• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sasaran pembangunan pertanian dalam pemerintahan Kabinet. Pembangunan Bersatu yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. Sasaran pembangunan pertanian dalam pemerintahan Kabinet. Pembangunan Bersatu yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Pembangunan Sektor Pertanian

Sasaran pembangunan pertanian dalam pemerintahan “Kabinet Pembangunan Bersatu” yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 adalah tercapainya tingkat pertumbuhan sektor pertanian rata-rata 3.52 persen per tahun dalam periode 2004-2009 dan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani.

Untuk mencapai hal tersebut pemerintah menetapkan beberapa sasaran : (1) meningkatnya kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi, (2) terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, (3) diversifikasi produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras, (4) meningkatnya ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri, (5) meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang berasal dari ternak dan ikan, (6) meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan, (7) meningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian dan perikanan, (8) meningkatnya kemampuan petani dan nelayan dalam mengelola sumber daya alam secara lestari dan bertanggung jawab, (9) optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu, (10) meningkatnya hasil hutan non kayu, dan (11) bertambahnya hutan tanaman minimal seluas 5 juta ha.

Menyamakan persepsi dalam pembangunan pertanian adalah persoalan yang tidak mudah, mengingat banyak kebijakan pembangunan di masa lalu belum

(2)

dilakukan evaluasi dan perbaikan secara maksimal. Pembangunan pertanian pada awalnya (Repelita I-V) terprogram dengan perencanaan yang baik. Sektor pertanian merupakan sektor prioritas, akan tetapi dalam implementasinya strategi dan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mudah dilanggar dimana program-program industrialisasi dengan cepatnya merubah titik pandang pembuat kebijakan untuk berpaling ke sektor non pertanian terutama pada masa setelah swasembada pangan telah tercapai.

Dalam awal Pelita dengan besarnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian, pertumbuhan sektor pertanian mencapai 5 persen per tahun, namun dengan adanya booming minyak pada awal 80-an dana pemerintah yang tersedia melimpah dan arah pembangunan mulai memfokuskan juga pada industrialisasi dan pembangunan fisik yang pada umumnya kurang terencana dengan baik. Pemerintah mendanai secara leluasa pembangunan industri substitusi impor, yang sebagian besar tidak kredibel yang pada akhirnya hanya menjadi beban pemerintah. Inilah awal industri lead sector dan pertanian hanya sebagai pendukung. Pemikiran ini sejalan dengan pengalaman sejarah negara barat, yang mengidentikkan pembangunan ekonomi dengan transformasi struktural terhadap perekonomian secara cepat, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi perekonomian industri modern dan jasa-jasa yang serba lebih kompleks (Todaro, 2000).

Pemerintah selama periode tahun 1980-an telah melakukan proteksi di sektor industri yang biayanya 10 kali lebih tinggi daripada proteksi terhadap sektor pertanian. Atas kebijakan ini memunculkan keengganan berinvestasi di sektor pertanian dikarenakan keuntungan investasi pada sektor pertanian kurang

(3)

dari setengah kali daripada berinvestasi di sektor industri (Halwani, 2002). Selain itu perhatian dan anggaran pembangunan pertanian mulai dikurangi dan dialihkan ke sektor industri (broad based industry) yang tidak berdasarkan sumberdaya domestik, termasuk mengembangkan teknologi tinggi yang menguras keuangan negara, devisa dan hutang luar negeri (Masyhuri, 2006).

Ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, dianggap wajar, karena para pengambil keputusan terlalu mengedepankan model pembangunan yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian (Mubyarto, 2004). Memang dalam proses pembangunan sebagai ukuran keberhasilan suatu pembangunan di suatu negara adalah adanya penurunan sumbangan sektor pertanian sehingga ketimpangan dukungan antara sektor pertanian dan sektor industri merupakan suatu keharusan, namun sejak tahun 1980-an terjadi perubahan pandangan dari beberapa pembuat kebijakan dengan munculnya konsep Agriculture Demand Led Industrialization (ADLI) strategi yang mengedepankan sektor pertanian sebagai penggerak utama pertumbuhan dan industrialisasi (Daryanto, 1999).

Sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang kuat kepada sektor non pertanian, sehingga sektor pertanian merupakan sektor unggulan (leading sector) di dalam strategi industrialisasi. Analisis terhadap dekomposisisi multiplier dapat menjelaskan arti penting kontribusi tidak langsung (indirect contributions) yang dibuat oleh permintaan rumahtangga kepada keterkaiatan produksi hasil pertanian. Potensi dari keterkaitan ini yang membuat ADLI sebuah pilihan kebijakan yang menarik untuk negara-negara berpendapatan rendah (Vogel, 1994).

(4)

Pembangunan sektor pertanian dengan strategi Agricultural Demand Led Industrialization ditengarai selaras dengan kondisi negara-negara berkembang yang masih menitikeratkan program pembangunan di sektor pertanian. Strategi ini menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain. Sebagaimana dimunculkan oleh Adelman (1984), sebagai berikut:

“The development strategy consist of public investment program designed to induce a progressive downward shift in the supply curve of the domestic agricultural sector. The argument in favour of this strategy rest both on its linkage effect, in creating a domestic mass market for industrial product through intermediate and final demand linkages, and on its distributional impact, poor members of society. The proposed strategy is stimultaniously a growth programme, and employment programme since agriculture is considerably more labour intensive than even labour-intensive manufacturing, a basic needs, food security and income distribution program and industrialization program.

Pembangunan dengan strategi ADLI adalah strategi pembangunan yang terdiri dari program investasi publik, yang dirancang untuk mendorong kurva penawaran sektor pertanian domestik menjadi lebih elastis. Alasan dari strategi ini diarahkan pada keterkaitan di dalam penciptaan pasar secara massal untuk produk industri melalui keterkaitan permintaan antara (intermediate demand) dan permintaan akhir (final demand) dan dampaknya pada distribusi anggota masyarakat miskin. Program ini secara bersamaan merupakan program pertumbuhan ekonomi dan program penciptaan lapangan kerja, mengingat sektor pertanian merupakan sektor yang lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dibanding sektor manufaktur, disamping juga sebagai penyedia kebutuhan dasar (basic need), ketahanan pangan (food security) dan disamping itu sebagai program distribusi pendapatan dan program industrialisasi.

(5)

Sementara Syafa’at (2005) mengartikan ADLI sebagai strategi pembangunan nasional dengan berbasis pada pertanian sebagai sektor utama dan pembangunan industri dengan penekanan kuat pada keterkaitan industri pertanian. Strategi ADLI akan menekankan pada peningkatan produktivitas sektor pertanian dalam menuju industrialisasi. Senada dalam Todaro (2000), para pakar ekonomi pembangunan berpendapat bahwa daerah perdesaan pada umumnya dan sektor pertanian khususnya sama sekali tidak bersifat pasif, dan tidak hanya sebagai penunjang melainkan sebagai elemen unggulan yang sangat penting, dinamis dan menentukan dalam strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan, terutama untuk negara berkembang berpendapatan rendah.

Daryanto (1999) melakukan penelitian dengan menganalisis dampak dari krisis ekonomi di Indonesia pada penduduk miskin dan sektor pertanian serta relevansi penggunaan strategi ADLI dalam mengatasi krisis tersebut. Hasil analisis menunjukkan pendapatan kelompok rumahtangga perdesaan dan perkotaan keduanya meningkat akan tetapi kelompok rumahtangga perkotaan meningkat lebih tinggi dibanding rumahtangga perdesaan. Hasil dari penelitian dengan menggunakan kebijakan ADLI menunjukkan keberhasilan menaikkan produksi sektor pertanian dan pendapatan riil, disamping itu juga menyebabkan perbaikan di sektor non pertanian. Meskipun rumahtangga perdesaan lebih sedikit keuntungannya daripada rumahtangga perkotaan. Hal ini dimungkinkan karena adanya perolehan yang berkurang akibat biaya transaksi perdagangan. Inilah tugas pembuat kebijakan untuk membuat cara yang dapat menjamin para petani memperoleh keuntungan yang terbesar dari penerapan strategi ADLI. Berdasarkan hasil penelitian ini Indonesia perlu mencoba alternatif pembangunan dengan

(6)

strategi ADLI yang merupakan strategi pembangunan pertanian sebagai penggerak industrialisasi dan motor pertumbuhan ekonomi. Adanya pertumbuhan di sektor pertanian akan meningkatkan pendapatan dan permintaan barang dan jasa dari perdesaan terhadap sektor non pertanian.

Sisi penting pembangunan pertanian dalam mendorong dan menstimulasi pembangunan perdesaan (rural development) dapat terlihat dari perannya dalam peningkatan kesejahteraan penduduk desa, termasuk diantaranya petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap dan lain-lain yang kegiatannya tidak terkait dengan industrialisasi dan merekalah penduduk miskin di perdesaan yang membutuhkan perhatian dan pemihakan dari para pembuat kebijakan di sektor pertanian (Mubyarto, 2004). Mangkuprawira (2000) yang melakukan analisa terhadap perekonomian kotamadya Bogor, menunjukkan bahwa peran sektor pertanian adalah terpenting ke dua setelah sektor agroindustri dalam kegiatan ekspor dan penyerapan tenaga kerja untuk wilayah kabupaten Bogor.

Pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini tampaknya belum sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat perdesaan. Sebagai indikatornya dapat dilihat pada perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan perbandingan antara indeks yang diterima petani dan yang dibayar petani. Jika NTP berada dibawah angka 100, menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani masih rendah karena hasil produksi yang diperoleh petani tidak sebanding dengan keuntungan yang diterima. Sebaliknya, bila NTP di atas 100 dikatakan tingkat kesejahteraan petani cukup baik. Perkembangan faktual yang tampak selama ini, NTP di Jawa selalu lebih baik dan meningkat terus

(7)

dibandingkan dengan NTP di luar Jawa. Misalnya untuk tahun 2006 data BPS (2006) menunjukkan NTP di 12 provinsi dari 23 provinsi yang dipantau BPS nilai NTP-nya di bawah angka 100, yaitu NAD, Sumut, Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Paling rendah adalah di NTB, dengan NTP-nya sebesar 51.94. Masalah klasik yang selalu ditonjolkan untuk menjelaskan mengapa NTP kita selalu berfluktuatif turun naik setiap waktunya adalah karena rendahnya produktivitas, pemanfaatan teknologi yang masih sangat kurang, dan permasalahan harga yang tidak mendukung penguatan NTP. Ketiga ini selalu menjadi sorotan ketika pemerintah ingin memecahkan permasalahan turunnya NTP. Kecenderungan penurunan NTP ini tampaknya berkorelasi dengan proses transformasi struktural yang terhambat, yang menyebabkan semakin terakumulasinya angkatan kerja di sektor pertanian, sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya lahan. Hal ini pada akhirnya menyebabkan produktivitas usahatani (output per tenagakerja) semakin menurun.

Rendahnya produktivitas ini tidak bisa dilepaskan dari penguasaan lahan petani makin lama makin kecil. Rata-rata penguasaan lahan petani Indonesia 1.05 hektar per rumahtangga tahun 1983, menurun menjadi hanya 0.86 hektar per rumahtangga tahun 1993 dan kurang dari 0.5 hektar tahun 2003. Penurunan luas pemilikan lahan petani dan meningkatnya jumlah petani menunjukkan transformasi ekonomi tidak berjalan lancar. Berbeda dengan Thailand, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Australia, jumlah petani menurun dan luas pemilikan lahan meningkat. Tahun 1820 jumlah petani Amerika Serikat 71.8 persen, saat ini tinggal 2

(8)

persen dari total penduduk dengan penguasaan lahan rata-rata 200 hektar (Setiawan, 2007).

Indonesia melakukan pembangunan pertanian harus diartikan sebagai pembaruan penataan pertanian dalam upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan, melalui maksimalisasi sumberdaya utama pembangunan pertanian (Mubyarto, 2004). Mellor (2000) meyakini bahwa program yang paling signifikan dalam menanggulangi kemiskinan adalah melalui pertumbuhan sektor pertanian yang cukup tinggi, dengan program perubahan teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produksi disertai biaya produksi yang lebih murah, percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan dengan maksud mengurangi biaya transaksi dan memperkuat pengembangan komoditas unggulan bernilai tinggi.

Upaya peningkatan produksi pertanian dalam proses pembangunan pertanian merupakan tujuan antara, sasaran sebenarnya adalah kesejahteraan dari masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana yang disampaikan Seers (2001). Dasar pemilihan sektor pertanian dipilih pada tahap awal pembangunan dengan strategi untuk memproduksi pangan dan jika produksi pertanian bertambah maka kenaikan produksi itu dapat dinikmati oleh sebagian besar penduduk. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang relevan harus diarahkan bagaimana meningatkan produksi, dan bagaimana hasil produksi didistribusikan secara adil sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Suatu rangkaian penting dalam pembangunan pertanian erat kaitannya dengan ketahanan pangan (food security) dan pengentasan kemiskinan. Selama tahun 2000-2004 melalui program ketahanan pangan telah berhasil mengurangi

(9)

penduduk miskin, dari 38.7 juta jiwa (19.1 persen) tahun 2000 menjadi 36.1 juta jiwa (16.7 persen) pada 2004. Akan tetapi pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 39.05 juta jiwa (17.75 persen). Sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin, sekitar 75 persen di antaranya pada subsektor tanaman pangan, 7.4 persen pada perikanan laut dan 4.6 persen pada peternakan. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Apabila program-program pemantapan ketahanan pangan kurang memperhatikan kelompok ini, maka akan berdampak pada peningkatan kemiskinan/kerawanan pangan (Nainggolan, 2006).

Pembangunan pertanian juga harus mencermati sistem perdagangan global telah mengalami transformasi yang sangat nyata. Negara-negara maju tetap memelihara tingkat subsidi pertanian yang cukup tinggi yang dibarengi pula dengan subsidi ekspor. Hal ini merupakan insentif nyata bagi produsen di negara tersebut sehingga terjadi kelebihan produksi yang membanjiri pasar dunia. Sementara negara sedang berkembang masih harus bergulat dengan persoalan usaha tani skala kecil, keterbatasan teknologi, dukungan keuangan dan infrastruktur, yang menyebabkan sebagian besar negara sedang berkembang belum bisa melepaskan diri dari masalah kemiskinan, pengangguran, ketahanan pangan dan keterbelakangan kehidupan masyarakat desa.

Penurunan relatif sektor pertanian adalah suatu proses alami dalam suatu perekonomian nasional dan merupakan kebiasaan dan ciri-ciri yang melekat dari pertumbuhan semua lapangan ekonomi. Penurunan ini disebabkan adanya

(10)

perubahan struktur ekonomi yang signifikan dikarenakan faktor (1) elastisitas permintaan terhadap harga, dan (2) tingkat pertumbuhan produktivitas.

Gambar 1. Perubahan Permintaan dan Penawaran pada Produk Pertanian dan Non Pertanian Dalam Pertumbuhan Ekonomi Dilihat dari Hukum Engel.

Keterangan :

DA adalah kurva permintan barang-barang produk pertanian SA adalah kurva penawaran barang-barang produk pertanian

Elastisitas permintaan (demand) terhadap pendapatan untuk produk non pertanian dibandingkan dengan produk pertanian berbeda. Demand untuk produk non pertanian berada pada elastisitas pendapatan > 1, naik lebih cepat daripada demand untuk produk pertanian yang mempunyai elastisitas permintaan terhadap pendapatan yang positif akan tetapi < 1 (inilah esensi dari Engel’s Law).

Pada gambar-1 diasumsikan hanya dua sektor dalam suatu perekonomian yaitu pertanian (A) dan non pertanian (N). Alasan logis dari hukum Engel adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi pada perekonomian karena adanya perbaikan dalam produktivitas. Pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi akan sama baik di sektor pertanian maupun non pertanian dengan asumsi kurva

quantity 20200

Sumber : Johnson (1973) dan Anderson (1988) dalam Daryanto (1999)

SN1 DN1 0 DA1 SAo DAo price 230 100 115 85 180 100 DNo SNo SA1

(11)

penawaran berada pada posisi yang sama sebagaimana terlihat pada Gambar 1. dan tetap sama pada periode ke dua, dengan posisi kurva penawaran bergeser ke kanan sejalan dengan terjadinya peningkatan produktivitas pada ke dua sektor perekonomian. Sementara kecenderungan pengeluaran penduduk atas kenaikan pendapatan untuk produk pertanian dan non pertanian berbeda (hukum Engel).

Permintaan untuk barang pertanian tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan terhadap barang non pertanian. Dengan kata lain tingkat kenaikan permintaan untuk barang pertanian (DA) lebih rendah daripada tingkat kenaikan permintaan barang non pertanian (DN). Kurva demand sebagaimana terlihat dalam Gambar 1, bergeser ke kanan dengan tingkat perubahan yang berbeda untuk kedua sektor tersebut. Jika kurva penawaran bergerak dengan proporsi yang sama tetapi kenaikan permintaan untuk produk pertanian lebih rendah daripada produk non pertanian, maka output ke dua sektor akan naik dengan kenaikan yang lebih rendah untuk produk pertanian, dan harga produk pertanian relatif lebih murah dibandingkan dengan harga produk non pertanian. Sebagai hasil dari pola ini kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional akan turun. Gambar diatas mengilustrasikan, harga produk pertanian (A) relatif terhadap produk non pertanian (N) akan turun dari 1 ke (85/115) = 0.74, representasi dari penurunan sebesar 25 persen dari nilai tukar produk pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB akan turun dari 50 persen menjadi (85X180/(85X180)+(115X220)) = 38 persen.

Faktor utama lain yang menyebabkan turunnya kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional adalah adanya perbedaan tingkat kenaikan produktivitas. Kenaikan produktivitas di sektor pertanian di dalam pertumbuhan

(12)

ekonomi secara betahap lebih rendah daripada sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian di dalam GDP dan nilai tukar perdagangan produk perdagangan akan turun dari waktu ke waktu (Daryanto, 1999).

Kebijakan proteksi terhadap sektor industri yang dilakukan selama pemerintahan orde baru banyak menghasilkan industri yang tidak efisien sebagai akibat terjadinya praktek ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dan kurangnya keterkaitan antara industri tersebut dengan bahan baku yang berasal dari sumberdaya lokal. Proteksi yang diterapkan pada industri substitusi adalah melalui kebijakan rupiah overvalued terhadap mata uang asing, dengan maksud untuk memudahkan dan meringankan beban biaya produksi, terutama untuk bahan baku yang berasal dari negara luar.Bahan baku yang digunakan untuk proses industri substitusi impor berasal dari luar negeri. Kerentanan industri substitusi impor terbukti ketika badai krisis moneter melanda kawasan Asia Tenggara, industri SI (Substitusi Impor) satu persatu runtuh dan dampaknya output nasional di bidang manufaktur tumbuh negatif diatas 25 persen (Tambunan, 2001).

Kunci keberhasilan sektor pertanian Indonesia untuk dapat bersaing di pasar internasional adalah kemampuan mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif produk pertanian dan olahannya, serta adanya kondisi perdagangan internasional yang fair mengingat masih tingginya distorsi negara lain terutama negara maju dalam memberikan subsidi domestik terhadap negaranya (Ditjen BP2HP, 2004). Dalam tahun 1997 misalnya, pemerintah di negara-negara Eropa telah memberikan dukungan pendanaan berupa subsidi

(13)

ekspor tidak kurang dari U$ 362.5 milyar per tahun terhadap surplus produksi pertaniannya (Erwidodo dan Ratnawati, 2004).

Sistem perdagangan global telah mengalami transformasi yang sangat nyata. Negara-negara maju tetap memelihara tingkat subsidi pertanian yang cukup tinggi yang dibarengi pula dengan subsidi ekspor. Hal ini merupakan insentif nyata bagi produsen di negara-negara tersebut sehingga terjadi kelebihan produksi yang membanjiri pasar dunia. Sementara negara sedang berkembang masih harus bergulat dengan persoalan usaha tani skala kecil, keterbatasan teknologi, dukungan keuangan, infrastruktur, biaya distribusi yang tinggi dan lain-lain yang menyebabkan sebagian besar negara sedang berkembang belum bisa melepaskan diri dari masalah kemiskinan, pengangguran, ketahanan pangan dan keterbelakangan kehidupan masyarakat desa (Dirjen BPPHP, 2004).

2.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Penggunaan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), atau dikenal juga dengan nama Social Accounting Matrix (SAM) erat kaitannya dengan tabel dalam neraca ini, yang dapat memberikan gambaran mengenai berbagai indikator ekonomi dan sosial wilayah serta dapat menghubungkan indikator-indikator tersebut secara kompak (bersama-sama). Suatu kerangka statistik (statistical framework) yang dapat menggabungkan berbagai indikator atau ukuran pembangunan sudah sejak lama menjadi bahan pemikiran para ahli statistik dan perencana pembangunan. Indikator-indikator atau ukuran-ukuran pembangunan yang selama ini tersedia, seperti ukuran-ukuran produksi, pendapatan, pengeluaran, konsumsi, tersusun secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri.

(14)

SNSE merupakan salah satu cara yang lain untuk memantau masalah pemerataan atau distribusi pendapatan dan masalah ketenagakerjaan di suatu wilayah baik negara ataupun bagian suatu negara (provinsi, kabupaten). Instrumen ini dibangun dalam matriks yang terdiri dari kolom dan baris yang menunjukkan arus uang (finansial) masuk dan keluar pada berbagai sektor dalam perekonomian. SNSE merupakan sistem social account dengan single entry, dimana dapat digunakan untuk menelusuri arus keuangan dalam perekonomian. Disamping itu SNSE dapat pula digunakan untuk menganalisa dampak suatu kebijakan, memprediksi dan menguji keterkaitan antara aspek sosial dan pembangunan ekonomi (Allen, 1998).

Titik awal penyusunan kerangka SNSE dalam menjelaskan hubungan ekonomi dan sosial masyarakat dimulai dari kenyataan bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar (basic needs and wants) yang harus dipenuhi melalui pembelian sejumlah komoditas. Total permintaan efektif terhadap paket komoditas tersebut kemudian dipenuhi oleh sektor-sektor produksi yang menghasilkan berbagai output atau produk. Untuk dapat menghasilkan output tersebut, sektor produksi membutuhkan faktor-faktor produksi, seperti tenagakerja, modal dan sebagainya. Permintaan turunan (derived demand) terhadap faktor produksi tenagakerja memberikan balas jasa berupa upah dan gaji, sedangkan terhadap faktor produksi modal memberikan balas jasa berupa keuntungan, deviden, bunga, sewa rumah, dan sebagainya (disebut juga sebagai pendapatan kapital). Distribusi pendapatan yang diterima masing-masing faktor produksi dirinci menurut sektor ekonomi yang menghasilkan disebut sebagai distribusi pendapatan faktorial. Jumlah upah dan gaji ditambah dengan pendapatan kapital

(15)

akan menghasilkan nilai tambah (value added) dan total nilai tambah tersebut dikenal sebagai PDB atau PDRB.

Secara diagram, sistem modular SNSE disajikan pada Gambar 2.

Sumber : SNSE (BPS, 2000)

Gambar 2. Diagram Sistem Modular SNSE

Pendapatan faktorial kemudian diterima oleh berbagai pelaku ekonomi, seperti rumahtangga, perusahaan, dan pemerintah. Pendapatan faktorial yang diterima oleh rumahtangga akan memberikan kontribusi bagi pendapatan rumahtangga; dan ini akan menimbulkan distribusi pendapatan rumahtangga. Rumahtangga yang memiliki faktor-faktor produksi yang relatif banyak akan menerima pendapatan yang lebih besar dari pada mereka yang memiliki faktor-faktor produksi yang relatif sedikit. Pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor ekonomi, seperti rumahtangga dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka sedangkan sisanya ditabung untuk maksud

Kebutuhan Dasar

Pengeluaran Rumahtangga

Permintaan Akhir Distribusi Pendapatan

Rumahtangga

Pemerintah Ekspor, Impor, dan

Neraca Pembayaran

Kegiatan Produksi PDB dan Distribusi

Pendapatan Investasi

(16)

pembentukan modal atau investasi. Bagi rumahtangga, hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai pola pengeluaran rumahtangga, yang memberikan gambaran mengenai pengeluaran rumahtangga menurut berbagai komoditas dan tabungan.

Oleh karena itu, dalam kerangka SNSE terdapat 3 tahap mapping untuk dapat membedakan dan menggambarkan keterkaitan proses-proses :

a. Struktur produksi;

b. Distribusi nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor produksi (distribusi pendapatan faktorial);

c. Pendapatan, konsumsi, tabungan, dan investasi (distribusi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga).

SNSE dibentuk dengan memperhatikan bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar (basic needs and wants) yang harus dipenuhi melalui pembelian sejumlah paket (bundle) komoditas. Permintaan tersebut kemudian dipenuhi oleh industri-industri yang menghasilkan berbagai output (komoditas-komoditas). Untuk dapat menghasilkan output, industri membutuhkan berbagai input, seperti bahan baku, dan juga membutuhkan faktor-faktor produksi, seperti tenagakerja dan kapital. Rumahtangga sebagai salah satu institusi ekonomi merupakan salah satu penyedia faktor-faktor produksi dimaksud. Dari kegiatan ini, rumahtangga memperoleh balas jasa (compensation) berupa upah dan gaji (wages and salaries) untuk faktor produksi tenagakerja dan bunga, deviden, dan sebagainya untuk faktor produksi kapital. Distribusi balas jasa seperti ini oleh rumahtangga memberikan informasi mengenai distribusi pendapatan faktor (factorial income distribution). Pendapatan ini merupakan sumber pendapatan rumahtangga yang mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Makin besar

(17)

kepemilikan faktor-faktor produksi oleh rumahtangga atau dengan perkataan lain makin besar factor endowments dari rumahtangga, maka makin besar pendapatan yang dapat diterima oleh rumahtangga; dan sebaliknya.

Tabel 4. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Penerimaan Pengeluaran Total Faktor Produksi Institusi Sektor produksi Neraca lainnya Faktor produksi 0 0 Alokasi nilai tambah ke faktor produksi Pendapatan faktor produksi dari luar negeri Distribusi pendapatan faktorial Institusi Alokasi pendapatan faktor produksi ke institusi Transfer antar institusi 0 Transfer dari luar negeri Distribusi pendapatan institusi Sektor produksi 0 Permintaan akhir Permintaan antara Ekspor dan

investasi Total output

Neraca lainnya Alokasi pendapatan faktor produksi ke luar negeri Tabungan Impor, pajak tidak langsung Transfer dan neraca lainnya Total penerimaan lainnya Total Distribusi pengeluaran faktor produksi Distribusi pengeluaran institusi Total input Total pengeluaran lainnya Sumber : SNSE (BPS, 2000)

Pendapatan tersebut kemudian dibelanjakan kembali untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumahtangga yang dikeluarkan sebagai pengeluaran konsumsi (consumption expenditures) dimana keseluruhan pendapatan dapat habis dikeluarkan untuk pengeluaran konsumsi tanpa adanya tabungan, atau sebagian pendapatan dapat disisihkan sebagai tabungan. Tabungan rumahtangga tersebut merupakan sumber dana investasi bagi perusahaan yang akan meningkatkan

(18)

kapasitas produksinya, dengan demikian output dan sekaligus pendapatan nasional menjadi meningkat.

Proses tersebut dalam ekonomi makro dikenal sebagai model pengeluaran-pendapatan (circular flow model) dan akan menjadi sempurna bila menyertakan juga peranan sektor-sektor lainnya, seperti pemerintah dan luar negeri, dalam model tersebut. Dengan demikian, SNSE berupaya untuk menggambarkan keterkaitan antara :

1. Kegiatan atau struktur produksi atau pendapatan nasional 2. Distribusi pendapatan faktor

3. Distribusi pendapatan rumahtangga

4. Konsumsi, tabungan, investasi, dan kegiatan-kegiatan lain yang mempengaruhi pendapatan regional suatu wilayah, seperti ekspor dan impor.

Bentuk dasar kerangka SNSE berupa matriks dengan 4 (empat) neraca utama, yaitu : (1) neraca faktor produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca sektor produksi, dan (4) neraca lainnya (rest of the world). Dengan memahami arti kerangka SNSE tersebut, maka SNSE merupakan kumpulan data yang dapat digunakan sebagai alat analisis dan dapat menjelaskan antara lain :

1. Kinerja atau keragaan pembangunan ekonomi suatu negara, seperti PDB, tabungan negara

2. Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci menurut faktor-faktor produksi, seperti pendapatan yang diterima tenaga kerja berupa upah dan gaji, dan yang diterima oleh faktor produksi modal, seperti berupa bunga, surplus usaha, sewa rumah

(19)

3. Distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumahtangga.

2.3. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu 2.3.1. Peranan Sektor Pertanian

Hirschman dalam Stringer (2001) menyoroti bagaimana sumberdaya pertanian yang berlimpah dan mengalami surplus ditransfer untuk pembangunan sektor industri dan menunjukkan sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang antar sektor paling tinggi, hal mana kondisi tersebut sangat dibutuhkan dalam mengakselerasi pembangunan ekonomi.

Byerlee, et al. (2005) menyatakan peranan sektor pertanian di dalam transformasi struktural telah ditunjukkan melalui revolusi hijau di banyak negara terutama di Asia, dimana sekarang sektor pertanian kontribusinya terhadap perekonomian nasional telah turun. Secara terpisah keberhasilan ini menumbuhkan sejumlah kalangan yang pesimis terhadap sektor pertanian yang mempertanyakan peranan strategis dari sektor pertanian pada dekade akhir ini terutama untuk pertumbuhan bagi pengentasan kemiskinan. Pernyataan ini terbawa oleh rendahnya harga komoditas pertanian di pasar dunia dan adanya ketertinggalan teknologi baru di sektor pertanian dan perkembangan penting dalam perekonomian global. Selanjutnya Byerlee menambahkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan penting terutama dalam tahap awal pertumbuhan perekonomian nasional, terutama mensejahterakan masyarakat tidak mampu yang terkonsentrasi di sektor ini, dan pertumbuhan di sektor pertanian terkait erat dengan sektor-sektor lain serta adanya eksternalitas positif dalam menjamin

(20)

ketahanan pangan (food security) dan menjaga stabilitas harga pangan (reducing food price). Kontribusi sektor pertanian menurun sejalan dengan adanya transformasi struktural melalui pembangunan perdesan masih merupakan kebijakan yang tepat untuk mengurangi penduduk miskin dan kesenjangan ekonomi. Pertumbuhan di sektor pertanian terbukti sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di banyak negara yang kemudian meningkatkan pembangunan industri di perkotaan terutama di daerah dengan infrastruktur yang baik dan kepadatan penduduk yang tinggi.

Stringer (2001) dalam studinya menjabarkan peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi ke dalam dua bagian, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Kontribusi pertanian secara langsung dapat dilihat secara tradisional dan non tradisional. Peranan pertanian dalam pembangunan yang selama ini selalu dibicarakan oleh setiap pakar, seperti kontribusinya terhadap tenaga kerja, pangan, ekspor, transfer modal dan pasar, tergolong sebagai peranan tradisionalnya. Sedangkan jika pertanian dikaitkan dengan agroindustri, ekspansi lahan bagi perluasan kota, pariwisata dan ketahanan pangan, maka peranan yang dimaksud tergolong sebagai peranan non tradisionil. Disisi lain, pertanian dapat pula secara tidak langsung memberi kontribusinya terhadap pembangunan. Dalam hal ini sektor pertanian dapat memberi manfaat eksternalitas dan barang-barang publik, setelah melalui proses joint product. Untuk manfaat eksternalitas dapat kita lihat salah satunya adalah peranan pertanian yang menghasilkan atau menumbuhkan kepariwisataan (tourism).

Peran penting pertanian tergambar dari besarnya penduduk dunia yang bergantung mata pencahariannya di sektor pertanian. Pada tahun 2002 tiga

(21)

perempat dari penduduk negara berkembang setara dengan 833 juta orang hidup di perdesaan, sebagian besar mata pencaharian mereka secara langsung atau tidak langsung bergantung pada sektor pertanian. Disamping itu dalam pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan di rumahtangga perdesaan lewat sektor pertanian dua kali lebih efektif dalam mengurangi jumlah penduduk miskin ataupun memeratakan pendapatan dibanding dengan peningkatan atau pertumbuhan di sektor lain. Pemerintahan China telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan dari 53 persen pada tahun 1981, menjadi tinggal 8 persen pada tahun 2001. Angka tersebut setara dengan mengeluarkan penduduk miskin sebesar 500 juta orang yang dicapai melalui mesin pertumbuhan pada aktivitas sektor pertanian disertai dengan dukungan respon rumahtangga petani terhadap perubahan teknologi pertanian yang cepat (World Bank, 2008).

Masyhuri (2006) menyatakan bahwa pertanian di Indonesia sangat penting artinya karena peranannya sebagai penghasil pangan utama, lapangan kerja sebagian besar penduduk, pemasok bahan untuk industri, penghasil devisa negara dan kandungan impor rendah, mempunyai efek multiplier yang tinggi, kegiatan yang ramah lingkungan, penghasil energi alternatif biofuel. Sebagai penghasil pangan utama, sektor pertanian tidak tergantikan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, di tengah-tengah dinamika hubungan antar negara yang penuh ketidakpastian, kecukupan pangan yang dihasilkan sendiri sangat penting. Dengan demikian sektor pertanian menjadi sektor utama yang memproduksi pangan yang memadai dalam rangka untuk menjaga ketahanan pangan.

Sipayung (2000) telah melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi Indonesia,

(22)

menjelaskan bahwa peningkatan alokasi investasi pemerintah dan perbankan pada sektor pertanian meningkatkan minat investasi swasta pada sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan pangsa alokasi investasi swasta asing pada sektor pertanian sebesar 14 persen dan pangsa alokasi investasi swasta domestik pada sektor pertanian sebesar 9.46 persen. Akibatnya, kapital stok total sektor pertanian meningkat sebesar 8.87 persen, sementara kapital stok sektor non pertanian turun sebesar 2 persen. Peningkatan dan penurunan kapital stok total pertanian dan non pertanian melalui proses produksi mempengaruhi produksi kedua sektor tersebut, dimana produksi sektor pertanian meningkat sebesar 0.30 persen dan sektor non pertanian turun sebesar 0.04 persen. Penurunan produksi sektor non pertanian ini disebabkan oleh penurunan kapital stok yang tidak mampu diimbangi oleh peningkatan produksi sektor non pertanian yang diakibatkan peningkatan produksi sektor pertanian melalui keterkaitan kedua sektor tersebut.

Sembiring (1995) menggunakan model Input-Output menyatakan peranan agroindustri terhadap pembangunan ekonomi di provinsi Sumatera Utara ditunjukkan dari keterkaitan output tidak langsung antara sektor pertanian dengan sektor agroindustri atau sebaliknya, sektor agroindustri kurang mendukung pengembangan sektor pertanian, sebaliknya sektor pertanian mendukung pengembangan sektor agroindustri. Selanjutnya hasil penelitian menjelaskan sektor agroindustri penyumbang terbesar terhadap output dan ekspor, masing-masing sebesar 26.30 persen dan 33.90 persen, tetapi sektor ini juga pengimpor terbesar, yaitu 45 persen untuk proses produksinya sehingga terjadi defisit terbesar 34.89 persen. Kontribusi sektor agroindustri terhadap nilai tambah dan

(23)

kesempatan kerja masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pertanian, tetapi produktivitas tenaga kerja di sektor agroindustri relatif jauh lebih tinggi (Rp 11.88 juta/orang/tahun) dibandingkan dengan sektor pertanian (Rp1.61 juta/orang/tahun). Ditemukan juga bahwa sektor agroindustri belum jadi sektor pemimpin (the leading sector) tetapi termasuk salah satu sektor utama (a leading sector) dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara tahun 1990.

Agroindustri merupakan salah satu prioritas penting dalam pembangunan ekonomi di India, karena di awal perjuangan kemerdekaan telah ditekankan oleh Mahatma Gandhi untuk melakukan penguatan pembangunan perdesaan dengan berbasis pada sektor agroindustri. Hasil penelitian di India menunjukkan sektor agroindustri di India mempunyai kontribusi yang besar terhadap keseluruhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri demikian juga sumbangannya dalam nilai tambah dan sumber pendapatan. Kontribusi ini tidak terhenti disitu saja, akan tetapi juga mendorong percepatan pembangunan dan mengurangi kemiskinan terutama adanya keterkaitan pada kapasitasnya sebagai sumber pendapatan petani beskala kecil dan penyedia lapangan kerja di perdesaan terutama bagi para penduduk miskin yang tidak mempunyai tanah (Gandhi, et al., 2001).

Menurut Saragih (1992) agroindustri diartikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait erat dengan kegiatan pertanian. Agroindustri mencakup beberapa kegiatan : (1) industri pengolah hasil produksi pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk akhir seperti industri minyak sawit, industri pengolah karet, industri pengalengan ikan, industri kayu lapis dan sebagainya, (2) industri penanganan hasil pertanian segar seperti industri pembekuan ikan, industri penanganan buah segar dan sebagainya, (3) industri pengadaan sarana produksi

(24)

pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit, (4) industri pengadaan alat-alat pertanian seperti industri traktor pertanian, industri mesin perontok, industri mesin pengolah minyak sawit, industri mesin pengolah karet dan sebagainya.

Menurut Sudaryanto dan Rusastra (2000), sektor pertanian diyakini mampu menyumbang terhadap pertumbuhan, pemerataan, dan penanganan lingkungan secara simultan sebagai prasyarat keberlanjutan pembangunan ekonomi. Untuk itu diharapkan pemerintah daerah perlu mengupayakan pembangunan pertanian sebagai poros pembangunan yang didukung oleh kebijaksanaan yang kondusif sehingga dapat memberikan sumbangan nyata terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Beberapa program pembangunan yang perlu mendapat penekanan dan pertimbangan diantaranya adalah transformasi struktur ekonomi berbasis pertanian, peningkatan ketahanan pangan berkelanjutan, pengembangan agribisnis dan ekonomi kerakyatan, dan pengembangan agropolitan yang sejalan dengan semangat otonomi daerah.

Peranan sektor pertanian menjadi penting dalam kemampuan menyediakan pangan yang berasal dari dalam negeri sendiri. Impor pangan dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan, karena jika jumlah yang diimpor lebih besar dibanding yang diproduksi oleh petani, selain akan menguras devisa negara dalam jumlah banyak karena ketersediaan pangan dunia sangat terbatas dan harga jualnya selalu berfluktuasi. Ketahanan pangan (food security) di dalam negeri yang tidak kokoh berkaitan erat dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi serta ketahanan nasional ( national security) secara keseluruhan (Nainggolan, 2006).

(25)

Johnston dan Mellor (1961) dalam Daryanto (2001) menyatakan terdapat lima kontribusi yang bisa diberikan sektor pertanian Pertama, sektor pertanian menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, hal ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan tingkat upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Kedua, sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk subtitusi impor. Perolehan devisa dari ekspor pertanian pada akhirnya dapat digunakan untuk membayar kebutuhan impor barang-barang dan teknologi untuk memodernisasikan dan memperluas sektor pertanian. Melalui kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat memfasilitasi proses struktural transformasi. Ketiga, sektor pertanian merupakan pasar potensial bagi produk-produk industri, sehingga bila sektor pertanian bisa tumbuh dan berkembang sehat, akan terjadi stimulasi permintaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri. Keempat, transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang tumbuh cepat dapat menstimulasi terjadinya pemindahan tenaga kerja dalam jumlah besar dan kontinu dari sektor pertanian ke sektor industri. Akhirnya kelima, sektor pertanian dapat menyediakan modal bagi pengembangan sektor-sektor lain (a net outflow of capital for investment in other sector). Selain lima indikator yang terungkap ini, masih banyak lagi sebenarnya bukti empiris yang bisa menunjukkan pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi.

(26)

Studi yang dilakukan oleh Priyarsono, et al. (2006) mengeksplorasi berbagai peranan sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Penelitian ini mengupas peran sektor pertanian dengan fokus pada tiga permasalahan ekonomi yang tergolong paling mendesak untuk segera ditangani di Indonesia, yakni kemiskinan, pengangguran, dan ketahanan pangan. Adapun dalam jangka pendek (tahun pertama masa penelitian), fokus lebih diarahkan pada pembangunan model analisis dan simulasi kebijakan yang diarahkan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Kerangka pemikiran untuk mendekati permasalahan di atas dilandasi oleh konsep kesetimbangan umum (general equilibrium approach), khususnya dengan menggunakan sistem neraca sosial ekonomi (SNSE, 1999). Metode ini secara khusus diarahkan untuk menghasilkan nilai pengaruh pengganda (multiplier effects). Dicoba pula diterapkan beberapa metode dekomposisi dan analisis lintasan struktural (strucural path analysis) untuk menguraikan pengaruh pengganda dan lintasan penjalaran pengaruh tersebut. Hasil studi ini memberi kesimpulan bahwa pembangunan sektor pertanian bukan saja lebih baik dalam meningkatkan pendapatan rumahtangga, namun juga lebih berpihak pada kaum miskin, terutama di pedesaan, bila dibandingkan dengan pembangunan sektor industri non pertanian.

2.3.2. Penerapan Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Sadoulet dan de Janvry (1995) mengungkapkan bahwa yang dipaparkan dalam model I-O hanyalah arus transaksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumahtangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri. Dalam matriks transaksi I-O tidak dirinci lebih jauh jenis-jenis faktor produksi, kelompok rumahtangga, maupun pengeluaran pemerintah. Untuk memperoleh

(27)

informasi yang lengkap mengenai hal tersebut maka alat yang lebih tepat digunakan adalah Social Accounting Matrix (SAM) atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Salah satu karakteristik yang fundamental dari SAM adalah kemampuannya untuk menyajikan secara komprehensif dan konsisten mengenai hubungan-hubungan ekonomi pada tingkatan produksi dan faktor-faktor, serta institusi, yang terdiri dari pemerintahan, rumahtangga dan swasta. Dengan demikian SAM bisa menggambarkan seluruh transaksi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca.

McGrath (1987) menyatakan bahwa salah satu tujuan menyusun sebuah matriks SAM adalah untuk memperluas System of National Account (SNA), yaitu dengan cara menggabungkan SNA dengan data distribusi pendapatan. Dalam pengertian ini, SAM memberikan sebuah metode yang bisa mengubah SNA dari statistik produksi menjadi statistik pendapatan, dengan cara demikian akhirnya SAM itu lebih terfokus kepada pembahasan mengenai tingkat kesejahteraan dari kelompok-kelompok sosial ekonomi yang berbeda.

Bautista (2000) telah mengaplikasikan multiplier SAM untuk mengamati dampak pembangunan pertanian terhadap distribusi pendapatan. Studi Bautista ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian pengaruhnya lebih besar terhadap rumahtangga yang berpendapatan rendah dibandingkan terhadap rumahtangga yang berpendapatan tinggi, baik itu di daerah perdesaan maupun perkotaan. Pada akhir studinya Bautista memberi kesimpulan bahwa penerapan strategi pembangunan yang berbasis pertanian (agriculture based development strategy) di Vietnam Pusat sangat relevan, mengingat wilayah ini sangat sarat dengan sektor pertanian. Strategi ini memerlukan kebijakan pemerintah yang

(28)

dapat segera memperbaiki produktivitas sektor pertanian dalam skala yang lebih luas. Pertumbuhan pendapatan masyarakat perdesaan secara menyeluruh akan merangsang permintaan terhadap produk barang lokal yang diproduksi secara padat karya, juga permintaan terhadap produk agro industri dan sektor jasa. Oleh karena itu pada strategi ini diperlukan ada jaminan suplai bahan baku (produk pertanian) sebagai respon dari meningkatnya produk yang dihasilkan pengusaha barang dan jasa.

Selain Bautista (2000), penerapan SAM untuk analisis pembangunan pertanian juga dilakukan oleh Nokkala (2002) yang meneliti tentang pelaksanaan program investasi di sektor pertanian dengan menggunakan model SAM. Hasil studinya menunjukkan bahwa terjadi kegagalan yang serius pada pelaksanaan program pengeluaran pembangunan pertanian. Dari semua skenario yang dilakukan, tidak hanya sektor pertanian yang menderita kemiskinan dari pelaksanaan program ASIP (Agricultural Sector Investment Program) tetapi juga menunjukkan perhitungan biaya sosial yang tinggi (social cost).

Selanjutnya Roland-Holst dan Tarp (2000) dengan menggunakan SAM 2000 telah menunjukkan dengan tegas bahwa perekonomian Vietnam pada saat ini sangat tergantung kepada sektor-sektor produksi primer, terutama sekali sektor pertanian yang sangat potensial untuk terus berkembang. Peran subsektor pertanian yang paling menonjol terhadap value added Vietnam adalah tanaman pangan, sebagaimana yang diiindikasikan melalui multiplier SAM. Khusus untuk ekspor, hasil pengamatannya dengan SAM menggambarkan bahwa ekspor Vietnam terkonsentrasi pada sektor-sektor agroindustri yang terkait dengan produksi tekstil dan pakaian. Sedangkan untuk komoditi beras dan perikanan lebih

(29)

banyak disalurkan ke pasar domestik. Melalui dukungan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat kondusif terhadap pembangunan pertanian, bisa menempatkan negara Vietnam ini menjadi salah satu kekuatan baru dalam kawasan ekonomi regional dan global.

Aplikasi SAM dalam analisis pembangunan ekonomi tidak terbatas hanya kepada kegiatan produksi saja, namun bisa juga diterapkan untuk mengamati dampak dari pembangunan terhadap pertumbuhan wilayah perdesaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Parikh dan Torbecke (1996). Menggunakan metode SAM mereka telah menganalisis dampak desentralisasi industri terhadap pembangunan perdesaan di India. Penelitian ini menggunakan dua daerah yang relatif sama, yaitu Aurepalle yang terletak jauh dari lokasi pabrik sedangkan Boriya daerah berdekatan dengan lokasi pabrik. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa desentralisasi industri di perdesaan sangat berkontribusi nyata terhadap pembangunan dan pengurangan kemiskinan di Boriya. Masyarakatnya menjadi sadar manfaat dari pendidikan, peningkatan investasi pertanian, eksploitasi terhadap tenaga kerja secara signifikan berkurang dan upah dari bekerja di pabrik telah mengurangi kemiskinan dan menurunnya ketidakmerataan pendapatan antara kelompok rumahtangga. Analisis cost-benefit-cum-SAM, multiplier dari empat skema pembangunan mengindikasikan bahwa desentralisasi industri telah menjadi kebijakan yang efektif dalam membangun perdesaan secara menyeluruh.

Decaluwe, et al. (1999) dengan menggabungkan kerangka SAM pada model CGE melakukan studi mengenai dampak liberalisasi perdagangan dan reformasi tarif terhadap kemiskinan. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak

(30)

penurunan harga ekspor tanaman pangan terhadap kemiskinan rumahtangga yaitu menurunkan head-count ratio untuk seluruh kelompok rumahtangga kecuali rumahtangga di perdesaan. Sedangkan dampak reformasi tarif impor menyebabkan ukuran poverty gap menurun untuk seluruh kelompok rumahtangga. Tetapi perbaikan kemiskinan tersebut kurang begitu berarti bagi kelompok rumahtangga perdesaan dan rumahtangga perkotaan yang berpendapatan tinggi.

Penerapan multiplier SAM yang lebih khusus dilakukan oleh Wagner (1999) untuk meneliti tentang peranan kunjungan wisata asing terhadap perekonomian wilayah di APA de Guaraquecaba, Brazil. Wagner mengukur tiga jenis multiplier, yaitu type I, type II dan multiplier SAM. Output multiplier type I digunakan untuk melakukan estimasi hanya pada blok aktivitas atau matrikss antar sektor ekonomi. Multiplier type II menggambarkan dampak intra, inter dan extra group. Sedangkan SAM multiplier selain dapat menjelaskan dampak yang ditunjukkan oleh multiplier type II, juga menggambarkan pembayaran modal terhadap rumahtangga. Nilai multiplier dihasilkan untuk type II lebih besar nilainya dibandingkan dengan type I dan nilai multiplier SAM lebih besar nilainya dibandingkan dengan type II. Adapun hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa secara umum sektor yang paling dipengaruhi oleh besarnya kunjungan wisatawan asing adalah rumahtangga perdesaan yang menghasilkan output kerajinan dengan input lokal. Mereka banyak memperoleh manfaat lebih besar dari kedatangan wisatawan asing dengan mendapat dollar yang lebih besar dari produk yang dihasilkannya.

Salah satu kehandalan dari aplikasi SAM dalam analisis ekonomi adalah kemampuannya untuk menggambarkan pancaran efek multiplier dari dampak pembangunan suatu sektor terhadap aktifitas-aktifitas ekonomi yang lain. Alat

(31)

analisis SAM yang sering digunakan untuk menelusuri hal tersebut secara komprehensif adalah Structural Path Analysis (SPA). Penerapan SPA dalam analisis SAM sudah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah Carmen, et al. (2003) yang telah melakukan analisis terhadap jalur keterkaitan antar sektor berdasarkan data SAM negara Andalusia tahun 1990, 1995 dan 1999, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan utama struktur produksi dan permintaan di negara Andalusia pada kurun waktu 10 tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan keberadaan suatu sektor dengan sangat kuat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi regional serta dapat menghitung seberapa besar pengaruh suatu injeksi (policy) yang dilakukan terhadap sektor itu sendiri dan pada sektor yang lain dalam satu regional.

Penggunaan SPA juga dilakukan oleh Santona, et al. (2004) untuk menjawab permasalahan jika terjadi kenaikan terhadap permintaan terhadap suatu sektor, apa pengaruhnya terhadap sektor lain dan adakah perbedaan diantara jalur-jalur yang berbeda di dalam mentransmisikan pengaruh-pengaruh dari adanya perubahan tersebut. Hasil analisis menunjukkan ada jalur pengaruh yang ditransmisikan dari sektor restauran terhadap sektor pertanian dan dari sektor konstruksi pada sektor pertambangan. Pengaruh sektor restauran ke sektor pertanian merupakan jalur transmisi terpendek dan langsung. Pengaruh langsung sebesar 47 persen ditransmisikan melewati jalur ini, sedangkan pada jalur sektor restauran, sektor foodstuff dan sektor pertanian ternyata pengaruh langsung yang ditransmisikan hanya sebesar 30 persen.

Analisis SAM juga sudah banyak digunakan dalam menganalisis perekonomian Indonesia. Misalkan James dan Khan (1993) yang telah mengamati

(32)

tentang kapasitas penyerapan tenaga kerja dalam program-program redistribusi pendapatan di Indonesia. Analisisnya berdasarkan SAM tahun 1975 yang dipublikasikan oleh BPS. Kesimpulan studinya adalah redistribusi pendapatan yang terjadi dalam kelompok rumahtangga miskin akan menghasilkan pengaruh (secara langsung atau tidak langsung) terhadap pendapatan tenaga kerja, baik itu berdasarkan analisis secara agregasi maupun disagregasi. Akan tetapi secara keseluruhan, pengaruhnya lebih besar dalam analisis tingkat disagregasi.

Selanjutnya Bautista, et al. (1999) yang mengukur pengaruh dari tiga alternatif pembangunan industri terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan analisis multiplier SAM dan CGE. Tiga alternatif industri yang dimaksudkan adalah industri berbasis permintaan sektor pertanian (agricultural demand-led industry, ADLI) idustri berbasis pengolahan pangan (food processing-based industry, FPB), dan industri berbasis manufaktur ringan ringan (light manufacturing-based industry, LMB). Hasil analisis dari studi ini menyimpulkan bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada komoditas pertanian lebih tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan riil GDP Indonesia dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan makanan dan industri ringan. Dari aspek distribusi pendapatan, pengaruh kenaikan GDP lebih besar terhadap perubahan pendapatan kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian.

Adelman dan Ralston (1992) dengan membangun SAM untuk provinsi Jawa Barat, telah melakukan pengamatan tentang implikasi dari pertumbuhan dan distribusi pendapatan terhadap perubahan-perubahan market-oriented dan program-program pemerintah. Hasil studinya menunjukkan bahwa saat

(33)

kebijakan-kebijakan perubahan market-oriented menghasilkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan rumahtangga yang tinggi di Jawa Barat, ketimpangan pendapatan antara rumahtangga yang berpendapatan rendah (diukur dalam kalori) dan rumahtangga yang berpendapatan tinggi juga semakin meningkat.

Pyatt dan Round (2004) menggunakan model SNSE Indonesia tahun 1980 untuk mengkaji efek pengganda harga tetap terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan perubahan proporsi penduduk miskin dipengaruhi oleh perubahan pendapatan dan perubahan harga. Namun perubahan harga tersebut hanya akan berarti jika garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok rumahtangga bergerak secara berbeda. Pada model pengganda harga tetap efek perubahan harga tersebut diabaikan.

Selain dari pengamat luar negeri yang tertarik menerapkan SAM untuk mempelajari perekonomian Indonesia, beberapa penulis dalam negeri sudah cukup banyak yang menggunakan perangkat SAM untuk menganalisis perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah Antara (1999) yang berhasil membangun SAM Bali 1996 yang dikonstruksikan atas 55 neraca, yaitu 2 neraca untuk faktor produksi, 19 neraca untuk neraca institusi, 28 necara untuk aktivitas produksi, dan 6 neraca untuk eksogen. SAM tersebut digunakan untuk menganalisis dampak pengeluaran pemerintah dan wisatawan terhadap kinerja perekonomian Bali. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pembangunan adalah tetap, sedangkan pengeluaran wisatawan atau investasi swasta meningkat. Hal tersebut berdampak terhadap peningkatan kinerja perekonomian Bali. Jadi pengeluaran wisatawan atau investasi swasta memiliki kontribusi nyata terhadap kinerja perekonomian Bali.

(34)

Sutomo (1987) menggunakan SAM Indonesia tahun 1975 dan 1980 untuk menganalisis kemiskinan dengan melihat keterkaitan antara pendapatan, konsumsi makanan dan estimasi kebutuhan energi dan protein oleh rumahtangga. Dalam studinya disimpulkan bahwa, meskipun kebutuhan akan rata-rata energi dan protein dari masyarakat telah berada di atas kebutuhan minimum pada tahun 1975 dan 1980, tetapi masih ada beberpa kelompok rumahtangga yang konsumsinya masih kurang, termasuk rumahtangga yang berada di atas garis kemiskinan. Kemudian Sutomo (1995) juga telah menyusun neraca SAM untuk provinsi Riau dan NTT. Berdasarkan kedua neraca SAM tersebut diperoleh kesimpulan bahwa permasalahan kemiskinan bukan merupakan provinsi miskin saja, tetapi juga merupakan permasalahan provinsi kaya. Dimana distribusi pendapatan antara golongan rumahtangga dikedua provinsi tersebut berada dalam ketimpangan yang ditunjukkan oleh index gini di kedua provinsi tersebut melebihi 0.5. Sedangkan distribusi pendapatan faktorial antara tenaga kerja dan kapital menunjukkan bahwa proses produksi diprovinsi NTT bersifat intensif tenaga kerja yang ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja (0.68) lebih besar dari kapital (0.32). Namun di provinsi Riau terjadi sebaliknya, yaitu intensif kapital dimana koefisien kapital (0.52) lebih besar dari pada tenaga kerja (0.48). Ini menunjukkan bahwa di masing-masing provinsi tesebut, peningkatan penggunaan tenaga kerja dan kapital memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah bruto wilayah.

Ropingi (1999) meneliti tentang keragaan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Boyolali dengan menggunakan kerangka SAM Boyolali tahun 1996. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa selama tahun 1996 kesejahteraan masyarakat Boyolali, yang diperoleh dari pendapatan faktor produksi adalah

(35)

sebesar Rp 888 006.568 dimana dikontribusi faktor produksi tenaga kerja sebesar 28.22 persen, sedangkan faktor produksi non tenaga kerja/modal sebesar 71.78 persen. Pendapatan faktor produksi tenaga kerja ini 92.11 persen berasal dari balas jasa tenaga kerja dan 7.89 persen berasal dari transfer dari luar wilayah kabupaten. Sedangkan pendapatan faktor produksi untuk kapital (modal) 98.02 persen berasal dari surplus usaha dan sewa kapital/bunga atas modal yang berasal dari penerimaan transfer di luar wilayah kabupaten.

Astuti (2005) menggunakan pendekatan SAM untuk mengkaji dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia. Sektor pertanian yang dimaksud meliputi subsektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Sebagai variabel eksogen adalah pengeluaran pemerintah, pengeluaran swasta dan rumahtangga. Untuk menganalisis aspek kemiskinan, Astuti menggunakan analisis terpisah dari metoda SAM, yaitu dengan menggunakan indikator kemiskinan FGT poverty index melalui data Susenas. Dengan menggunakan metode ini dapat dianalisis lebih jauh perubahan jumlah orang atau rumahtangga miskin di Indonesia sebagai dampak dari perubahan pendapatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Zaini (2003) menggunakan SNSE Indonesia tahun 1995 dan tahun 1999 untuk meneliti tentang peranan sektor pertanian sebelum dan pada masa krisis ekonomi di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian pada tahun 1995 (sebelum krisis) dan tahun 1999 (pada masa krisis) terhadap laju pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan yang positif, meskipun perkembangan distribusi pendapatan disposibel per kapita antar golongan rumahtangga terjadi kesenjangan.

(36)

Sektor pertanian cukup besar dalam menyerap tenagakerja dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Rata-rata sektor pertanian mampu menyerap sekitar 45 persen tenaga kerja dari seluruh tenaga kerja Indonesia.

Lena (2004) melakukan analisis terhadap SAM (SNSE) Indonesia tahun 1999, dengan menggunakan teknik Structural Path Analysis (SPA). Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa injeksi yang dilakukan terhadap sektor pertanian ternyata menunjukkan peningkatan terhadap pendapatan kelompok rumahtangga perdesaan dibandingkan jika injeksi dilakukan terhadap sektor industri olahan pertanian. Injeksi ini juga meningkatkan terhadap peningkatan output di sektor pertanian yang disertai juga dengan peningkatan penggunaan faktor produksi tenaga kerja di sektor pertanian.

Manaf (2000) menggunakan SNSE Indonesia tahun 1995 untuk meneliti pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani. Salah satu analisisnya menggunakan Structural Path Analysis (SPA) untuk mengidentifikasi alur-alur asal pengaruh yang dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan. Sedangkan

pengaruh paling kecil diterima oleh rumahtangga petani pemilik lahan 0.5 – 1 hektar setelah melalui faktor produksi modal.

Thaiprasert (2006) menggunakan SAM Thailand 1998 untuk mengetahui peranan dari sektor pertanian dan sektor industri di dalam pembangunan ekonomi negara Thailand diperoleh hasil bahwa analisis terhadap sektor unggulan menunjukkan peran penting dari sektor pertanian terhadap sektor-sektor lain lebih baik daripada sektor non pertanian. Hal ini berarti investasi terhadap sektor ini

Gambar

Gambar 1.   Perubahan Permintaan dan Penawaran pada Produk Pertanian  dan  Non Pertanian Dalam Pertumbuhan Ekonomi Dilihat  dari Hukum Engel
Gambar 2. Diagram Sistem Modular SNSE
Tabel 4.  Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil evaluasi penawaran, serta klarifikasi Negosiasi Harga oleh Pejabat Pengadaan Barang/ Jasa Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Kab.. Maka dengan

Dalam penelitian yang berjudul “Meningkatkan Gerak Dasar Passing Bawah Bola Voli Menggunakan Bola Modifikasi Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Negeri Suntenjaya

Haiku pada mulanya adalah tiga baris awal pada haikai no renga atau hokku yang kemudian melepaskan diri sehingga menjadi puisi individu dan penyair haiku terkenal, Masaoka

(2000) menyatakan bahwa keasaman susu baik yang dihasilkan oleh biakan bakteri starter maupun dengan pengasaman langsung terbukti mempengaruhi aktivitas protease dalam

Mandiri ini yang merupakan kontribusi tambah/ plus terhadap pengembangan swadaya masyarakat, karena pesantren ini tidak hanya bergerak pada satu sisi disektor

Secara umum hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh perbandingan antara sari buah sirsak dan ekstrak daun sambung nyawa dengan perbandingan Carboxyl Methyl Cellulose (CMC)

25.foto udin bersama nenek dan kakek merupakan

Pada skenario ini akan diuji pengaruh perubahan waktu simulasi untuk mengetahui pola kedatangan paket pada algoritma antrian M/M/N yang telah dirancang... Rumani M,