HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Peternakan
Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Babi Rachel Farm, berlokasi di Kampung Baru/Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kampung Baru merupakan desa yang relatif jarang penduduknya. Daerah ini dapat dikatakan sebagai daerah peternakan, karena sebagian besar penduduknya hidup dari beternak, baik skala kecil maupun skala besar. Selain peternakan babi, di daerah ini juga terdapat peternakan ayam pedaging dan ayam petelur baik ayam ras, ayam kampung maupun ayam Arab.
Peternakan Babi Rachel Farm berdiri diatas lahan seluas 2260 m2. Peternakan ini memiliki dua bangunan kandang yang letaknya berhadapan, masing-masing dengan ukuran 105 m2. Bangunan kandang ini terdiri atas delapan kandang induk beranak, tiga kandang pejantan, 37 kandang kerangkeng untuk induk bunting, tiga kandang pembesaran untuk anak babi lepas sapih, dan empat kandang pembesaran untuk babi periode grower. Selain bangunan kandang juga terdapat gudang berukuran 6 x 4 m dan rumah untuk karyawan berukuran 6 x 8 m serta tempat penampungan limbah. Disekitar kandang ditanami berbagai tanaman seperti sayuran, umbi-umbian dan pohon pepaya dan sedikit tanaman bangun-bangun.
Pada peternakan ini terdapat pengelompokan ternak dan penempatan ternak yang berbeda menurut kelasnya. Pejantan ditempatkan pada kandang individu berukuran 2 x 1,5 x 1 m, induk bunting ditempatkan pada kandang individu (kerangkeng) berukuran 1,2 x 0,8 x 0,6 m, induk beranak pada kandang khusus beranak berukuran 1,8 x 2 x 1 m, anak lepas sapih pada kandang ukuran 3 x 3 x 1 m dan babi grower pada kandang berukuran 3 x 8 x 1 m.
Waktu pengawinan induk yang sedang birahi dilakukan pada pagi dan sore hari dengan menggunakan pejantan yang berbeda tiap kali pengawinan selama masa birahi. Hal ini dilakukan karena berdasarkan pengalaman peternak, dengan cara ini litter size lahir akan lebih banyak dibandingkan dengan hanya menggunakan satu pejantan saja. Pemeriksaan apakah induk telah bunting setelah pengawinan dilakukan 21 hari berikutnya, dan apabila tidak birahi kembali maka induk babi tersebut dinyatakan telah bunting. Beberapa hari sebelum beranak, induk dipindahkan dari kerangkeng ke kandang khusus induk beranak.
Penyapihan anak babi dilakukan pada umur 30 hari, dengan cara memindahkan anak ke kandang penyapihan. Namun sebelum disapih, anak babi terlebih dahulu diperkenalkan dengan pakan pabrikan Pur 551 yang berbentuk butiran pellet saat berumur tiga minggu agar anak babi sudah terbiasa makan saat dipindahkan ke kandang sapihan. Kandang sapihan dilengkapi dengan water nipple, namun untuk mencegah babi dehidrasi karena belum terbiasa, disediakan juga tempat minum bagi anak babi tersebut sampai anak babi dapat minum sendiri dari water nipple. Saat berumur 45 hari setelah lahir, anak babi disuntik dengan obat cacing intermectin 0,5 ml/ekor. Anak babi yang cacingan ditandai dengan bulu yang panjang dan tidak rapi serta terlihat kurus. Setelah satu bulan di kandang starter, anak babi kemudian dipindahkan ke kandang grower.
Ternak babi beserta kandang dibersihkan sekali sehari. Kandang induk beranak dibersihkan pada siang hari, untuk mencegah anak babi kedinginan. Anak babi yang kedinginan akan mengalami mencret dan hal ini tidak diinginkan oleh peternak. Pembersihan dilakukan dengan menggunakan selang, dengan mesin sebagai penggerak air sehingga dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Pemberian makan dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Ransum yang diberikan adalah ransum kering yang terdiri dari campuran dedak padi, dan jagung giling, dengan komposisi campuran yang berbeda-beda untuk setiap kelas ternak (Tabel 6).
Tabel 6. Komposisi Ransum di Peternakan Babi Rachel Farm Kelas Ternak Bahan Pakan
Starter Grower Jantan, Induk Kering, Induk Bunting dan Induk Beranak
Jagung Giling (%) 60 35 25
Dedak Halus (%) 10 65 75
Pur 551 (%) 30 - -
Saat penelitian sedang berlangsung, merebak kasus virus H1N1 yang lebih dikenal dengan flu babi sehingga mengakibatkan efek buruk pada peternakan babi, dimana masyarakat kehilangan antusias atau malah takut untuk mengkonsumsi daging babi sehingga permintaan akan daging babi menurun drastis. Selain itu, terjadi pula kenaikan harga bahan pakan di pasaran. Hal ini menyebabkan krisis bagi para peternak babi dimana penjualan babi terhenti, sementara harga pakan naik, sehingga terpaksa dilakukan perubahan pemberian pakan untuk menghindari
kerugian yang lebih besar. Pakan pengganti yang digunakan selama krisis berlangsung adalah ampas tahu. Ampas tahu memang tidak dapat memenuhi kebutuhan ternak babi untuk bertumbuh, namun untuk sementara waktu, ini adalah pilihan terbaik yang diputuskan oleh peternak hingga isu flu babi selesai. Pekerja di peternakan ini terdiri dari dua orang, masing-masing memiliki tanggung jawab berbeda. Populasi ternak babi yang dipelihara saat penelitian berlangsung dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Populasi Ternak Babi di Peternakan Babi Rachel Farm Saat Penelitian
Kelas Jumlah (ekor)
Pejantan produktif Induk produktif :
Induk menunggu birahi Induk bunting
Induk menyusui Calon induk Sapihan
Anak babi menyusu
3 6 22 6 4 123 53 Total 276
Suhu harian di kandang selama penelitian berkisar antara 26-360C dengan kelembaban sekitar 50-78%. Kisaran suhu dan kelembaban kandang pada pagi hari (08.00 WIB) masing-masing 26-290C dan 64-70%; siang hari (13.00 WIB) 34-360C dan 50-57%; sore hari (16.00 WIB) 31-320C, dan 65-71%; malam hari (22.00 WIB) 28-290C dan 77-78%. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi produktivitas ternak. Apabila kondisi lingkungan tidak sesuai maka produktivitas yang dicapai tidak akan optimal (Malole dan Pramono, 1989).
Menurut Sihombing (2006), suhu ideal untuk pertumbuhan induk babi berkisar antara 20-260C dengan kelembaban dalam kandang 30-70%. Kisaran suhu kandang saat penelitian masih terlalu tinggi demikian juga dengan kelembaban untuk ternak babi umumnya, namun ternak babi di tempat penelitian tersebut telah beradaptasi dengan baik, sehingga produktivitasnya cukup baik. Kisaran suhu yang sesuai untuk anak babi yang baru lahir adalah 30-320C, dimana menurut Williamson dan Payne (1993) bahwa anak babi pada waktu lahir belum mempunyai sistem pengaturan suhu tubuh yang baik. Anak babi ini tidak mampu mengatasi dirinya terhadap panas atau dingin yang berlebihan. Dengan demikian suhu di lokasi penelitian ini sudah cukup
mendukung sehingga tidak diperlukan lampu pemanas bagi anak babi yang baru lahir.
Ternak Penelitian
Penelitian ini menggunakan induk babi sebanyak 16 ekor. Bangsa babi yang digunakan adalah hasil persilangan dari Duroc, Yorkshire, Landrace, Hampshire, dan Spotted Poland China, namun proporsi bangsa dari setiap induk tidak diketahui dengan jelas. Induk babi yang digunakan memiliki periode laktasi yang berbeda-beda, mulai dari laktasi pertama sampai ke-13. Gambar 2 menunjukkan beberapa gambar dari induk babi yang digunakan selama penelitian.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Induk Babi Penelitian (a) Sedang Menyusui, (b) Menolak Anak Menyusu, (c) Menyusui Anak dalam Posisi Berdiri, (d) Istirahat
Penanganan induk babi saat beranak dilakukan dengan baik, yaitu anak yang baru lahir langsung dibersihkan oleh peternak dari lendir yang melekat menggunakan kain bersih dan dipisahkan dari induk sampai proses beranak selesai. Setelah bersih dari lendir, langsung dilakukan pemotongan tali pusar dan gigi. Pemotongan gigi
bertujuan agar anak babi tidak menggigit puting induk saat menyusu. Biasanya induk babi beranak pada malam menjelang pagi hari, dan peternak selalu membantu proses beranak untuk menghindari kematian baik induk maupun anak. Ada kalanya induk babi lemah saat beranak sehingga perlu segera disuntikkan Hormonivra 5 ml (oksitosin) untuk membantu kontraksi uterus dan berperan dalam pengeluaran air susu (milk let down). Untuk mencegah induk babi terserang penyakit pasca melahirkan maka biasanya induk disuntik dengan antibiotik Neoxil 10 ml.
Setelah proses beranak selesai, lantai kandang diberi serbuk gergaji (serutan) sebagai alas agar anak babi tidak kedinginan, sekaligus berfungsi sebagai bantalan (bedding) dan peternak segera mengembalikan anak pada induknya agar mendapat kolostrum sebagai sumber antibodi alami dari induk. Saat awal penelitian, peneliti dan rekan-rekan sepenelitian ikut terlibat dalam membantu proses beranak hingga sampai akhirnya peternak telah mempercayakan proses beranak kepada peneliti. Pada hari ketiga anak babi disuntik dengan zat besi Hemadex sebanyak satu ml, dan pada hari keempat disuntikkan kalsium Calsidex 0,5 ml untuk menghindari anak babi masing-masing dari kekurangan zat besi dan kalsium. Pemotongan ekor dilakukan pada umur lima hari, bertujuan untuk menghindari sesama anak babi saling menggigit ekor. Saat anak babi berumur 21 hari, disuntikkan vaksin Pestiffa untuk mencegah penyakit hog cholera demikian juga dengan induknya.
Induk babi dengan perlakuan 1,25% TDB ulangan tiga (R1U3) yang memiliki litter size lahir paling kecil yaitu dua ekor, mengalami estrus kembali beberapa hari setelah beranak sehingga sekresi air susu terhenti, yang mengakibatkan anak babi tidak mendapatkan air susu. Dalam upaya mencegah kematian kedua ekor anak babi tersebut, peternak dan peneliti mencoba untuk menitipkan kedua anak babi tersebut pada induk R3U2 yang memiliki anak lima ekor. Namun demikian dua hari berikutnya kedua anak babi titipan tersebut mati karena juga tidak mendapatkan air susu dari induk R3U2. Hal yang sama terjadi pada ternak perlakuan kontrol ulangan keempat (R0U4) dengan litter size lahir 15 ekor, induk mengalami kaki pincang saat bunting sehingga sering menindih anak sampai akhirnya semua anak mati beberapa hari setelah lahir. Kematian anak tersebut bukan karena perlakuan sehingga pada pembahasan selanjutnya akan dianggap sebagai data hilang.
Peristiwa estrus kembali beberapa hari setelah beranak atau saat dalam periode menyusui yang terjadi pada induk R1U3 bisa terjadi diduga akibat rangsangan dari anak babi menyusu yang kurang terhadap ambing, sehingga pelepasan hormon prolaktin yang merangsang sekresi air susu terhenti dan sebagai akibatnya terjadi sekresi hormon estrogen yang bekerja berlawanan dengan prolaktin yaitu merangsang terjadinya estrus. Peningkatan kadar prolaktin didukung oleh stimulasi ambing melalui penghisapan dan penyingkiran kolostrum dan air susu dari alveoli kelenjar susu. Hal ini seperti telah dinyatakan oleh Whedacaine (2008), dimana prolaktin perlu untuk memulai sekresi air susu dan mempertahankan laktasi.
Ransum Penelitian
Ransum yang diberikan pada ternak penelitian adalah ransum kering yang terdiri dari dedak padi, jagung giling, dan tepung daun bangun-bangun. Perbandingan antara jagung giling dan dedak padi adalah 25 dan 75% dengan penambahan tepung daun bangun-bangun sesuai perlakuan. Namun pada pertengahan penelitian terjadi krisis pada peternakan ini yang diakibatkan oleh kenaikan harga pakan, dan merebaknya kasus flu babi. Pakan biasa yang diberikan diganti dengan ampas tahu dan tetap memberikan tepung daun bangun-bangun. Hasil analisa kandungan zat makanan dari ransum kering penelitian oleh Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor disajikan selengkapnya pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Analisa Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Ransum Perlakuan GE (kkal/kg) BK PK LK SK Ca P --- % --- R0 4238 85,94 12,79 9,68 10,75 0,08 0,89 R1 4125 85,11 12,30 9,30 12,25 0,09 1,16 R2 3798 84,91 12,01 7,64 12,89 0,14 1,42 R3 3463 84,88 11,75 6,56 13,76 0,27 1,11
Keterangan : GE = Gross energi, BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, LK = Lemak Kasar, SK = Serat Kasar, Ca = Kalsium, P = Fosfor
Air susu hampir selalu terkuras dari tubuh induk sehingga dapat kehilangan bobot badan selama masa laktasi. Kehilangan bobot badan yang terus berlangsung harus diatasi dengan pemberian makanan yang memadai selama masa laktasi untuk
menghindari masalah pada pengawinan berikutnya. Protein yang dibutuhkan harus diberikan cukup agar terjamin birahi dan ovulasi yang tepat setelah anak disapih (Williamson dan Payne,1993). Kebutuhan energi untuk induk babi menyusui menurut NRC (1998) adalah 3265 kkal/kg dengan protein 18,4%, sementara menurut Siagian (1999) induk babi menyusui memerlukan ransum yang mengandung 15% protein kasar, 3300 kkal/kg energi dapat dicerna, 0,6% kalsium dan 0,4% fosfor yang tersedia.
Makanan yang dibutuhkan oleh tiap ekor induk babi menyusui per hari dapat bervariasi dari satu peternakan dengan peternakan yang lain tergantung kepada kondisi lingkungan. Ransum kering yang diberikan pada penelitian ini sudah memenuhi kebutuhan energi untuk induk babi menyusui namun kebutuhan proteinnya masih belum mencukupi. Tetapi, kondisi induk babi saat menyusui maupun anak yang sedang menyusu sudah cukup baik dengan kadar protein dari ransum yang diberikan. Penambahan protein ransum akan mengakibatkan peningkatan harga ransum yang juga akan menambah biaya produksi sehingga hal ini tidak perlu dilakukan.
Lemak kasar yang dianjurkan oleh SNI (1995) untuk induk babi bunting dan menyusui adalah 3% dengan serat kasar optimum 7%. Ransum penelitian memiliki kandungan lemak kasar dan serat kasar yang lebih tinggi daripada yang dianjurkan karena dedak padi yang digunakan agak kasar atau sudah dicampur dengan sekam padi, dimana sekam merupakan lapisan luar dari beras yang mengandung lemak dan serat kasar yang tinggi. Menurut Williamson dan Payne (1993), serat kasar dalam ransum berpengaruh besar terhadap kecernaan energi dimana semakin tinggi serat kasar dalam ransum maka semakin rendah energi yang dapat dicerna. Penyebabnya adalah karena kandungan serat kasar yang tinggi berarti semakin rendah kandungan pati, gula dan lemak. Secara fisik serat kasar merintangi pencernaan gula, pati dan lemak. Kandungan serat kasar yang tinggi juga akan mengakibatkan meningkatnya konsumsi makanan disertai efisiensi konversi makanan yang rendah.
Krisis yang dialami peternak akibat merebaknya isu flu babi terpaksa mengubah komposisi ransum yang diberikan kepada ternak babi menjadi ampas tahu dengan tetap menambahkan TDB. Hasil analisa zat makanan dari ransum di
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, selengkapnya disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Analisa Zat Makanan Pakan Ampas Tahu Zat Makanan Ransum Penelitian GE (kkal/kg) BK PK LK SK Ca P --- % --- R0 540 13,58 3,70 0,53 2,58 0,05 0,04 R1 605 13,66 3,62 0,91 3,05 0,07 0,09 R2 625 13,98 3,63 0,89 2,95 0,11 0,09 R3 612 14,26 3,92 1,83 2,84 0,18 0,09
Keterangan : GE = Gross energi, BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, LK = Lemak Kasar, SK = Serat Kasar, Ca = Kalsium, P = Fosfor
Dapat dilihat dengan jelas bahwa kandungan zat makanan pada Tabel 9 tidak mencukupi kebutuhan induk babi menyusui, sehingga dapat dipastikan baik performa induk maupun anak babi menyusu akan mengalami penurunan. Pasca pergantian ransum, berat badan induk babi menurun terlihat dari ukuran tubuh induk yang semakin kurus. Hal ini dikarenakan tubuh induk babi menggunakan cadangan lemak yang ada untuk memproduksi air susu. Keadaan induk yang terlalu kurus akan mempengaruhi kemampuan reproduksi induk pada periode berikutnya, sehingga sebelum dikawinkan kembali sebaiknya induk babi diberi pakan yang baik untuk merekondisi tubuhnya.
Konsumsi Ransum Induk
Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah bobot individu ternak, tipe dan tingkat produksi, umur, jenis makanan, dan faktor lingkungan (Church, 1991). Malole dan Pramono (1989) menambahkan, bahwa yang termasuk faktor lingkungan adalah keadaan kandang, temperatur dan kelembaban kandang. Taraf pemberian tepung daun bangun-bangun yang berbeda dalam ransum induk babi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah konsumsi ransum harian. Hal ini dikarenakan pemberian tepung daun bangun-bangun tidak mengubah palatabilitas dari ransum itu sendiri. Rataan konsumsi ransum induk babi selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi Selama Penelitian Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 Rataan --- kg/ekor/hari --- 1 3,99 5,19 4,00 3,99 4,29 2 3,95 3,99 4,67 3,99 4,15 3 3,98 4,32 3,95 3,98 4,06 4 3,78 4,00 3,99 4,00 3,94 Rataan 3,93±0,10 4,38±0,57 4,15±0,35 3,99±0,01 4,11±0,35 KK (%) 2,50 12,90 8,32 0,20 8,49
Keterangan : R0 = Ransum Kontrol; R1 = Ransum kontrol dengan penambahan 1,25% TDB; R2 = Ransum kontrol dengan penambahan 2,5% TDB; R3 = Ransum kontrol dengan penambahan TDB 3,75%; KK = koefisien keragaman
Induk babi menyusui membutuhkan ransum yang lebih banyak dibandingkan dengan induk babi bunting. Hal ini disebabkan selain untuk kebutuhan hidup pokok, induk babi menyusui menggunakan zat makanan yang diperoleh dari ransum untuk menghasilkan air susu yang sangat diperlukan oleh anak babi untuk bertumbuh. Tabel 10 memperlihatkan bahwa rataan konsumsi ransum harian induk babi penelitian adalah 4,11±0,35 kg/ekor/hari dengan KK 8,49%. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada konsumsi ransum induk babi pada setiap perlakuan. Menurut Sihombing (2006), konsumsi ransum induk babi yang sedang menyusui berkisar antara 3-4,5 kg/hari/ekor.
Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui
Susu jauh lebih superior daripada semua makanan lain dalam hal ketersediaan dan kecernaan zat-zat makanan yang dikandungnya. Semua kebutuhan zat-zat makanan bagi anak yang baru lahir dapat diperoleh dari air susu induk kecuali zat besi. Pengukuran produksi air susu induk (PASI) babi dilakukan berdasarkan pertambahan bobot badan anak babi setelah menyusu yaitu dengan cara menimbang anak babi yang telah dipuasakan selama empat jam sebelum dan segera setelah menyusu. Selisih dari kedua pengukuran ini adalah produksi air susu induk babi setiap kali menyusui. Pengukuran produksi air susu induk babi dilakukan sebanyak enam kali yaitu pada hari ke-5, ke-10, ke-15, ke-20, ke-25 dan ke-30 setelah beranak
atau selama menyusui. Rataan produksi air susu induk babi tiap kali menyusui selama penelitian ditampilkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Produksi Air Susu Induk Babi Per Menyusui Selama Penelitian Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 Rataan ---g/menyusui--- 1 200,00 283,33 266,67 266,67 254,17 2 116,67 150,00 200,00 166,67 158,34 3 200,00 - 283,33 133,33 205,55 4 - 216,67 166,67 250,00 211,11 Rataan 172,22±48,81 216,70±54,50 229,17±55,10 204,17±64,40 207,10±56,10 KK (%) 27,94 30,77 24,03 31,53 27,10
Keterangan : R0 = Ransum Kontrol; R1 = Ransum kontrol dengan penambahan 1,25% TDB; R2 = Ransum kontrol dengan penambahan 2,5% TDB; R3 = Ransum kontrol dengan penambahan TDB 3,75%; KK = koefisien keragaman; (-) = seluruh anak babi mati pada akhir penelitian
Rataan PASI babi selama penelitian adalah 207,10±56,10 g/menyusui dengan KK 27,10%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk babi tidak berpengaruh nyata terhadap produksi air susu induk babi per menyusui, namun jika dicermati dari angka produksi air susu yang dihasilkan oleh induk babi, terdapat perbedaan antara setiap perlakuan. Pemberian tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk babi dapat meningkatkan produksi air susu hingga taraf 2,5% (229,17 g/menyusui) atau mengalami peningkatan sebesar 33,07% dibandingkan dengan kontrol, tetapi terjadi penurunan pada taraf 3,75% (204,17 g/menyusui) meskipun masih lebih tinggi daripada perlakuan kontrol (R0 = 172,22 g/menyusui). Hal ini mungkin disebabkan taraf pemberian 3,75% tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk terlalu banyak sehingga mengurangi energi yang diperoleh dari ransum. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung daun bangun-bangun yang optimal dalam ransum induk babi menyusui untuk meningkatkan PASI adalah pada taraf 2,5%.
Hasil pengukuran PASI yang tidak menunjukkan perbedaan signifikan untuk setiap perlakuan diduga karena keadaan induk babi yang tidak seragam, seperti perbedaan bangsa, bobot badan, litter size dan perbedaan kemampuan induk itu sendiri dalam menghasilkan air susu akibat periode laktasi yang berbeda pula. Menurut Mepham (1987), produksi susu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: jumlah dan komposisi makanan yang dikonsumsi, jumlah dan komposisi darah yang diserap oleh kelenjar ambing dan laju sintesis air susu. Selain itu produksi air susu juga dipengaruhi oleh genotip, parity, pakan, kondisi tubuh dan litter size. Semakin banyak anak menyusu cenderung menaikkan produksi air susu induk babi (Parakkasi, 1980).
Induk babi yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil persilangan antara Duroc, Landrace, Hampshire, Yorkshire, dan Spotted Poland China. Persilangan antar bangsa yang proporsi genetiknya tidak diketahui ini mengakibatkan potensi genetik dari induk babi penelitian diduga berbeda, sehingga kemampuan memproduksi air susu pun juga berbeda. Menurut Parakkasi (1980) litter size juga mempengaruhi produksi air susu induk dimana semakin besar litter size maka rangsangan terhadap induk untuk memproduksi air susu akan semakin besar pula. Rataan litter size lahir dari induk babi penelitian diperlihatkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Litter Size Lahir dari Induk Babi Penelitian Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 Rataan ---ekor--- 1 4 15 9 11 9,75 2 16 7 15 5 10,75 3 9 2 8 12 7,75 4 15 9 10 14 12,00 Rataan 11 8,25 10,5 10,5 10,06
Keterangan : R0 = Ransum Kontrol; R1 = Ransum kontrol dengan penambahan 1,25% TDB; R2 = Ransum kontrol dengan penambahan 2,5% TDB; R3 = Ransum kontrol dengan penambahan TDB 3,75%
Litter size lahir paling banyak selama penelitian adalah perlakuan kontrol ulangan dua (R0U2) yaitu 16 ekor sementara litter size paling sedikit adalah pada ternak R1U3 yaitu dua ekor, namun keduanya mati pada pertengahan penelitian. Sementara hasil pengukuran terhadap PASI menunjukkan bahwa PASI babi R0U2
tidak lebih banyak dibandingkan dengan PASI babi lainnya yang memiliki litter size yang lebih kecil. Hal ini mungkin dikarenakan kemampuan induk dalam memproduksi air susu kurang baik dimana setiap ternak penelitian hampir mengkonsumsi ransum dalam jumlah yang sama. Penyapihan dilakukan saat anak babi sudah berumur 30 hari. Jumlah anak babi yang disapih atau litter size sapih pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Litter Size Sapih dari Induk Babi Penelitian Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 Rataan ---ekor--- 1 4 15 9 9 9,25 2 9 5 10 5 7,25 3 4 - 6 12 7,33 4 - 9 7 8 8,00 Rataan 5,67 9,67 8,00 8,50 7,96
Keterangan : R0 = Ransum Kontrol; R1 = Ransum kontrol dengan penambahan 1,25% TDB; R2 = Ransum kontrol dengan penambahan 2,5% TDB; R3 = Ransum kontrol dengan penambahan TDB 3,75%; (-) = seluruh anak babi mati pada akhir penelitian
Penyebab kematian anak babi yang paling banyak adalah tertindih oleh induk saat anak babi berumur beberapa hari, dimana anak babi masih belum memiliki gerakan yang cukup cepat untuk dapat menghindar dari induk. Selain itu, kematian anak babi lebih sering terjadi ketika dilakukan pergantian ransum kering menjadi ampas tahu. Hal ini diduga karena kualitas dari air susu induk yang dihasilkan mengalami penurunan nilai nutrisi pasca pergantian ransum, sehingga kebutuhan anak untuk bertumbuh tidak dapat dipenuhi dari air susu yang dihasilkan, akibatnya anak menjadi kurus dan lemah. Anak babi yang tidak sanggup bertahan akan sangat rentan tertindih oleh induk karena gerakannya yang lemah sehingga tidak dapat menghindar dari pergerakan induk. Jumlah litter size sapih paling besar hingga terkecil berturut-turut adalah R1, R3, R2, dan R0 masing-masing 9,67; 8,50; 8,00 dan 5,67 ekor.
Pola Produksi Air Susu Induk Babi
Menurut Xu dan Cranwell (2003), rataan PASI babi diperkirakan 0,5-1,0 kg/ekor anak babi/hari selama delapan minggu periode laktasi dengan puncak produksi terjadi pada minggu ketiga sampai kelima. Namun dapat berbeda pada setiap peternakan tergantung kemampuan induk memproduksi air susu berdasarkan bangsa babi, komposisi ransum, dan manajemen pemeliharaan di peternakan itu sendiri. Dalam hal ini, pemberian tepung daun bangun-bangun dengan taraf yang berbeda untuk setiap perlakuan juga menjadi salah satu penyebab perbedaan PASI, dimana selain menyebabkan perubahan komposisi ransum, pemberian TDB ini juga berperan dalam merangsang peningkatan sintesis air susu. Pengukuran PASI babi yang dilakukan enam kali memperlihatkan pola produksi air susu induk babi selama masa laktasi berlangsung. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 14. Data rataan PASI babi pada perlakuan R0 dan R1 masing-masing diperoleh dari rataan tiga ekor induk karena R0U4 dan R1U3 tidak disertakan dalam perhitungan disebabkan mortalitas anak 100% seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Tabel 14. Pola Produksi Air Susu Induk Babi Pengukuran Hari ke- Perlakuan 5 10 15 20 25 30 Rataan ---g/menyusui--- R0 233,33 233,33 233,33 133,33 100,00 100,00 172,22 R1 266,67 233,33 300,00 300,00 100,00 100,00 216,67 R2 225,00 275,00 250,00 225,00 225,00 175,00 229,17 R3 275,00 225,00 175,00 225,00 150,00 175,00 204,17 Rataan 250,00± 24,50 241,70± 22,60 239,50± 51,60 220,80± 68,20 143,80± 59,10. 137,50± 43,30 205,5± 63,90 KK (%) 9,81 9,34 21,53 30,89 41,09 31,49 31,07
Keterangan : R0 = Ransum Kontrol; R1 = Ransum kontrol dengan penambahan 1,25% TDB; R2 = Ransum kontrol dengan penambahan 2,5% TDB; R3 = Ransum kontrol dengan penambahan TDB 3,75%; KK = koefisien keragaman
Upaya untuk mengetahui puncak laktasi dari induk babi selama penelitian dapat dilakukan dengan menyatakan rataan PASI babi pada setiap pengukuran dalam bentuk grafik sehingga dapat dilihat pola produksi air susu induk babi selama masa laktasi. Gambar 5 menunjukkan bahwa PASI babi penelitian cukup berfluktuatif.
Gambar 5. Grafik Pola Produksi Air Susu Induk Babi
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebabnya antara lain induk yang tidak berproduksi maksimal saat dilakukan pengukuran dimana terkadang suhu lingkungan yang sangat ekstrem mencapai 360C sementara suhu ideal untuk ternak babi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya aadalah 20-260C. Selain itu, perubahan pakan yang tiba-tiba dengan kualitas yang tidak baik dimana ternak hanya diberi pakan berupa ampas tahu dengan penambahan tepung daun bangun-bangun sesuai dengan taraf perlakuan juga menjadi penyebab produksi air susu induk yang berfluktuasi. Induk babi memerlukan nutrisi yang cukup saat menyusui dimana kebutuhan energi untuk induk menyusui adalah 3265 kkal/kg dan 18,4% protein kasar sementara ampas tahu hanya menyumbangkan 600 kkal/kg dengan protein kasar 3,72%.
Produksi air susu induk babi yang mendapat perlakuan R0 konstan dari hari pertama hingga hari ke-20 yaitu sebanyak 233,33 g/menyusui lalu kemudian menurun hingga akhir masa laktasi (hari ke-30) menjadi 100 g/menyusui. Sementara itu PASI babi R1 mencapai puncak laktasi pada awal minggu ketiga (hari ke-15) yaitu sebanyak 300 g/menyusui dan konstan sampai hari ke-20 lalu menurun hingga menjadi 100 gram pada hari ke-30. Produksi air susu induk babi R2 mencapai puncak pada minggu kedua (hari ke-10) yaitu sebanyak 275 g/menyusui kemudian menurun hingga menjadi 175 g/menyusui pada akhir masa laktasi. Kemudian jumlah PASI tertinggi pada babi R3 justru pada minggu pertama kelahiran yaitu sebanyak 275 g/menyusui dan terus menurun hingga akhir laktasi menjadi 175 g/menyusui.
Hasil ini memperlihatkan bahwa pemberian daun bangun-bangun pada induk babi penelitian dapat meningkatkan produksi air susu pada awal masa laktasi, dan semakin banyak jumlah tepung daun bangun-bangun yang diberikan akan cenderung memaksimalkan produksi air susu pada awal laktasi. Hal ini terlihat pada perlakuan R3 yaitu dengan pemberian tepung daun bangun-bangun sebanyak 3,75% dari ransum menyebabkan jumlah PASI tertinggi adalah pada minggu pertama, sedangkan pada perlakuan R2 (pemberian TDB 2,5%) jumlah PASI terbanyak adalah pada minggu kedua, lalu perlakuan R1 (pemberian TDB 1,25%) menghasilkan jumlah PASI terbanyak pada minggu ketiga setelah beranak.
Selain itu hasil ini juga memperlihatkan bahwa pemberian tepung daun bangun-bangun di dalam ransum induk babi dapat memperbaiki persistensi laktasi yakni penurunan produksi air susu setelah mencapai puncak laktasi adalah perlahan (Blakely dan Bade, 1991). Hal tersebut sangat jelas terlihat pada perlakuan R2 yaitu dengan pemberian tepung daun bangun-bangun sebanyak 2,5% di dalam ransum. Jika diaplikasikan untuk ternak perah, persistensi laktasi yang baik seperti ini sangat diinginkan karena dapat meningkatkan keuntungan dari produksi air susu yang dihasilkan.
Produksi Air Susu Induk Babi Harian
Produksi air susu induk (PASI) harian babi dapat diketahui dari jumlah PASI per menyusui dikalikan dengan frekuensi induk babi menyusui per hari. Frekuensi induk babi menyusui setiap hari menurut Siagian (1999) adalah 20-28 kali, sementara menurut Hartmann dan Holmes (1989) dalam Xu dan Cranwell (2003) sebanyak 20 kali. Pengamatan frekuensi induk babi menyusui anaknya dilakukan dengan memilih secara acak satu induk babi untuk setiap perlakuan. Sebenarnya hasil yang diperoleh akan lebih baik (akurat) apabila pengamatan frekuensi induk babi menyusui dilakukan untuk setiap ekor induk babi penelitian sebagai satuan unit percobaan. Namun, karena hal ini tidak mudah untuk dilakukan, maka pengamatan hanya dilakukan pada empat ekor induk babi saja, yang mewakili masing-masing perlakuan. Adapun induk babi yang diamati untuk mengetahui frekuensi induk babi menyusui mewakili setiap perlakuan adalah berturut-turut R0 (30 kali), R1 (27 kali), R2 (27 kali) dan R3 (28 kali) dengan rataan 28 kali frekuensi menyusui. Pengamatan ini dilakukan pada hari kelima setelah kelahiran. Dengan demikian produksi air susu
induk harian untuk setiap perlakuan (Tabel 15) dapat diperoleh dari hasil perkalian frekuensi induk babi menyusui dengan produksi air susu induk babi per menyusui (Tabel 11). Hasil ini bukanlah produksi air susu harian yang sebenarnya, melainkan hanya merupakan perkiraan karena untuk mendapatkan hasil yang persis atau mendekati jumlah sebenarnya, maka perlu diamati frekuensi induk babi menyusui setiap harinya hingga disapih. Tentu saja diperlukan metode dan alat bantu khusus untuk memudahkan pengamatan frekuensi induk babi menyusui. Rataan perkiraan PASI babi harian selengkapnya disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Rataan Perkiraan PASI Babi Harian Selama Penelitian Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 Rataan ---kg/ekor/hari--- 1 6,00 7,65 7,20 7,47 7,08 2 3,50 4,05 5,40 4,67 4,40 3 6,00 - 7,65 3,73 5,79 4 - 5,85 4,50 7,00 5,78 Rataan 5,17±1,35 5,85±1,80 6,19±1,49 5,72±1,80 5,77±1,49 KK (%) 27,94 30,77 24,03 31,55 25,86
Keterangan : R0 = Ransum Kontrol; R1 = Ransum kontrol dengan penambahan 1,25% TDB; R2 = Ransum kontrol dengan penambahan 2,5% TDB; R3 = Ransum kontrol dengan penambahan TDB 3,75%; KK = koefisien keragaman; (-) = seluruh anak babi mati pada akhir penelitian
Rataan perkiraan produksi air susu induk babi harian selama penelitian adalah 5,77±1,49 kg/ekor/hari dengan KK 25,86%. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian tepung daun bangun-bangun terhadap ransum induk babi menyusui tidak berpengaruh nyata terhadap rataan perkiraan PASI babi harian. Menurut Pond dan Houpt (1978), rataan produksi air susu induk babi selama delapan minggu laktasi berkisar 5-8 kg per ekor bahkan lebih, namun perolehan ini tentu berbeda pada setiap peternakan tergantung lingkungan ternak itu dipelihara termasuk pakan yang dikonsumsi, sistem pemeliharaan, dan temperatur lingkungan kandang. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata, berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa PASI harian yang paling banyak hingga yang paling sedikit berurutan adalah pada
perlakuan R2, R1, R3 dan R0 yaitu masing masing 6,19; 5,85; 5,72 dan 5,17 kg/ekor/hari.
Penelitian lain oleh Sidauruk (2008) memperoleh rataan produksi air susu induk babi harian sebesar 12,8±3,9 kg yaitu dengan penambahan ekstrak daun katuk pada taraf 0,05 dan 0,1%. Hasil ini jelas lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian peneliti yaitu dengan penambahan tepung daun bangun-bangun. Hal ini mungkin disebabkan oleh bahan ekstrak yang digunakan dapat menjamin kualitas bahan aktif yang terkandung dalam suatu bahan tetap baik sehingga lebih maksimal dalam meningkatkan produksi air susu dibandingkan dengan tepung daun bangun-bangun. Sehingga untuk penelitian berikutnya ekstrak daun bangun-bangun dapat dicobakan agar hasil yang diperoleh lebih maksimal.
Produksi Air Susu Induk Babi Selama Laktasi
Perhitungan perkiraan PASI babi selama laktasi bertujuan untuk mengetahui total produksi air susu induk selama 30 hari masa laktasi. Produksi air susu induk babi selama laktasi diperoleh dari hasil kali perkiraan PASI babi harian (Tabel 15) dengan 30 hari masa laktasi. Sama halnya dengan perkiraan produksi air susu harian, produksi air susu selama laktasi juga merupakan perkiraan melalui perhitungan matematis. Dengan demikian perkiraan produksi air susu induk babi penelitian selama laktasi dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Selama Laktasi Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 Rataan --- kg/ekor/laktasi --- 1 180,00 229,50 216,00 224,00 212,38 2 105,00 121,50 162,00 140,00 132,13 3 180,00 - 229,50 112,00 173,83 4 - 175,50 135,00 210,00 173,50 Rataan 155,00±43,30 175,50±54,00 185,60±44,60 171,50±54,10 171,91±44,70 KK (%) 27,94 30,77 24,03 31,55 25,86
Keterangan : R0 = Ransum Kontrol; R1 = Ransum kontrol dengan penambahan 1,25% TDB; R2 = Ransum kontrol dengan penambahan 2,5% TDB; R3 = Ransum kontrol dengan penambahan TDB 3,75%; KK = koefisien keragaman; (-) = seluruh anak babi mati pada akhir penelitian
Rataan perkiraan PASI babi selama laktasi dari ternak babi penelitian adalah 171,91±44,70 kg/ekor/laktasi dengan koefisien keragaman 25,86%. Jumlah PASI babi yang lebih tinggi adalah pada perlakuan R2 (2,5%) yaitu sebesar 185,6±44,6 kg/ekor/laktasi dengan koefisien keragaman 24,03%. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk babi menyusui tidak berpengaruh nyata terhadap PASI babi selama masa laktasi (30 hari).
Efisiensi Penggunaan Ransum Induk Babi
Pengukuran efisiensi penggunaan ransum induk babi diperoleh dari nilai konversi ransum terhadap produksi air susu yaitu hasil bagi produksi air susu induk harian dengan konsumsi ransum harian, seperti penelitian sebelumnya oleh Hidayat (2001) yang dilakukan pada mencit. Semakin besar nilai yang diperoleh maka penggunaan ransum oleh induk babi menjadi air susu adalah semakin efisien. Namun demikian, kemampuan ternak dalam mengubah makanan menjadi produksi air susu adalah berbeda tergantung pada nutrisi, bangsa ternak, lingkungan, kesehatan ternak dan keseimbangan pakan yang diberikan (Devendra dan Fuller, 1979). Rataan nilai efisiensi ransum harian terhadap PASI babi harian selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 17.
Tabel 17. Rataan Nilai Efisiensi Penggunaan Ransum Induk Babi Perlakuan Ulangan R0 R1 R2 R3 Rataan 1 1,50 1,47 1,80 1,87 1,65 2 0,89 1,02 1,16 1,17 1,06 3 1,51 - 1,94 0,94 1,43 4 - 1,46 1,13 1,75 1,47 Rataan 1,30±0,36 1,32±0,26 1,51±0,42 1,43±0,45 1,40±0,35 KK (%) 27,32 19,52 28,04 31,31 25,24
Keterangan : R0 = Ransum Kontrol; R1 = Ransum kontrol dengan penambahan 1,25% TDB; R2 = Ransum kontrol dengan penambahan 2,5% TDB; R3 = Ransum kontrol dengan penambahan TDB 3,75%; KK = koefisien keragaman; (-) = seluruh anak babi mati pada akhir penelitian
Tabel 17 memperlihatkan bahwa rataan efisiensi ransum terhadap produksi air susu induk harian pada taraf pemberian tepung daun bangun-bangun yang berbeda selama penelitian adalah 1,40±0,35. Angka ini dapat diartikan, setiap kali induk mengkonsumsi satu kg ransum maka akan dihasilkan 1,40 kg air susu. Induk babi laktasi umumnya mengkonsumsi ransum antara 3-4,5 kg/e/hari (Sihombing, 2006) dan memproduksi air susu 0,5-1 kg/ekor anak/hari (Xu dan Cranwel 2003) atau sekitar 5-8 kg/induk/hari (Pond dan Houpt, 1978).
Efisiensi produksi air susu sebenarnya dapat diketahui berdasarkan energi yang terdapat pada susu per unit energi dalam ransum. Hasil ini akan lebih akurat dimana menurut Ranjhan dan Pathak (1979), persamaan keseimbangan energi untuk menentukan seberapa efisien energi ransum dapat diubah menjadi energi susu adalah sebagai berikut:
NE = Em + Ep = EG – EF - CH4 – EU – H Keterangan:
NE = Energi netto
Em = Energi untuk hidup pokok Ep = Energi untuk produksi air susu EG = Energi bruto
EF = Energi feses CH4 = Energi methan EU = Energi urin H = produksi panas
Namun persamaan ini tidak dapat diterapkan karena tidak adanya hasil analisa energi dari feses, urin, produksi gas maupun panas tubuh dari induk selama penelitian. Untuk mendapatkan variabel ini, induk babi harus ditempatkan pada kandang khusus sehingga akan diperoleh hasil yang tepat.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian tepung daun bangun-bangun tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi penggunaan ransum induk. Namun jika dicermati lagi, nilai efisiensi penggunaan ransum ternak babi yang mendapat pemberian tepung daun bangun-bangun terhadap PASI babi lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Dengan demikian, pemberian tepung daun bangun-bangun dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum sehingga akan mengurangi biaya ransum. Seperti telah diketahui, ransum merupakan bagian yang terbesar dari
pengeluaran dalam suatu usaha produksi babi, bisa mencapai 65 – 80% dari seluruh biaya produksi (Blakely dan Bade, 1991).
Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai efisiensi ransum paling besar adalah pada perlakuan R2 (2,5% TDB dalam ransum) yaitu 1,51 sedangkan nilai efisiensi ransum yang paling kecil adalah pada perlakuan kontrol yaitu 1,30. Hasil tersebut menyatakan bahwa induk babi yang mendapat perlakuan R2 lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi air susu. Hal ini diduga karena daun bangun-bangun mengandung sejumlah nutrien yang dapat membantu memenuhi kebutuhan induk untuk memproduksi air susu diantaranya adalah kalsium yang dibutuhkan dalam sintesis air susu. Selain itu hasil analisis Laboratorium Department of Chemistry Gorakhpur University (2006) menyatakan bahwa kandungan berbagai senyawa yang bersifat lactagogue (thymol, forskholin, carvacrol) dalam bangun-bangun juga berperan aktif untuk metabolisme sel dan merangsang produksi air susu pada induk laktasi sehingga produksi air susu induk babi yang diberikan tepung daun bangun-bangun cenderung lebih banyak, akibatnya nilai efisiensi penggunaan ransum yang dihasilkan menjadi lebih besar (lebih efisien).