1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan kedalam rangkaian pemilu.
Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pilpres 2004 merupakan suatu terobosan politik yang memberi arti penting bagi perwujudan kedaulatan rakyat di negeri yang selama 40 tahun berada dalam kepemimpinan otoritarian.1 Dalam buku Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004 Dokumentasi, Analisis, dan Kritik mengatakan bahwa pemilihan presiden (pilpres) 2004 merupakan momentum penting dalam sejarah politik Indonesia. Rakyat Indonesia untuk pertama kalinya memilih presiden secara langsung. Sistem pemilu presiden secara langsung oleh rakyat (direct popular vote) itu mengakhiri sistem lama yang menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga kekuasaan tertinggi dalam struktur kenegaraan dengan fungsi antara lain memilih presiden dan wakil presiden.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil presiden Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih oleh rakyat dengan melalui dua putaran. Pada tahun 2009 Susilo Bambang Yudhoyono kembali menjadi Presiden dengan wakilnya Budhiono. Pasangan tersebut menjadi presiden terpilih pada putaran pertama.
2
Pada pemilu presiden 2014 ini dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, namun penghitungan suara sementara yang diliput oleh berbagai media elektronik pada 9 Juli 2014 lalu terdapat satu media televisi yang berbeda dengan media televisi lainnya. Hal tersebut jelas terlihat bahwa media memiliki keberpihakan terhadap salah satu kandidat capres dan cawapres.
Menurut Hamad (2004) media massa kini benar-benar menunjukkan nyalanya yang hampir tak terkendali. Masyarakat kini hidupnya bergantung dengan media, hal ini membuktikan media massa telah menjadi jawara di ranah publik. Kebutuhan masyarakat yang begitu besar terhadap media di satu sisi dan beragamnya media di sisi lain, secara langsung maupun tidak langsung tercermin kepentingan-kepentingan yang “tidak murni”. Ketidakmurnian kepentingan ini ditelisik melalui kepemilikan modal dan produksi media yang senantiasa berorientasi pada market.
Menurut Hamad (2004) market bukan hanya dalam makna tradisional, pengerukan material ekonomi, tetapi juga dalam ideologi, politik, dan kekuasaan, yang bermuara pada penjinakan, penundukan, dan penaklukan. Kesadaran seperti ini di masyarakat kita hampir-hampir pada titik nol. Oleh karena itu perjuangan untuk mewujudkan media penyiaran demokratis, yang bertumpu pada konsep diversity of ownership dan diversity of content, serta yang hendak memberikan akses seluas-luasnya kepada publik untuk turut mengatur dan menikmati pemanfaatan media sebagai ruang publik (public sphere).
Media mempengaruhi wacana (teks) yang dihasilkan. Sistem politik yang berlaku juga tekanan publik juga ikut serta mempengaruhi wacana politik yang terbentuk. Jika sebuah media sudah menjadi agen politik maka persoalan objektivitas dalam pemberitaan politik menjadi hal yang krusial. Dengan menjadi saluran komunikasi politik saja media bisa menyumbang pada pembentukan opini publik. Atas dasar ini wajarlah jika kemudian publik sering menyoroti pemberitaan politik; apalagi pada saat-saat krusial dalam kehidupan politik seperti masa kampanye pemilu, sedang terjadi krisis politik, atau konflik antara pedukung partai. Dalam situasi seperti itu publik ingin mengetahui mengenai perlakuan masing-masing media terhadap peristiwa dan aktor politik yang terlibat dalam peristiwa itu, apakah proporsional ataukah
3
memihak salah satu pihak. Caranya ialah membongkar “realitas” dibalik teks yang dibuat masing-masing media.
Salah satu fungsi sentral media massa di ruang publik menurut Dennis McQuail adalah fungsi korelasi sosial (social correlation). Melalu berita dan opini yang dimuat secara reguler, media memandu publik menghubungkan berbagai realitas yang sebelumnya terpisah oleh faktor geografi dan psikografi, menjadi satu rangkaian yang bisa diikuti dan dipahami secara mudah. Kekuatan rnedia dalam melakukan framing atas sebuah teks dan fakta memandu publik mengkorelasikannya ke dalam konteks ekonomi, sosial politik dan budaya pada kurun waktu tertentu (McQuail, 1994). Media juga dapat menjadi subjek yang memanipulasi pernyataan atau peristiwa politik karena tekanan kepentingan ekonomi dan politik pemilik atau pengelolanya.
Pada jurnal yang berjudul “Jurnalisme Politik: Keberpihakan Media dalam Pemilu 2004 yang ditulis oleh Masduki, dalam iklim politik yang transisional terdapat perilaku feodalistik media dalam bentuk pemberian ruang ekspresi lebih pada tokoh publik (extra ordinary people), opinion leader ketimbang kalangan biasa dalam masyarakat. Dalam kerangka pembentukan opini publik, media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama, mengggunakan simbol-simbol politik (language of politic). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting fuction). Jika melakukan tiga tindakan itu, bisa jadi sebuah media dipengaruhi oleh berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan-tekanan pemirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya (Hamad, Ibnu, 2004).
Menurut Grabber ada tiga tipe kepemilikan media yang akan berdampak pada pola pemberitaan, kepemilikkan publik, semi publik dan pribadi atau privat. Kaidah pemilik dan media adalah siapa yang membayar musisi dia akan menguasai nada suaranya- “Hi who pays the piper calls the tune” Grabber (1989:69).
4
Menurut Herman dan Chomsky (2002) seorang kritikus media mengemukakan bahwa ia khawatir pada gerak masyarakat kapitalis liberal, yang mulai “kongkalikong” dengan model propaganda baru. gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya senjata dan uang. Para elite kekuasaan dan elite bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Akibatnya, menurut Chomsky kebebasan pers dijiwai demokrasi dan liberalisme, telah disusupi corong-corong propaganda segelintir orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu. Setiap suara berita telah dimodali kekuatan poitik dan bisnis (Henry Subiakto, 2012:137).
Menurut Chomsky (2002) menganalisis adanya konspirasi para elite yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Dengan menggunakan istilah Manufacturing Consent, tokoh kritis ini melihat media menjadi alat kepentingan politik, ekonomi, militer, dan kultur kalangan eksklusif. Menurutnya, para gate keeper media menjadi spion politisi dan industriawan untuk mencari keuntungan. Dengan kata lain, atas nama kepentingan bangsa, para pejabat mengatur pemberitaan sesuai keinginan mereka. Adapun atas nama pertumbuhan ekonomi, para pebisnis atau pedagang melakukan hal yang sama (Subiakto, Henry, 2012:137)
Pada buku “Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan, dan Media” yang membahas mengenai teori guna dan kepuasan, maksud pendekatan dan kepuasan adalah bahwa dalam menaksir akibat politik dari komunikasi massa, harus mencegah kesimpulan sembrono bahwa media tidak memainkan peran yang mengubah pemberian suara, tidak mengubah tingkat dukungan publik terhadap kebijakan.
Analisis framming merupakan strategi pembingkaian yang digunakan oleh pekerja media mengenai sebuah isu yang lain dikaburkan bahkan dihilangkan maknanya, walaupun isu yang dihilangkan tersebut merupakan isu yang penting. Eriyanto (2002:4) mengemukakan karena proses penonjolan atau penekanan aspek tertentu dari realitas tersebut akan membuat (hanya) bagian tertentu saja yang bermakna, lebih mudah diingat, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak, sehingga secara singkatnya Eriyanto ini mau menjelaskan bahwa, media mempunyai pesan yang sangat besar dalam membingkai suatu realitas. Akibatnya orang akan mengingat dan mengikuti peristiwa yang diberikan oleh media, sementara berita yang lain dilupakan
5
walaupun berita yang lain tersebut lebih penting dari realitas yang ditonjolkan oleh media massa.
Tuchman dalam Eriyanto (2002), mengilustrasikan framming sebagai sebuah jendela dunia. Tuchman, mengatakan bahwa apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita rasakan mengenai dunia itu tergantung pada jendela yang kita pakai. Pandangan lewat jendela itu tergantung pada apakah jendela yang kita pakai besar atau kecil. Jendela yang besar dapat melihat lebih luas, sementara jendela yang kecil membatasi pandangan kita.apakah jendela itu berjeruji atau tidak. Apakah jendela itu bisa dibuka lebar ataukah hanya dibuka setengahnya. Apakah lewat jendela itu kita bisa melihat secara bebas keluar ataukah kita hanya bisa mengintip dibalik jerujinya. Paling penting apakah jendela itu terletak dalam rumah yang punya posisi tinggi ataukah dalam rumah yang terhalang oleh rumah lain. Ilustrasi ini mau menggambarkan, bahwa realitas yang diberitakan oleh media akan tergantung pada kemampuan kita untuk memaknainya secara bebas ataukah secara terbatas, dan hal ini ditekankan pada kemampuan kita dalam menginterpretasi realitas tersebut.
Robert McChasney dalam buku Rich Media, poor democracy (1999), mengajukan tesis, bahwa semakin kaya industri media disuatu negara akan membawa dampak yang negatif kepada demokrasi. Namun pandangan Robert McChasney tidak sama dengan keberadaan media di Indonesia. Indonesia memiliki beragam media yang memiliki cara pemberitaannya masing-masing. Dengan banyaknya media di Indonesia hal tersebut berdampak pada demokrasi positif, dan tidak dikuasai oleh satu media. Menurut McChasney hal ini diakibatkan dari sifat orientasi bisnis media yang telah mengakibatkan sajian berita politik semata demi mengejar provit, atau berita menjadi berwarna ideologi politik.
Makna propaganda dapat diartikan sebagai taktik media dalam melakukan sensor terhadap berita. Konsep ini menjelaskan bagaimana informasi dipintal sesuai dengan keadaan kelas elite. Berita yang bias ini kemudian terdistribusi keseluruh penjuru, dan menjadi propaganda dari pihak pemerintah atau industri. Sehingga tidak dapat disangkal lagi jika pada prinsipnya kontrol ideologi sosial berada di pihak media massa. Lebih dari itu tekanan pasar yang akhirnya mengakibatkan kemunculan
6
struktur dalam sistem media yaitu media yang dipegang oleh pemilik modal yang dengan kepentingannya masing-masing untuk mendapatkan provit bagi medianya, alhasil cita-cita ideal menjadi tidak memiliki kebebasan – tidak berdaya dan cenderung bias kepada ideologi dan kelas elite ekonomi. Grabber (1989:65).
Dalam hal penelitian, peneliti mengambil penelitian pada media televisi TV One, media televisi Metro TV, dan pada media televisi Kompas TV. Hal tersebut dikarenakan TV One, Metro TV, dan Kompas TV sama-sama televisi yang mengedepankan tayangan seputar berita (news) dibandingkan hiburan.
Pemberitaan mengenai quick count di media televisi memiliki ragam cara pemberitaan. Masing-masing televisi memiliki caranya masing-masing dalam mengemas pemberitaan quick count. Khususnya TV One, Metro TV, dan Kompas cukup terlihat perbedaannya dalam mengemas pemberitaan. Oleh karena itu peneliti ingin melihat masing-masing media tersebut memframing pemberitaan mengenai quick count pemilihan presiden 2014.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimana TV One, Metro TV, dan Kompas TV memframming pemberitaan mengenai quick count pemilu presiden 2014?
7 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Mengetahui framing pemberitaan quick count dari masing-masing media yaitu TV One, Metro TV, dan Kompas TV media secara deskriptif.
1.3.2 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi yang berkaitan dengan analisis media televisi.
b. Manfaat Praktis
Dapat memberikan informasi mengenai idealisme dan isi pesan yang disampaikan oleh media televisi yaitu TV One, Metro TV, dan Kompas TV
1.4 Konsep yang digunakan dan batasan penelitian 1.4.1 Analisis Framing
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2002).
8 1.4.2 Quick Count
Quick count atau penghitungan cepat adalah proses pencatatan hasil perolehan suara di ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dipilih secara acak (Ujiyati 2004). Quick count merupakan prediksi hasil pemilu berdasarkan fakta bukan berdasarkan opini. Sehingga quick count tidak sama dengan jajak pendapat terhadap pemilih yang baru saja mencoblos atau yang biasa disebut exit poll. Menurut Sumargo (2006) keberhasilan pelaksanaan quick count ditentukan beberapa faktor, diantaranya adalah syarat, pelatihan, dan quality control.
1.4.3 Pemilihan Umum Presiden
Pemilihan Umum di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden yang semula dilakukan oleh MPR disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan kedalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu pertama kali diadakan pada 2004.
1.4.4 Media televisi
Media televisi pada hakekatnya merupakan suatu sistem komunikasi yang menggunakan suatu rangkaian gambar elektronik yang dipancarkan secara cepat, berurutan, dan diiringi unsur audio.
Kata televisi berasal dari kata “tele” yang berarti “jarak” dalam bahasa yunani dan kata “visi” yang berarti “citra atau gambar” dalam bahsa latin. Jadi kata televisi berarti suatu sistem penyajian gambar berikut suaranya dari suatu tempat yang berjarak jauh.
Media televisi menyandang tiga fungsi yang batas-batasnya tidak dapat dijelaskan secara tajam, yaitu sebagai wahana hiburan, penyebaran informasi, dan pendidikan.