• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. (Association of South East Asian Nations). Deklarasi ini menjadi penanda lahirnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. (Association of South East Asian Nations). Deklarasi ini menjadi penanda lahirnya"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Deklarasi Bangkok, 8 Agustus 1967, merupakan awal berdirinya ASEAN (Association of South East Asian Nations). Deklarasi ini menjadi penanda lahirnya sebuah organisasi antarnegara yang beranggotakan negara-negara di sebuah wilayah regional, Asia Tenggara. Deklarasi ini ditandatangani di Bangkok, Thailand, yang diwakilkan oleh lima wakil negara/pemerintahan negara-negara Asia Tenggara, yaitu para Menteri Luar Negeri Indonesia – Adam Malik, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional Malaysia – Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri Filipina – Narciso Ramos, Menteri Luar Negeri Singapura – S. Rajaratnam, dan Menteri Luar Negeri Thailand – Thanat Khoman melakukan pertemuan dan menandatangani Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration). Keanggotaan ASEAN kemudian berkembang menjadi sepuluh negara anggota dengan masuknya Brunei Darusalam (1984), Vietnam (1995), Laos (1997), Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). 1

Sejarah berdirinya ASEAN berlatar belakang historis, persamaan nasib, dan kondisi geo-politik dunia pada saat itu. Adanya perang dingin antara blok barat

1 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (DEPLU RI), ASEAN Selayang Pandang,

(2)

dan blok timur, konflik internal yang timbul di negara-negara ASEAN serta ketegangan yang terjadi antara negara-negara ASEAN, telah menyadarkan para pemimpin negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kerjasama di antara mereka.2

Organisasi ini bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, dan membentuk kerjasama di berbagai bidang kepentingan bersama.Lambat laun organisasi ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan di bidang politik dan ekonomi, seperti disepakatinya Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971. Deklarasi ini lahir karena didorong oleh keinginan kuat untuk meningkatkan otonomi ASEAN sebagai organisasi regional yang mandiri dan tidak dikendalikan oleh kekuatan di luar kawasan ASEAN.3

Pembentukan ASEAN pada awalnya tidak ditujukan untuk membuat sebuah organisasi supranasional yang memiliki kepentingan berbeda dari anggota-anggotanya. Mantan Sekjen ASEAN, Rodolfo Severino Jr, dalam sebuah pidatonya di Universitas Sydney, Australia tahun 1998, menyatakan:

“Pendirian ASEAN pada tahun 1967 dimaksudkan untuk ASEAN menjadi sebuah asosiasi semua negara di Asia Tenggara bekerja sama secara sukarela untuk kebaikan bersama, dengan perdamaian, dan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi tujuannya. ASEAN bukan, dan tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sebuah entitas supranasional para anggotanya

2

Hilton Tarnama Putra dan Eka An Aqimuddin, Mekanisme Penyeselaian Sengketa di ASEAN Lembaga dan Proses, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm 26.

3 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,

(3)

bertindak secara independen, tidak memiliki parlemen regional atau dewan menteri dengan kekuatan membuat hukum, tidak ada sistem peradilan” 4 Pencapaian terbesar ASEAN selama kurang lebih empat puluh tahun sejak terbentuk sebagai organisasi internasional regional adalah kemampuannya untuk memelihara keamanan dan perdamaian di kawasan5 dan hal itu masih berlanjut hingga kini. Salah satu tujuan ASEAN dibentuk adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan regional sesuai dengan Deklarasi Bangkok 1967. Meskipun stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan terwujud namun hal itu tidak dapat diartikan bahwa kawasan Asia Tenggara benar-benar bersih dari sengketa.

Sejak dibentuknya ASEAN pada tahun 1967, organisasi tersebut terlihat menghindari pembahasan isu-isu seperti politik, keamanan dan hukum. Fakta demikianlah yang membuat ASEAN dianggap tidak mampu mewakili kepentingan para negara-negara anggotanya. Selain permasalahan internal tersebut, ASEAN juga dipengaruhi oleh geo-politik global dimana China dan India berkembang menjadi kekuatan yang luar biasa di Benua Asia bahkan dunia.

ASEAN sendiri baru memiliki mekanisme penyelesaian sengketa secara formal setelah berlangsungnya KTT Pertama ASEAN di Bali tahun 1976. Hasil signifikan dari KTT pertama tersebut adalah terciptanya Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). TAC merupakan sebuah babak baru bagi ASEAN karena mengatur prinsip-prinsip dasar hubungan sesama negara anggota serta prosedur bagaimana menyelesaikan sengketa antara negara anggotanya

4

Rodolfo Severino, Asia Policy Lecture : What ASEAN Is and What It Stands For, The Research Institute for Asia and the Pacific, University of Sydney, Australia, 22 October 1998.

5 Mely Caballero-Anthony, Mechanism of Dispute Settlement: The ASEAN Experience,

(4)

melalui mekanisme formal-institusional. TAC sangat penting artinya bagi ASEAN sehingga sering disebut sebagai wujud dari nilai-nilai global yang mendasari pembentukan organisasi regional.6

Nilai penting yang terdapat dalam TAC adalah dicantumkannya prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh negara anggota ASEAN dalam melaksanakan kerjasama dan persahabatan antara satu sama lain. Selain prinsip-prinsip dasar, TAC juga memuat klausul tentang bagaimana sengketa yang timbul diantara negara peserta harus diselesaikan. Dengan diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa maka ASEAN telah memiliki prosedur hukum formal dalam penyelesaian sengketa. Aktor yang terlibat dengan ASEAN juga semakin heterogen, mulai dari negara non-ASEAN hingga organisasi internasional.Perkembangan yang semakin luas itulah yang pada akhirnya membutuhkan penguatan ASEAN secara kelembagaan. Penguatan ini dapat dicapai dengan menguatkan aturan main dalam organisasi.

Kerjasama dalam bidang ekonomi misalnya, ASEAN berhasil membuat mekanisme penyelesaian sengketa pada tahun 1996 yaitu Protocol on Dispute Settlement Mechanism, Manila, 20 November 1996 yang diperbaharui dengan

ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism, Vientiane, 29 November 2004 dengan adanya mekanisme tersebut diharapkan sengketa ekonomi yang terjadi dapat diselesaikan secara formal-institusional oleh ASEAN.

Selain Protocol on Dispute Settlement Mechanism 1996 dan Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism 2004 terdapat instrumen ASEAN yang

6

(5)

mengatur penyelesaian sengketa yaitu Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II), yang dimana di dalam Bali Concord II ini pula dinyatakan bahwa ASEAN akan memperkuat organisasi dengan membentuk tiga pilar komunitas, yaitu Politik-Keamanan, Ekonomi, dan Sosial Budaya.7

Perkembangan yang cukup penting adalah lahirnya Piagam ASEAN tahun 2007 setelah hampir empat puluh tahun pembentukannya. Latar belakang lahirnya Piagam ASEAN tidak dapat dihindarkan dari serangkaian kesepakatan yang telah dibuat secara sadar oleh para pemimpin ASEAN. Meskipun hanya dianggap sebagai pengulangan instrumen-instrumen ASEAN sebelumnya, kehadiran Piagam ASEAN sangat penting karena terdapat penegasan bahwa ASEAN ingin menjadi sebuah organisasi yang berdasarkan hukum (rules-based organization).8 Piagam ASEAN mempunyai satu bab yang sangat penting mengenai penyelesaian sengketa yaitu Bab VIII terdiri dari tujuh pasal (Pasal 22-28). Bab ini menjadi penting sebagai penegasan salah satu prinsip yang dianut oleh negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan sengketa antara mereka melalui cara-cara damai.9

Mekanisme penyelesaian sengketa sebelum adanya Piagam ASEAN tersebar dalam perjanjian-perjanjian tertentu.10 Piagam ASEAN lahir untuk menjadi alas serta mengharmonisasikan beragam mekanisme yang ada sehingga dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dengan adanya Piagam ASEAN ini diharapkan negara anggota ASEAN akan lebih mendayagunakan organisasi untuk dapat membantu menyelesaikan sengketa-sengketa yang ada atau potensial untuk timbul.

7

Declaration of ASEAN Concord II, Poin 1.

8 Hilton Tarnama Putra dan Eka An Aqimuddin, op.cit., hlm 37. 9 Pasal 2 butir d dalam Piagam ASEAN 2007.

10

(6)

Keperacayaan diri negara anggota ASEAN akan tumbuh seiring dengan adanya kehendak eksplisit yang tercantum dalam Piagam bahwa ASEAN hendak memperkuat diri dengan menjadikan hukum sebagai fondasi dasar organisasi.

Setelah kehadiran piagam ASEAN akan mengurangi keengganan dari negara anggotanya sendiri untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hukum. Meskipun pengaturan penyelesaian sengketa dalam Piagam tidak terlalu detail, namun dengan adanya bab tersendiri mengenai mekanisme penyelesaian sengketa akan menjadikan dasar acuan bagi mekanisme penyelesaian sengketa yang telah ada selama ini.

Instrumen penyelesaian sengketa yang terdapat dalam ASEAN diharapkan bisa terus menjaga perdamaian dan kestabilan di wilayah ASEAN. ASEAN sampai saat ini telah berperan dalam kasus-kasus yang terdapat di wilayah ASEAN, seperti dalam kasus invasi Vietnam ke Kamboja,11 konflik ini terjadi antara Republik Sosialis Vietnam dan Kamboja. Konflik ini dimulai dengan invasi dan pendudukan Vietnam terhadap Kamboja dan penurunan Khmer Merah dari kekuasaan.

Invasi dan pendudukan Vietnam ke Kamboja yang dilakukan pada akhir tahun 1978 merupakan peristiwa yang begitu mengejutkan baik bagi Kamboja sendiri maupun dunia internasional khususnya ASEAN. Hal ini terjadi karena ASEAN pada saat itu sedang mengusung gagasan ZOPFAN yaitu suatu upaya dalam

11

(7)

rangka memelihara perdamaian, keamanan, kedaulatan, dan kemerdekaan di kawasan Asia Tenggara serta bebas dari campur tangan pihak luar.12

Tahun 1975 hingga 1979 merupakan masa-masa kelam bagi rakyat Kamboja ketika pemerintahan dikuasai Pol Pot dibawah rezim Khmer Merah. Khmer Merah menduduki tampuk kekuasaan setelah berhasil menggulingkan Republik Khmer yang dipimpin Lon Nol pada 17 April 1975.13 Jatuhnya rezim Lon Nol memberikan secercah harapan baru bagi penduduk Kamboja untuk mencapai kedamaian setelah terjebak dalam perang saudara sejak 1967. Namun kenyataannya, rezim Pol Pot dengan kebijakannya justru menambah panjang penderitaan rakyat.14

Khmer Merah diawal memegang pemerintahan, memerintahkan seluruh penduduk lebih dari dua juta penduduk meninggalkan kota menuju pedesaan dalam rangka Revolusi Agraria untuk tinggal dan bekerja di pedesaan sebagai petani. Hal ini dikarenakan kota-kota besar dianggap sebagai basis dari kaum aristokrat dan penghambat revolusi. Dalam relokasi paksa ini, anggota keluarga harus dipisahkan dari satu sama lain antara orang tua dan anaknya untuk dikirim secara terpisah ke berbagai pedesaan untuk diperas tenaganya sampai meninggal dunia karena kelelahan atau sakit. Pemerintahan Pol Pot yang mengusung konsep Marxisme-Leninisme melakukan percobaan radikal untuk menciptakan utopia agrarian dengan menyatakan konsep “Year Zero”. Pol Pot dan Khmer Merah

12 Nasution et al., Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja. Phnom Penh,

Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2002, hlm 95.

13http://www.cambcomm.org.uk/holocaust.html diakses pada tanggal 18 Februari 2014. 14

Sydney Schanberg. Kamboja. Dalam Kenneth Anderson, Kejahatan Perang: Yang harus diketahui public, PJTV-Internews Europe, 2004, hlm 73, sebagaimana dikutip http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/01/17/konflik-kamboja-rezim-pol-pot-khmer-merah-431731.html dikutip pada tanggal 18 Februari 2014.

(8)

mengklaim bahwa Kamboja mampu menciptakan tatanan sosialis murni yang berdiri sendiri melalui produktivitas petani dengan mengatakan :

“Kami membuat sebuah revolusi yang unik, Apakah ada negara yang berani menghapuskan uang dan pasar seperti cara yang kami miliki ? Kami adalah model yang baik bagi seluruh dunia.”

Konsep “Year Zero” merupakan kebijakan yang dijalankan oleh negara komunis Kamboja untuk melakukan revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu periode.15 Rezim Pol Pot sangat kritis terhadap oposisi maupun kritik politik; ribuan politikus dan pejabat dibunuh, dan Phnom Penh pun ikut berubah menjadi kota hantu yang penduduknya banyak yang meninggal akibat kelaparan, penyakit atau eksekusi. Ranjau-ranjau disebarkan secara luas ke seluruh wilayah pedesaan.

Kebijakan Pol Pot mendorong invasi Vietnam pada tahun 1978 yang dilatarbelakangi pembantaian terhadap puluhan ribu warga keturunan Vietnam di Kamboja serta perlakuan tidak manusiawi terhadap para anggota partai komunis pro Vietnam yang membantu menumbangkan rezim Lon Nol kala itu.16 Disamping itu, sebagai serangan balasan atas tindakan Pol Pot yang menyerang wilayah Vietnam.17 Kebijakan Pol Pot tersebut dianggap melewati batas toleransi sehingga memaksa Vietnam menyerang pemerintahan Pol Pot guna menyelamatkan rakyatnya. Pada bulan 25 Desember 1978, Vietnam menyerang

15

http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot/ dipublibkasikan pada 29 Desember 2010 dikutip pada tanggal 18 Februari 2014.

16 “Sejarah Bangsa yang Diwarnai Pertumpahan Darah.” Suara Pembaruan, 25

November 1991. Hal 32, sebagaimana dikutip dalam http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/01/17/konflik-kamboja-rezim-pol-pot-khmer-merah-431731.html dikutip pada tanggal 18 Februari 2014.

17

(9)

wilayah Kamboja dengan bala kekuatan sekitar 200.000 pasukan. Klimaksnya pada tanggal 10 Januari 1979, intervensi Vietnam secara resmi mengambil alih tampuk pemerintahan di Kamboja danmendirikan People’s Republic of

Kampuchea (PRK) yang dipimpin Heng Samrin.18

Jumlah korban jiwa pada saat kekuasaan Pol Pot dan invasi Vietnam ke Kamboja masih dipertentangkan. Sumber-sumber yang dapat dipercaya dari pihak Barat menyebut angka 1,6 juta jiwa, sedangkan sebuah sumber yang spesifik, seperti jumlah tiga juta korban jiwa antara 1975 dan 1979, diberikan oleh rezim Phnom Penh yang didukung Vietnam, PRK.19 Amnesty International menyebut 1,4 juta; sedangkan Departemen Negara AS, 1,2 juta. Pol Pot sendiri menyebut bahwa korban yang jatuh sekitar 800.000 jiwa.

Sejak awal invasi Vietnam Ke Kamboja, ASEAN memandang bahwa invasi tersebut sebagai pelanggaran prinsip-prinsip dasar hubungan antar negara, yaitu prinsip non intervensi dan prinsip penggunaan kekerasan bersenjata. Oleh karena itu, pada Januari 1979, ASEAN mengadakan pertemuan khusus menteri luar negeri di Bangkok yang menyerukan agar kekuatan asing yang berada di Kamboja untuk segera keluar. Seruan tersebut dilakukan untuk mencegah efek keamanan yang akan mengganggu Thailand karena berbatasan langsung dengan Kamboja.

Seruan dari ASEAN tersebut dilanjutkan dengan membuat draft resolusi ke dewan keamanan PBB, pada 12 Januari 1979, untuk mengambil tindakan agar invasi

18 Background Note: Cambodia. Artikel diakses pada 22 Oktober 2011 dalam

http://www.state.gov/r/pa/ei /bgn/2732.htm sebagaimana dikutip dalam http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/01/17/konflik-kamboja-rezim-pol-pot-khmer-merah-431731.html,

op.cit.

19 David Chandler, Brother Number One: A Political Biography of Pol Pot, Silkworm

(10)

tersebut diakhiri. Akan tetapi seruan tersebut tidak berhasil menghentikan aksi Vietnam, ASEAN lalu membuat draft resolusi lanjutan ke dewan keamanan tentang Kamboja yang berhasil diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada November 1979. Akhirnya, Oktober 1980, Majelis Umum PBB membuat resolusi A/RES/35/6 tentang situasi di Kamboja untuk mengadakan konferensi internasional. Ide tersebut merupakan usulan dari ASEAN.20

Upaya internasionalisasi yang dilakukan oleh ASEAN atas sengketa Vietnam dan Kamboja tidak sepenuhnya disetujui oleh negara anggota ASEAN. Indonesia dan Malaysia pada prinsipnya lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa dalam kerangka regional tanpa melibatkan pihak ketiga sedangkan Singapura dan Thailand cenderung untuk menggunakan jasa pihak ketiga. Kesamaan pandangan antara Indonesia dan Malaysia melihat sengketa membuat kedua negara bergerak untuk mengadakan pertemuan di Kuantan, Malaysia pada 26-28 Maret 1980. Pertemuan itu kemudian melahirkan Prinsip-Prinsip Kuantan (Kuantan Principles). Prinsip Kuantan pada dasarnya mengakomodasi kepentingan Vietnam untuk menginvasi Kamboja atas alasan keamanan dengan harapan pengakuan ini akan mengurangi pengaruh Uni Soviet di kawasan Indochina.21

Indonesia dan Malaysia sebagai penggagas pertemuan di Kuantan, diprotes keras oleh Thailand dan Singapura karena dianggap sebagai restu atas tindakan invasi Vietnam. Kekhawatiran Thailand dan Singapura dengan Prinsip Kuantan adalah persoalan legitimasi atas tindakan invasi Vietnam di mana dengan adanya legitimasi tersebut akan membuat Vietnam semakin percaya diri. Kekhawatiran

20 Mely Caballero Anthony, Regional Security in Southeast Asia, ISEAS, Singapura,

2005, hlm 84.

21

(11)

Thailand dan Singapura akhirnya terbukti. Hanya dalam waktu dua bulan sejak dihasilkan Prinsip-Prinsip Kuantan, tentara Vietnam memasuki wilayah Thailand dengan alasan mengejar pasukan gerilyawan Kamboja.

Pada 26 Juni 1980, para menteri luar negeri ASEAN kembali menggelar pertemuan dan membuat pernyataan keras tentang penarikan total pasukan Vietnam dari Kamboja. Kegagalan diplomasi internal ASEAN mengakibatkan usulan untuk internasionalisasi sengketa tersebut menjadi tidak terhindarkan.22 Pada bulan Juli 1981 PBB mengadakan sebuah konferensi internasional untuk Kamboja (UN International Conference on Kampuchea) yang didukung oleh Majelis Umum PBB. Konferensi tersebut menghasilkan empat resolusi sebagai bahan pertimbangan dalam negosiasi.23 Untuk menjalankan hasil resolusi konferensi tersebut, ASEAN mencoba untuk mengumpulkan faksi-faksi yang menentang tindakan invasi Vietnam dalam sebuah koalisi yang dinamakan Pemerintahan Koalisi Demokratis Kamboja atau The Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK). Koalisi tersebut terdiri dari Rezim Pol Pot, Front Nasional Kemerdekaan Bangsa Khmer atau Khmer People’s National

Liberation Front (KPLNF) pimpinan Son Sann dan Front Nasional Bersatu untuk Kemerdekaan, Netralitas, Perdamaian, dan Kerjasama Kamboja atau National United Front for an Independent, Neutral, Peaceful and Cooperative Cambodia

(FUNCINPEC) pimpinan Pangeran Norodom Sihanouk.

Upaya yang dilakukan oleh PBB dan ASEAN ditolak oleh Vietnam karena tidak melibatkan PRK. Akan tetapi pada tahun 1982, secara unilateral Vietnam

22 Bambang Cipto, op.cit., hlm. 53. 23

(12)

mengurangi jumlah pasukannya di Kamboja. Awalnya ASEAN menganggap tindakan tersebut sebagai rekayasa untuk mengurangi tekanan dunia internasional. Namun, pada akhirnya ASEAN melihat upaya Vietnam tersebut sebagai peluang untuk melakukan inisiatif menyelesaikan sengketa.24

Inisiatif tersebut diambil oleh Indonesia sebagai juru bicara ASEAN. Pada Februari 1984, Menteri Luar Negeri Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa ASEAN telah siap untuk berunding dengan Vietnam. Pernyataan tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan antara pemerintah Indonesia dengan Vietnam.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis secara mendalam mengenai penyelesaian sengketa internasional yang terdapat dalam badan ASEAN, baik peran dan mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN, untuk itu penulis ingin menyusun sebuah skripsi yang berjudul:

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA (STUDI KASUS INVASI VIETNAM KE KAMBOJA).

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa internasional dalam kerangka ASEAN ?

b. Bagaimana penyelesaian kasus invasi Vietnam ke Kamboja oleh ASEAN?

24

(13)

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme yang dilakukan ASEAN dalam menyelesaikan sengketa antar anggotanya berdasarkan instrumen penyelesaian sengketa dalam kerangka ASEAN;

b. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian kasus invasi Vietnam ke Kamboja oleh ASEAN.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian yang telah penulis sebutkan sebelumnya, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1.3.2.1 Kegunaan Teoritis

Berguna untuk perkembangan kemampuan berkarya ilmiah dan daya nalar dengan acuan yang disesuaikan dengan displin ilmu yang telah dipelajari yaitu hukum pada umumnya dan hukum internasional dalam bidang penyelesaian sengketa internasional pada khususnya. Diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan perkembangan hukum di Indonesia mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat dalam kerangka ASEAN.

(14)

1.3.2.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam menyelesaikan sengketa yang ada dalam badan ASEAN, dan rujukan untuk mengetahui aturan-aturan penyelesaian sengketa yang ada di ASEAN, serta diharapkan berguna bagi para mahasiswa, dan masyarakat umum untuk menambah pengetahuan mengenaiperan maupun mekanisme penyelesaian sengketa dalam ASEAN dan juga mengenai penyelesaian sengketa kasus invasi Vietnam ke Kamboja yang dilakukan oleh ASEAN.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya membahas tentang mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN antar anggotanya dan penyelesaian sengketa kasus invasi Vietnam ke Kamboja melalui ASEAN.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan terhadap substansi penelitian ini maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika skripsi ini terdiri dari 5 bab yang diorganisasikan ke dalam bab demi bab sebagai berikut:

Bab I Bab ini menguraikan latar belakang yang menggambarkan sejarah tubuh ASEAN dalam hal penyelesaian sengketa, perkembangan aturan penyelesaian sengketa dalam ASEAN, dan kasus invasi Vietnam ke Kamboja. Pada bagian ini dikemukakan permasalahan, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, ruang lingkup penelitian, juga sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini.

(15)

Bab II Bab ini menguraikan secara ringkas mengenai pengertian-pengertian, teori-teori tentang penyelesaian sengketa dan juga sejarah ASEAN serta aturan-aturan mengenai penyelesaian sengketa di ASEAN.

Bab III Bab ini menguraikan metode yang digunakan pada penulisan skripsi ini antara lain pendekatan masalah dalam penulisan skripsi ini, sumber data serta prosedur yang digunakan dalam proses pengumpulan data dan ditampilkan analisis data untuk mengetahui cara-cara yang digunakan dalam penelitian skripsi.

Bab IV Bab ini dimulai dengan pemaparan hasil penelitian dan uraian dari pembahasannya. Diawali dengan pemaparan tentang ASEAN, mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN, dan peran ASEAN dalam menyelesaikan kasus invasi Vietnam ke Kamboja

Bab V Bab ini menguraikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran dari penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Munir sebenarnya akan melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda dan dalam kronologi kasus pembunuhan aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa menjelang memasuki pintu

Banyak guru S D yang tidak mengelola kelas

dipilih oleh pihak ketiga yang bertikai, tetapi bisa juga mediator menawarkan diri. Mediator harus dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai. Ketiga,

Untuk mengembangkan keterampilan dilakukan praktek aplikasi teori atau konsep, yaitu melakukan Penyusunan berkas persidangan dan jadwal persidangan serta

1) Sebagai sarana informasi terhadap kondisi konkrit tentang pelaksanaan pendidikan pada SMP Darul Fallaah Unismuh Bissoloro Kecamatan Bungaya Kabupaten Gowa,

Dengan mengacu pada Tabel V-11 dan Tabel V-12 maka terdapat perbedaan rata-rata pendapatan bersih usaha usahatani karet klon lokal dan klon unggul di Kecamatan

Pengertian front office berasal dari bahasa Inggris “front” yang artinya depan dan “office” yang berarti kantor, jadi front office adalah kantor depan.(Bagyono 2012 : 21).

Menurut Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (www. kemenkumham.go.id, diakses 20 Agustus 2014), mengatakan bahwa reformasi birokrasi adalah upaya