• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas

Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari kegemukan atau obesitas. Pada tahun 2003-2004, 32,9% orang dewasa berusia 20 -74 tahun mengalami obesitas dan lebih dari 17% remaja usia 12-19 tahun mengalami kelebihan berat badan atau overweight (Ogden et al., 2007).

Berdasarkan Global Health Observatory Data (2015), pada tahun 2008 terdapat 35% orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun dengan kelebihan berat badan atau overweight yang terdiri dari 34% pria dan 35% wanita. Pada tahun 2008, 10% pria dan 14% wanita di dunia mengalami obesitas, lebih tinggi dari tahun 1980 yang hanya 5% pria dan 8% wanita di dunia yang mengalami obesitas. Diperkirakan 205 juta pria dan 297 juta wanita di atas usia 20 tahun mengalami obesitas.

Di Indonesia hasil Riset Kesehatan Dasar oleh Balitbangkes Depkes RI (2013) menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa dengan skor IMT kategori

underweight sebesar 8,7%, overweight sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 15,4%. Prevalensi penduduk pria dewasa dengan kategori obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan tahun 2010 hanya 7,8%. Sementara, prevalensi obesitas wanita dewasa (>18 tahun) 32,9%. Jumlah ini meningkat 18,1% dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan 17,5% dari tahun 2010

(2)

yang hanya 15,5%. Data ini menunjukkan bahwa prevalensi obesitas wanita dewasa lebih tinggi daripada penduduk laki-laki.

2.2 Indeks Massa Tubuh (IMT) 2.2.1 Definisi IMT

IMT merupakan pengukuran yang membandingkan berat dan tinggi badan seseorang. Formula IMT digunakan di seluruh dunia sebagai alat diagnosis untuk mengetahui berat badan yang underweight, normal,

overweight dan obesitas (Theresia, 2012). Menurut WHO (2004), IMT adalah indeks sederhana untuk berat badan dan tinggi badan yang biasa digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa. Hal ini didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). IMT tidak dapat mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung seperti

underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn, 2009).

2.2.2 Klasifikasi IMT

IMT diklasifikasikan menjadi underweight, normal, overweight dan obesitas (Lailani, 2013). Berikut ini merupakan beberapa klasifikasi IMT. Tabel 2.1 Klasifikasi IMT dalam Riskesdas (Balitbangkes Depkes RI, 2013)

(3)

Kategori kurus IMT < 18,5 Kategori normal IMT ≥ 18,5 - < 24,9 Kategori BB lebih IMT ≥ 25,0 - < 27,0

Kategori obesitas IMT ≥ 27,0

Tabel 2.2 Klasifikasi IMT menurut WHO (WHO, 2004)

Klasifikasi Nilai

Obesitas >30.00

Overweight (kelebihan berat badan / gemuk)

25.00 – 29.99

Normal 18.5 – 24.99

Kurus < 18.5

Tabel 2.3 Klasifikasi IMT menurut Kriteria Asia Pasifik (Manik, 2011)

Klasifikasi IMT

Underweight < 18,5

Normal 18.5 – 22.9

Overweight 23,0 – 24.9

Obesitas > 25,0

2.2.3 Cara Pengukuran IMT

Dalam menentukan kriteria proporsi tubuh seseorang, IMT merupakan parameter yang paling banyak dipakai karena apabila dibandingkan dengan tabel tradisional yang membandingkan langsung tinggi badan/berat badan,

(4)

pengukuran dengan IMT berkorelasi kuat dengan jumlah lemak total dalam tubuh manusia yang menggambarkan berat seseorang.

Berdasarkan metode pengukuran IMT menurut WHO (2010), untuk menentukan indeks massa tubuh sampel maka dilakukan dengan cara sampel diukur terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan kemudian diukur tinggi badannya dan dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini:

Berat badan (Kg) IMT = [Tinggi badan (m)]2

Kemudian interpretasikan hasil IMT yang didapat ke dalam tabel klasifikasi IMT (Manik, 2011).

2.2.4 Overweight dan obesitas 1. Overweight

Metabolisme energi di dalam tubuh manusia diatur oleh berbagai faktor, baik yang menyebabkan meningkatnya penyimpanan energi, atau yang mendorong pemakaian energi (Meutia, 2005). Pemakaian energi tubuh diatur dalam keadaan seimbang. Bila energi yang masuk lebih besar dari energi yang keluar, kelebihan energi tersebut akan disimpan dalam jaringan lemak. Overweight didefinisikan sebagai peningkatan berlebihan jaringan lemak pada otot dan jaringan skeletal (Dorland, 2002). Secara ilmiah overweight terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari

(5)

yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidakseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini belum dapat dijelaskan secara pasti.

Overweight adalah keadaan yang hampir mendekati obesitas, seseorang dapat dinyatakan overweight apabila orang tersebut memiliki IMT ≥ 23. Selain itu, kondisi overweight juga lazim disebut dengan kondisi pre-obese

(WHO, 2010). 2. Obesitas

Obesitas merupakan kelainan dari sistem pengaturan berat badan yang ditandai oleh akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas didefinisikan sebagai keadaan di mana adanya peningkatan yang sangat berlebihan pada massa jaringan adiposa (lemak). Obesitas bisa disalahartikan sebagai peningkatan berat badan yang sangat berlebihan bagi kebanyakan masyarakat. Namun, konsep ini tidak begitu relevan karena konsep obesitas tidak bisa diambil akibat peningkatan berat badan semata-mata melainkan adanya peningkatan massa jaringan adiposa (Uwaifo, 2010). Obesitas tidak hanya dianggap masalah di negara berpenghasilan tinggi, tetapi sekarang jumlah penderita obesitas dan kegemukan semakin meningkat di negara berpenghasilan rendah dan menengah khususnya di perkotaan (WHO, 2010).

(6)

Penambahan berat badan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah kalori yang dikonsumsi dengan kebutuhan tubuh. Jika makanan yang dikonsumsi memiliki kalori lebih dari kebutuhan tubuh, maka kalori tersebut akan disimpan sebagai lemak. Pada awalnya, hanya ukuran sel-sel lemak yang akan meningkat. Tetapi apabila ukuran sel-sel tersebut tidak bisa lagi mengalami peningkatan, maka jumlah sel akan bertambah banyak. Apabila tubuh mengalami pengurangan berat badan, yang akan berkurang hanyalah ukuran sel-sel lemak, bukan jumlahnya yang berkurang mengakibatkan lemak akan mudah terbentuk kembali. Terdapat banyak penyebab obesitas. Ketidakseimbangan asupan kalori dan konsumsi bervariasi bagi tiap individu. Adapun faktor-faktor lain yang turut berkontribusi adalah genetik, emosional, lingkungan, jenis kelamin, usia, dan kehamilan. (Galletta, 2005).

1. Faktor genetik

Obesitas cenderung berlaku dalam keluarga. Ini disebabkan oleh faktor genetik, pola makan keluarga, dan kebiasaan gaya hidup. Walaupun begitu, mempunyai anggota keluarga yang obesitas tidak menjamin sesorang itu juga akan mengalami obesitas (Galletta, 2005).

2. Faktor emosional

Sebagian masyarakat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak karena depresi, putus asa, marah, bosan, dan banyak alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan rasa lapar. Ini tidak berarti bahwa penderita obesitas mengalami lebih banyak masalah emosional daripada

(7)

orang normal yang lain. Tetapi bukan berarti bahwa perasaan seseorang mempengaruhi kebiasaan makan dan membuat seseorang makan terlalu banyak. Dalam kasus yang jarang, obesitas dapat digunakan sebagai mekanisme pertahanan akibat tekanan sosial yang dihadapi terutama pada dewasa putri (Galletta, 2005).

3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang paling memainkan peranan adalah gaya hidup seseorang. Kebiasaan makan dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya. Makan terlalu banyak dan aktivitas yang pasif merupakan faktor resiko utama terjadinya obesitas (Galletta, 2005).

4. Faktor jenis kelamin

Rata-rata pria mempunyai massa otot yang lebih banyak dari wanita. Pria menggunakan kalori lebih banyak dari wanita bahkan saat istirahat karena otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipe-tipe jaringan yang lain. Dengan demikian, wanita lebih mudah bertambah berat badan berbanding pria dengan asupan kalori yang sama (Galletta, 2005).

5. Faktor usia

Semakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung kehilangan massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak tubuh. Kadar metabolisme juga akan menurun menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah (Galletta, 2005).

(8)

Pada wanita, berat badannya cenderung bertambah 4 – 6 kilogram setelah kehamilan dibandingkan dengan berat sebelum kehamilan. Hal ini bisa terjadi setiap dari kehamilan dan kenaikan berat badan ini mungkin akan menyebabkan obesitas pada wanita (Galletta, 2005).

2.3 Anatomi Biomeknik Pergelangan Kaki yang Terlibat dalam Gerakan Eversi Calcaneus

2.3.1 Anatomi

Regio pergelangan kaki berperan penting dalam aktivitas berjalan dan berlari terutama berperan dalam menumpu berat tubuh saat berdiri dengan pengeluaran energi otot yang minimum. Kaki juga berperan sebagai level struktural yang kaku pada gerakan tubuh ke depan saat berjalan ataupun berlari. Selain itu, kaki juga berperan sebagai adaptor saat kontak dengan permukaan yang tidak rata serta sebagai shock absorber terhadap tekanan yang dihasilkan saat kontak dengan permukaan tanah. Kaki dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian belakang kaki atau forefoot, yang terdiri dari

talus dan calcaneus; bagian tengah kaki atau midfoot, yang terdiri dari

navicular, cuneiforms, dan cuboid; dan bagian depan kaki, yang terdiri dari

metatarsal dan falang. Berikut ini adalah sendi-sendi pergelangan kaki yang

terlibat dalam gerakan eversi calcaneus. 1. Sendi subtalar

(9)

Sendi subtalar atau talocalcanea joint termasuk ke dalam sendi synovial plane joint yang dibentuk oleh permukan inferior talus dan

superior calcaneus. Talus dan calcaneus adalah tulang terbesar yang menahan beban di kaki dan membentuk hindfoot. Talus menghubungkan tibia dan fibula pada kaki dan disebut keystone kaki. Tidak ada otot yang melekat pada talus. Calcaneus menyediakan lengan momen untuk tendon

Achilles dan harus mengakomodasi dampak pembebanan besar saat heel

strike dan gaya tensile dari otot gastrocnemius dan soleus. Talus

berartikulasi dengan calcaneus di tiga lokasi yaitu di anterior, posterior,

dan medial, di mana permukaan konveks talus bersendi dengan permukaan

cekung pada calcaneus (Hammil dan Knutzen, 2009).

Sendi ini diperkuat oleh ligamen talocalcanea interosseus, talocalcanea posterior dan lateral serta dibantu oleh ligamen deltoideum

(ligamen calcaneotibial dan talotibial posterior) dan ligamen collateral lateral (ligamen calcaneofibular dan talofibular) (Anshar dan Sudayanto, 2011).

2. Sendi midtarsal (Sendi talonavicular dan sendi transversal tarsal)

Sendi midtarsal atau transversal tarsal joint merupakan gabungan dari 2 sendi yaitu sisi medial oleh talonavicular joint dan sisi lateral oleh

calcaneocuboid joint walaupun secara anatomis terpisah. Yang paling besar menstabilisasi sendi ini adalah ligamen calcaneocuboid (ligamen

(10)

dorsal, ligamen bifurcatum dan ligamen tibionavicular (bagian dari ligamen deltoideum) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

2.3.2 Biomekanik

Sendi pergelangan kaki memiliki 3 aksis utama seperti yang disajikan pada Gambar 2.1, yaitu :

1. Aksis transversalis : berjalan melalui kedua malleolus dan berhubungan dengan aksis ankle secara tepat. Aksis ini mengontrol gerakan fleksi dan ekstensi.

2. Aksis longitudinal tungkai : berjalan secara vertical dan mengontrol gerakan abduksi-adduksi.

3. Aksis longitudinal kaki : berjalan secara horizontal dan terletak pada bidang gerak sagital untuk mengontrol gerakan pronasi dan supinasi (eversi=telapak kaki menghadap ke bawah dan luar, inversi = telapak kaki menghadap ke bawah dan dalam / medial).

(11)

Gambar 2.1 Aksis pada sendi foot dan ankle (Alcocer, et al., 2012)

Berikut merupakan osteokinematika dan arthrokinematika dari sendi-sendi yang terlibat dalam gerakan eversi calcaneus.

1. Sendi subtalar

Sendi ini merupakan bentuk sendi plane non-axial yang hanya mengikuti gerakan yang terjadi pada transversal tarsal joint, tetapi sendi ini dapat digerakkan secara pasif yaitu gerakan inversi dan eversi subtalar joint (menggerakkan calcaneus ke arah medial dan lateral). Pada gerakan aktif pronasi dan supinasi, transversal tarsal joint bersama dengan subtalar joint bergerak secara simultan. ROM eversi calcaneus secara pasif adalah 00-50/100, sedangkan ROM inversi calcaneus secara pasif adalah 0o-200/300. Otot yang bekerja pada gerakan inversi adalah otot tibialis posterior, yang dibantu oleh tibialis anterior. Otot yang bekerja pada gerakan eversi adalah otot peroneus longus et brevis, yang dibantu oleh otot peroneus tertius. Adapun arthrokinematika dari sendi ini adalah :

a. Bagian bawah talus berbentuk konkaf sedangkan permukaan lawannya

(12)

b. Untuk menghasilkan gerakan angular (gerak fisiologis), maka

calcaneus yang konveks bergerak terhadap talus yang konkaf sehingga arah slide berlawanan arah.

c. Gerak angular dan arthrokinematikanya disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika sendi Subtalar

(Anshar dan Sudaryanto, 2011)

Gerakan Angular Arthrokinematika calcaneus terhadap talus

 Supinasi dengan inverse

 Pronasi dengan eversi

Lateral Medial

2. Sendi Midtarsal (sendi talonavicular dan sendi transversal tarsal)

Sendi talonavicular merupakan bagian dari sendi transversal tarsal

(Chopart’s joint) sehingga gerak fungsionalnya tidak terpisahkan satu sama lain. Sendi ini menghasilkan gerak aktif supinasi – pronasi dan inversi – eversi, serta gerak pasif abduksi – adduksi. Gerakan supinasi – pronasi merupakan gabungan dari beberapa gerakan. Gerakan supinasi dalam keadaan NWB (non weight-bearing) adalah gabungan gerakan inversi

calcaneus (varus), adduksi navicular, dan plantar fleksi talus. Sedangkan gerakan pronasi dalam keaadaan NWB (non weight-bearing) adalah gabungan gerakan eversi calcaneus (valgus), abduksi navicular, dan dorso fleksi talus. Berbeda halnya dalam keadaan weight-bearing, dimana

(13)

gerakan supinasi adalah gabungan gerakan inversi calcaneus (varus), abduksi (eksorotasi), dan dorsofleksi talus, serta eksorotasi tibiofibular.

Sedangkan, gerakan pronasi adalah gabungan gerakan eversi calcaneus

(valgus), adduksi (endorotasi), dan plantar fleksi talus, serta endorotasi

tibiofibular. Adapun arthrokinematika dari sendi ini adalah :

a. Caput talus berbentuk konveks dan bagian proksimalnya akan bersendi dengan permukaan navicular yang konkaf.

b. Untuk gerakan fisiologis kaki, tulang navicular akan slide ke dalam arah yang sama dengan forefoot (kaki bagian depan).

c. Pada saat closed kinematika, gerakan talus dan navicular akan berlawanan arah sehingga jika caput talus ke arah bawah dan rotasi

medial maka navicular akan slide ke dorsal dam rotasi lateral.

d. Gerak angular dan arthrokinematikanya disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematik sendi midtarsal

(Anshar dan Sudaryanto, 2011)

Gerakan Angular Arthrokinematika navicular terhadap caput talus

 Supinasi

 Pronasi

Plantar (dan medial) Dorsal (dan lateral)

(14)

2.4 Sudut Eversi Calcaneus

Eversi adalah gerakan pada bidang frontal di mana sisi lateral foot bergerak ke arah tungkai saat non weight-bearing atau tungkaibergerak ke arah foot saat weight-bearing. Sudut eversi calcaneus merupakan sudut yang dibentuk antara foot dan

calcaneus saat calcaneus bergerak ke arah lateral. Pronasi sendi subtalar yang berlebihan dievaulasi dengan melihat eversi calcaneus. Dalam gerakan closed-chain weight-bearing, talus bergerak terhadap calcaneus dan menghasilkan sebagian besar gerakan pronasi melalui berat badan yang bekerja pada talus. Sedangkan pada open-chain weight–bearing, calcaneus bergerak terhadap talus dan pronasi subtalar

dihasilkan melalui kombinasi gerakan eversi, abduksi dan dorsofleksi (Hammil dan Knutzen, 2009). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Adapun sudut eversi calcaneus normal adalah 00-50/100 secara pasif pada pergerakan subtalar joint. Saat eversi calcaneus berlebihan menyebabkan deformitas yang sering disebut hindfoot valgus (Hammil dan Knutzen, 2009). Sudut eversi

calcaneus maksimal yang di bentuk oleh tulang tibia dan calcaneus mencapai 120 (Gambar 2.3) (Guy, 2007).

(15)

Gambar 2.2 Atas : Open kinetic chain , bawah : close kinetic chain (Hammil dan Knutzen, 2009)

Gambar 2.3 ROM Sendi Subtalardari posisi netral (non weight-bearing) (Guy, 2007)

1.5 Otot Gastrocnemius

(16)

Otot gastrocnemius merupakan otot betis terbesar dan paling superfisial dari kelompok otot triceps surae. Adapun otot plantaris dan soleus

juga termasuk ke dalam grup otot ini yang mana menyatu pada tendon achiles

dan melekat pada bagian posterior dari calcaneus. Gastrocnemius adalah otot dengan dua head (medial dan lateral) yang sangat kuat yang mendominasi bagian belakang kaki (dapat dilihat pada Gambar 2.4). Medial dan lateral head

dapat dipalpasi dengan mudah dan membentang menuju bagian anterior dari

achiles tendon. Medial head berorigo pada posterior medial condyle femur. Lateral head berorigo pada posterior lateral condyle femur. Insersio dari otot ini terletak pada permukaan posterior dari calcaneus via achilles tendon. Otot

gastrocnemius diinervasi oleh nervus tibialis S2-S3 (Cael, 2010).

Gastrocnemius memiliki fast-twitch fibers, yang dapat direkrut dengan cepat namun mengalami kelelahan dengan cepat pula. Soleus merupakan otot sinergis dari gastrocnemius untuk melakukan gerakan plantar fleksi. Gerakan ini tergantung oleh posisi lutut. Jika lutut dalam posisi ekstensi (seperti ketika berdiri dari jongkok atau posisi melompat dari duduk), gastrocnemius yang lebih aktif. Jika lutut dalam posisi fleksi (seperti dengan santai berjalan atau berdiri statis), soleus lebih aktif (Cael, 2010).

(17)

Gambar 2.4 Otot Gastrocnemius (Drake et al., 2007)

2.5.2 Fisiologi Umum Otot Skeletal

Pada tubuh manusia terdapat sekitar 434 otot yang membentuk 40% - 45% dari berat tubuh sebagian besar orang dewasa. Sel otot tersusun oleh banyak myofibril yang terbuat dari molekul protein yang panjang (myofilamen), terdapat dua jenis myofilamen yaitu 1500 myofilamen tebal (myosin) dan 300 myofilamen tipis (aktin) yang mana akan membentuk sebuah pola. Miosin dan aktin membentuk sub-unit yang saling menyambung dalam myofibril yang disebut sebagai sarcomer. Dalam mikroskopis, daerah pinggir sarcomer lebih terang dengan tengah yang berwarna gelap. Daerah

(18)

terang disebut I-band karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan dan mengandung filamen aktin. Sedangkan daerah yang gelap disebut A-band karena bersifat anisotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan dan mengandung filamen myosin. Pada pusat A-band terdapat

H zone yang berisi filamen miosin. Selain itu terdapat Z-line yang memisahkan antar sarcomer (Gambar 2.5) (Guyton dan Hall, 2008).

Sel otot diselubungi oleh sebuah membran yang disebut sarcolemma.

Sarcolemma mengandung potensial membran yang dapat menghantarkan impuls ke otot, sehingga sel otot dapat berkontraksi. Di dalam sarcolemma

terdapat lubang yang disebut transverse tubulus, dan berhubungan dengan

sarcoplasmic reticulum. Sarcoplasmic reticulum berfungsi sebagai tempat penyimpanan ion kalsium. Struktur yang terletak di antara sarcoplasmic reticulum dan cytoplasma sel otot disebut sarcoplasma. Pada sarcoplasma

terjadi pemompaan ion kalsium. Hal ini akan terjadi jika terdapat impuls saraf pada sarcoplasmic reticulum yang dapat membuka membran, sehingga ion kalsium menuju sarcoplasma dan mempengaruhi myofibril untuk berkontraksi (Anggraeni, 2013). Struktur otot skeletal dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut.

(19)

Gambar 2.5 Struktur Otot Skeletal (Guyton and Hall, 2008)

Selama terjadi kontraksi pada otot, filamen aktin yang tipis dari salah satu ujung sarkomer akan slide satu sama lain. Dalam mikroskopik terlihat,

Z-line bergerak ke arah A-bands untuk mempertahankan ukuran awalnya, sementara I-bands menjadi sempit dan H-zone menjadi hilang seperti Gambar 2.6. Proyeksi dari filamen myosin disebut dengan cross-bridge yang membentuk hubungan fisik dengan filamen aktin selama kontraksi otot (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

Pada saat relaksasi otot, tidak ada impuls saraf yang melalui end plates. Hal ini akan mengakibatkan tidak adanya ion kalsium yang masuk ke dalam cytoplasma sel karena pintu untuk kalsium masuk menjadi tertutup.

(20)

Kalsium akan kembali mengalir masuk dalam sarcoplasmic reticulum, aliran ini akan menjadikan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomyosin kembali normal dan memutuskan hubungan antara kepala miosin dengan aktin. Ketika kepala miosin tak lagi berhubungan dengan aktin maka tak ada pergeseran molekul yang terjadi dan otot menjadi relaks (Maruli, 2013).

Gambar 2.6 Sliding filament aktin dan myosin saat kontraksi dan relaksasi otot (Guyton and Hall, 2008)

Kontraksi otot melibatkan dua proses pada serabut otot yang terdiri atas depolarisasi sarcoplasma karena adanya interaksi asetilcolin dengan reseptornya dan adanya power stroke dari protein kontraktil otot. Melekatnya

asetilcolin dengan reseptornya menyebabkan terbukanya kanal natrium pada membran plasma sel otot sehingga terjadi aktivitas listrik yang menjalar hingga ke struktur T-tubulus. Adanya aktivitas listrik menyebabkan struktur

(21)

protein dihidropiridin yang sensitif terhadap stimulasi elektrik menjadi berubah, sehingga kanal-kanal kalsium pada ujung lateral reticulum sarcoplasmic yang ditutupinya menjadi terbuka (Tortora, 2009).

Terbukanya kanal kalsium menyebabkan ion kalsium yang tersimpan pada reticulum sarcoplasmic keluar menuju ke sarkoplasma dan berikatan pada troponin di serabut halus. Setelah berikatan, struktur troponin akan berubah sehingga mengekspos myosin binding space seperti pada Gambar 2.7 (Tortora, 2009).

Pada saat yang bersamaan, kepala myosin yang sudah teraktivasi melalui energi yang dihasilkan oleh hidrolisis ATP, akan berikatan pada aktin dan menyebabkan terjadinya power stroke, yaitu terjadinya penarikan molekul aktin mendekati garis M pada sarkomer otot (Tortora, 2009).

Hidrolisis ATP yang akan menghasilkan ADP+Pi (fosfat anorganik), dimana ADP akan melekat pada kepala myosin hingga akhir dari power stroke kemudian terlepas dan posisinya akan digantikan oleh molekul ATP yang baru. Melekatnya molekul ATP yang baru akan menyebabkan terjadinya pelepasan kepala myosin dari aktin dan siklus ini terus berulang pada serabut yang tebal pada otot (Tortora, 2009). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.8.

(22)

Gambar 2.7 Mekanisme terbukanya myosin binding site (Tortora, 2009)

Proses kontraksi otot tidak terjadi secara sinkron, yaitu ketika beberapa kepala myosin berikatan pada aktin, yang lainnya akan terlepas. Hal ini memungkinkan terjadinya pemendekan sarkomer yang optimal, dimana terdapat beberapa kepala myosin yang melanjutkan proses power stroke yang telah terjadi sebelumnya, tanpa menyebabkan pemanjangan kembali dari sarkomer (Tortora, 2009).

(23)

Gambar 2.8 Mekanisme power stroke (Tortora, 2009)

Relaksasi otot terjadi ketika tidak adanya ikatan asetilcolin dengan reseptornya, menyebabkan tidak adanya potensial listrik yang menyebabkan lepasnya kalsium tambahan dan protein Ca-ATPase memompakan kalsium kembali kedalam reticulum sarcoplasmic. Tidak adanya kalsium menyebabkan troponin kembali pada posisi awalnya menutupi myosin binding site pada aktin (Tortora, 2009).

Pemendekan sarkomer akibat adanya ikatan antara myosin dan aktin menyebabkan terjadinya ketegangan pada serabut otot yang bersangkutan. Ketegangan ini akan diteruskan pada bagian jaringan ikat yang tidak ikut serta dalam proses kontraksi. Ketegangan dari otot dipengaruhi oleh banyak serabut otot yang ikut berkontraksi dan ketegangan dari tiap serabut otot yang berkontraksi (Tortora, 2009).

(24)

Banyak serabut otot ditentukan oleh seberapa besar kekuatan otot yang diperlukan, jika semakin besar kekuatan otot yang diperlukan maka akan semakin banyak motor unit yang akan direkrut untuk ikut serta oleh kontrol persarafan pusat. Ketegangan tiap serabut otot dipengaruhi oleh frekuensi rangsangan saraf pada otot dan panjang otot sebelum kontraksi.

Ada dua cara frekuensi saraf yang tinggi dapat meningkatkan ketegangan otot. Pertama, tembakan potensial aksi kedua yang terjadi sebelum siklus kontraksi otot selesai akan menambah kembali jumlah kalsium didalam sel. Kadar kalsium yang tinggi kembali memungkinkan untuk terbukanya

myosin binding space yang terdapat pada aktin. Kedua, otot memiliki sifat elastis yang akan kembali lagi ke bentuk awalnya setelah kontraksi. Tetapi jika mendapat potensial aksi selanjutnya sebelum terjadi hal itu, maka ketegangan otot akan bertambah dengan adanya tegangan residual dari kontraksi sebelumnya.

Panjang serabut otot yang optimal memungkinkan terjadi keluaran tenaga yang maksimal. Hal ini didukung oleh adanya length-tension relationship seperti yang disajikan pada Gambar 2.9yang menyatakan bahwa apabila panjang serabut otot menjadi lebih pendek atau panjang dari optimal maka akan terjadi penurunan dari keluaran tenaga otot tersebut, karena akan terjadi ikatan antara molekul aktin dan myosin yang tidak maksimal.

(25)

Gambar 2.9 Length-tension Relationship (Hansen dan Koeppen, 2002)

2.5.3 Ekstensibilitas

Ekstensibilitas adalah kemampuan otot untuk terulur (Anshar dan Sudaryanto, 2011). Menurut Cael (2010), ekstensibilitas adalah kemampuan otot untuk meregang tanpa mengalami kerusakan. Sifat ini memberikan kesempatan otot untuk memperpanjang diri saat rileks. Hal ini penting karena otot biasanya bekerja dalam arah yang berlawanan karena mereka menghasilkan gerakan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan pada sendi. Jika salah satu otot memendek, otot harus kembali rileks dan memperpanjang diri untuk memungkinkan sendi bergerak dalam arah yang

(26)

dituju . Pada otot yang mengalami ketegangan maka kemampuan ekstensibilitasnya akan menurun karena sarkomer otot turut memendek.

2.6 Dampak IMT Kategori Overweight dan Obesitas terhadap Eversi Calcaneus dan Ekstensibilitas Gastrocnemius

Overweight dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hiperpronasi calcaneus. Dengan adanya kelebihan berat badan maka gaya yang ditransmisikan ke medial semakin besar serta berat badan masih pada hindfoot dan

midfoot bagian proksimal sehingga terjadi pronasi berlebihan dari calcaneus. Masalah biomekanik yang berkaitan dengan sebab dan akibat dari hiperpronasi dapat dilihat pada Gambar 2.10 (Stovitz dan Coetzee, 2004).

Secara biomekanik, peristiwa pemicu hiperpronasi dapat dilihat dari posisi

talus. Meskipun reaksi kinetic-chain terjadi dari hip ke kaki, namun hubungan saling tergantung dari talus, calcaneus, dan navicular sangat penting. Titik kunci adalah bahwa talus tidak hanya berada di atas calcaneus, melainkan diposisikan anterior dan medial dari calcaneus. Talus tidak memiliki lampiran tendon dan dengan demikian tergantung pada support statis di sekitar ligamen dan tulang. Malposisi dari satu tulang mempengaruhi bagian proksimal ataupun distal dari tulang tersebut (Stovitz dan Coetzee, 2004).

Posisi calcaneus sangat ditentukan oleh tendon Achilles. Tendon Achilles

masuk ke calcaneus sedikit lateral dari midline. Achilles yang rapat tidak hanya menimbulkan plantar fleksi, tetapi juga eversi ke calcaneus. Kedua hal ini merupakan

(27)

hasil force medial pada talus ke bawah dan ke medial menuju navicular (Stovitz dan Coetzee, 2004).

Gambar 2.10 Sebab-akibat hyperpronation (Stovitz dan Coetzee, 2004)

Saat stance phase, pada posisi mid stance salah satu kaki akan menerima transfer berat badan sepenuhnya seperti pada Gambar 2.11 (Cael, 2010). Dengan adanya perpindahan berat badan ini, maka kaki akan mengkompensasi dengan gerakan pronasi calcaneus untuk meredam impact berat badan serta menjaga stabilitas kaki. Pada posisi weight bearing, gerakan eversi calcaneus dibarengi dengan gerakan plantar fleksi yang digerakkan oleh otot gastrocnemius yang berinsersio di bagian posterior dari calcaneus. Calcaneus mengakomodasi dampak pembebanan yang berlebih saat heel strike dan gaya tensile dari otot gastrocnemius. Dengan adanya penambahan berat badan, maka terjadi peningkatkan beban otot untuk menjaga stabilitas sendi sehingga ketegangan otot gastrocnemius akan meningkat dan

(28)

semakin banyak sarkomer yang memendek. Pemendekan sarkomer akibat adanya ikatan antara myosin dan aktin menyebabkan terjadinya ketegangan pada serabut otot yang bersangkutan. Ketegangan ini akan diteruskan pada bagian jaringan ikat yang tidak ikut serta dalam proses kontraksi. Ketegangan dari otot dipengaruhi oleh banyak serabut otot yang ikut berkontraksi dan ketegangan dari tiap serabut otot yang berkontraksi (Tortora, 2009). Hal tersebut dapat mengganggu kemampuan terulurnya otot yang memungkinkan sendi bergerak dalam arah yang dituju.

(29)

2.7 Pengukuran Sudut Eversi Calcaneus dan Ekstensibilitas Gastrocnemius 2.7.1 Pengukuran Sudut Eversi Calcaneus

Sebelum melakukan intervensi pada pasien dengan keluhan pada kaki , seorang fisioterapis perlu melakukan evaluasi. Pemeriksaan yang sesuai dengan kondisi ini adalah mengetahui posisi subtalar joint neutral (STJN). Posisi STNJ dapat diukur dengan pengukuran ROM eversi calcaneus dengan non weight-bearing. Adapun prosedurnya adalah :

1. Subjek diposisikan tidur tengkurap dengan sebagian bawah betis ada di tepi alas/bed,

2. jangka sorong atau sliding calipers digunakan untuk mencari titik tengah dari betis dan calcaneus kemudian tarik garis tengah hingga 1/3 posterior betis,

3. sudut eversi dari calcaneus diukur dengan menggunakan goniometer, 4. aksis goniometer diletakkan di antara malleolus pada bidang frontal,

5. satu lengan goniometer diletakkan di atas garis tengah pada betis bagian posterior tadi kemudian lengan goniometer satunya digerakkan sesuai titik tengah dari

(30)

Gambar 2.12 Pengukuran posisi subtalar joint neutral (eversi calcaneus) (Elveru et al., 1988)

(31)

2.7.2 Pengukuran Ekstensibilitas Gastrocnemius

Pengukuran ekstensibilitas gastrocnemius dilihat dari pengukuran

gastrocnemius muscle tightness melalui pengukuran Range Of Motion (ROM) dorsofleksi ankle dengan posisi knee ekstensi. Adapun prosedurnya sebagai berikut : 1. Subjek diposisikan tidur tengkurap dan sebuah spidol digunakan untuk member

tanda titik pada fibular head, lateral malleolus, basis tuberositas metatarsal V dan

head metatarsal V,

2. lengan goniometer diletakkan sepanjang aksis fibula dengan berpatokan pada tanda titik di fibular head dan lateral malleolus,

3. gerakkan lengan goniometer kemudian letakkan secara paralel menuju sisi lateral dari kaki dengan berpatokan pada tanda titik di basis dan head metatarsal V, 4. aksis goniometer tetap diletakkan pada sisi lateral kaki. Posisi nol dari dorsofleksi

terletak pada sudut 900 antara panjang aksis fibula dan sisi lateral dari kaki,

5. kemudian pengukuran dapat dimulai hingga subjek mampu melakukan dorsofleksi maksimum (Masaun et al., 2009).

(32)

2.8 Masalah Muskuloskeletal yang dapat ditimbulkan oleh Hiperpronasi Subtalar

2.8.1 Medial Tibial Stress Syndrome (MTTS)

Medial Tibial Stress Syndrome(MTTS) adalah overuse injury ataupun

repetitive injury pada area tulang kering. Dampak stress pada tibia serta jaringan otot sekitarnya terjadi karena ketidakmampuan dalam merespon kontraksi otot berulang. Stres pada tibia dikaitkan dengan perubahan biomekanikal kaki, kesalahan dalam latihan, dan riwayat cidera sebelumnya. Tibialis posterior dan soleus yang berperan mengontrol pronasi turut berkontribusi dengan terjadinya MTTS (Monaro, 2013). Saat hiperpronasi, tibialis posterior akan mengalami kelemahan sehingga tidak mampu merespon kontraksi berulang saat peningkatan stress pada tibia.

2.8.2 Patelofemoral Pain Syndrome (PFPS)

Patelofemoral Pain Syndrome adalah sindrom nyeri retropatellar atau peripatellar tanpa adanya patologi lainnya seperti tendinopati patella, insufisiensi ligamen dan masalah internal sendi. Nyeri paling sering diperparah oleh aktivitas yang meningkatkan stress pada patelofemoral joint

seperti berlari dan jongkok. Faktor instrinsik yang mempengaruhi nyeri pada PFPS ini seperti IMT, lingkungan, dan alas kaki. Faktor instrinsik yang mempengaruhi nyeri pada PFPS ini seperti control neuromuscular quadriceps,

(33)

tibia/pronasi subtalar. Pronasi berlebihan menyebabkan internal rotasi tibia terhadap femur lebih besar sebagai akibat kopling sendi. Hal ini akan menyebabkan valgus lutut lebih besar dan stres lebih besar pada sendi patellofemoral lateral (Tiberio, 1987).

2.8.3 Mechanical Low Back Pain (MLBP)

Mechanical Low Back Pain adalah nyeri punggung bawah yang ditandai dengan adanya peningkatan nyeri saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (Karnath, 2003). Nyeri punggung bawah mekanis, yaitu timbul tanpa kelainan struktur anatomis seperti otot atau ligamen, atau timbul akibat trauma, deformitas, atau perubahan degeratif pada suatu struktur misalnya diskus intervertebralis. Slah satu faktor pencetus MLBP adalah

musculoskeletal pain syndromes seperti adanya myofascial pain syndromes

dan fibromyalgia. Nyeri myofascial ditandai dengan adanya nyeri dan kebas pada area lokal (trigger points), keterbatasan luas gerak sendi yang melibatkan kelompok otot, distribusi nyeri menjalar pada saraf perifer. Penurunan nyeri biasanya terjadi ketika kelompok otot diulur (Perina, et al.,

Gambar

Tabel 2.2 Klasifikasi IMT menurut WHO (WHO, 2004)
Tabel 2.4 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika sendi Subtalar   (Anshar dan Sudaryanto, 2011)
Tabel  2.5  Hubungan  gerak  angular  dengan  arthrokinematik  sendi  midtarsal  (Anshar dan Sudaryanto, 2011)
Gambar 2.2 Atas : Open kinetic chain , bawah : close kinetic chain  (Hammil dan  Knutzen, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

“Menurut Muzafer Sherif, ciri –ciri dari kelompok sosial adalah mempunyai dorongan/motive yang sama dari setiap individu dalam hal ini adalah embrio komunitas punk

Pengelompokan Berdasarkan Nilai Investasi (NI) Pengelompokan berdasarkan nilai investasi dengan menghitung jumlah pemakaian dikalikan harga rata-rata obat selama periode

Dalam gambar Tuak yang digambar oleh Arkan terdapat objek: satu telor besar yang bentuknya tidak bulat, tiga telor yang besarnya sedang berada di tengah, lima telor yang kecil

partisipasi (peran serta) karyawan merupakan sebuah proses dimana individu mengambil bagian dalam pengambilan keputusan dalam sebuah institusi, program, dan lingkungan yang

Model Stimulasi Kecerdasan Visual Spasial Dan Kecerdasan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Metode Kindergarten Watching Siaga Bencana Gempa Bumi Di Paud

regression dengan kolom three way interaction menunjukkan bahwa efek menurunnya kepuasan kerja akibat adanya peningkatan konflik peran tersebut dapat dikendalikan oleh

:يه ثحبلا اذه نم فادهأ امأو لمعت تيلا ءاسملاا نمضتت تيلا تايآ ةفرعلم يمركلا نآرقلا نم ةرقبلا ةروسلا في في لعفلا لمع و ، اهتلمع تيلا لعفلا

Surat berharga yang dijual dengan janji dibeli kembali (repo ) Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo ) LAPORAN KEUANGAN NERACA BANK POS