• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS HEMATOLOGIS (ERITROSIT, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN) AYAM PETELUR FASE LAYER PADA TEMPERATURE HUMIDITY INDEX YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STATUS HEMATOLOGIS (ERITROSIT, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN) AYAM PETELUR FASE LAYER PADA TEMPERATURE HUMIDITY INDEX YANG BERBEDA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS HEMATOLOGIS (ERITROSIT, HEMATOKRIT, DAN

HEMOGLOBIN) AYAM PETELUR FASE LAYER PADA

TEMPERATURE HUMIDITY INDEX

YANG BERBEDA

(HAEMATOLOGICAL STATUS (ERYTHROCYTES, HEMATOCRIT, AND

HEMOGLOBIN) OF LAYING HENS IN DIFFERENT

ON TEMPERATURE HUMIDITY INDEX)

A. Rosita*, A. Mushawwir**, D. Latipudin**

*Alumni Fakultas Peternakan Unpad Tahun 2015 **Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

*e-mail : sitha_dmaster@yahoo.com

ABSTRAK

Ayam petelur termasuk hewan homoioterm, sebagai hewan homoioterm, ayam petelur akan berusaha mengembalikan temperatur tubuhnya ke temperatur normal, sebab semua reaksi biokimiawi di dalam tubuh akan optimal pada temperatur tertentu. Kemampuan mempertahankan temperatur tubuh dalam kisaran yang normal atau disebut juga homoiostasis merupakan kegiatan yang sangat mempengaruhi reaksi biokimiawi dan proses fisiologis dalam kaitannya dengan metabolisme tubuh ayam. Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh dan berapa nilai hematologis ayam petelur fase layer pada Temperature

Humidity Index (THI) yang berbeda.Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober – November

2014.Bertempat di peternakan ayam petelur milik CV. Acum Jaya Abadi di Desa Sumur Wiru Kecamatan Cibeureum Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Peubah yang diamati adalah status hematologis yang terdiri dari jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental menggunakan uji t berpasangan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa status hematologis ayam petelur fase layer pada THI yang berbeda yaitu pada pagi hari 74 pukul 05.00 – 06.30 WIB dan siang hari 89 pukul 12.30 – 14.00 WIB tidak berbeda nyata.

Kata Kunci : Ayam Petelur, Hematologis, Homoiostasis, Homoioterm, THI

ABSTRACT

Laying hens are homoiotherm animals, as animals homoiotherm, laying hens will bemaintain their body temperature to a normal temperature, because all of biochemical reactions in the body will be optimized at a given temperature. It abilities to maintain body temperature within normal range or also called homoiostasis an activity that is affecting the biochemical reactions and physiological processes in relation to the body's metabolism chicken. This study profile of laying hen blood on the two types of Temperature Humidity Index (THI) have conducted to determine from October to November, 2014 which located at poultry farm CV. Acum Jaya Abadi of Kuningan, West Java. This research conducted by the experimental

(2)

method of paired t-test. The statistical analysis showed that haematological status of laying hens in different THI were 74 and 89, at 74 in the morning 5:00 am to 6:30 pm and during the day 89 at 12:30 to 14:00 pm expectively, were not significant.

Keywords : Laying Hens, Haematological, Homoiostasis, Homoiotherm, THI

PENDAHULUAN

Ayam petelur termasuk hewan homoioterm, hewan homoioterm secara fisiologis berhasil bertahan walaupun terjadi perbedaan temperatur di dalam dan di permukaan tubuh.Walaupun berhasil bertahan, namun berdasarkan aspek produktivitas ternak, hal semacam itu sangat merugikan. Sebagai respon terhadap perbedaan temperatur permukaan dengan temperatur di dalam tubuh, maka akan terjadi penurunan konsumsi ransum, performa yang sub-optimal, berkurangnya aktivitas, mencari teduhan, bertambahnya laju respirasi, dan beberapa tingkah laku lain. Semua ini akan dilakukan melalui suatu proses yang disebut homoiostasis.

Lingkungan di luar tubuh dapat mempengaruhi lingkungan di dalam tubuh, maka apabila temperatur udara meningkat, temperatur tubuh juga akan sedikit meningkat. Namun sebagai hewan homoioterm, ayam petelur akan berusaha mengembalikan temperatur tubuhnya ke temperatur normal, sebab semua reaksi biokimiawi di dalam tubuh akan optimal pada temperatur tertentu.

Kemampuan mempertahankan temperatur tubuh dalam kisaran yang normal merupakan kegiatan yang sangat mempengaruhi reaksi biokimiawi dan proses fisiologis dalam kaitannya dengan metabolisme tubuh ayam, kegiatan ini akan mempengaruhi perubahan yang terjadi pada temperatur tubuh ayam petelur. Pada masing-masing periode pertumbuhan, temperatur tubuh ayam petelur berbeda-beda, karena temperatur tubuh tidak mungkin menunjukkan suatu derajat panas yang tetap. Ayam petelur tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga keseimbangan temperatur adalah pelepasan panas melalui saluran pernafasan dengan cara panting, melebarkan sayap, melalui air minum, dan lain-lain.

Apabila ternak merasa tertekan atau adanya perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim, maka ternak akan menjadi tidak tenang dan akan menimbulkan aktivitas berlebih. Hal ini dapat diperlihatkan dengan adanya perubahan fisiologis yang ditunjukkan oleh perubahan hematologis ternak, antara lain perubahan jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin.

Ternak yang terdapat pada THI yang berbeda akan mengalami stres panas, sehingga jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin akan mengalami perubahan akibat terlalu banyak

(3)

cairan tubuh yang dikeluarkan, sehingga terjadi perubahan bentuk yang tidak normal pada eritrosit dan menyebabkan hemoglobin yang terikat akan terlepas. Jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin akan meningkat pada temperatur lingkungan rendah dan akan menurun pada temperatur lingkungan yang tinggi (Guyton, 1991). Perubahan ini memungkinkan masih dalam keadaan normal apabila peningkatan temperatur tidak terlalu ekstrim, namun perubahan yang sangat signifikan dapat terjadi jika temperatur dan kelembaban sangat tinggi.

Perubahan hematologis ini antara lain juga dapat mengubah proporsi hematokrit. Nilai hematokrit normal sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Jika jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin berubah persentase jumlah hematokrit juga ikut berubah, karena belum banyak publikasi hasil-hasil penelitian mengenai pengaruh THI yang berbeda terhadap status hematologis pada ayam petelur fase layer. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji judul tersebut.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 1. Objek Penelitian

Ternak yang diamati pada penelitian ini adalah 15 ekor ayam petelur fase layer tipe medium dengan umur 18 bulan.Sampel ayam tersebut dipelihara dalam kandang sistem battery individual di kandang ayam petelur milik CV. Acum Jaya Abadi di daerah Kuningan, Jawa Barat.

2. Pengukuran Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban kandang diukur dengan menggunakan thermometer bola kering (DB) dan bola basah (WB).Thermometer ditempatkan di tiga titik dalam kandang, data yang diperoleh dari tiga titik tersebut dirata-ratakan.Pengukuran dilakukan pada pagi dan sore hari, setiap minggu selama satu bulan. Data yang diperoleh digunakan untuk menentukan THI masing-masing waktupenelitian (Pagi dan siang), dengan menggunakan formula THI berikut berdasarkan (Hernawan dkk, 2012) :

THI = (1,8 × ) + ((0,55-0,0055RH) (( ))

3. Pengambilan Sampel Darah

Sebanyak 15 ekor ayam petelur fase layer dipersiapkan. Sampel darah diambil dari ayam petelur fase layer. Bagian vena pektoralis eksterna yang terdapat di bawah sayap dibersihkan menggunakan alkohol 70%. Bagian vena pektoralis eksterna diambil sebanyak 6 mL. Sampel darah segera dimasukkan ke dalam vakutainer yang mengandung antikoagulan EDTA untuk mencegah proses pembekuan darah. Vakutainer dimasukan ke dalam cooling

(4)

4. Pengukuran Status Hematologis

Status hematologis yang diukur pada penelitian ini adalah jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar haemoglobin.

a. Jumlah Eritrosit

Jumlah eritrosit dihitung dengan menggunakan 1 set alat yang disebut haemocytometer. Pewarnaan darah dengan suatu pengencer khusus yaitu larutan Hayem yang bersifat isotonis dan berfungsi sebagai pewarna eritrosit. Darah yang telah diencerkan di dalam pipet haemocytometer, kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung dan dihitung di dalam mikroskop.

Perhitungan :

Kotak kecil mempunyai ukuran lebar 1/20 mm, panjang 1/20 mm, dan tinggi 1/10 mm, maka volume kotak kecil 1/4000 mm3

volume 40 kotak kecil = 40 × 1/4000 mm3 = 1/100 mm3

Bila didapatkan x butir dalam 40 kotak dengan pengenceran darah 100 kali, maka dapat dihitung jumlah eritrosit dalam 1 mm3 darah

Jumlah eritrosit dalam 1mm3 = 100 × 100 × X butir = 10000 X butir

b. Nilai Hematokrit

Penentuan nilai hematokrit di dalam darah dilakukan dengan metode mikro hematokrit. Darah yang dicampur dengan antikoagulan dicentrifuge dengan menggunakan alat centrifuge sehingga akan membentuk lapisan-lapisan. Lapisan yang terdiri atas butir-butir eritrosit diukur dan dinyatakan sebagai % volume dari keseluruhan darah.

Nilai Hematokrit = × 100%

c. Kadar Hemoglobin

Darah dengan larutan HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat. Warna disamakan dengan warna standar Sahli dengan menambahkan aquadest sebagai pengencer. Penentuan kadar Hb dilakukan dengan menggunakan metode Hematin asam dengan Hemometer Sahli-Hellige (g/dL).

5. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental menggunakan uji t berpasangan. Perlakuan yang diuji adalah perbedaan nilai THI, yaitu :

Perlakuan :

P1 = THI kandang 74 P2 = THI kandang 89

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pengaruh THI terhadap beberapa peubah status hematologis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Data Pengamatan Status Hematologis

No Waktu THI Peubah Jumlah Eritrosit (× 104 Cells) Nilai Hematokrit (%) Kadar Hemoglobin (g/dL) 1. Pagi (05.00 – 06.30 WIB) 74 178.00a 23.21a 6.63a 2. Siang (12.30 – 14.00 WIB) 89 193.93a 23.97a 6.98a Keterangan : Abjad yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

(p> 0,05).

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t berpasangan, menunjukkan bahwa status hematologis ayam petelur fase layer pada THI yang berbeda tidak berbeda nyata (p > 0,05). Berdasarkan data pengamatan pada Tabel 1, rataan jumlah eritrosit ayam petelur fase layer pada THI pagi adalah 178.00 × 104 cells dan pada THI siang adalah 193.93 × 104 cells. Jumlah eritrosit ayam petelur fase layer mengalami peningkatan pada saat THI 89 yaitu pada siang hari.

Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, jenis kelamin, umur, kondisi tubuh, variasi harian, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, temperatur lingkungan dan keadaan stres (Swenson, 1977). Jumlah eritrosit akan konstan pada lingkungan yang relatif normal. Banyaknya jumlah eritrosit juga disebabkan oleh ukuran eritrosit itu sendiri (Schmidt dan Nelson, 1990). Jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin akan bertambah bila kandungan oksigen dalam darah rendah. Kandungan oksigen dapat menstimulir penambahan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Ternak yang banyak melakukan aktivitas akan memiliki jumlah eritrosit yang banyak pula, karena ternak akan mengonsumsi banyak oksigen.

Pembentukan eritrosit dirangsang oleh hormon glikoprotein dan eritroprotein yang terdapat pada ginjal (Baldy, 1995). Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi antara lain hormon eritroprotein yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu produksi proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang. Vitamin B12 dan asam folat mempengaruhi eritropoiesis pada tahap pematangan akhir dari erirosit

(6)

sedangkan hemolisis dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yang berada dalam sirkulasi (Meyer dan Harvey, 2004).

Tidak terdapatnya perbedaan eritrosit pada THI yang rendah dengan yang tinggi menunjukkan kemampuan homoiostasis yang baik pada ayam petelur tersebut. Salah satu alasan penting perlunya kadar eritrosit dipertahankan karena merupakan komponen cairan tubuh yang juga sekaligus mengandung hemoglobin. Meskipun penggunaan mikromolekul dalam tubuh banyak terlibat dalam lintasan-lintasan metabolisme untuk penyediaan energi, namun biosintesis darah tetap mampu dipertahankan normal.Eritropoesis membutuhkan prekursor untuk mensintesis sel baru (Von Borell, 2001). Prekursor yang dibutuhkan antara lain zat besi, vitamin, asam amino dan stimulasi hormon. Dalam kondisi stres yang masih dapat ditolerir, maka biosintesis eritrosit (eritropoesis) tidak akan terganggu. Ini disebabkan karena darah sebagai komponen cairan tubuh sangat penting bagi kelangsungan aktivitas biologik (biokimiawi), sehingga aktivitas homoiostasis darah dijaga ketat.

Berdasarkan data pengamatan pada Tabel 1, rataan nilai hematokrit ayam petelur fase layer pada THI pagi adalah 23.21% dan pada THI siang adalah 23.97%. Nilai hematokrit ayam petelur fase layer mengalami peningkatan pada saat THI 89 yaitu pada siang hari.

Nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan viskositas darah (Wilson, 1981). Nilai hematokrit biasanya dianggap sama manfaatnya dengan hitungan eritrosit total (Frandson, 1992). Secara normal, jumlah eritrosit berkorelasi positif dengan nilai hematokrit.Besarnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, umur dan fase produksi, jenis kelamin ternak, penyakit, serta iklim setempat (Sujono, 1991).Naik turunnya nilai hematokrit tergantung pada volume sel-sel darah yang dibandingkan dengan volume darah keseluruhan (Swenson, 1977).

Perubahan volume eritrosit dan plasma darah yang tidak proporsional dalam sirkulasi darah akan mengubah nilai PCV (Swenson, 1984). Peningkatan jumlah eritrosit pada temperatur lingkungan yang rendah akan meningkatkan nilai hematokrit bila volume darah tetap, sebaliknya bila pada temperatur lingkungan yang tinggi akan menurunkan nilai hematokrit sebagai akibat dari berkurangnya jumlah eritrosit (Swenson, 1970). Hal ini berarti nilai hematokrit berubah sejalan dengan perubahan erirosit.

Berdasarkan hasil ini tampak bahwa nilai hematokrit dengan jumlah eritrosit memiliki keterkaitan.Semakin besar jumlah eritrosit, maka semakin besar pula nilai hematokrit dalam darah.Begitupun sebaliknya, penurunan nilai hematokrit dapat disebabkan oleh kerusakan eritrosit, penurunan produksi eritrosit atau dapat juga dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran

(7)

eritrosit (Dawson dan Whittow, 2000). Nilai hematokrit sangat tergantung pada jumlah eritrosit, karena eritrosit merupakan massa sel terbesar dalam darah (Virden dkk, 2007).

Peningkatan ataupun penurunan nilai hematokrit dalam darah akan berdampak pada viskositas darah. Semakin besar persentase hematokrit maka viskositas darah akan semakin meningkat. Keadaan tersebut disebabkan oleh kontraksi limpa atau dehidrasi.Kontraksi limpa sendiri dirangsang oleh pelepasan hormon epineprin yang terjadi saat hewan mengalami ketakutan, sakit atau latihan.

Perubahan nilai hematokrit akan berdampak negatif karena mempengaruhi viskositas (kekentalan) darah, hematoktrit yang tinggi atau rendah menyebabkan peningkatan dan sebaliknya akan memperlambat aliran darah pada kapiler dan mempercepat kerja jantung (Cunningham, 2002). Ion natrium dan kalium yang terdapat dalam cairan tubuh baik cairan ekstraseller (darah) maupun cairan intraselluler (cairan sitoplasma) mampu mempengaruhi kerja epineprin untuk menekan kontraksi limpa yang berlebihan, sehingga kontraksi yang terjadi pada eritrosit menjadi stabil sekaligus mempertahankan nilai hematokrit dalam darah tetap berada pada kisaran normal (Von Borell, 2001).Dengan demikian, pengeluaran cairan tubuh dalam kondisi stres hingga THI 89 masih mampu menjaga stabilitas cairan darah sebagai bagian terbesar cairan eksraselluler.

Berdasarkan data pengamatan pada Tabel 1, rataan kadar hemoglobin ayam petelur fase layer pada THI pagi adalah 6.63 g/dL dan pada THI siang adalah 6.98 g/dL. Kadar hemoglobin ayam petelur fase layer mengalami peningkatan pada saat THI 89 yaitu pada siang hari.

Kadar hemoglobin antara lain dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pakan, dan lingkungan (Sturkie, 1976). Selain itu ketinggian tempat dimana ternak hidup dapat mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah (Atmadilaga, 1979).

Pada berbagai jenis unggas yang normal, hemoglobin menempati sepertiga dari volume eritrosit (Campbell, 1995). Hemoglobin di dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengikat oksigen, hal tersebut dikarenakan hemoglobin merupakan protein yang kaya akan zat besi. Selain itu peningkatan nilai hematokrit, juga akan diikuti oleh peningkatan kadar hemoglobin (Soetrisno, 1987).

Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblas kemudian dilanjutkan ke stadium retikulosit dalam sumsum tulang kemudian diteruskan sampai eritrosit matang. Jika eritrosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah maka akan tetap melanjutkan pembentukan sedikit hemoglobin selama beberapa hari atau sesudahnya (Schalm, 2010).

(8)

Sintesis hemoglobin sangat dipengaruhi oleh kadar besi (Fe) dalam tubuh karena besi merupakan komponen penting dalam pembentukan molekul heme (Guyton, 1997). Sintesis heme merupakan proses kompleks yang melibatkan beberapa langkah enzimatik. Biosintesis ini dimulai dalam mitokondria dengan kondensasi suksinil Co-A dan glisin untuk membentuk asam 5-aminolevulinic (ALA) (Soeharsono dkk, 2010). Molekul ini kemudian diangkut ke sitosol dimana serangkaian reaksi menghasilkan struktur cincin yang disebut

coproporphyrinogen III. Molekul ini kembali ke mitokondria dimana terdapat reaksi

tambahan yang menghasilkan protoporphyrin IX. Enzim ferrochelatase akan memasukkan besi ke dalam struktur cincin protoporfirin IX untuk selanjutnya memproduksi heme.

Hemoglobin merupakan pigmen darah yang akan mengalami peningkatan metabolisme dan pelepasan seiring dengan metabolisme tubuh. Biosintesis hemoglobin dimulai di dalam eritrosit dan berlangsung terus menerus mengikuti tahap-tahap selanjutnya dalam perkembangan eritrosit. Selama nukleus masih ada di dalam eritrosit, pembentukan hemoglobin akan terus berlangsung. Hemoglobin, hematokrit, dan eritrosit akan meningkat apabila hewan berada dalam kondisistres ataupun kondisinyaman karena dilepaskannya katekolamin (epineprin/norepineprin).

Dalam penelitian tampak bahwa ayam petelur yang dipelihara mengalami stres panas, kondisi ini merupakan keadaan yang tidak ideal bagi ayam petelur, karena penyesuaian fisiologis akan dilakukan dengan energi yang lebih tinggi guna mempertahankan kadar hemoglobin yang tetap normal. Glisin dan terutama methionine sebagai prekursor suksinil Co-A merupakan asam-asam amino penting dalam sintesis hemoglobin. Selaras dengan itu maka tampak bahwa ketika laju glukoneogenesis meningkat untuk pemenuhan energi (sebagai dampak peningkatan THI) maka asam-asam amino pembentuk hemoglobin (terutama glisin dan methionine) selain terlibat dalam lintasan siklus krebs untuk sintesis energi, juga dapat memenuhi prekursor pembentukan heme sebagai komponen hemoglobin (Andi Mushawwir, 2005).

SIMPULAN

Pengaruh nilai hematologisayam petelur fase layer pada THI yang rendah dengan THI yang tinggi tidak menunjukkan perbedaan yang dilihat dari jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin masih mampu dipertahankan dalam kisaran normal.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Mushawwir. 2005. Kondisi Hematologik Ayam Ras Pedaging yang Dipelihara dengan

Menggunakan Pemanas Induk Buatan yang Berbeda dan Penambahan Ferro Sulfat (FeSO4).Thesis. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

Atmadilaga. 1979. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Ternak dalam

Sistem Pembangunan Peternakan. Workshop Purna Sarjana Fakultas Ekonomi.

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Baldy, C. M. 1995.Phatology Fisiology. Penerbit Buku Kedokteran : Jakarta. 224 – 231. Campbell, T. W. 1995. Avian Hematology and Cytology.Iowa : Iowa State University Press. Cunningham, J. G. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Saunders Company, USA. Dawson, W.R., and G.C. Whittow. 2000. Regulation of Body Temperature. Pages 343 –

379 in Sturkie’s Avian Physiology. G. C. Whittow, ed. Academic Press, New York, NY.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi 4. Gajah Mada Press. Yogyakarta.

Guyton, A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC, Jakarta. Guyton, A. C. 1991. Fisiologi Kedokteran, Edisi ke-3. Penerjemah A. Dharma CV. EGC,

Jakarta.

Hernawan, E, D. Latifudin, A. Mushawwir. 2013. Fisiologi Produksi. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Meyer, D. J., and Harvey J. W. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation &

Diagnosis. Third edition. Saunders, USA.

Schmidt, W. and Nelson, B. 1990. Animal Physiology. Harper Collins Publisher, New York. Schalm, O. W. 2010. Vetenary Hematology. 6nd Edition.Lea and Febriger, Phidelpia.

Soeharsono, A. Mushawwir, E. Hernawan, L. Adriani, K. A. Kamil. 2010. Fisiologi Ternak

Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi, dan Interaksi Organ pada Hewan. Widya

Padjadjaran, Bandung.

Soetrisno. 1987. Diktat Fisiologi Ternak. Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto.

Sturkie, P. D. 1976. Blood : Physical Characteristics, Formed, Elements, Hemoglobin, and

Coagulan in Avian Physiology. Thirt Edition. Springer Verlag, New York.

Sujono, A. 1991. Nilai Hematokrit dan Konsentrasi Mineral dalam Darah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(10)

Swenson. M. J. 1984. Duke’s Physiology of Domestic Animals. 10th edition. Cornell University Press, London.

Swenson. M. J. 1977. Dukes Physiology of Domestic Animals, 9 th, Ed. Comstock Publishing Associate a Division of Cornell University Press. Ithaca, New York.

Swenson, M. J. 1970. Dukes Physiology of Domestic Animals, 8 th, Ed. Comstock Publishing Associates a Division of Cornell University Press. Ithaca. London.

Virden, W.S., M.S. Lilburn, J.P. Thaxton, A. Corzo, D. Hoehler and M.T. Kidd. 2007. The

Effect of Corticosterone-Induced Stress on Amino Acid Digestibility in Ross Broilers.

Poult. Sci. 86 : 338 – 342.

Von Borell, E.H. 2001. The biology of stress and its application to livestock housing and

transportation assessment. J. Anim Sci. 79, E260 – E267.

Wilson, B. J. 1981. Growth in Birds for Meat Production. In T. L. J. Laurence (ed). Growth in Animals. Butterworths, London Boston.

Gambar

Tabel 1. Rataan Data Pengamatan Status Hematologis

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah mendapatkan data gambaran jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks eritrosit pada

Skripsi yang berjudul : Jumlah Eritrosit, Hematokrit dan Kadar Hemoglobin Ayam Kampung Persilangan Akibat Penggunaan Tepung Azolla microphylla Difermentasi Pada

Data diperoleh dari hasil pengukuran nilai hematokrit, penentuan kadar hemoglobin, dan penghitungan total eritrosit pada ayam pedaging yang diberikan perlakuan kombinasi

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah mendapatkan data gambaran jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks eritrosit pada

Acum Jaya Abadi, Desa Sumur Wiru Kecamatan Cibeureum Kabupaten Kuningan, Jawa Barat pada bulan Oktober hingga bulan Nopember 2014, bertujuan untuk mengetahui

PENGARUH SUBSTITUSI RANSUM KOMERSIL MENGGUNAKAN TEPUNG DAUN SINGKONG TERFERMENTASI TERHADAP JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN, DAN KADAR HEMATOKRIT AYAM JOPER UMUR 8 MINGGU..

Data hasil pengamatan jumlah eritrosit dan nilai hematokrit itik cihateup fase grower yang diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titer antibodi terhadap penyakit Newcastle Disease (ND) pada ayam petelur fase layer I dan fase layer II pasca vaksinasi ND..