbeda-beda. Kalau barang tambang baru terkena wajib zakat setelah kepemilikannya mencapai satu tahun seperti umumnya model kekayaan yang lain, maka barang temuan dan hasil laut sudah wajib dikeluarkan zakatnya sejak barang ditemukan atau hasil laut dipanen (Mu‟is 2011, h. 80).

Qardhawi (2010, h. 417) mengulas bahwa terdapat beberapa perbedaan pendapat soal jumlah yang harus dizakati untuk barang tambang. Abu Hanifah dan sebagian besar ulama Syi‟ah berpendapat bahwa barang tambang yang telah mencapai nishab terkena wajib zakat sebesar 20 persen. Sementara Imam Malik dan Syafi‟i, seperti juga Ahmad dan Ishaq menyatakan bahwa besarnya zakat untuk tambang adalah dikiyaskan dengan emas dan zakat mal pada umumnya, yakni sebesar 2,5 persen.

Banyaknya zakat untuk hasil laut adalah 20 dan 5 persen, bergantung pada kadar kesulitan untuk mencapainya. Sedangkan zakat untuk barang temuan adalah sebesar 20 persen (Mu‟is 2011, h. 79). Hadis Nabi yang berasal dari Abu Hurairah mengatakan bahwa,

“Binatang ternak yang merusak maka tidak ada denda, sumur yang menyelakai tidak ada denda, galian barang tambang yang menyelakai tidak ada denda, dan pada harta yang terpendam (harta karun), zakatnya adalah seperlima” (HR Abu Dawud).

Namun demikian, secara teknis, dalam tambang dan harta temuan misalnya, tidak serta merta harta yang didapatkan harus dizakati. Penghitungan zakat atas kekayaan tersebut baru dikeluarkan setelah dikurangi

(20)

124

dengan unsur-unsur yang tercakup dalam ongkos usaha, seperti biaya penggalian, pengangkutan, pembersihan barang, dan lain-lain.

Pertanyaannya kemudian, apakah hanya harta-harta yang telah disebutkan di atas saja yang wajib dizakati? Sementara zaman terus berubah, model orang mencari kekayaan, nafkah dan berusaha juga sudah jauh berubah. Di sinilah wilayah ijma‟ dan kiyas memperoleh tempatnya. Berdasarkan itu, perubahan zaman modern dan era global yang telah mengubah banyak pola ekonomi masyarakat juga melahirkan sumber-sumber zakat yang makin beragam. Dari qiyas para ulama Islam kemudian diketahui bahwa sumber-sumber zakat lain akibat perubahan pola ekonomi modern juga memunculkan kategori zakat seperti zakat profesi yang merupakan kiyas dari harta pertanian dan perdagangan. Qiyas ini juga memunculkan kategori lain seperti zakat surat berharga, perdagangan mata uang, produk madu dan produk hewani lain, dan zakat properti yang merupakan analogi dari zakat perdagangan (Hafiduddin 2002, h. 93-122). Semua model perekonomian hasil analogi di atas, kini merupakan sumber-sumber harta yang wajib dizakati. Jumlah zakat yang dikeluarkan atas harta tersebut adalah sama dengan harta yang dianalogikannya.

c. Zakat, Kemiskinan dan Peningkatan Ekonomi

Islam mensyariatkan zakat harta dan menentukan nishabnya. Dalam Islam zakat yang diperintahkan tersebut bertujuan untuk meratakan atau mengurangi kesenjangan yang terpotret darikondisi sosial kemasyarakat umatnya. Zakat dengan demikian adalah sebuah upaya untuk membantu kelompok fakir dan miskin untuk memenuhi

(21)

125 minimal kebutuhan primernya.Dengan demikian perbedaan kelas-kelas dalam masyarakat dapat semakin dikurangi (al-„Assal 1999, h. 126).

Dari potret kesenjanagan sosial yang ada saat ini, an-Nakhrawi (2011, h. 82) mengkalisifikasikan bahwa setidak-tidaknya terdapat dua jenis kemiskinan, yakni kemiskinan karena keterpaksaan dan kemiskinan yang terbuat, dengan kata lain kemiskinan struktural. Kemiskinan model terakhir ini adalah jenis kemiskinan yang diakibatkan oleh tatanan struktur kemasyarakatan, bukan diakibatkan oleh mentalitas seseorang.Kehadiran zakat dalam kondisi saat kemiskinan masih dialami banyak pendudukdapat menjadi sumber bantuan sekaligus harapan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi maupun sosial. Dengan demikian, zakat idealnya memiliki signifikansi besar dalam usaha membantu memberantas kemiskinan.

Dalam ekonomi Islam konsep zakat terkait erat dengan istilah ihsan dan birr (kebaikan), ta‟awwun (tolong menolong), ukhuwah (persaudaraan), dan amar ma‟ruf nahy munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Oleh karena itu, Islam memandang bahwa pemindahan harta dari yang kaya ke yang miskin (zakat) ini tidak bisa hanya bersifat ibadah, tetapi juga memiliki dimensi moral-psikologis, sosial dan ekonomi (Ridwan 2013). Dimensi pertama zakat, dimensi moral-psikologis,artinya zakat berfungsi untuk meminimalisasi kecenderungan tamak golongan kaya dalam usaha menguasai harta. Berikutnya, dimensi sosial diartikan bahwa zakat yang terkait dengan nilai-nilai kebaikan, persaudaraan dan tolong menolong akan dapat mengurangi taraf kemiskinan masyarakat. Terakhir dimensi ekonomi meniscayakan zakat berfungsi untuk

(22)

126

mencegah penumpukan harta pada sebagian kecil kelompok, sehingga zakat dapat berperan untuk mengurangi kesenjangan sosial.

Teori ekonomi Islam yang menyatakan bahwa zakat dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial kemudian diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa zakat juga berpengaruh bagi peningkatan ekonomi. Muhammad Al-‟Assal (1999, h. 122), mengatakan hal ini secara gamblang. Ia berpendapat bahwa zakat berpengaruh pada naiknya produktivitas usaha, pembagian pendapatan, dan pekerjaan. Hal ini, menurutnya, disebabkan karena, pertama, mereka yang menerima zakat akan mengeluarkanya kembali dalam memenuhi kebutuhan konsumtifnya, baik berupa barang maupun jasa. Pada gilirannya hal ini akan mempercepat arus konsumsi, sehingga membangkitkan produksi.Kedua, zakat diwajibkan atas segala macam harta yang tumbuh dan dimiliki. Ia wajib dikelaurkan pada setiap tahun kepada golongan-golongan masyarakat yang sangat membutuhkan (delapan ashnaf). Oleh karena itu, zakat berfungsi sebagai alat permanen bagi distribusi kekayaan. Ketiga, karena zakat hanya diberikan kepada mereka yang tidak mampu bekerja, maka golongan ini akan terbantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan malah dapat mendorong untuk dapat bekerja. Misalnya, mereka dapat menjadikan pemberian zakat sebagai modal untuk memulai usaha. Selain itu, zakat juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Ia kemudian mendorong kenaikan aktivitas konsumsi dan produksi untuk memenuhinya. Maka, secara langsung maupun tidak, zakat kemudian ikut membuka kesempatan lahan pekerjaan baru. Intinya,

(23)

127 zakat dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, maka kemiskinan pun akan dapat dikurangi.

C. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam ekonomi Islam konsep zakat terkait erat dengan istilah ihsan dan birr (kebaikan), ta‟awwun (tolong menolong), ukhuwah (persaudaraan), dan amar ma‟ruf nahy munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran).

2. Islam memandang bahwa pemindahan harta dari yang kaya ke yang miskin (zakat) ini tidak bisa hanya bersifat ibadah, tetapi juga memiliki dimensi moral-psikologis, sosial dan ekonomi. Dimensi pertama zakat, dimensi moral-psikologis, mengandung arti bahwa zakat, selain ibadah, juga berfungsi untuk meminimalisasi kecenderungan tamak golongan kaya dalam usaha menguasai harta. Berikutnya, dimensi sosial diartikan bahwa zakat yang terkait dengan nilai-nilai kebaikan, persaudaraan dan tolong menolong akan dapat mengurangi taraf kemiskinan masyarakat. Terakhir dimensi ekonomi meniscayakan zakat berfungsi untuk mencegah penumpukan harta pada sebagian kecil kelompok, sehingga zakat dapat berperan untuk mengurangi kesenjangan sosial.

(24)

128

Daftar Pustaka

Abu Abdillah, Syeikh Syamsuddin, Fath al-Qarib, Abu Amar (penerjemah), Kudus: Menara Kudus, 1982.

Al-„Assal, Ahmad Muhammad dan Karim, Fathi Ahmad Abdul, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, terjemahan dari an-Nizham al-Iqtishad fi al-Islam Mabadi‟uhu wa Wahdafuhu, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.

Al-Kaaf, Abdullah Zaky, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2002.

Al-Qozwini, Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Matan Ibn Majah, Semarang: Toha Putra.

Al-Zuhaily, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Madzhab (al-Fiqh al-Islam wa „Adillatuh), Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.

An-Nabhan, M. Faruk, Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: VII Press, 2000.

An-Nakhrawi, Asrifin, Sucikan Hati dan Bertambah Kaya Bersama Zakat, Delta Prima Press, 2011.

Azra, Azyumardi, “Zakat dan Kemiskinan”, Republika, 16 September 2010.

Badan Pusat Statistik (BPS), Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Jakarta: BPS, 2011.

(25)

129 Badan Pusat Statistik (BPS) Banten, Banten dalam Angka 2012, Banten: BPS Banten, 2012.

--- , Banten dalam Angka 2013, Banten: BPS Banten, 2013.

Baidan, Nashruddin, Etika Islam dalam Berbisnis, Jawa Tengah: Zada Haniva, 2008.

Doa, Djamal, Pengelolaan Zakat oleh Negara untuk Memerangi Kemiskinan, Jakarta: Nuansa Madani, 2004.

---, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara, Jakarta: Nuansa Madani, 2005.

Dompet Dhuafa, Peta Kemiskinan: Data Mustahik, Muzaki, dan Potensi Pemberdayaan Indonesia, Jakarta: Dompet Dhuafa,2010

Frankfort-Nachmias, Chava dan Nachmias David, Research Methods in the Social Science, fourth edition, New York: St. Martin‟s Press, 1992.

Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Huda, Nurul etal., Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Jakarta: Kencana, 2008.

Kabar Banten, “Menggali Potensi Zakat”, Kabar Banten, 08 Agustus 2011.

(26)

130

Mu‟is, Fahrur, Zakat A-Z: Panduan Mudah, Lengkap dan Praktis tentang Zakat, Solo: Tinta Medina, 2011.

Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2007.

Mulyana, “BAZDA Banten targetkan penerimaan zakat Rp 1,4 Miliar”, Antara, 04 Agustus 2013, http://ramadhan.antaranews.com/berita/389101/.

Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.

Prasetyo, Bambang dan Jannah, Lina Miftahul, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

---, Hukum Zakat, terjemahan dari Fiqh al-Zakat, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2010.

Ridwan, Ahmad Hasan, “Zakat: dari Pemberdayaan ke Pengentasan Kemiskinan”, Makalah, 2013, diakses pada tanggal 1 Februari 2014, <www.fshuinsgd.ac.id/?cat=7>.

Ridwan, Muhammad, Semakin Bahagia dana Kaya dengan Zakat, Bandung: Ikhtiar Publishing, 2005.

Santoso, Singgih, Mastering SPSS 18, Jakarta: Elex Media Computindo, 2010.

(27)

131 Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alfabeta, 2008.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.

Syafi‟i, Ringkasan Kitab Umm (Mukhtashar Kitab al-Umm fi al-Fiqh), penerjemah Yasir Abd Muthalib, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.

Tanjung, Adi Satria, Penetapan Wajib Zakat, Tangerang: Alphabet Press, 2005.

The World Bank, World Development Indicators 2013, Washington DC: The World Bank, 2013.

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Penganiayaan adalah salah satu bentuk kejahatan blue collar atau kejahatan kerah biru yang mana kejahatan ini lebih mengutamakan kejahatan otot atau tindakan

Nahiz eta, gure ustez, argi dagoen Fredulforen eta Valpuestaren arteko lotura (jarraikortasun bat duena bere familiako kideen artean eta Joanen dohaintza

Sumber data diperoleh dari hasil validasi yang dilakukan oleh tiga orang validator terhadap instrumen validasi yang terdiri dari empat aspek kelayakan modul

Selain itu mekanisme gerakan sivil dalam mengendalikan aktiviti organisasi bagi mencapai matlamat yang diimpikan telah menggunakan pelbagai pendekatan seperti melobi,

bawahan akan meningkat, karena manusia pada umumnya menerima yang baik-baik saja. 2) Motivasi negative (insentif negatif), seorang manajer memotivasi karyawannya dengan

(b) Observasi, observasi dilakukan sebagai teknik dalam mengumpulkan data terhadap pola-pola kehidupan perempuan di Desa Samboja Kuala sehingga dapat

Apabila GKR Pembayun yang kini dikenal sebagai GKR Mangkubumi nantinya berhasil menjadi Sri Sultan Hamengkubuwana perempuan pertama, maka hal tersebut akan menjadi